Anang***"Jadi, uang Ibu benar-benar lenyap, Bu? Aku sudah bilang, Ibu jangan mudah terbuai dengan investasi semacam itu. Harkh!""Mau gimana lagi, Nang, nasi sudah menjadi bubur. Tak bisa lagi dibalikin jadi nasi!" sanggah Ibu. Mimik wajahnya kecewa berat sekali. Sepertinya Ibu terpuruk. Bagaimana tidak, aku saja yang mendengarnya amat naik darah.Benar-benar keterlaluan, begitulah kalau ibu tak percaya pada anaknya. Jadi begini, uang habis, mana sebentar lagi rumah pasti disita. Hidupnya nanti bagaimana?"Aku sudah bilang sejak awal sama Ibu."Kuacak rambut kepala ini dengan kesal. Saat ini tatapan Ibu mendarat ke meja dengan ekspresi kekesalan."Tapi kamu juga tak melarang Ibu segitunya. Kamu oke 'kan data Ibu mau bilang investasi," ujar Ibu lagi tak mau disalahkan."Iya, tapi aku juga bilang, hati-hati." Nadaku agak sedikit meninggi."Ya mana tahu bakal kena
Anang***"Pasti dia juga mempertanyakan kenapa ayahnya tak jenguk dan kirimi lagi dia uang ya." Ibu berkeluh kesah.Soal ini ibuku memang tak tahu. Setahu dia, aku memang sering berikan uang bulanan untuk Arya. Aku tak pernah mangkir dari kewajiban. Kenyataan, padahal tak begitu."Ah, sudahlah, Bu. Biarkan saja, toh Arya juga sudah dapat orang tua baru yang lebih kaya. Biarkan saja, anak sudah gede pasti cari ayah kandungnya.""Hem, iya. Biarkan saja mereka biayai Arya sendiri ya. Lalu Ibu harus bagaimana ya? Ibu tak bisa kerja, Nang." "Ya sudah, Ibu pulang saja dulu ke rumah. Ibu bisa berpikiran jernih di sana. Aku di sini tak bisa, Bu. Ibu minta bantuan lah sama paman dan bibi. Mereka pasti ada yang bantu. Dari beberapa saudara Ibu, pasti ada yang sedia bantu."Wajah Ibu lesu sekali. Aku melihat, di tubuh Ibu masih terpasang anting-anting dan juga gelang yang bisa dijual. Itu mungkin bisa ban
Maya***Hari ini aku sengaja ke butik hendak mencari dress karena akan hadiri pertemuan para pengusaha besok. Aku diminta oleh Mas Yoga untuk mencari baju baru yang bagus menurutku. Sekalian aku juga akan membeli pakaian untuknya. Sudah menikah dengan pengusaha, pastilah aku harus hadir menemani. Terutama untuk tampilan, tentunya tak boleh buat keluarga Mas Yoga malu.Tak pernah terpikir sebelumnya kalau aku akan hadir ke event tersebut bersama Mas Yoga. Masih jauh dari mimpi. Namun sekarang, itu bukan mimpi lagi, bakal segera jadi kenyataan. Bahkan, jadi istrinya sudah nyata sekali."Ehm! Kamu … Maya, ya?"Saat aku sedang pilah-pilih, tiba-tiba seorang wanita menyapa. Dia berdandan dengan tampilan yang menarik dengan dress seatas dengkul. Rambutnya dibuat ikal sebawah bahu.Dia mengenaliku, tapi aku tak mengenalinya."Mbak panggil saya?" ujarku heran menunjuk bagian dada sembari melempar senyuman."Ya, aku menyapamu. Siapa lagi! Kenalkan, aku Ratu."Teg!Nama itu pernah rekanku sebu
Maya***"Si Yoga udah kepelet kali, Mah. Masak aku dikalahkan sama janda. Kalau sama gadis ya masih mending lah." Sepertinya Ratu malah memancing emosi. Oh, aku tahu kenapa Mas Yoga tak memilihnya. Dari cara bicaranya saja memang pasti bukan tipikal suamiku."Maaf, ada keributan apa ya? Mohon jaga kekondusifan di butik ini ya, Bu, Mbak." Tiba-tiba seorang wanita yang kuduga adalah pemilik butik menegur kami."Mohon maaf, Mbak. Sebenarnya saya enggak ingin buat masalah kok. Saya hanya sedang mencari busana saja."Mbak itu manggut seakan mengerti. Ia melihat wajah orang yang membuat keributan. Ratu dan sang ibu menatap ke arah lain dengan mimik wajah acuh."Lebih baik kita pergi dari butik ini deh, Mah. Udah gak nyaman. Ada orang ini. Janda saja belagu. Mungkin saja dia dinikahi karena Yoga butuh pembantu."Kalimat yang menohok itu membuat hatiku sakit sekali. Mulut Ratu bak combera
