Sore.... hmm, di sini dingin banget. hujan... dan kemarin mau update malah ketiduran. (╯︵╰,)
Dion tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengalihkan pandangan dan berjalan menuju meja, menarik kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan kasar. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi dan menghembuskan napas panjang. “Nggak usah nanya-nanya hal yang nggak penting, Nau,” jawab Dion, nadanya terdengar ogah-ogahan. Naura menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai membara di dadanya. “Aku nanya karena aku peduli, Mas. Mas pulang malam, penampilan berantakan, terus langsung marah-marah. Apa yang sebenarnya terjadi?” Dion diam, tidak segera menjawab. Namun, sikapnya yang diam hanya membuat Naura semakin curiga. Ia berjalan mendekat, berdiri tepat di depan suaminya. “Mas, aku tanya baik-baik. Jangan diam saja seperti ini,” desaknya. Akhirnya, Dion menegakkan tubuhnya. Ia menatap Naura dengan ekspresi datar, lalu berkata dengan suara pelan tapi cukup tajam. “Aku kalah lagi.” Naura terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Dion. Kalah? Apa maksudnya? Tapi kemudian
Tatapan Naura tajam namun penuh kebingungan, menunggu penjelasan lebih lanjut. Ibu Lastri menghela napas panjang. Matanya, yang biasanya tegas, kini terlihat sendu. Ia menatap menantunya dengan rasa bersalah yang begitu nyata, meski tidak diucapkannya secara langsung. “Ibu yang terlalu memanjakan Dion, membuat dia berubah seperti itu. Ibu salah karena menjadi beban untuk kamu.” “Ibu, jangan berkata seperti itu. Semua ini bukan salah ibu.” Suara Naura terdengar putus asa, seperti mencoba meyakinkan bukan hanya Ibu Lastri, tetapi juga dirinya sendiri. Namun, wanita paruh baya itu menggeleng lemah. Ia duduk di samping Naura, tangannya yang sedikit gemetar menggenggam tangan menantunya. “Dari awal kamu menikah dengan Dion, ibu tahu kamu bukan orang yang Dion pilih. Tapi ibu tetap memaksa. Ibu hanya berpikir ... kamu akan membawa kebaikan untuk keluarga ini. Dan sekarang, lihat apa yang terjadi.” Kata-kata itu menggelayut di udara, berat, penuh penyesalan. Naura menunduk, mena
“Mas, kamu istirahat saja dulu, ya. Kamu terlihat sangat lelah,” ucap Naura pelan, mencoba mengalihkan perhatian Dion. Ia menunduk, berharap Dion tidak menyadari perubahan ekspresinya. Dion tidak melepaskan genggamannya. Sebaliknya, ia menarik Naura lebih dekat. Wajahnya semakin mendekat ke wajah Naura, membuat wanita itu semakin merasa terpojok. “Aku tidak terlalu lelah untuk ... sesuatu,” bisiknya, senyuman licik tersungging di bibirnya. Naura memundurkan kepalanya, tetapi cengkeraman Dion di tangannya terlalu kuat. “Mas, aku lagi nggak enak badan,” ucapnya terbata. Dion terdiam sejenak, tatapannya berubah, menyisir wajah Naura dengan penuh selidik. Lalu, matanya jatuh pada leher Naura. Kerutan tipis muncul di dahinya. “Itu kenapa? Kamu beneran sakit?” tanya Dion, menunjuk tanda merah di leher Naura. Naura mengangguk lemah. Ia berharap jika Dion segera melepaskannya. Dion memiringkan kepala, alisnya terangkat. Tatapannya penuh kecurigaan, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa
