Maya
***Saat ini Mas Yoga sudah berangkat ke luar kota. Mungkin juga sudah sampai. Ada sesuatu hal yang harus ia urus di sana. Aku mengetahui apa yang akan dia urus. Katanya ia akan sampai di rumah kembali nanti malam. Ada asisten dan sopir yang menemaninya. Jangan salah sangka dulu, asistennya itu seorang pria. Sejak awal, Mas Yoga tidak mempekerjakan asisten wanita.Teringat soal Risma kemarin yang selalu saja cari perhatian kepada suamiku. Sepertinya lewat Mas Diwan aku harus beritahu ini. Siapa tahu dia bisa mendapatkan efek jera.Tapi, yang aku bingung adalah kapan aku bisa bertemu dengan suami Risma itu. Seharusnya dalam momen tak sengaja. Kalau disengaja, bisa-bisa Mas Yoga salah paham. Apalagi dia itu mantan pacarku dulu sewaktu jaman SMA.Baru saja menarik napas panjang, tiba-tiba datang sebuah video call lewat sebuah aplikasi dari suami tercinta. Gegas, tak menunggu lama aku pun meMaya***"Ehm!" Sebelumnya aku berdehem, "mohon maaf ya, Mas. Mas mungkin bisa duduk di sebelah sana, aku di sebelah sini," saranku.Dia pun akhirnya duduk terhalang dua kursi denganku....~Kom Komala~"Ya, sepertinya kamu ada hal yang ingin disampaikan ke aku ya? Ngomong-ngomong, selamat ya, May, kamu sekarang sudah sukses dengan menikah dengan orang yang sukses."Dari pernyataan selamatnya itu aku tak begitu suka. Dia ibaratnya seperti merendahkan aku, mengangap kesuksesan jabatanku ini karena unsur lain dari Mas Yoga. Tapi tak perlu dijadikan masalah, cukup tahu, Mas Diwan berarti orangnya lumayan sama dengan Risma. Hanya dia mampu mengemas dengan cara berbeda."Terima kasih, Mas. Alhamdulillah berkat kerja keras aku bisa duduk sebagai supervisor. Kalau menikah dengan suami sekarang itu di luar dugaan. Ibaratnya nilai plus saja." Aku dengan santai menanggapi."I–iya, May. Aku tur
Anang***Sejak masuk sel, aku dijadikan babu oleh si Bondol. Preman yang di awal membuat celanaku basah. Awas saja, aku sudah keluar, dia orang yang pertama kumangsa setelah si Yoga dan si Maya."Yang bener dong ah! Gua jitak loe!" sungutnya terus membuat emosiku meluap-luap namun tak bisa berbuat banyak. Yang lain juga sama, dijadikan babu olehnya. Hanya aku yang paling parah. Ini saja, sudah tengah malam aku masih belum diberikan kesempatan untuk tidur."Kipasin, kipasin!" titahnya lagi dengan rusuh.Heurkh, andai aku bisa lari, pasti wajahnya kutampol lebih dulu. Ini namanya penghinaan. Dia menghina pria yang sudah menjabat sebagai general manajer. Apa dia pikir aku gembel seperti dirinya?Hah, andai aku bisa menabung, pasti uang dari gaji yang terkumpul bisa untuk buka usaha property juga. Sialan, yang aku ingat hanyalah wanita dan foya-foya. Entah mengapa, jiwa mudaku seakan terjun payung bila melih
Anang***"Oh iya, Nang, apa Ibu bujuk mantan istrimu saja ya dalam kasus ini. Apa dia bisa bantu?" Ibu malah memikirkan ide yang konyol.Kepalaku sedikit pusing. Jagankan membantu, dia mengiba sedikit pun saja tidak."Bu, bisa apa dia? Hukuman ini gak bisa dicabut. Kalau pun dimaafkan, proses hukum akan terus berjalan. Ini tindak pidana, Bu, bukan sebuah delik aduan semata." Aku sudah tahu, tak ada yang bisa diperbuat Maya meskipun dia memang ingin membantu. "Lalu bagaimana lagi? Cari bukti apa ya yang membenarkan kamu sedikit aja." Ibu kekeh tak ingin melihat anaknya dihukum lama."Bu, entahlah, yang kata pengacaraku bilang, yang harus aku lakukan sekarang dan nanti adalah pasrah, siapa tahu hakim bisa meringankan hukuman. Hanya dengan cara diam dan menerima, hanya itu kata pengacaraku."Air mata seorang ibu menetes di pipi sedikit. Kasihan sekali dia, baru kali ini aku melihat Ibu menangis se
Maya***"Bu, Maya?" Tiba-tiba sekretaris Mas Yoga menghampiriku yang baru saja beranjak meninggalkan Mas Diwan. Jangan sampai dia salah paham, karena saat ini Mas Diwan masih menatap ke arahku. Dengan keyakinan, kalau sekretaris Mas Yoga akan curiga kalau aku lama ke toilet gara-gara bicara dengan pria itu."Gilang," jawabku dengan santai."Ibu maaf, saya pikir Ibu ke mana, soalnya Ibu ke toilet lumayan lama." Dia beranggapan."Oh enggak apa-apa kok, saya baru selesai lalu lihat Mas itu yang sedang bekerja rajin sekali, lantas saya bicara sebentar dengannya." Aku menjawab tanpa mimik wajah pura-pura."Oh baiklah, Bu. Sepertinya kita pulang saja ya? Urusan sudah selesai." Gilang memberikan saran. Memang urusan kami di sini sudah usai."Iya." Aku manggut-manggut.Gegas aku dipersilahkan jalan terlebih dahulu oleh Gilang. Di belakang pasti Mas Diwan melihat perbeda
