Malam, author udah ngantuk berat nih. ༎ຶ‿༎ຶ
Naura mencoba tersenyum kecil, meskipun dalam hati ia merasa panik. Ia mengusap lehernya dengan canggung sambil mencari alasan yang masuk akal. “Em, ini mungkin kena gigit serangga, Bi. Soalnya rumah ayah Naura melewati ladang pertanian juga.” Bi Mirna masih menatapnya dengan dahi yang sedikit berkerut, tetapi akhirnya mengangguk. “Oh, begitu ya, Nyonya? Kalau begitu nanti bibi siapkan salep, siapa tahu bisa membantu.” “Tidak perlu, Bi. Terima kasih ya? Sekarang Naura mau ke kamar dulu.” Naura langsung bergegas meninggalkan dapur sebelum Bi Mirna bisa bertanya lebih lanjut. Ia merasakan tatapan wanita paruh baya itu masih mengikuti punggungnya hingga ia masuk ke dalam kamar. Begitu pintu kamar tertutup, Naura menyandarkan tubuhnya pada daun pintu dan menghembuskan napas panjang. Ia berusaha menenangkan detak jantung yang masih tidak beraturan. Rasa panas di wajahnya belum sepenuhnya hilang. “Apa yang kupikirkan tadi?” gumamnya pada diri sendiri. Ia menggeleng-gelengkan
Gesekan koin yang kasar melawan kulitnya meninggalkan bekas kemerahan baru, namun Naura tidak peduli. Ia terus melanjutkan, berpikir bahwa tanda itu akan tampak seperti bekas kerokan biasa. Setelah beberapa saat, ia berhenti. Napasnya sedikit terengah, sementara kulit lehernya kini terlihat lebih merah dari sebelumnya. Namun, tanda asli itu sudah tidak begitu mencolok, atau setidaknya ia berharap demikian. Naura menatap hasil usahanya dengan cemas, mendekatkan wajah ke cermin untuk memastikan semuanya. “Semoga ini cukup,” kata Naura pelan, seperti doa. Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa bekas itu bukan satu-satunya jejak yang ditinggalkan Reval. Beberapa waktu telah berlalu, Naura membuka pintu kamarnya perlahan. Ia tahu bahwa Bi Mirna mungkin masih ada di sekitar. Wanita itu sangat perhatian, tetapi terkadang perhatian yang diberikan justru membuat Naura merasa tidak nyaman, terutama dalam situasi seperti ini. Suara dering telepon di ruang tamu membuat Naura sedik
Dion tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengalihkan pandangan dan berjalan menuju meja, menarik kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan kasar. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi dan menghembuskan napas panjang. “Nggak usah nanya-nanya hal yang nggak penting, Nau,” jawab Dion, nadanya terdengar ogah-ogahan. Naura menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai membara di dadanya. “Aku nanya karena aku peduli, Mas. Mas pulang malam, penampilan berantakan, terus langsung marah-marah. Apa yang sebenarnya terjadi?” Dion diam, tidak segera menjawab. Namun, sikapnya yang diam hanya membuat Naura semakin curiga. Ia berjalan mendekat, berdiri tepat di depan suaminya. “Mas, aku tanya baik-baik. Jangan diam saja seperti ini,” desaknya. Akhirnya, Dion menegakkan tubuhnya. Ia menatap Naura dengan ekspresi datar, lalu berkata dengan suara pelan tapi cukup tajam. “Aku kalah lagi.” Naura terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Dion. Kalah? Apa maksudnya? Tapi kemudian
