Holla, selamat sore. Masihkah ada yang baca?
Gesekan koin yang kasar melawan kulitnya meninggalkan bekas kemerahan baru, namun Naura tidak peduli. Ia terus melanjutkan, berpikir bahwa tanda itu akan tampak seperti bekas kerokan biasa. Setelah beberapa saat, ia berhenti. Napasnya sedikit terengah, sementara kulit lehernya kini terlihat lebih merah dari sebelumnya. Namun, tanda asli itu sudah tidak begitu mencolok, atau setidaknya ia berharap demikian. Naura menatap hasil usahanya dengan cemas, mendekatkan wajah ke cermin untuk memastikan semuanya. “Semoga ini cukup,” kata Naura pelan, seperti doa. Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa bekas itu bukan satu-satunya jejak yang ditinggalkan Reval. Beberapa waktu telah berlalu, Naura membuka pintu kamarnya perlahan. Ia tahu bahwa Bi Mirna mungkin masih ada di sekitar. Wanita itu sangat perhatian, tetapi terkadang perhatian yang diberikan justru membuat Naura merasa tidak nyaman, terutama dalam situasi seperti ini. Suara dering telepon di ruang tamu membuat Naura sedik
Dion tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengalihkan pandangan dan berjalan menuju meja, menarik kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan kasar. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi dan menghembuskan napas panjang. “Nggak usah nanya-nanya hal yang nggak penting, Nau,” jawab Dion, nadanya terdengar ogah-ogahan.Naura menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai membara di dadanya. “Aku nanya karena aku peduli, Mas. Mas pulang malam, penampilan berantakan, terus langsung marah-marah. Apa yang sebenarnya terjadi?”Dion diam, tidak segera menjawab. Namun, sikapnya yang diam hanya membuat Naura semakin curiga. Ia berjalan mendekat, berdiri tepat di depan suaminya. “Mas, aku tanya baik-baik. Jangan diam saja seperti ini,” desaknya.Akhirnya, Dion menegakkan tubuhnya. Ia menatap Naura dengan ekspresi datar, lalu berkata dengan suara pelan tapi cukup tajam. “Aku kalah lagi.”Naura terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Dion. Kalah? Apa maksudnya? Tapi kemudian, pema
“Saya … ingin mengajukan pinjaman, Pak.” Naura berdiri beberapa langkah dari meja, meremas jemarinya yang basah oleh keringat. Suaranya sedikit bergetar. Reval menghentikan tangannya yang sedari tadi sibuk menandatangani berkas-berkas. Tatapannya langsung tertuju pada Naura, tatapan yang sulit diartikan. CEO duda itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tak berubah. “Berapa yang kamu butuhkan?” “Dua miliar, Pak.” Ruangan itu mendadak hening, seolah waktu berhenti. Naura menggigit bibir, menunggu reaksi yang tidak kunjung datang. Reval akhirnya tertawa kecil, suara yang tidak membawa kehangatan. “Kamu sadar betapa besar angka itu, kan?” “Saya sadar, Pak. Tapi saya tidak punya pilihan lain,” jawab Naura, nadanya memohon. Reval mengangguk pelan, lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke arah jendela besar di belakang meja, melihat pemandangan kota yang sibuk. “Kamu tahu, Naura, perusahaan tidak seperti lembaga amal. Kami tidak memberikan uang begitu saja tanpa a
