PoV Maya***"Ehm!"Saat aku sedang duduk menikmati secangkir kopi di pagi hari, tiba-tiba ada suara deheman dari arah samping. Tentu saja aku sudah tahu dari nadanya itu. Dia Risma.Aku yang sedang duduk sembari membaca buku yang berjudul soal mantan pun mendadak terganggu. Namun, biar saja kuabaikan. Pura-pura tak dengar saja. Kenapa merasa terganggu? Karena dehemannya itu menyentuh telinga sekali. Seperti di sengaja."Ehm! Yang mau pengantinan. Di rumah aja nih? Gak belanja ya? Kapan belanjanya? Kok gak kelihatan? Setelah pulang kerja ada aja di rumah."Benar saja, Risma nyeletuk lagi di halaman rumahnya sambil melirik ke arahku. Kerjaan dia sepertinya tak ada lagi selain membuat telinga orang sakit.Tapi, mumpung moodku sedang bagus, biar saja kulayani dia. Apa sebenarnya yang ingin dia katakan?"Eh, Risma? Sini, mau ikut ngopi?" tawarku pura-pura manis.Dia malah mendelikkan mata. "Hemh, gaya sok orang kaya. Pagi-pagi ngopi sambil baca buku. Kerjaan di rumah udah beres belum?" p
"Eh, tunggu! Kamu belum jawab! Kamu beneran itu mobil kamu nyicil atau bagaimana? Kenapa kamu gak bawa mobilnya ke sini?" cecarnya beralih tema. Hal yang sepertinya membuat dia penasaran karena gayaku dulu berbeda dengan sekarang."Memangnya kenapa?" balasku."Ya, aku harus tahu jawabannya dong. Apa mau aku gosipin kamu pesugihan?" lontarnya dengan kata-kata yang bodoh. Di jaman serba canggih seperti ini dia terus saja terpikir pesugihan."Em, kamu sepertinya enggak usah tahu deh, Ris. Aku takutnya nanti kamu ngiri lagi."Seketika bola mata Risma melebar sembari mengulum emosi. Kalau tadi dia menjawab aku tak usah tahu, oke, dia pun tak harus tahu, apalagi masalah kendaraan. Dia pikir aku tak bisa membalasnya?"Sombong sekali kamu ya?" lontarnya seperti terbakar api emosi."Kalau menurut kamu aku sombong, enggak apa-apa. Bukan urusanku. Tapi kamu perlu tahu, yang nggak boleh itu, sombong dengan hal yang nggak benar kamu miliki dan enggak benar dengan kenyataannya. Contoh, cuma karyawa
PoV Yoga***Nama lengkapku Volando Yoga Halilintar. Putra kedua dari pasangan orang tua yang begitu menyayangiku dengan cara mereka sendiri.Dua saudaraku laki-laki dan perempuan. Yang pertama Mas Dimas, dia sudah beristri dan sudah memiliki momongan pula. Bisnis di bidang travel dan juga pemilik beberapa tempat wisata.Yang paling bontot itu adikku yang bernama Mia. Dia masih berada di bangku kuliah masuk ke fakultas yang ia inginkan sendiri, yaitu menjadi seorang design interior.Kami, tiga anak sudah diarahkan ke bidang yang kami kuasai masing-masing. Orang tua selalu memfasilitasi. Anehnya, tak ada satu anak pun yang ingin terjun untuk mengabdi pada negara. Seperti menjadi guru, dosen, PNS, atau yang lainnya. Mungkin karena sejak kecil kami hanya mengenal dunia usaha saja.Tentu banyak sekali hal yang bisa aku ceritakan tentang keluarga. Tapi, ini yang paling terpenting dalam seja
PoV YogaHal yang benar bagiku. Ketika diliputi cinta, apapun dan bagaimanapun, dunia serasa milik berdua. Tapi, mampukah kita masih ada dalam lingkaran kasih sayang saat ada badai melanda?Saat ini kutatap binar wajah sang Ibu yang di bola matanya mulai memunculkan bulir-bulir bening. Tapi tak sampai jatuh."Mah, apa menurut Mama aku begitu?" ucapku sendu dengan perasaan was-was. Ia tersenyum. "Yang tahu hanya hati kamu, Nak. Andai Mama bisa robek dadamu untuk lihat hatimu, baru Mama tahu. Mama cerita ini supaya kamu bisa dapat pelajaran dari pengalaman Mama. Tak ada wanita yang ingin menjadi seorang janda. Bahkan, Mama juga melihat sepertinya Maya tidak pernah memaksakan ingin dinikahi kamu. Jadi, kamulah yang harus bertanggung jawab atas pilihanmu. Menjaga hati wanita itu nampak mudah, tapi saat kondisi kurang stabil, pikiran itu kadang didominasi oleh emosi. Ingat, jangan pernah bicara banyak saat emosi kalau kamu tak mampu. Bisa saja itu han
