Tok tok tok!Sore hari aku gegas melangkah ke rumah Risma. Niatku adalah untuk memberi mereka undangan pernikahan. Aku mengharapkan mereka hadir, dan yang lebih penting supaya Risma tak menduga kalau aku kecentilan pada Mas Diwan.Selama dia datang menjadi tetangga baru, mulutnya terus saja ngoceh, dan Mas Diwan malah selalu membelaku. Jelas saja, Risma semakin menganggapku wanita kurang perhatian. Jadi, sepertinya Mas Diwan memang orang baik, namun istrinya saja yang sakit."Ya? Sebentar!"Ada jawaban dari dalam, namun orangnya belum menampakkan diri. Sepertinya hanya ada Risma saja, karena tak kulihat sepeda motor terparkir. Tapi aku sengaja, datang di saat Mas Diwan tak ada, supaya tak difitnah olehnya."Eh, Maya? Ada apa?" Setelah pintu dibukanya, Risma langsung bertanya dengan delikan mata menahan kekesalan. Sepertinya dia itu memang sudah suudzon saja padaku."Kamu orang kantoran ya? Jangan sampai pinjam uang!"Belum apa-apa dia sudah menduga hal buruk. Sebenarnya Indra keenam
PoV Anang***"Halo, Mas Anang?"Tiba-tiba Sindy datang menghampiri ke rumah di siang hari. Ini hari Minggu, jadi aku ada di rumah. "Sindy?" Aku menyapanya balik. Sekarang wanita yang selama ini dekat denganku itu mendekat. Karena pintu terbuka, jadi Sindy bisa langsung nyelonong.Aku tadi ditelepon seseorang dengan cemas. Karena Lukman telah dilaporkan atas korupsi barang yang disuplai ke Halilintar Corps itu. Lukman juga malah menghubungiku setelah dia dinyatakan bersalah oleh bosnya. Tapi aku sudah bicara padanya, dia tinggal ikut saja. Aku akan bantu dia nanti.Katanya dia sedang dalam pemeriksaan. Ibu masih di kamar, dia sepertinya sedang merias diri dengan perhiasan barunya. Kalau tahu ada Sindy, dia pasti terburu-buru."Mas, katanya Om Lukman kena seret kasus korupsi itu ya? Bagaimana ini, Mas? Kamu bisa bantu? Dia itu punya anak dan istri loh. Kamu juga yang ikut dapat uangnya 'kan?" Sindy ternyata telah tahu kalau omnya ditangkap. Aku sudah wanti-wanti pada Lukman supaya t
Kuraih buku undangan yang entah siapa yang akan menikah. Dilihat dari kemasan buku undangan sepertinya orang yang lumayan berada. Tapi, orang sederhana pun di jaman sekarang malah lebih sok kaya."Anang? Ada apa?" Ibu bertanya perihal maksud kedatangan tamu. Namun, tiba-tiba ponsel milikku berdenting. Dengan begitu, pertanyaan Ibu pun hanya kujawab, "undangan, Bu. Eh, sebentar, ada panggilan.""Kalau begitu saya permisi, Pak." Si kurir pamitan."Oh iya, iya."Kurir telah pergi. Aku gegas menerima panggilan tapi sepertinya harus bicara di belakang. Sepertinya orang yang akan bicara serius telah menghubungi. Jangan sampai Sindy tahu.Buku undangan kuletakkan saja di meja. Ibu dan Sindy masih asyik ngobrol. Wanita kalau sudah bicara pasti lupa waktu dan lupa lingkungan."Kamu mau ke mana, Mas?" Sindy heran karena aku mengangkat panggilan menjauh dari mereka."Ah sudahlah, biarin. Sindy, kita belanja yuk! Tante mau, kamu temani Tante belanja."Kedengarannya Ibu dan Sindy akan pergi belanj
PoV Risma***Namaku Risma Antini. Gadis yang dulu sering direbutkan pria semasa SMA dan sekarang telah menikah dengan Mas Diwan, senior dulu.Sebenarnya Mas Diwan dulu pernah berpacaran dengan tetanggaku sekarang yaitu Maya. Tapi, karena entah bagaimana hubungan mereka kandas kudengar. Setelah itu, kudekatilah Mas Diwan yang memiliki paras yang lumayan tampan. Sayang, dia bukan orang konglomerat. Tapi, setidaknya dia juga tak begitu miskin.Setelah aku mendengar Maya menikah dengan manajer dulu itu, lumayan dadaku memanas. Mas Diwan hanya kerja serabutan, dan setelah beberapa bulan, bersyukur dia dapat kerjaan di luar kota. Maka dari itu, kami pindah saja ke sana. Apalah pendidikan Mas Diwan yang hanya diterima sebagai staf super biasa. Itu pun gara-gara orang dalam. Orang yang kenal denganku sejak lama. Kebetulan yang ajak juga dia. Tapi, gara-gara keteledoran petinggi perusahaan, jadinya perlahan perusahaaan i