Tatapan Naura tajam namun penuh kebingungan, menunggu penjelasan lebih lanjut. Ibu Lastri menghela napas panjang. Matanya, yang biasanya tegas, kini terlihat sendu. Ia menatap menantunya dengan rasa bersalah yang begitu nyata, meski tidak diucapkannya secara langsung. “Ibu yang terlalu memanjakan Dion, membuat dia berubah seperti itu. Ibu salah karena menjadi beban untuk kamu.” “Ibu, jangan berkata seperti itu. Semua ini bukan salah ibu.” Suara Naura terdengar putus asa, seperti mencoba meyakinkan bukan hanya Ibu Lastri, tetapi juga dirinya sendiri. Namun, wanita paruh baya itu menggeleng lemah. Ia duduk di samping Naura, tangannya yang sedikit gemetar menggenggam tangan menantunya. “Dari awal kamu menikah dengan Dion, ibu tahu kamu bukan orang yang Dion pilih. Tapi ibu tetap memaksa. Ibu hanya berpikir ... kamu akan membawa kebaikan untuk keluarga ini. Dan sekarang, lihat apa yang terjadi.” Kata-kata itu menggelayut di udara, berat, penuh penyesalan. Naura menunduk, mena
“Mas, kamu istirahat saja dulu, ya. Kamu terlihat sangat lelah,” ucap Naura pelan, mencoba mengalihkan perhatian Dion. Ia menunduk, berharap Dion tidak menyadari perubahan ekspresinya. Dion tidak melepaskan genggamannya. Sebaliknya, ia menarik Naura lebih dekat. Wajahnya semakin mendekat ke wajah Naura, membuat wanita itu semakin merasa terpojok. “Aku tidak terlalu lelah untuk ... sesuatu,” bisiknya, senyuman licik tersungging di bibirnya. Naura memundurkan kepalanya, tetapi cengkeraman Dion di tangannya terlalu kuat. “Mas, aku lagi nggak enak badan,” ucapnya terbata. Dion terdiam sejenak, tatapannya berubah, menyisir wajah Naura dengan penuh selidik. Lalu, matanya jatuh pada leher Naura. Kerutan tipis muncul di dahinya. “Itu kenapa? Kamu beneran sakit?” tanya Dion, menunjuk tanda merah di leher Naura. Naura mengangguk lemah. Ia berharap jika Dion segera melepaskannya. Dion memiringkan kepala, alisnya terangkat. Tatapannya penuh kecurigaan, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa
“Kenapa dia tiba-tiba minta saya?” gumam Naura pelan sambil berdiri dari kursinya. Naura berjalan menuju pantry kecil di sudut ruangan kantor. Tangannya cekatan mengambil cangkir putih bersih dengan logo perusahaan, lalu mulai menakar bubuk kopi. Pikiran Naura melayang. Sejak kapan seorang CEO memintanya untuk membuatkan kopi? Biasanya, Sheila yang mengurus urusan remeh-temeh seperti ini. Saat menuangkan air panas ke dalam cangkir, Naura teringat dengan ucapan Sheila tadi. “Pak Reval nggak suka yang terlalu manis.” Dengan hati-hati, ia mengambil sendok kecil dan menakar gula. Satu sendok saja, pikirnya. Ia mengaduk perlahan, aroma kopi menguar, memenuhi ruang kecil itu. “Naura, cepat! Pak Reval nggak suka nunggu lama-lama!” Suara Sheila tiba-tiba terdengar dari belakang, membuat Naura hampir menjatuhkan sendok. “Iya, iya, ini sudah selesai,” balas Naura sambil membawa cangkir kopi itu di atas nampan kecil. Napasnya terasa sedikit berat ketika ia berjalan menuju ruangan Reva
“Pak .…” Suara Naura bergetar, mencoba mencari celah untuk keluar dari percakapan ini. “Pak Reval, saya rasa kita harus fokus pada pekerjaan saja. Saya … akan mempersiapkan laporan mingguan seperti yang Bapak minta.” “Laporan bisa menunggu,” potong Reval dengan nada rendah namun mengintimidasi. “Tapi aku belum selesai dengan urusan kita kemarin.” Naura melangkah mundur, menjauh dari aura dominasi pria itu. Namun Reval tidak memberinya kesempatan. Dengan langkah tenang, ia terus mendekat hingga punggung Naura bersandar pada dinding. Napas Naura memburu, matanya menatap Reval dengan campuran rasa takut dan marah. “Pak Reval,” Naura akhirnya memberanikan diri untuk bicara. “Saya rasa kita sudah terlalu jauh. Saya mohon, jangan buat semuanya menjadi lebih rumit.” Reval tertawa kecil, namun tawa itu tidak terdengar menyenangkan di telinga Naura. “Rumit? Menurutku semuanya sederhana, Naura. Kau hanya perlu menurut, dan semuanya akan baik-baik saja.” Naura menelan ludah, mencoba meredam
