Aku pernah mendengar kata “cinta akan datang di saat yang tidak terduga” awalnya aku mengangap itu hanya omong kosong belaka, sampai aku berjalan melewatinya di Halaman Kampus hari itu. Mata tajam, bibir kemerahan yang tipis, rahang dan hidung tegasnya memikat hatiku dalam hitungan detik. Apa ini yang di sebut cinta pada pandangan pertama? Tidak, ini bukan hanya cinta pada pandangan pertama, ini adalah cinta pertama.
Aku Sophie, wanita sederhana yang bermimpi menjadi seorang putri. Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi setelah aku bertemu cinta pertamaku keinginan itu muncul bergitu saja. Tubuhku tidak terlalu tinggi, hidung tinggi, bibir kemerahan tipis, dan mata sedikit lebar tampak menyatu sempurna dengan pipiku yang sediki tembam. Aku yang tidak punnya cita – cita atau harapan yang berlebihan dari hidupku bertemu Eugene, pria sempurna bagaikan pangeran yang baik hati. Dia adalah cinta pertamaku, cinta pertama yang sampai saat ini masih aku kejar. Dia membuatku menyukai hujan yang awalnya tidak aku sukai sama sekali.
000
JAKARTA, 2016.
Hari itu hujan deras membasahi kota Jakarta, aku berdiri di depan Kampus menatap kosong ke arah langit yang tak berhenti menurunkan hujan. Tiba – tiba seorang pria menyodorkan payungnya padaku
“pakailah ini untuk pulang,” sahutnya gagah.
Mataku melebar menatap wajah sempurna di hadapanku, mulutku terbuka hampa tidak tahu harus berkata apa. Pria itu menyunggingkan senyum miring yang menambah ketampanannya lalu meraih tanganku memberikan payung di tangannya. Pria itu tersenyum lebar lalu berbalik meninggalkanku berlari menembus hujan. Aku menatap payung di tanganku dan pria itu bergantian, aku membuka mulutku berteriak memanggil nama pria tampan itu, namun ia terus berlari semakin jauh tanpa menoleh sedikitpun. Sejak itu, ia menjadi impianku, ia ada di setiap rencana hidupku.
Aku berjalan dengan hati bergetar menuju lapangan basket dengan sebotol air dan tas kertas berwarna cokelat kecil di tanganku. Teriakan, musik, dan tiupan peluit tak berhenti terdengar di telingaku. Aku berdiri diam di depan pintu masuk lapangan menatap Eugene dengan seragam basket Merah yang berlari asik menikmati permainan di lapangan, ia terus berlari mendekati gawang, lalu melompat menerima bola dan melemparkannya ke dalam gawang. Teriakan semakin keras terdengar melihat aksi gagah itu, semua mahasiswa yang melihatnya semakin terpana akan ketampanan dan kelihaiannya. Tak lama sirine keras terdengar menandakan pertandingan telah selesai, tim Eugene memenangkan pertandingan itu mewakili Universitas. Sorak sorai gembira kembali terdengar meriah, musik pun diputar untuk merayakan kemenangan itu. Eugene tampak tertawa puas dan memeluk anggota timnya satu persatu, lalu mengangkat tropi kemenangan yang mereka terima dengan banga dan membungkuk sopan sebelum meninggalkan lapangan.
Aku beridiri diam di depan ruang ganti tim basket dengan hati berbuga, senyum cerah tak kunjung sirna dari ujung bibirku. Pintu yang terbuka tiba – tiba membuatku mengangkat pandanganku kaget lalu merapikan pakaianku cepat berusaha terlihat secantik mungkin. Seluruh anggota tim basket menghentikan langkah mereka dengan ekspresi bingung melihat wanita asing yang berdiri di hadapan mereka itu. Aku pun membuka mulutku canggung
“aku ingin mengembalikan ini pada Senior Eugene,” sahutku.
Seluruh anggota tim basket langsung memutar mata mereka pada Eugene yang tampak menatapku bingung, teman – temannya pun langsung menodorongnya maju mendekat ke arahku lalu berbalik meninggalkan kami berdua. Aku melepaskan tawa kecil sejenak lalu menyodorkan tas cokelat di tanganku cepat
“terima kasih untuk payungnya kemarin,” ucapku tulus.