Naura harus ke rumah sakit ketika mendapatkan pesan dari Dion, suaminya, yang mengatakan kalau ibu mertuanya kritis di ICU. Saat di perjalanan menuju rumah sakit, ponsel Naura berbunyi, menampilkan pemberitahuan bahwa uang sebesar empat miliar sudah dikirimkan ke rekening Naura. “I-ini … banyak sekali.” Naura menutup mulutnya, ia terkejut karena Reval memberikan dua kali lipat dari yang Naura pinjam. Selama di dalam taksi, Naura hanya bisa menangis, takdirnya kini sudah ada di depan mata. Sesampainya di ruang gawat darurat, Naura menemukan ibu mertuanya terbaring lemah di balik kaca ruang ICU. Perempuan tua itu adalah satu-satunya yang pernah memperlakukan Naura seperti keluarga sejak ia menikah dengan Dion. Hati Naura mencelos melihat kondisinya, tapi sebelum ia bisa mendekat lebih jauh, suara Dion terdengar dari belakang. “Uangnya mana?” tanyanya, tanpa basa-basi, tanpa sedikit pun empati di wajahnya. Naura berbalik, menyerahkan amplop tebal yang ia bawa. Dion langsung mera
Reval melangkah mendekati Naura tanpa ekspresi. “Aku di sini. Tidak ada yang perlu kamu sembunyikan,” ujar Reval singkat, sambil menyentuh bahu Naura dengan lembut, namun tidak menunjukkan kehangatan. Naura menatap Reval, terkejut oleh kata-kata itu. Sentuhan di bahunya terasa aneh, dingin, seolah tidak ada emosi di baliknya. Rasa cemas menyelimuti dirinya, namun ia tetap terdiam. Namun, ia merasa tak mampu menolak. Perlahan ia menarik napas, berusaha meredam gemuruh jantungnya yang semakin cepat. Pandangannya tetap tertunduk, enggan bertemu mata Reval. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Naura mulai membuka kancing bajunya satu per satu. Setiap helai pakaian yang terlepas menambah rasa terpapar yang semakin dalam, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Namun tatapan dingin Reval tetap menembusnya, seolah menahan setiap niat untuk mundur. Ketika pakaian terakhir terlepas, Naura merasa tubuhnya hampir tidak terlindungi, meskipun hanya ada sedikit kain yang menutupi tubuhnya
Naura memandangnya dengan ekspresi bingung, masih mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Ciuman mendadak itu, kehadiran Reval yang mendominasi, dan kalimat terakhirnya tentang malam esok membuatnya dilanda kegelisahan yang memuncak. “Tunggu … apa maksudmu besok malam adalah malam yang sesungguhnya?” tanya Naura, suaranya terdengar lemah, hampir berbisik. Reval menoleh sekilas, kemudian mendengus kecil. Ia berjalan menuju pintu kamar hotel tanpa menjawab langsung. Ketika ia membuka pintu untuk membuat Naura keluar dari kamarnya, ekspresinya masih sama, dingin dan penuh kontrol. “Kita belum selesai, Naura. Sampai apa yang kulakukan padamu setimpal dengan uang yang sudah kuberikan,” katanya dengan nada yang begitu tenang, namun penuh tekanan. Naura merasa seperti ditampar oleh kata-kata itu. Bibirnya sedikit terbuka, ingin membalas, tetapi ia tak menemukan kekuatan untuk melakukannya. Ia hanya berdiri mematung beberapa detik sebelum akhirnya berjalan keluar dengan langkah be
“Naura! Mana sarapan? Apa kau mau aku kelaparan?” teriak Dion dari ruang tamu, nadanya penuh kemarahan. Suara teriakan Dion di pagi hari membangunkan Naura dari tidurnya. Naura membuka matanya dengan berat. Tubuhnya terasa lemah, dan setiap gerakan memunculkan rasa nyeri yang tajam. Dengan langkah tertatih, ia berusaha bangkit dari tempat tidur. Rasa nyeri di selangkangan menjadi pengingat pahit akan tadi malam, sebuah malam yang ia jalani dengan terpaksa, tanpa ruang untuk dirinya sendiri. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa seperti ditarik oleh beban yang tak kasatmata, beban dari perasaan hampa yang terus-menerus menghantuinya. ‘Aku harus bertahan,’ pikirnya, menguatkan diri meski hatinya terasa semakin remuk. Ia menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan letih. Air dingin mengalir di kulitnya, tapi tidak cukup untuk menghapus perasaan hampa yang terus menghantuinya. Setelah selesai, Naura mengenakan pakaian sederhana dan segera ke dapur untuk m