“Kenapa dia tiba-tiba minta saya?” gumam Naura pelan sambil berdiri dari kursinya. Naura berjalan menuju pantry kecil di sudut ruangan kantor. Tangannya cekatan mengambil cangkir putih bersih dengan logo perusahaan, lalu mulai menakar bubuk kopi. Pikiran Naura melayang. Sejak kapan seorang CEO memintanya untuk membuatkan kopi? Biasanya, Sheila yang mengurus urusan remeh-temeh seperti ini. Saat menuangkan air panas ke dalam cangkir, Naura teringat dengan ucapan Sheila tadi. “Pak Reval nggak suka yang terlalu manis.” Dengan hati-hati, ia mengambil sendok kecil dan menakar gula. Satu sendok saja, pikirnya. Ia mengaduk perlahan, aroma kopi menguar, memenuhi ruang kecil itu. “Naura, cepat! Pak Reval nggak suka nunggu lama-lama!” Suara Sheila tiba-tiba terdengar dari belakang, membuat Naura hampir menjatuhkan sendok. “Iya, iya, ini sudah selesai,” balas Naura sambil membawa cangkir kopi itu di atas nampan kecil. Napasnya terasa sedikit berat ketika ia berjalan menuju ruangan Reva
“Pak .…” Suara Naura bergetar, mencoba mencari celah untuk keluar dari percakapan ini. “Pak Reval, saya rasa kita harus fokus pada pekerjaan saja. Saya … akan mempersiapkan laporan mingguan seperti yang Bapak minta.” “Laporan bisa menunggu,” potong Reval dengan nada rendah namun mengintimidasi. “Tapi aku belum selesai dengan urusan kita kemarin.” Naura melangkah mundur, menjauh dari aura dominasi pria itu. Namun Reval tidak memberinya kesempatan. Dengan langkah tenang, ia terus mendekat hingga punggung Naura bersandar pada dinding. Napas Naura memburu, matanya menatap Reval dengan campuran rasa takut dan marah. “Pak Reval,” Naura akhirnya memberanikan diri untuk bicara. “Saya rasa kita sudah terlalu jauh. Saya mohon, jangan buat semuanya menjadi lebih rumit.” Reval tertawa kecil, namun tawa itu tidak terdengar menyenangkan di telinga Naura. “Rumit? Menurutku semuanya sederhana, Naura. Kau hanya perlu menurut, dan semuanya akan baik-baik saja.” Naura menelan ludah, mencoba meredam
Naura mencoba mengatur napasnya yang mulai tidak beraturan. Tangannya mengepal di dadanya, berusaha menenangkan degup jantung yang terasa semakin kencang. Ia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bersikap. “Kamu tahu aku tidak suka ditolak, Naura.” Kata-kata itu mengunci gerakan Naura. Perlahan, ia mulai bergerak, meski dengan ragu dan kikuk. Reval tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun, seolah mengawasi setiap gerakan Naura dengan penuh perhatian. “Lihat aku,” ucap Reval. Naura mendongak, matanya bertemu dengan mata Reval yang gelap. Ia merasa seolah-olah terperangkap dalam tatapan itu, tidak mampu berpaling meski keinginannya berkata lain. Reval tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak sepenuhnya ramah. Tangannya terangkat, menyentuh pinggang Naura untuk mengarahkan gerakannya. “Kamu mulai mengerti,” gumamnya pelan. Pikiran Naura bergejolak. Ia ingin menolak, ingin berhenti, tetapi tubuhnya tidak mendengarkan. Ia terjebak dalam situasi yang tidak
Naura membuka matanya perlahan, wajahnya masih memerah. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata tidak kunjung keluar. Tangannya gemetar saat ia mencoba untuk menutupi wajahnya. Melihat Naura terkulai lemas, Reval menarik napas panjang dan mulai merapikan pakaian Naura dengan tenang, memastikan tidak ada yang terlihat berantakan. Lelaki itu tidak berkata apa-apa, hanya menatap Naura yang masih memejamkan mata dengan wajah memerah. Setelah memastikan semuanya rapi, Reval berdiri, mengenakan jasnya kembali, dan melangkah keluar dari ruangan pribadinya. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan Naura yang masih berusaha mengatur napas dan menenangkan debaran jantungnya. Beberapa waktu telah berlalu, Naura bangkit dengan langkah pelan. Tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai emosi yang bercampur aduk. Rasa malu, bingung, dan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu bagaimana menggambarkannya. “Aku harus segera kembali ke ruanganku,” lirih Naura berusaha menguatka