Naura mencoba mengatur napasnya yang mulai tidak beraturan. Tangannya mengepal di dadanya, berusaha menenangkan degup jantung yang terasa semakin kencang. Ia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bersikap. “Kamu tahu aku tidak suka ditolak, Naura.” Kata-kata itu mengunci gerakan Naura. Perlahan, ia mulai bergerak, meski dengan ragu dan kikuk. Reval tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun, seolah mengawasi setiap gerakan Naura dengan penuh perhatian. “Lihat aku,” ucap Reval. Naura mendongak, matanya bertemu dengan mata Reval yang gelap. Ia merasa seolah-olah terperangkap dalam tatapan itu, tidak mampu berpaling meski keinginannya berkata lain. Reval tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak sepenuhnya ramah. Tangannya terangkat, menyentuh pinggang Naura untuk mengarahkan gerakannya. “Kamu mulai mengerti,” gumamnya pelan. Pikiran Naura bergejolak. Ia ingin menolak, ingin berhenti, tetapi tubuhnya tidak mendengarkan. Ia terjebak dalam situasi yang tidak
“Ada yang ingin kamu sampaikan?” tanya Naura, sedikit ragu.Ervan membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Raut wajahnya seakan menyimpan sesuatu, tetapi akhirnya ia hanya menggeleng.“Tidak, Ibu Naura.”Naura menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis.“Baiklah. Kalau begitu, aku pamit dulu.”Naura segera melangkah pergi, ia berusaha fokus menyelesaikan pekerjaannya.Ketika jam makan siang tiba, Naura memilih untuk menyendiri. Wanita itu sengaja mencari restoran agak jauh dari kantor.Setiap langkah terasa begitu berat, tetapi Naura tetap berjalan. Suasana restoran itu tidak terlalu ramai, seperti yang ia harapkan.Ia memilih meja di sudut ruangan. Tempat yang biasa ia duduki bersama Reval.Sebuah meja kecil di dekat jendela, dengan pemandangan jalanan kota yang sibuk.Tempat yang penuh kenangan.Naura menghela napas panjang. Kali ini, tidak ada suara tawa Reval, tidak ada tatapan tajamnya, tidak ada obrolan ringan yang biasanya mengisi waktu makan siangnya.Yang ada hanyalah dirinya s
Ervan menelan ludah. Ia berdeham dengan canggung. Dinda masih belum bisa berpikir dengan jernih. Wajahnya terasa panas, dan ia bisa merasakan jari-jari Ervan masih dengan lembut menopang punggungnya. “A-aku ... aku baik-baik saja,” gumam Dinda pelan. Namun, tubuhnya masih dalam dekapan Ervan. Dan itu membuatnya semakin salah tingkah. Ervan menyadari hal itu dan segera melepaskan Dinda dengan gerakan hati-hati. “Maaf. Aku refleks.” Dinda buru-buru berdiri tegak dan merapikan bajunya, berharap Ervan tidak menyadari betapa panasnya wajahnya saat ini. “T-tidak, tidak apa-apa. Terima kasih ... kalau saja tadi kamu tidak menangkapku, mungkin aku sudah babak belur.” Ervan tersenyum kecil, tetapi matanya masih menyiratkan sisa keterkejutan. “Aku kebetulan lewat dan melihatmu hampir jatuh. Instingku langsung bergerak.” Dinda mengangguk kikuk, merasa bodoh karena tidak tahu harus berkata apa. Sementara itu, Ervan juga tampak sama canggungnya. Ia menggaruk tengkuknya, sesuatu yang selalu