Pria itu menerima tas yang aku sodorkan itu lalu melepaskan tawa kecil “kau tidak perlu mengembalikannya, tapi terima kasih,” timpalnya di sela tawa.
Aku hanya menggangguk kecil membuat keheningan canggung menyelimuti kami. Eugene terdengar berdeham kecil lalu menatapku lurus “kalau begitu aku pergi dulu” pamitnya cepat lalu berbalik. Aku yang tidak ingin melewatkan kesempatan sedikitpun mengulurkan tanganku menahan lengannya cepat
“tunggu…” sahutku terhenti,
Eugene kembali berbalik lalu mengangkat alisnya santai “hmm, ada apa?” Tanyanya.
Aku menurunkan pandanganku menatap tanganku yang mencengkram erat lengannya sejenak, lalu menarik tanganku cepat “maaf, aku tidak bermaksud…” ucapku malu. Eugene pun melepaskan tawa kecil, ia mengangkat tangannya mengusap pelan rambutku “kau lucu sekali,” pujinya singkat. Mataku melebar merasakan tangannya yang mengusap halus kepalaku, aliran panas perlahan menjalari pipiku dalam hitungan detik. Aku melepaskan tawa kecil menutupi rasa maluku sejenak lalu mengangkat pandanganku perlahan
“apa Senior mau makan denganku? Aku yang traktir, sebagai rasa terima kasihku untuk payungmu,” tawarku ragu.
Saat itu aku sangat berharap ia menerima tawaranku, aku juga cemas dia akan menolaknya. Namun rasa bahagia langsung memenuhi hatiku dalam hitungan detik, karena aku mendengar jawabannya
“baiklah, bagaimana kalau besok?” Tawarnya tenang.
000
Mata setiap wanita terpikat melihat Eugene lewat di hadapan mereka. Eugene berjalan dengan percaya diri membuat setiap orang langsung berbisik membicarakan ketampanannya, ia menggerakkan jarinya membenarkan poninya sambil sesekali melempar senyum menggoda pada wanita yang menatapnya
“Eugene!” Panggil seorang wanita dari kejauhan menghentikan langkah pria itu.
Eugene pun menoleh dengan alis terangkat sebelah lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana santai. Suara hak sepatu terdengar semakin dekat lalu berhenti di hadapan Eugene, wanita itu menyisir rambut panjangnya ke belakang anggun lalu mendongak menatap Eugene
“aku dengar kau tidak datang ke pertemuan semalam karena kau kencan dengan seseorang, aku tidak tahu kau punya pacar,” sahutnya menghina.
Eugene tampak menggeleng kecil lalu menghembuskan nafas besar dari mulutnya “lalu kenapa? Siapapun yang aku pacari saat ini tidak penting bukan? Pada akhirnya aku akan menikahimu sesuai keputusan keluargku,” timpalnya dingin.
Senyum puas terlihat di ujung bibir merah wanita cantik itu, ia melipat tanganya di depan dada lalu membuka mulutnya “lalu kenapa kau memacarinya?” tanyanya menantang. Tawa Eugene pecah begitu saja mendengar pertanyaan itu, ia menunduk kecil mendekatkan bibirnya pada telinga wanita di hadapannya “aku tidak menagtakannya, kau sendiri yang mengatakannya,” bisiknya lalu berbalik meninggalkan wanita itu.