Reval tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia melirik sekilas ke arah Naura, memberikan isyarat yang jelas. “Naura, kamu boleh pergi sekarang.” Kalimat itu seperti belati yang menembus hati Naura. Suara Reval dingin dan datar, tidak seperti tadi saat berbicara dengannya. Ada sesuatu yang berubah dan Naura tidak tahu apa. Perintah itu cukup jelas. Naura menunduk sopan. “Baik, Pak.” Naura berbalik dengan langkah perlahan, mencoba meninggalkan ruangan dengan tenang meski hatinya bergemuruh. Namun, sebelum mencapai pintu, ia tak bisa menahan diri untuk melirik ke belakang. Callista sudah berdiri sangat dekat dengan Reval, tangannya dengan santai menyentuh bahu pria itu. Sementara itu, Reval sudah duduk kembali di kursi kebesarannya dengan sikap dingin, tidak menunjukkan ketertarikan maupun penolakan. Setelah berjalan keluar dari ruangan Reval, langkah Naura melambat. Ada ribuan pikiran yang berputar di kepalanya. Siapa Callista? Kenapa dia memanggil Reval dengan nada akrab seper
Reval menghela napas, lalu menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya. “Aku mencintaimu, Naura,” ucapnya serius. “Aku tidak akan menikahimu hanya karena tanggung jawab. Aku ingin bersamamu karena aku memang menginginkannya. Lebih dari apapun.” Naura menatap mata Reval, mencari kepastian di sana. Dan ia menemukannya. Kejujuran. Ketulusan. Tapi tetap saja... “Tidak semudah itu, Pak Reval,” bisiknya. “Ada banyak hal yang harus saya pikirkan.” Reval melepaskan tangannya dari wajah Naura, kemudian menghela napas panjang. “Lalu berapa lama lagi kamu mau berpikir?” tanya Reval dengan nada frustrasi. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. “Apa kamu takut?” tanya Reval lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap Reval dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Ya,” jawabnya jujur. Reval terdiam. Naura menghela napas berat, suaranya lirih ketika berkata, “Saya takut mengambil keputusan yang salah. Takut jika perasaan ini hanya sesaat. Takut jika nanti saya justru menyakiti B
Naura mengangguk cepat. Reval mendesah, lalu melambai pada pelayan. “Pesan satu es krim cokelat.” “Tunggu, Pak Reval! Saya maunya yang stroberi.” Reval terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Oke, stroberi.” Tak butuh waktu lama, es krim datang. Naura langsung menyendoknya dengan bahagia, tapi tiba-tiba ia mengernyit. Reval memperhatikan ekspresinya dengan waspada. “Kenapa lagi?” Naura menggigit bibirnya. “Sepertinya saya ingin yang cokelat.” Reval menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa lepas. Naura menatapnya kesal. “Bapak kenapa tertawa?” “Kamu mulai bertingkah seperti ibu hamil pada umumnya.” Naura mendelik. “Saya memang hamil, kan?” Reval mengangkat bahu dengan senyum lebar. “Ya, tapi sekarang kamu benar-benar kelihatan seperti bumil yang sering ngidam aneh-aneh.” Naura mendengkus, tapi diam-diam pipinya merona. Reval memperhatikannya, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Naura di atas meja. “Apa?” tanya Naura bingung. Reval te
