Siang :) yang dingin ..... bantu kasih bintang lima dan ulasannya kakakku..... ;D
Naura membuka matanya perlahan, wajahnya masih memerah. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata tidak kunjung keluar. Tangannya gemetar saat ia mencoba untuk menutupi wajahnya. Melihat Naura terkulai lemas, Reval menarik napas panjang dan mulai merapikan pakaian Naura dengan tenang, memastikan tidak ada yang terlihat berantakan. Lelaki itu tidak berkata apa-apa, hanya menatap Naura yang masih memejamkan mata dengan wajah memerah. Setelah memastikan semuanya rapi, Reval berdiri, mengenakan jasnya kembali, dan melangkah keluar dari ruangan pribadinya. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan Naura yang masih berusaha mengatur napas dan menenangkan debaran jantungnya. Beberapa waktu telah berlalu, Naura bangkit dengan langkah pelan. Tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai emosi yang bercampur aduk. Rasa malu, bingung, dan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu bagaimana menggambarkannya. “Aku harus segera kembali ke ruanganku,” lirih Naura berusaha menguatka
Reval tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia melirik sekilas ke arah Naura, memberikan isyarat yang jelas. “Naura, kamu boleh pergi sekarang.” Kalimat itu seperti belati yang menembus hati Naura. Suara Reval dingin dan datar, tidak seperti tadi saat berbicara dengannya. Ada sesuatu yang berubah dan Naura tidak tahu apa. Perintah itu cukup jelas. Naura menunduk sopan. “Baik, Pak.” Naura berbalik dengan langkah perlahan, mencoba meninggalkan ruangan dengan tenang meski hatinya bergemuruh. Namun, sebelum mencapai pintu, ia tak bisa menahan diri untuk melirik ke belakang. Callista sudah berdiri sangat dekat dengan Reval, tangannya dengan santai menyentuh bahu pria itu. Sementara itu, Reval sudah duduk kembali di kursi kebesarannya dengan sikap dingin, tidak menunjukkan ketertarikan maupun penolakan. Setelah berjalan keluar dari ruangan Reval, langkah Naura melambat. Ada ribuan pikiran yang berputar di kepalanya. Siapa Callista? Kenapa dia memanggil Reval dengan nada akrab seper
Setelah pintu tertutup, suasana ruangan kembali hening. Reval menghela napas panjang, memijat pelipisnya sejenak sebelum mengambil tempat di kursinya. Pikirannya melayang pada Naura yang tadi meninggalkan ruangan dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Matanya melirik ke arah dokumen di atas meja, tetapi fokusnya terganggu oleh bayangan wajah Naura. Reval menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. Tangannya tanpa sadar mengepal, seolah berusaha menahan sesuatu yang tidak ingin ia akui. Di luar ruangan, Callista berjalan dengan langkah cepat, sepatu hak tingginya beradu keras dengan lantai. Amarah membara di dadanya, tetapi di balik itu, ada rasa sakit yang menusuk. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar ditolak oleh pria yang selalu ia anggap sebagai tantangan. “Aku tidak akan membiarkan hal ini begitu saja,” gumam Callista pelan, matanya menyipit dengan tekad. “Reval, kamu akan menyesal telah meremehkan aku.” Callista berhenti di lorong kantor, mengeluarkan pons
Dinda mendongak, menatap Naura dengan tatapan yang sulit diartikan. Perpaduan antara rasa kesal, simpati, dan sedikit keraguan. “Kamu belum dengar gosip terbaru, Naura?” tanyanya balik dengan suara yang bergetar. Naura menggeleng lemah, tidak tahu apa yang sedang terjadi. “Gosip apaan?” Dinda mendesah berat, tampak mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara lebih lanjut. “Sheila dan yang lain … mereka sedang membicarakan sesuatu tentang kamu,” ujar Dinda akhirnya, nadanya rendah tetapi penuh tekanan. Naura merasakan darahnya mengalir dingin. “Membicarakan aku?” ulangnya, memastikan ia tidak salah dengar. Dinda mengangguk tegas. “Ya, mereka menyebarkan gosip di pantry. Sheila bilang kamu itu ... simpanan Pak Reval.” Kata-kata itu seperti petir yang menyambar kepala Naura. Ia terdiam, tubuhnya kaku, dan pikirannya seolah berhenti bekerja. “Apa?” suara Naura nyaris tak terdengar, lebih mirip bisikan. Dinda melangkah mendekat, meletakkan tangan di bahu Naura dengan gerakan