***
SEOUL, 2022. Matahari bersinar cerah menembus jendela membuatku membuka mata perlahan, aku mengangkat tanganku menghalangi sinar yang menusuk tajam mataku lalu memalingkan wajahku perlahan. Aku membuka mataku dengan senyum kecil teringat akan hari penting yang aku tunggu ini akhirnya tiba, aku langsung bangkit dari tempat tidurku cepat dengan langkah ringan berjalan menuju kamar mandi. Aku berdiri di depan cermin dengan setelan kantor biru muda rapi, aku merapikann rambutku sejenak lalu mengangguk kecil melihat pantulan diriku yang tampak sempurna di kaca. 000 Tanpa terasa sudah Enam tahun sejak kedatanganku pertama kali ke Korea Selatan, aku tidak menyangka aku sampai sejauh ini mengejar cinta pertama yang aku impikan selama ini. Setelah berjuang seberat ini akhirnya aku mendapatkan kesempatan yang aku incar, yaitu kartu karyawan DeRoz. Perusahaan Parfum terkenal yang menjadi pilihan orang – orang terkenal di sleuruh belahan dunia, tapi tentu
Suara musik yang perlahan semakin keras menusuk telinga, lantai dansa bagaikan lautan manusia yang menari dan melompat penuh girang. Kami pun duduk di meja bar menunggu minuman kami sambil menoleh ke sekeliling yang tampak berkelas, Mi Do pun mendekatkan bibirnya ke telingaku “orang kaya yang sedang menghambur – hamburkan uang mereka,” guraunya menghina. Tawaku pecah mendengar hinaan halus itu, aku kembali melayangkan pandanganku sampai aku menatap satu sosok pria yang tampak tak asing di mataku. Keningku mulai berkerut kecil berusaha mengenali pria itu, namun ia menghilang di antara desakan orang banyak di lantai dansa. Aku pun memalingkan wajahku dan menyesap minumanku anggun sambil sesekali bergurau kecil bersama teman – temanku. Tiba – tiba segerombolan pria dari lantai dansa menghampiri kami, kami pun akhirnya berdansa dan minum bersama, meskipun awalnya terasa asing kami akhirnya membaur dengan orang – orang di pesta itu. Aku menggerak
Eugene masuk ke dalam ruangan kantor dengan interior modern yang sangat bersih dan setiap sudutnya sangat rapi tanpa cacat sedikitpun, ia mengerutkan keningnya menatap pria dengan rambut hitam, mata sipitnya terpejam, kerutan kecil tampak menghiasi keningnya, kacamata dengan bingkai besi berwarna perah tergantung di hidungnya yang tinggi, dan bibir merahnya tertutup rapat tidak seperti biasanya. Melihat pemandangan aneh itu Eugene menunduk lalu mengetuk keras meja kaca di hadapannya membuat pria yang tidak menyadari kedatangannya membuka mata tajamnya kaget “hey, Hong Ni El ada apa denganmu? Tidak biasanya kau seperti ini?” Tanyanya curiga. Ni El hanya menghembuskan nafas besar dari mulutnya lalu kembali memejamkan matanya mengabaikan Eugene. Ia mengayunkan tangannya pelan “jika yang ingin kau bicarakan tidak penting, lebih baik pergilah!” Usirnya halus. Tawa kecil Eugene pun pecah mendengar hal yang seakan sudah biasa baginya itu, ia meletakkan map hitam yang di baw
Ha Na dan Mi Do membuka hampa mulut mereka kompak mendengar ceritaku tentang kejadian kemarin. Ha Na menggeleng kecil kembali mencerna ceritaku barusan "jadi kemarin kau tidur dengan seseorang yang tidak kau kenal, dan sekarang kau bilang dia adalah atasanmu di De Roz?" tanyanya memastikan. Aku menghembuskan nafas panjang lalu mengangguk lesu, Mi Do pun melambai cepat dengan mata tertuju lurus pada layar ponselnya "hey... hey... lihat ini!" desaknya membuat kami penasaran. Wajah Ni El terpajang memenuhi layar ponsel Mi Do, berbagai artikel tentang kesuksesannya tersebar di internet. Semua berita menceritakan kesuksesannya di usia muda dan tidak ada satupun berita buruk tentangnya tertulis di internet, aku dan kedua temanku langsung saling menatap dengan mulut terbuka hampa kehabisan kata - kata. Mi Do pun meletakkan ponselnya ke atas meja lalu menegak bir di gelasnya anggun "lalu apa yang terjadi setelah itu?" tanyanya ingin tahu, aku pun memutar mata