Dion merasakan bahwa ucapan lelaki di hadapannya ini tidak main-main. Dilihat dari penampilannya, Reval bukan lelaki sembarangan. Seketika nyali suami Naura tersebut menciut. Ia menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba untuk menghindar.“Sial!” umpat Dion seraya mundur selangkah. Namun tatapan matanya kepada Naura menunjukkan kemarahan.Lelaki itu segera melangkah pergi dari sana dengan perasaan kalut. “Apa yang kalian lihat? Bubar!” teriaknya frustrasi kepada beberapa pengunjung rumah sakit yang masih menjadi penonton setia.Sementara Naura berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir.“Pak Reval ... kenapa Bapak ada di sini?” tanya Naura merasa serba salah. Ia sedikit merasa malu dan merasa trenyuh.“Memangnya hanya kamu yang memiliki kepentingan di rumah sakit?” Reval tersenyum meremehkan. Wajah dinginnya membuat Naura merasa kesal. Ia pikir lelaki itu ...Naura menggeleng perlahan menatap punggung Reval yang semakin menjauh. Angannya sempat melayang. Terbuai akan kepedulian
Dion tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengalihkan pandangan dan berjalan menuju meja, menarik kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan kasar. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi dan menghembuskan napas panjang. “Nggak usah nanya-nanya hal yang nggak penting, Nau,” jawab Dion, nadanya terdengar ogah-ogahan.Naura menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai membara di dadanya. “Aku nanya karena aku peduli, Mas. Mas pulang malam, penampilan berantakan, terus langsung marah-marah. Apa yang sebenarnya terjadi?”Dion diam, tidak segera menjawab. Namun, sikapnya yang diam hanya membuat Naura semakin curiga. Ia berjalan mendekat, berdiri tepat di depan suaminya. “Mas, aku tanya baik-baik. Jangan diam saja seperti ini,” desaknya.Akhirnya, Dion menegakkan tubuhnya. Ia menatap Naura dengan ekspresi datar, lalu berkata dengan suara pelan tapi cukup tajam. “Aku kalah lagi.”Naura terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Dion. Kalah? Apa maksudnya? Tapi kemudian, pema
Gesekan koin yang kasar melawan kulitnya meninggalkan bekas kemerahan baru, namun Naura tidak peduli. Ia terus melanjutkan, berpikir bahwa tanda itu akan tampak seperti bekas kerokan biasa. Setelah beberapa saat, ia berhenti. Napasnya sedikit terengah, sementara kulit lehernya kini terlihat lebih merah dari sebelumnya. Namun, tanda asli itu sudah tidak begitu mencolok, atau setidaknya ia berharap demikian. Naura menatap hasil usahanya dengan cemas, mendekatkan wajah ke cermin untuk memastikan semuanya. “Semoga ini cukup,” kata Naura pelan, seperti doa. Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa bekas itu bukan satu-satunya jejak yang ditinggalkan Reval. Beberapa waktu telah berlalu, Naura membuka pintu kamarnya perlahan. Ia tahu bahwa Bi Mirna mungkin masih ada di sekitar. Wanita itu sangat perhatian, tetapi terkadang perhatian yang diberikan justru membuat Naura merasa tidak nyaman, terutama dalam situasi seperti ini. Suara dering telepon di ruang tamu membuat Naura sedik