Seketika udara di dalam ruangan terasa sesak, seperti menindih pundaknya dengan beban yang tak terlihat. Naura membiarkan keheningan menyelimutinya. Namun, pikiran-pikiran itu tak bisa dibungkam. Kata-kata dalam pesan tadi masih bergema di kepalanya, mengusik kedamaiannya. “Apakah aku harus menceritakan hal ini kepada Pak Reval?” gumam Naura sendirian. “Ya, mungkin besok saat melakukan perjalanan ke luar kota. Hari ini sebaiknya aku fokus mempersiapkan semuanya.” Naura menghembuskan napas panjang. Pandangannya tertuju pada layar komputer di depannya. Ketukan di pintu cukup mengejutkan Naura. Ia terlonjak, lalu buru-buru membetulkan posisi duduk. “Masuk,” ucap Naura dengan suara setenang mungkin. Seorang rekan kerja laki-laki, Hendra, masuk dengan membawa berkas. Ia tersenyum, tetapi ada sesuatu di balik senyumnya yang membuat Naura merasa tidak nyaman. Apakah ia sudah mendengar gosip itu? “Naura, ini dokumen untuk revisi laporan kemarin. Bisa kamu cek lagi? Deadline-nya hari in
“Dinda, jangan mulai,” potong Naura dengan suara pelan tetapi tegas. “Dia hanya atasan. Tidak lebih dari itu.” “Iyalah, lagi pula kamu sudah punya suami. Mana mungkin kamu mengkhianatinya.” DEG ! Kata-kata itu benar-benar menghantam hati Naura. Bagaimana jika Dinda tahu yang sebenarnya? Apakah ia akan menjauhi Naura? Naura hanya memiliki Dinda sebagai sahabat. Ia tidak mau kehilangan Dinda. Naura mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang kian menggerogoti. Tangan-tangannya bergerak resah, memainkan ujung rambut panjangnya. Ia tidak ingin Dinda melihat perubahan ekspresi di wajahnya, tetapi Dinda tetap memperhatikannya dengan saksama. “Naura,” Dinda mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Naura lekat-lekat. “Kamu baik-baik aja, kan? Kok tiba-tiba mukamu jadi tegang gitu?” “Aku nggak apa-apa, Din,” jawab Naura cepat, terlalu cepat hingga terdengar seperti bantahan. “Oh, ya aku belum pesan makanan. Sebentar, ya?” Naura bangkit dari kursinya
Naura menelan ludah, berusaha mengolah informasi yang baru saja ia terima. Wanita tersebut merasa resah. Justru hal itu yang ia takutkan. Naura tidak mau menjadi sekretaris sekaligus asisten pribadi Reval. Itu hanya akan membuatnya semakin terjerat dalam rasa yang terlalu sulit untuk ia definisikan. “Bapak harus ingat. Saya wanita yang sudah berkeluarga.” Naura menarik napas dalam-dalam setelah menyelesaikan kalimatnya, mencoba mengembalikan kontrol atas perasaannya yang mulai goyah. Tangannya gemetar di bawah meja, tetapi wajahnya tetap tegas, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia telah mengambil langkah yang benar. Keheningan menggantung di antara mereka, terasa berat, seolah setiap detiknya membawa beban tak terlihat. Reval tidak langsung menjawab. Ia menatap Naura dengan sorot mata yang sulit diartikan. Tangan kanannya terangkat, jari-jarinya bermain dengan tepi gelas air di depannya, menciptakan suara kecil yang hampir tak terdengar. Ia menundukkan sedikit k