Mas Diwan sepertinya letih sekali. Tapi seharusnya dia bisa cari kerja yang lebih bagus."Mas, teman kita yang SMA 'kan banyak yang jadi staf di kantor. Jadi staf administrasi, yang kayak gitu." Aku protes."Ya, kalau di kantor 'kan biasanya juga begitu. Dari bawah dulu, nanti mungkin saja kalau kinerja bagus, akan ada pengangkatan ke posisi yang lebih bagus lagi."Lanjut Mas Diwan membuka pakaian ganti pakai kaos oblong. Sedangkan aku masih duduk bingung, malu dengan orang lain. Apalagi si Maya, jangan-jangan jabatan dia di kantoran bisa lebih bagus. Dia juga lulusan SMA, tapi sepertinya punya posisi bagus. Apa dia dulu juga cleaning service ya? Ya, bisa jadi. Sepertinya dia sekarang sudah kerja hanya dengan duduk-duduk manis saja."Daripada aku nggak kerja, lebih baik aku ambil saja pekerjaan ini. Kita itu perlu makan."Sepertinya Mas Diwan sudah yakin ingin jadi tukang bersih-bersih. Tapi, di mana dia bekerja? Jangan sampai si Maya tahu dengan posisi suamiku. Bisa malu.Sebenarnya M
"Kamu sebenarnya kalau ke sini terus hanya untuk debat ya, Mas, mending kamu enggak usah ke sini. Kalau kamu mau kasih apa-apa ke Arya, jangan basa-basi dulu ke aku. Kasih aja kenapa? Kamu semakin lama semakin merendahkan aku ya? Sekarang cepat pergi atau aku lapor Pak RT."Wah, sepertinya benar, hubungan mereka tak baik. Ada perdebatan hingga kini Maya masuk menutup pintu dengan keras seperti dibanting.Sepertinya Mas Anang kecewa dan kesal sekali. Ini kesempatan bagiku. Aku harus mendekati dirinya segera.Dengan cepat rambut dan pakaian kurapikan untuk mencuri pandangannya."Eh, Mas? Tunggu, Mas?"Aku mencegah Mas Anang yang akan segera pulang dan sawi inu hendak masuk ke mobil mewahnya. Dia pun menoleh dengan kesal."Siapa kamu? Ada apa?" tanyanya.Ini pria lumayan kelas ikan Mas. Sepertinya kalau aku dekati, lumayan. "Ehm, gini, Mas. Saya tadi lihat Mas dicampakkan oleh Maya. Saya prihatin sekali. Padahal Mas itu tampan, kaya raya dan baik."Aku berusaha cari perhatian sembari memp
PoV Risma***Aku tak boleh lengah, Mas Diwan harus dibuntuti, jangan sampai dia tergoda janda kembang dan sok boncengin. Lagian aku heran, baju saja sok cakep, tapi jalan kaki. Sepertinya Mas Diwan sudah sampai depan. Ekornya masih kulihat. Maksudnya, tas yang ia gendong. Bukan ekor monyet."Mbak? Lagi apa?"Tiba-tiba tetangga menepuk pundakku yang sedang ngendap-ngendap melihat Mas Anang yang akan menyeberang toleh kiri kanan. Dia sepertinya sendiri."Eh, Mbak Wina. Itu, saya mau lihatin suami saya. Takutnya digangguin janda gatal bekas pacarnya. Takutnya di belakang saya ada yang ikut nebeng!" jawabku agak sedikit meledek.Karena kami sudah saling kenal sejak dulu, jadi tak canggung lagi. Meskipun baru beberapa hari kembali, tapi kenal sudah sejak dulu."Siapa?" ujarnya heran menautkan kedua alis."Itu, janda sebelah rumah," hajarku."Eh, maksudnya Mbak Maya?" Dia pun sudah menduga. Memang si Maya itu pasti janda hot di gang ini. Belum aku menjawab pun dia sudah tahu."Ya, siapa
"Ada apa ini?"Tiba-tiba istri Cing Saleh keluar. Dia hampiri aku yang sedang adu mulut dengan ponakannya."Enggak tahu, Cing. Dia ini sengaja masuk ke halaman rumah ini hanya untuk menghinaku saja. Ya sudah, Maya pamit, Cing!" Maya malah dengan santai nyelonong masuk ke dalam mobil tanpa menghiraukanku lagi. Belagu sekali dia."Iye, hati-hati." Kini tatapan istri Cing Shaleh beralih padaku."Ya sudah, pegi loe! Loe bikin rusuh! Anak baru juga! Sejak dulu loe memang suka cari ribut. Sama kayak emak loe di seberang sana!" Jleb!Istri Cing Shaleh malah memakiku. Dasar tua!"Heh, biasa aja dong, Cing! Ncing gitu amat! Lagian nih ya, jaman sekarang masih ada pesugihan. Bisa aja si Maya ponakan Ncing ini pesugihan!""Sembarangan loe ngomong! Mulut ape comberan tuh hah!" Gagang sapu menunjuk mulutku. Dasar orang tua kurang sehat.TidtSuara klakson mobil yang dikendarai Maya membuatku seketika loncat. Hampir saja aku tersenggol! Sombong sekali.Sekarang mobil yang ia tumpangi telah kelu