Naura merasakan aliran darahnya seakan berhenti sesaat. Callista? Ia menatap layar ponselnya sekali lagi. Nama yang tertera di sana memang Reval, tetapi suara yang ia dengar jelas milik Callista. Dinda yang masih berdiri di sampingnya menatap penuh tanya, tetapi Naura terlalu sibuk mengendalikan napasnya yang tiba-tiba terasa berat. “Halo? Naura?” suara Callista kembali terdengar, kali ini lebih lembut, tetapi menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Naura menelan ludah. “Iya, aku Naura.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Hanya terdengar embusan napas Callista sebelum akhirnya wanita itu kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih dalam. “Aku ingin bertemu denganmu.” Naura mengernyit. “Bertemu denganku? Untuk apa?” Dinda kini semakin penasaran, matanya menatap Naura penuh keingintahuan, tetapi Naura mengangkat satu tangan, memberi isyarat agar Dinda menunggu. “Ada sesuatu yang harus aku bicarakan denganmu,” ujar Callista. “Aku rasa … ini penting.” Naura menghe
Naura menarik napas dalam, mencoba mengontrol gejolak yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Ia menatap Dinda dengan ekspresi setenang mungkin. Dinda menatap Naura dengan mata berbinar, tampak begitu bersemangat menceritakan gosip yang tengah hangat diperbincangkan di kantor. “Nona Callista.” Kata itu seperti palu godam yang menghantam dada Naura. Seketika, suara di sekitarnya memudar. Udara yang tadi bisa ia hirup dengan leluasa kini seakan menipis, menyisakan rongga kosong di dadanya. Callista? Tangannya mencengkeram tali tas lebih erat, berusaha menstabilkan dirinya yang tiba-tiba merasa limbung. Seharusnya ia tidak terkejut. Callista memang selalu berada di sekitar Reval, dan wanita itu bukan orang asing di kehidupan mereka. Tapi mendengarnya langsung seperti ini … tetap saja membuatnya sesak. “Naura, kamu kenapa?” suara Dinda membuyarkan lamunannya. Naura segera menampilkan senyum tipis. “Em, tidak apa-apa kok, Din. Aku masuk dulu ya?” Ia melangkah cepat menuju lift, berhara
Naura sontak sedikit menjauhkan kepalanya. Ada sesuatu yang terasa janggal. Ia menarik napas pelan, mencoba meredakan kegelisahan dalam hatinya. “Kenapa mendadak, Mas?” tanya Naura menatap Dion melalui cermin. Dion tersenyum samar. “Nggak ada alasan khusus, Sayang. Aku hanya ingin menebus waktu yang terbuang. Selama ini aku terlalu sibuk dengan urusan kerja, sampai lupa membahagiakanmu.” Naura mengerutkan kening. Sejak kapan Dion sibuk kerja? Setahu Naura, Dion lebih sering menghilang tanpa kabar. Malam-malam pulang larut atau bahkan tidak pulang sama sekali. Sekarang, tiba-tiba berbicara soal liburan berdua? Naura menatap bayangan suaminya di cermin. Ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami dari sikap Dion pagi ini. “Jadi bagaimana? Kamu mau kan?” Dion berbisik lagi, tangannya kini bergerak naik, menyentuh bahu Naura dengan lembut. Naura mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi tanda tanya. “Kita lihat nanti saja, Mas. Aku juga perlu mempersiapkan semuanya. Selain itu, aku be
Kedua mata Naura melirik jam digital di atas nakas. 01.45 AM. Malam sudah sangat larut. Naura menyingkap selimut, menurunkan kakinya ke lantai. Hawa dingin segera menyergap kulitnya, tetapi bukan itu yang mengganggunya. Ada perasaan tidak nyaman yang menekan dadanya, sebuah firasat yang sulit dijelaskan. Ia bangkit dan berjalan ke arah pintu, membuka perlahan. Koridor rumah gelap, hanya ada sedikit cahaya dari lampu di ruang tengah. Nafasnya tertahan saat menatap sekeliling. Rumah terasa terlalu sepi. “Mas Dion?” panggilnya pelan, suara seraknya nyaris tenggelam dalam keheningan malam. Tidak ada jawaban. Naura melangkah ke dapur, berharap suaminya ada di sana untuk mengambil minum seperti yang sering dilakukan. Namun, dapur kosong. Tidak ada jejak Dion di sana. Tidak ada gelas yang diletakkan di meja. Bahkan kulkas masih tertutup rapat, tidak menunjukkan tanda-tanda baru saja digunakan. Dadanya mulai terasa berat. Nafasnya tersendat. Matanya kemudian melirik ke arah