PoV Yoga"Eh, ayok! Ayok!" Mama dengan riweuh keluar lebih dulu dengan Papa. Aku sekarang masih meluangkan waktu untuk menatap bayangan wajah di cermin. Kupikir siapa, ternyata itu aku. Dia, adalah si lajang yang sebentar lagi akan mengakhiri statusnya."Permisi, Mas. Mari! Kita akan segera berangkat!"Tim sudah memintaku untuk beranjak. Kakak dan adikku sepertinya juga sudah menunggu di mobil. Tak lupa para grooms juga, mereka yang akan menemaniku nanti.***Langkah kaki telah kubawa turun dari kendaraan yang dihias dengan bunga-bunga. Perlahan, kuinjakkan sepatu di lantai marmer untuk memasuki gedung.Banyak sekali tamu di luar yang baru saja datang dan yang sedang menunggu kedatanganku. Pastinya, calon istriku sudah ada di dalam sana.Para wartawan juga menyempatkan untuk mengabadikan momen ini, fotografer wedding pun hampir saja kalah.Belum juga bertemu dengan calon istri, dadaku sudah naik turun tak karuan
PoV Anang***"Anang! Ayok kita berangkat!" Ibu sudah riweuh mengajak ke kondangan. Sebenarnya yang diundang ke pesta bos besar hanya aku dan pasangan saja. Kalau kuselipkan Ibu mungkin juga tak apa-apa."Bentar, Bu!"Aku pura-pura sibuk padahal masih terus berpikir, lebih baik ke pesta bos dulu atau ke nikahan Maya. Hati ini benar-benar bimbang. Entah kenapa mendengar mantan istri menikah malah ada keresahan seperti ini."Bu, gimana kalau kita ke nikahan Maya dulu saja! Jalannya juga searah. Aku ingin tahu, sebagus apa sih pestanya!" ucapku dengan nada meledek.Ibuku malah kaget. "Hah? Oh iya Ibu hampir lupa kalau mantan menantu juga menikah hari ini ya? Memangnya kenapa jalannya sama? Bukankah rumah si Maya itu bukan ke arah sana ya?" heran Ibu."Iya, Bu. Dia resepsi sewa gedung!" jawabku agak lumayan kesal, tapi ini bukan cemburu.
POV Anang***"Iya. Katanya di resto mewah depan sana."Sindy teramat kaget. "Hah? Di resto mewah, Mas? Yang bener?" Kekagetan Sindy sekarang sudah basi. Tapi memang di depan kami ada banyak sekali petugas yang mengatur lalu lintas. Sepertinya sedang hajatan pernikahan juga. Dan setelah kuselidiki juga kutoleh papan iklan, ternyata memang itu resto mewah yang dimaksud di buku undangan Maya."Sayang, apa itu ya? Mantan istriku menikah di sana? Kok alamatnya sama yang diberikan orang kantor? Jalan sini juga."Aku benar-benar teramat keheranan. Kenapa bisa lokasi yang dikirimkan oleh karibku tadi ada di jalan ini pula. "Oh, atau mungkin memang pesta pemilik saham terbesar perusahaaan tempat kamu kerja di resto itu, Mas? Itu 'kan mewah banget, sepertinya pengawalan pun ketat. Seperti ada pejabat-pejabat gitu."Tunggu, mendengar komentar Sindy entah kenapa otakku jadi bingung. "Tapi, i
"Pak Bos?" Dia juga menyapa bos kami."Baiklah, ayok masuk! Saya dan istri duluan!"Saat ucapan pamit terlontar dari mulut bos, entah kenapa jantungku malah berdegup kencang. Ini pernikahan mantan istriku, kenapa mereka ada di sini?"Eh, Pak Wisnu kenapa ada di sini juga ya? Diundang juga sama mantan istri saya?" tanyaku segera karena heran. Berharap saja mereka diundang oleh majikan si Yoga."Loh, Pak Anang bagaimana? Ya kita 'kan diundang. Seluruh petinggi perusahaan kita itu diundang 'kan? Pak Anang ke sini untuk hadiri pernikahan Pak Lintar 'kan?"Jleb!Kedua bola mataku melebar sembari melempar pertanyaan lewat mimik wajah dengan Ibu juga Sindy."P–Pak–Pak Lin–Lintar?" Aku tergugup setengah mati.Anehnya, Pak Wisnu dan istri malah manggut-manggut. "Ya. Memang kenapa? Maksud Pak Anang mantan istri itu bagaimana ya?" herannya mele