Eugene menerobos masuk ke dalam ruangan Ni El begitu saja setelah mendengar kabar tentang keributan yang aku sebabkan pagi tadi. Aku hanya berdiri dengan tangan terlipat sopan dan kepala tertunduk dalam, di hadapan Ni El yang duduk menatap keluar jendela membelakangiku. Eugene menatapku dengan terusan hitam yang terlihat cukup menggoda itu lalu berdeham kecil sambil memalingkan wajahnya cepat, Ni El yang mendengar suara dehaman Eugene pun melirik kecil lalu memutar kursinya menghadap kami. Ia menatap Eugene lurus lalu melipat tangannya di atas meja "kau bilang kau mengenalnya," bukanya singkat. Eugene mengangguk kecil sambil mengangkat kedua tangannya ke pinggang santai "hmm, aku akan mengajarinya dengan baik, maafkan kali ini saja!" Mintanya cepat. Ni El menggeleng kecil "peraturan tetap peraturan!" Tepisnya dingin. Aku yang merasa aneh dengan arah pembicaraan itu pun mengatupkan kedua tanganku di depan wajahku "aku mohondaepyonim,
Eugene langsung duduk di hadapan Ni El cepat setelah pintu ruang kerjanya tertutup rapat "ada apa dengan aroma parfumnnya? Apa kau tertarik?" Tanyanya penasaran. Ni El hanya menghembuskan nafas kecil sambil menggeleng heran lalu membuka tumpukan dokumen di hadapannya santai, Eugene yang tidak menyerah pun kembali membuka mulutnya menghujani Ni El dengan ceramah panjang lebar "sudah ku bilang dia sangat berbakat, percaalah padaku kau tidak akan menyesal mempekerjakannya, dia sudah membuat parfum itu sejak kuliah jadi aku tahu bahwa dia berbakat," jelasnya bangga. Ni El menghembuskan nafas besar dari mulutnya mendengar celotehan Eugene, ia menutup map di hadapannya cepat lalu menatap Eugene sinis "jika kau begitu menyukainya kenapa kau tidak mengencaninya?" Tembaknya keras. Eugene terdiam mendengar pertanyaan itu, ia menggaruk belakang kepalanya "pokoknya dia berbakat, jangan sia - siakan dia," tepisnya canggung lalu bangkit dari kursinya mening
Wanita cantik itu membuka pintu Ruang Kerja Eugene, lalu masuk dan menjatuhkan dirinya nyaman ke sofaseberang meja kerja Eugene. Ia melepas kaca mata hitamnya lalu menoleh kecil menatap Eugene yang mengabaikannya, wanita itu hanya tersenyum kecil paham akan sikap itu. Ia pun menghela nafas besar lalu melipat tangannya di depan dada mulai membuka mulut tajamnya "apa kau begitu menyukainya sampai mempekerjakannya disini?" Tanyanya mengacu padaku. Eugene yang terpancing akan pertanyaan itu langsung menghentikan gerakannya dan memutar matanya menatap wanita yang di abaikannya sejak tadi "kau menemuinya?" Timpalnya balik bertanya. Wanita itu tersenyum puas lalu menaikkan kedua bahunya bermain - main dengan Eugene yang tampak tegang. Ia pun bangkit dari duduknya berpindah ke kursi di depan Eugene, keduanya terdiam saling menatap lurus membuat suasana dingin menyelimuti ruangan itu. Eugene pun membuka mulutnya memecahkan keheningan dingin itu
Ni El menatap Eugene yang tersenyum kecil menatap ponselnya diam. Eugene yang belum menyadari kedatangan Ni El pun meletakkan ponselnya lalu mengangkat pandnagannya, ia menarik kecil tubuhnya kaget melihat Ni El yang sudah menatapnya entah sejak kapan. Ni El pun melangkah santai masuk ke dalam ruangan Eugene dengan map hitam di tangannya"apa kau se senang itu?" Tanyanya menghina sambil melempar kecil map di tangannya ke hadapan Eugene.Eugene menghembuskan nafas kecil sambil menggeleng mengabaikan pertanyaan itu. Ni El duduk di depan meja Eugene lalu menurunkan pandangannya melirik kecil layar ponsel Eugene yang menunjukkan pesan dariku. Ni El langsung mengalihkan pandangannya cepat sambil berdeham kecil canggung. Setelah membaca sekilas dokumen yang di bawa Ni El, Eugene membubuhkan tanda tangannya cepat lalu menyerahkan map itu kembali pada Ni El. Eugene menatap Ni El yang masih diam di tempatnya lalu melepaskan tawa canggung"wae? (Kenapa?) Ada yang