Naura tertegun. “T-tidak ada,” jawabnya buru-buru, meskipun ia tahu jawabannya sama sekali tidak meyakinkan. Ia menundukkan kepala, memindahkan pandangannya ke piringnya yang kini setengah kosong. Reval tidak langsung merespon. Ia hanya menatap Naura dalam diam, menciptakan tekanan yang membuat wanita itu semakin gelisah. Ia mengetukkan garpunya pelan ke piring, bunyinya nyaris seperti dentingan lembut, tetapi cukup untuk membuat Naura semakin merasa terpojok. “Aku tahu ada sesuatu,” ucap Reval akhirnya, nada bicaranya lebih lembut, tetapi tetap saja membuat Naura merasa terjebak. “Sepertinya kamu tidak pernah merasa nyaman berada di dekatku.” Naura mendongak, terkejut dengan pernyataan itu. Bagaimana mungkin Reval bisa mengatakan hal itu kepadanya? Tentu ia tahu jawabannya. “Sa–sayaya tidak ...” Naura menghentikan kalimatnya, merasa tidak mampu melanjutkan karena pada kenyataannya, yang dikatakan Reval memang benar. Bukan hanya merasa tidak nyaman. Namun, Naura juga merasa
Jari-jarinya mencengkeram kertas itu lebih erat. Perasaannya campur aduk antara keterkejutan, luka, dan amarah yang tak terbendung. Setiap kata yang ia baca terasa seperti belati yang menusuk ke dalam jantungnya. Surat itu penuh dengan pengakuan, kehangatan, dan cinta yang begitu dalam. Cinta yang Naura pikir hanya miliknya.Tetapi satu kalimat membuat seluruh tubuhnya menegang.“Aku hanya bisa berharap kita bertemu di waktu yang tepat, ketika aku bisa memilihmu tanpa ragu, tanpa batasan.”Napas Naura memburu. Siapa wanita yang dimaksud oleh Reval? Jantungnya terasa seperti ingin melompat keluar dari dadanya. Ia memandang surat itu dengan tatapan kosong sebelum menurunkannya perlahan. Tidak mungkin ini untuknya. Surat ini tidak mungkin ditujukan untuknya.Suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah lorong. Naura buru-buru menyembunyikan surat itu di balik tumpukan amplop lain. Jantungnya berdetak begitu keras sampai ia takut Reval bisa mendengarnya dari kejauhan. Ketika sosok pr
Naura menatap layar komputernya dengan tatapan kosong. Dokumen yang seharusnya ia revisi sudah terbuka sejak tadi, tetapi tidak satu pun kata yang berhasil ia pahami. Jemarinya menggenggam mouse, tetapi tidak ada perintah yang ia jalankan.Fokusnya sepenuhnya terganggu.Pikirannya terus kembali ke satu hal. Siapa yang menemui Reval tadi?Yang membuat Naura resah adalah karena lelaki itu sama sekali tidak menyebutkan apa pun kepadanya.Naura menghela napas panjang, lalu melirik ponselnya yang tergeletak di meja. Layar masih gelap, tidak ada notifikasi dari Reval. Tidak ada pesan yang mengingatkan tentang makan siang atau menyelipkan kata-kata manis yang mungkin berhasil membuatnya tersenyum.Ia menggigit bibir, berusaha menepis kegelisahannya.“Naura.”Suara Dinda membuatnya tersentak. Ia buru-buru menoleh ke arah sahabatnya yang berdiri dengan kedua tangan menyilang.“Apa yang sedang kamu pikirkan?” Dinda mengangkat alis. “Sejak tadi aku melihatmu cuma duduk diam menatap layar. Bah
Reval tersenyum miring. “Karena itu membuatku ingin melakukan sesuatu.”Jantung Naura hampir meloncat keluar dari dadanya. Ia tahu ia harus menjauh, harus menghentikan ini sebelum semuanya semakin lepas kendali. Tapi tubuhnya seolah membangkang, terpaku di tempat.Dan dalam sekejap, Reval menariknya ke dalam pelukan.Naura tersentak. Kedua tangannya otomatis terangkat, tapi sebelum ia bisa melakukan apa pun, Reval sudah menundukkan wajahnya.“Aku hanya ingin memastikan sesuatu,” bisiknya tepat di telinga Naura, membuat bulu kuduk wanita itu berdiri.“Me-memastikan apa?” suara Naura bergetar.Reval menatapnya dalam. “Bahwa kamu benar-benar milikku.”Sebelum Naura bisa memproses kata-kata itu, Reval sudah mendekatkan wajahnya. Napas hangat pria itu menyapu kulitnya, dan dalam sepersekian detik, bibirnya hampir menyentuh bibir Naura—Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu membuat mereka berdua tersentak. Naura langsung melangkah mundur dengan wajah memerah, sementara Reval mengumpat pelan.“