Naura mencoba tersenyum kecil, meskipun dalam hati ia merasa panik. Ia mengusap lehernya dengan canggung sambil mencari alasan yang masuk akal. “Em, ini mungkin kena gigit serangga, Bi. Soalnya rumah ayah Naura melewati ladang pertanian juga.” Bi Mirna masih menatapnya dengan dahi yang sedikit berkerut, tetapi akhirnya mengangguk. “Oh, begitu ya, Nyonya? Kalau begitu nanti bibi siapkan salep, siapa tahu bisa membantu.” “Tidak perlu, Bi. Terima kasih ya? Sekarang Naura mau ke kamar dulu.” Naura langsung bergegas meninggalkan dapur sebelum Bi Mirna bisa bertanya lebih lanjut. Ia merasakan tatapan wanita paruh baya itu masih mengikuti punggungnya hingga ia masuk ke dalam kamar. Begitu pintu kamar tertutup, Naura menyandarkan tubuhnya pada daun pintu dan menghembuskan napas panjang. Ia berusaha menenangkan detak jantung yang masih tidak beraturan. Rasa panas di wajahnya belum sepenuhnya hilang. “Apa yang kupikirkan tadi?” gumamnya pada diri sendiri. Ia menggeleng-gelengkan kepala
“Iya, Bu. Maaf baru bisa pulang sekarang,” jawab Naura, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ibu Lastri hanya mengangguk kecil, tetapi tatapan matanya tak lepas dari Naura, seperti tengah menilai sesuatu. Suasana kamar yang hening hanya diisi oleh detak jarum jam di dinding dan suara napas mereka berdua. “Duduklah, Naura,” ujar Ibu Lastri sambil menunjuk kursi di dekat ranjang. Naura mengikuti perintah itu, menarik kursi perlahan sebelum duduk di atasnya. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi rasa penasaran bercampur gugup terus menghantuinya. “Kata Bibi, Ibu mau bicara penting, ya? Ada apa, Bu? Apakah ada masalah?” tanya Naura penuh antusias. “Naura,” suara Ibu Lastri memecah keheningan. Tatapannya tajam seperti sedang mencurigai menantunya. “Apa kamu sangat dekat dengan bos kamu?” Deg! Naura membeku. Pertanyaan itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Pikirannya langsung melayang ke berbagai kemungkinan. Bagaimana mungkin Ibu Lastri menanyakan hal itu? Bukanka
Naura menggeliat pelan, matanya perlahan terbuka. Langit-langit kamar yang asing segera mengingatkannya pada tempat di mana ia berada. Akan tetapi, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang berat menekan pinggangnya. Ia menoleh perlahan dan melihat wajah Reval yang tertidur lelap, begitu dekat hingga ia bisa merasakan helaan napas pria itu di kulitnya. Naura terpaku sejenak, mengamati wajah Reval yang damai dalam tidurnya. Tidak ada tanda-tanda kekakuan atau dinginnya sikap yang biasa ia tunjukkan. Kini, ia hanya seorang pria yang kelelahan, dengan tangan kokohnya yang memeluk Naura erat, seakan enggan melepaskannya bahkan dalam tidur. Perlahan, Naura mencoba memindahkan tangan itu. Gerakannya sangat hati-hati, nyaris tanpa suara. Tapi begitu ia berhasil membebaskan diri, perutnya berbunyi keras, memecah keheningan kamar. Ia memegang perutnya dengan ekspresi malu, meskipun tidak ada yang mendengar kecuali dirinya sendiri. “Lapar sekali…,” gumamnya pelan. Pandangannya melirik pintu k
Ketika bibir mereka bersentuhan untuk kedua kalinya, itu tidak terasa tergesa-gesa. Kali ini, Reval memimpin dengan kehangatan yang membuat dunia di sekitar Naura seperti lenyap. Naura terperangah, tetapi tidak melawan. Bibir Reval bergerak lembut, seolah memberi kesempatan pada Naura untuk memilih, namun setiap gerakan kecil darinya seolah meruntuhkan pertahanan yang coba Naura bangun. Jantungnya berdetak begitu keras, membuat pikirannya kacau. Ia tidak tahu apa yang lebih menyesakkan. Sensasi dari ciuman itu atau konflik dalam dirinya yang enggan mengakuinya. Tangan Reval bergerak perlahan, menyentuh sisi wajah Naura dengan ujung jarinya, seperti memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana. Sentuhan itu membuat Naura meremang, lututnya lemas hingga ia harus menggenggam sprei untuk mencari keseimbangan. Reval menekan sedikit lebih dalam, menciptakan irama yang membuat napas Naura tersengal. Tangannya yang lain kini menyentuh pinggang Naura, menahannya agar tetap di tempat. T