Callista berusaha menarik tangannya, tetapi genggaman Dion terlalu kuat. “Lepaskan aku! Ini tidak termasuk dalam kesepakatan kita!” Dion terkekeh, matanya berkilat dengan sesuatu yang sulit diartikan. “Kata siapa?” Callista mendelik, wajahnya mengeras. “Aku tidak pernah menawarkan diriku, Dion. Aku hanya ingin menyelesaikan urusan denganmu, bukan melayani keinginan kotormu.” Dion menyipitkan matanya. “Oh, jadi kamu berani menentangku?” Callista berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu lebih cepat. Ia tahu Dion, mengenalnya lebih baik daripada siapa pun. Jika pria itu sudah menunjukkan sisi gelapnya, maka tidak ada gunanya melawan dengan keras kepala. Tetapi Callista bukan wanita lemah. Ia menarik napas panjang, mencoba melepaskan tangannya dengan sedikit lebih lembut. “Dion, dengarkan aku. Aku tidak mau ada masalah. Kita sudah punya kesepakatan, bukan?” Dion tidak bergeming. Matanya menatap Callista dengan penuh penilaian sebelum bibirnya melengkung dalam sen
Dion mengerjap, matanya membesar. “Callista?” Wanita itu tersenyum miring, lalu dengan anggun memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan. “Apa kabar kamu, Dion? Sudah lama aku tidak melihatmu.” Dion melepaskan tangannya perlahan, membiarkan Callista berdiri tegak kembali. Matanya mengamati wanita itu dengan penuh kewaspadaan. Callista masih seperti dulu. Berpenampilan mewah, tubuhnya dibalut gaun hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Parfum mahalnya masih tercium kuat, mengingatkan Dion pada masa-masa yang ingin ia lupakan. “Aku pikir kamu masih di luar negeri,” gumam Dion. Callista menyeringai. “Aku pulang beberapa bulan lalu. Kau tidak tahu?” Dion menggeleng. “Tentu saja kamu tidak tahu. Aku tidak menghubungimu.” Callista melipat tangan di depan dadanya. “Kamu terlalu sibuk dengan istrimu, kan?” Dion menatap Callista tajam. Wanita itu terkekeh pelan. “Kamu ingat, Dion? Waktu itu kamu membawa kabur uangku.” Dion mengepalkan tangan. “Aku tidak punya pilihan.” “Dan
Dion terdiam sejenak. “Naura lebih banyak menghabiskan waktu dengan bosnya. Aku yakin itu anak Reval. Bukan anakku.” Lastri tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Dion! Istri kamu baru saja mengandung anak pertama kalian, dan alih-alih bersyukur, kamu malah menuduhnya?!” Dion menutup matanya sejenak. “Bu, aku tidak menuduh. Seminggu ini Naura tidak pulang ke rumah. Dia tidur bersama Reval, Bu. Bagaimana aku bisa yakin jika anak itu adalah anakku, Bu?” Lastri terdiam. Dion melanjutkan. “Aku melihat semuanya. Mereka selalu bertemu diam-diam, berbicara dengan cara yang berbeda. Dan lebih dari itu ....” Dion mengusap wajahnya dengan kasar. “Naura berubah sejak saat itu, Bu. Sejak dia mendapatkan uang untuk membayar operasi ibu. Dia yang mulai terlihat gelisah, pikirannya sering melayang. Dan malam ini, ketika dokter mengumumkan kehamilannya, aku melihat sesuatu di matanya.” Lastri mempersempit matanya. “Apa yang kamu lihat?” Dion menatap ibunya lurus-lurus. “Keraguan.” Dion me