Naura menggeleng cepat. “Tidak. Saya sudah ganti baju yang lebih nyaman. Masa Bapak tetap dengan pakaian basah seperti itu? Saya tidak bisa membiarkan itu.” Reval menatapnya lama, menyadari bahwa wanita di depannya ini benar-benar keras kepala. “Jadi kalau aku tidak ganti baju, kamu tidak mau makan?” tanya Reval sekali lagi untuk memastikan. Naura mengangguk mantap. Reval mendesah panjang. “Baiklah,” ujar Reval pasrah. Naura tersenyum puas. “Ayo kita cari baju untuk Bapak.” Mereka kembali berkeliling dan kali ini, Naura yang mengambil alih pencarian. Ia dengan serius memilihkan pakaian untuk Reval, membandingkan warna dan bahan dengan ekspresi sangat fokus, seolah sedang mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Reval hanya bisa mengamati dari belakang, tersenyum kecil melihat keseriusan Naura. “Bagaimana dengan ini?” Naura mengangkat sebuah kaus berwarna hitam dengan gambar kelapa dan tulisan besar Life’s a Beach. Reval melirik kaus itu, lalu menaikkan satu alisnya. “Aku t
Reval masih menatap Naura setelah ciuman panjang mereka terhenti. Napas keduanya masih tersengal, dan mata mereka tetap terkunci dalam keheningan yang berbicara lebih dari seribu kata. Perlahan, Reval mengangkat tangannya, membelai lembut pipi Naura dengan ujung jemarinya. Jari-jarinya menyusuri pipi halus itu dengan penuh kelembutan, lalu bergerak menyelipkan helai rambut yang tertiup angin ke belakang telinga Naura. “Aku mencintaimu, Naura.” Suaranya rendah, dalam, namun tegas. Tidak ada keraguan di sana. Naura membeku. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin berkata sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Kata-kata Reval begitu tiba-tiba, begitu nyata, hingga Naura tidak siap untuk menghadapinya. Reval memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan ekspresi Naura yang kebingungan. “Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?” tanyanya lagi, suaranya lebih lembut kali ini. Naura menunduk. Jemarinya saling meremas di atas pangkuannya. Jantungnya berdegup begitu cepat hingga ia
Ekspresi Reval mengeras. “Itu bukan urusan kita, Naura.” “Tapi dia masih tak sadarkan diri—” “Dia akan baik-baik saja. Ada dokter dan perawat di sini. Naura, kamu tidak perlu merasa bertanggung jawab atas seseorang yang tidak pernah memikirkan perasaanmu.” Naura terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Reval yang membuat hatinya bergetar. Seakan pria itu bukan hanya berbicara tentang Callista, tetapi juga tentang Dion. Ia tahu Reval benar. Callista bukan tanggung jawabnya. Dion juga bukan. Namun, rasa iba itu tetap ada, menggantung di sudut hatinya. “Saya tidak ingin pergi dalam keadaan seperti ini,” gumamnya. Reval menghembuskan napas panjang. “Naura.” Ia meraih bahu gadis itu, menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu tetap di sini, apa yang akan berubah?” Naura menggigit bibir. Ia tidak bisa menjawab. “Kamu hanya akan terus terjebak dalam rasa sakit dan keraguan.” Suara Reval melembut. Kini Naura merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti perasaannya. Reval berbicara dengan n
Sebuah tepuk tangan nyaring terdengar di ruangan itu. “Jadi ini semua perbuatan Mama?” ujar Reval, suaranya rendah tetapi penuh tekanan. Wanita paruh baya yang masih duduk itu tersentak. Wajahnya yang semula tenang kini dipenuhi keterkejutan. “Reval! Ka–kamu ...” “Kenapa, Ma?” Reval melangkah maju, ekspresinya dingin. “Terkejut karena aku dan Naura mendengar pembicaraan kalian?” Di belakang Reval, Naura berdiri dengan tubuh menegang. Jantungnya berdetak kencang, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata dokter dan mama Reval masih terngiang di telinganya. Dion dan Callista memang berselingkuh. Bukan jebakan. Mereka benar-benar mengkhianati dirinya. Mama Reval hanya berusaha menutupi fakta itu dengan kebohongan lain. Ruangan itu terasa semakin menyempit. Napas Naura tersengal, seakan udara mendadak menipis. Dadanya berdenyut, bukan hanya karena kekecewaan, tetapi juga karena rasa bodoh yang terus menyergap. “Jadi ...” Suara Naura bergetar. “Tidak ada yang menj