Maya***"Dengerin aku dulu ya, Mas. Jadi … aku sebenarnya tadi bicara pada Mas Diwan mengenai Risma. Aku membahas penampilannya yang seakan cari-cari perhatian kamu. Jujur ya, Mas, aku agak risi sekali. Aku berani bicara juga karena Mas Diwan itu tetanggaku, dia juga bukan orang yang begitu asing."Aku benar-benar takut kalau Mas Yoga malah marah. Sebenarnya tak bilang juga bisa, namun siapa yang sangka, ada orang lain yang akan menyampaikan hal ini dengan dilebih-lebihkan."Kamu labrak suami Risma?" duganya."Ya ampun, bukan dilabrak, Mas. Tapi aku dari toilet, kebetulan ada dia, jadi aku bicara. Aku juga rekam semuanya dari awal aku pamit ke toilet sampai dipanggil Gilang, sekretaris kamu. Aku bicara begini takut ada salah paham nanti, Mas. Siapa sangka ada yang menyampaikan kalau aku ngobrol dengan pria lain."Mas Yoga memainkan bibirnya. "Tapi kamu tak ngamuk-ngamuk gitu 'kan? Tak bar-bar maksudnya."
Anang***"Jadi, uang Ibu benar-benar lenyap, Bu? Aku sudah bilang, Ibu jangan mudah terbuai dengan investasi semacam itu. Harkh!""Mau gimana lagi, Nang, nasi sudah menjadi bubur. Tak bisa lagi dibalikin jadi nasi!" sanggah Ibu. Mimik wajahnya kecewa berat sekali. Sepertinya Ibu terpuruk. Bagaimana tidak, aku saja yang mendengarnya amat naik darah.Benar-benar keterlaluan, begitulah kalau ibu tak percaya pada anaknya. Jadi begini, uang habis, mana sebentar lagi rumah pasti disita. Hidupnya nanti bagaimana?"Aku sudah bilang sejak awal sama Ibu."Kuacak rambut kepala ini dengan kesal. Saat ini tatapan Ibu mendarat ke meja dengan ekspresi kekesalan."Tapi kamu juga tak melarang Ibu segitunya. Kamu oke 'kan data Ibu mau bilang investasi," ujar Ibu lagi tak mau disalahkan."Iya, tapi aku juga bilang, hati-hati." Nadaku agak sedikit meninggi."Ya mana tahu bakal kena
Anang***"Pasti dia juga mempertanyakan kenapa ayahnya tak jenguk dan kirimi lagi dia uang ya." Ibu berkeluh kesah.Soal ini ibuku memang tak tahu. Setahu dia, aku memang sering berikan uang bulanan untuk Arya. Aku tak pernah mangkir dari kewajiban. Kenyataan, padahal tak begitu."Ah, sudahlah, Bu. Biarkan saja, toh Arya juga sudah dapat orang tua baru yang lebih kaya. Biarkan saja, anak sudah gede pasti cari ayah kandungnya.""Hem, iya. Biarkan saja mereka biayai Arya sendiri ya. Lalu Ibu harus bagaimana ya? Ibu tak bisa kerja, Nang." "Ya sudah, Ibu pulang saja dulu ke rumah. Ibu bisa berpikiran jernih di sana. Aku di sini tak bisa, Bu. Ibu minta bantuan lah sama paman dan bibi. Mereka pasti ada yang bantu. Dari beberapa saudara Ibu, pasti ada yang sedia bantu."Wajah Ibu lesu sekali. Aku melihat, di tubuh Ibu masih terpasang anting-anting dan juga gelang yang bisa dijual. Itu mungkin bisa ban
Maya***Hari ini aku sengaja ke butik hendak mencari dress karena akan hadiri pertemuan para pengusaha besok. Aku diminta oleh Mas Yoga untuk mencari baju baru yang bagus menurutku. Sekalian aku juga akan membeli pakaian untuknya. Sudah menikah dengan pengusaha, pastilah aku harus hadir menemani. Terutama untuk tampilan, tentunya tak boleh buat keluarga Mas Yoga malu.Tak pernah terpikir sebelumnya kalau aku akan hadir ke event tersebut bersama Mas Yoga. Masih jauh dari mimpi. Namun sekarang, itu bukan mimpi lagi, bakal segera jadi kenyataan. Bahkan, jadi istrinya sudah nyata sekali."Ehm! Kamu … Maya, ya?"Saat aku sedang pilah-pilih, tiba-tiba seorang wanita menyapa. Dia berdandan dengan tampilan yang menarik dengan dress seatas dengkul. Rambutnya dibuat ikal sebawah bahu.Dia mengenaliku, tapi aku tak mengenalinya."Mbak panggil saya?" ujarku heran menunjuk bagian dada sembari melempar senyuman."Ya, aku menyapamu. Siapa lagi! Kenalkan, aku Ratu."Teg!Nama itu pernah rekanku sebu