Maya***"Iya ya, Mah. Yoga kok bisa, tampan gitu dapetin janda. Dia itu tampan dan mapan. Ya, meskipun istrinya juga lumayan, tapi kalau statusnya janda, itu kayaknya gak banget deh. Hihi.""Eh, kamu ini, janda itu lebih menantang mungkin! Kalau Mama jadi ibu si Yoga, mana mau punya menantu janda. Dasar aja si Ine tuh!""Lah iya dong, Mah, aku 'kan menantu Mama yang masih perawan dulunya. Aku single, masih gadis."Mungkin karena rumah ini terlalu besar, makanya kendaraanku masuk halaman tak terdengar oleh mereka berdua. Sehingga obrolan santai nan nyinyir masih terdengar mungil di telinga.Baru saja masuk, lewati pintu, sudah terdengar pembicaraan nyeleneh di ruang tengah. Karena Tante dan menantunya itu sedang menunggu di ruang tengah, pastinya mereka belum menyadari kalau aku sudah tiba.Baru saja emosi ini reda perihal di butik tadi, sekarang di rumah sudah disuguhi tamu yang sedang membicarakan pemilik rumah. Sabar, Maya."Eh, Non sudah pulang?" Bibi yang mendadak lewat lalu meli
Maya***"Ah tak usah, kami main aja ke sini. Nanti pulang lagi.""Ya sudah, nanti kita makan sama-sama ya. Yoga sama istri ke atas dulu.""Iya.""Kalau Tante sama Mbak mau istirahat, kamarnya sudah bibi siapkan. Kalian bisa istirahat dulu.""Nah, iya deh. Ya, Mah, kita istirahat dulu. Aku kok agak pegel ya." Mbak Silvi menampakkan wajah lesu. Mereka, mertua dan menantu dekat sekali. Aku salut."He'em, hayuk!"***"Mas, ini kemeja, jas sama celana buat besok. Cukup enggak ya? Soalnya aku takut beli ini kekecilan."Mas Yoga langsung saja mencobanya. "Cukup dong, Sayang. Ini pas. Warnanya juga bagus. Aku suka. Makasih!" jawabnya. Aku melihat suami, memakai baju apa saja tetap rupawan."Syukurlah kalau cukup." Aku lega, "oh ya, ini kartu kredit kamu, Mas.""Simpan saja.""Nanti, kalau aku butuh, biar minta saja. Lagipula aku 'kan masih ada kartu ATM yang saldonya banyak, Mas. Bisa pakai itu." "Ya sudah, terserah. Kalau kurang, kamu minta ya.""Iya, Mas.""Eh, Ibu kapan pulang?" tanya Ma
Maya***"Kamu mau cerita apa, Sayang? Oh ya, tadi maafin Tante Ros, ya. Dia memang begitu. Mbak Silvi juga kayaknya ketularan."Kami sudah sampai di ranjang saja. Baru beranjak dari kamar Arya yang sudah usai kerjakan tugas sekolah."No worry, Mas. It's okay.""Lalu, ingin cerita seorang wanita, itu siapa? Ada apa memang?" Dia senderan di pahaku yang kini sudah berada di atas ranjang."Em, Mas. Lusa ulang tahun ibu kamu. Masih ingat 'kan?" Seketika ia terperanjat kaget. "Lah, aku kelupaan. Biasanya aku bakal inget karena ada reminder aja. Besok mungkin baru bunyi. Hihi." Dia nyengir kuda."Ah kamu, Mas. Tapi, nggak apa-apa, rasa sayang seorang anak itu bukan diukur dari ingat atau tidaknya hal itu.""Makasih udah ingetin lebih dulu ya, Sayang. Oh ya, ada ide gokil?" ujarnya. Kini kami duduk berhadapan."Gokil apa? Emangnya yang ulang tahun kamu, bisa di prank. Orang tua jangan, kasihan." Aku menyarankan. Takutnya dia malah berpikir konyol ingin buat ibu mertua jantungan baru diberi h
Aku masih terus berputar di depan cermin. Nampak dress yang kupilih kemarin ternyata tak begitu buruk. "Kamu cantik," ucap Mas Yoga sembari memeluk dari arah belakang."Makasih. Kamu juga tampan."Jelaslah dia tampan dengan setelan yang telah terpakai di badannya. Kami juga kenakan pakaian senada."Mama dan papa akan berangkat dari rumah mereka. Jadi kita ke sana bertiga saja. Benar Ibu tak mau ikut? Kenapa?"Tadi pagi aku telah menjemput Ibu dari rumah saudaranya. Sekarang, sepertinya ibu juga masih di kamarnya usai kami beranjak dari dapur sama-sama."Ibu nggak ikut, Mas. Katanya dia agak segan gitu. Lagipula ini acara para pengusaha kata Ibu juga.""Ya tak apalah, itu tak begitu melarang siapa yang datang. Lagipula, ibu itu ibu kita."Namun, baru saja aku manggut hendak menjelaskan, putraku Arya menghampiri dengan setelan seragam sekolah."Loh, Sayang, kamu kok pakai seragam sekolah? Kita mau ke acara ayah bukan?" Mas Yoga mensejajarkan tubuhnya dengan si kecil.Dia geleng-geleng k