Naura tertawa kecil, getir. Matanya kembali menatap Dion. “Bukankah saya bodoh?” Suaranya bergetar. “Saya berusaha percaya bahwa dia pria yang baik, bahwa dia adalah orang yang bisa saya cintai tanpa takut dikhianati lagi. Tapi lihat sekarang ... ternyata saya tidak lebih dari seorang wanita bodoh yang terus saja berharap pada sesuatu yang sia-sia.” Suara Naura pecah di akhir kalimat. Dan saat itu, pertahanannya runtuh. Tangannya menutup wajahnya, tubuhnya bergetar hebat menahan isakan. Reval tak bisa lagi hanya diam. Tanpa ragu, ia menarik Naura ke dalam pelukannya. Naura semula memberontak, kedua tangannya mendorong dada Reval, tetapi pria itu tak goyah. “Lepaskan,” ucapnya lirih, suaranya teredam di dada Reval. “Tangismu tidak akan membuat semua ini berubah, Naura.” Reval semakin mengeratkan pelukannya. Naura kembali mencoba melawan, tetapi kekuatannya sudah habis. Ia akhirnya menyerah. Tangannya mengepal di dada Reval, lalu tanpa bisa ditahan lagi, ia menangis sejadi-jad
Koper milik Naura tergeletak begitu saja. Wanita itu tidak lagi peduli. Tangannya gemetar saat memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas, napasnya tersengal. Ia baru saja menerima sebuah kabar yang menghantamnya lebih keras dari apa pun. Dion. Ditemukan di kamar hotel. Bersama seorang wanita. Tak sadarkan diri. Keadaannya … tak berbusana. Perut Naura terasa seperti dipukul keras. Otaknya berusaha mencerna, tapi semuanya terasa begitu absurd, begitu menyakitkan. Tangannya melambai, menghentikan taksi yang melintas. Tanpa ragu, ia masuk dan menyebutkan satu tujuan. Rumah sakit. Sepanjang perjalanan, bayangan Dion berputar di pikirannya. Pria yang selama ini menjadi harapan terakhirnya, tempatnya berpulang setelah semua yang terjadi dengan Reval. Namun sekarang, seolah takdir kembali menertawakannya. Air mata sudah berlinang di pipinya. Ia tak peduli. Taksi berhenti dengan rem mendadak di depan rumah sakit. Naura bergegas keluar, hampir tersandung karena langkahnya yang terbu
Jantung Naura berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menegakkan duduknya, menatap wajah wanita paruh baya itu dengan perasaan tak menentu. “Ada apa dengan Mas Dion, Bu?” tanyanya hati-hati. Ibu Lastri menghela napas. Tangannya saling bertaut, pertanda bahwa ia sedang berusaha menyusun kata-kata. “Tadi Dion sempat menghubungi Ibu. Katanya dia sangat sibuk dengan pekerjaan, jadi tidak bisa menjemputmu.” Naura mengerutkan kening. “Kenapa Mas Dion nggak bilang langsung kepadaku, Bu? Dihubungi juga susah.” Ibu Lastri terdiam sesaat. “Em, itu….” Naura menangkap kegugupan di raut wajah wanita itu. Matanya yang biasanya lembut kini seperti menyimpan sesuatu. “Ada apa, Bu?” desaknya, nada suaranya sedikit lebih tinggi dari yang ia maksudkan. Ibu Lastri tersenyum tipis, tapi senyumnya terasa tidak natural. “Mungkin sinyalnya sedang buruk, Nak.” Naura terdiam, berusaha mencerna jawaban itu. Tapi sesuatu dalam dirinya berteriak bahwa ada yang janggal. Ia menatap wajah wanita itu le