Langkah Naura terasa berat ketika memasuki kamar Reval. Hatinya masih bimbang, tetapi perintah lelaki itu membuatnya tak punya pilihan. Sesampainya di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sosok Reval yang terbaring di sofa. Napasnya tertahan sejenak. Reval tertidur dengan posisi yang tampak tidak nyaman. Tubuhnya setengah terkulai, dengan kepala bersandar pada sisi sofa dan satu tangan menjuntai ke lantai. Dada pria itu naik turun perlahan, menunjukkan kedamaian yang jarang Naura lihat darinya. Wajah Reval, yang biasanya penuh intensitas dan otoritas, tampak begitu tenang dan lelah. Sepertinya dugaan Naura benar. Reval pasti kecapekan. Naura ingat betapa sibuknya pria itu tadi malam, terutama ketika dirinya yang merasa tidak enak badan. “Apa mungkin dia menjagaku?” pikirnya tiba-tiba. Namun, Naura segera menggelengkan kepala, menepis pikiran itu. Tidak mungkin. Reval peduli sampai sejauh itu. Memangnya dia siapa? Naura mengamati sekeliling kamar, mencoba mengalihkan pik
“Tidak, saya baik-baik saja,” jawab Naura cepat, mencoba tersenyum untuk menutupi kegelisahannya. Meski begitu, Naura menangkap sesuatu dalam tatapan mata Reval. Lelaki itu sepertinya terlihat lelah. Sementara Reval masih diam, memperhatikan wajah Naura yang tampak memerah. Lelaki itu mengangkat alis, lalu duduk di sofa dengan santai. Tatapannya tak kehilangan ketajaman. Suasana di ruangan itu mendadak terasa lebih tegang, seolah-olah Naura sedang berdiri di depan hakim yang siap memutuskan nasibnya. “Benarkah?” tanya Reval kemudian, nadanya datar, tetapi ada sesuatu yang membuat jantung Naura berdetak lebih cepat. “Sejak tadi aku melihatmu gelisah. Ada apa?” Naura menelan ludah. Tangannya yang saling menggenggam di depan tubuhnya semakin erat. Ia tahu kebohongannya pagi tadi kepada ibu mertuanya masih menghantuinya. Meski begitu, ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di depan Reval. “Sudah saya bilang. Saya tidak ada apa-apa Pak Reval,” jawab Naura lagi, kali ini lebih teg
Naura membiarkan ponsel berdering beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Pesan masuk menyusul, membuat Naura terpaksa memeriksanya segera. Dia membuka pesan itu dengan gerakan lambat, seolah-olah kata-kata di dalamnya adalah beban yang harus dia pikul. Mata Naura menyusuri kalimat demi kalimat dalam pesan tersebut. Amira mengatakan bahwa dia membutuhkan uang untuk membayar biaya administrasi ujian yang sudah dekat. Tidak hanya itu, Amira juga menyebutkan bahwa ayah mereka harus segera kontrol ke dokter dan membeli obat. Naura terdiam. Pesan itu seolah menjadi palu yang menghantam hatinya. Amira tidak pernah meminta jika tidak dalam keadaan benar-benar membutuhkan. Gadis itu terlalu mandiri untuk ukuran seorang siswa yang masih bergantung pada keluarganya. Dan sekarang, permintaannya mencerminkan kepanikan yang tersembunyi di balik kata-kata sederhana. Naura menghela napas panjang. Pikirannya langsung melayang ke rekeningnya yang mulai menipis. Bulan ini dia belum menerima gaji