Naura menggeleng cepat. “Tidak apa-apa.” “Tadi lama sekali di depan. Kamu habis bertemu siapa?” bisik Dinda sambil meliriknya penuh selidik. “Tidak ada. Aku hanya ...” Naura menggigit bibirnya, mencari alasan. “Membaca pesan.” Dinda mengerutkan kening. “Pesan dari siapa?” Sebelum Naura bisa menjawab, rapat sudah dimulai. Namun, baru beberapa menit berjalan, ponsel Naura kembali bergetar. [Kamu tidak akan melirikku sekali saja?] Naura menegang. Ia mengangkat wajah dan melirik ke arah Reval sekilas. Pria itu tersenyum tipis. Naura langsung menunduk, merasakan panas di wajahnya. Sementara Reval masih menatapnya dengan ekspresi jahil. Rapat pun dimulai, tetapi Naura kesulitan berkonsentrasi. Reval sesekali meliriknya, bahkan pernah pura-pura mengatur dasinya hanya untuk menarik perhatiannya. Saat seorang kepala divisi sedang berbicara panjang lebar, Naura merasakan ponselnya bergetar lagi. Ia melirik layar. Tentu saja pesan dari Reval. [Kamu terlihat cantik hari ini.] Naura
Naura berjalan cepat menuju ruangannya, langkahnya masih terasa ragu setelah percakapan pagi tadi dengan Reval di dalam mobil. Rasa hangat yang pria itu tinggalkan di bibirnya masih membekas, tetapi pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan yang belum terjawab. Saat hendak membuka pintu ruangan, suara seorang wanita terdengar tergesa-gesa dari belakangnya. “Naura! Ke mana saja kamu? Bukankah seharusnya kamu sudah mulai bekerja lebih awal?” Langkah Naura terhenti. Ia menoleh dan mendapati Dinda berjalan cepat ke arahnya. Wajah sahabatnya itu dipenuhi ekspresi khawatir, kedua alisnya bertaut rapat. Naura menarik napas dalam, mencoba memasang senyum santai. “Hai, Dinda. Maaf ya? Aku jadi merepotkanmu.” Dinda berhenti tepat di depannya, masih dengan tatapan menyelidik. “Apakah kamu tahu, aku sampai nekat bertanya kepada Pak Reval?” Naura menegang seketika. “Kamu bertanya pada Pak Reval?” ulangnya, berusaha terdengar santai meskipun dadanya mulai berdebar. Dinda mengangguk. “Tentu saja
Naura berusaha melepaskan diri, tetapi Reval mempererat pelukannya. “Saya sudah menyiapkan sarapan,” ujar Naura, berharap bisa mengalihkan perhatian pria itu. Namun, bukannya melepaskan, Reval malah menariknya lebih dekat. “Aku sudah mendapatkan sarapan yang lebih manis,” gumam Reval seraya mencium pipi Naura lebih lama. Naura memutar bola matanya. “Kalau Bapak tidak segera bangun, saya akan makan sendiri.” Reval tertawa kecil, akhirnya melepas Naura dengan enggan. “Baiklah, baiklah. Aku akan bangun.” Beberapa menit kemudian, keduanya duduk di meja makan. Naura meletakkan piring di hadapan Reval, menunggu reaksi pria itu saat mencicipi masakannya. Reval mengambil sesendok nasi goreng, mengunyahnya perlahan. Alisnya terangkat sedikit, lalu ia mengangguk. “Hmm, enak.” Naura tersenyum lega. “Terima kasih.” Reval menatapnya dengan mata berbinar. “Kalau setiap pagi dimasakkan seperti ini, aku tidak keberatan untuk selalu bangun lebih pagi.” Naura terkekeh. “Saya tidak janji, Pak.”
Naura menatapnya dengan mata berkabut. Napasnya masih tersengal, tetapi ia berhasil mengangguk. “Saya percaya.” Jemari Reval membelai pipi Naura. “Aku harus tahu, Naura ... apa kamu merasakan hal yang sama seperti aku?” tanya Reval, tatapannya begitu dalam hingga membuat Naura tidak bisa menghindar. Naura menatap mata Reval yang begitu dekat, dan bibirnya sedikit terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Jantungnya berdetak begitu cepat, seakan seluruh ruangan dipenuhi dengan ketegangan yang tidak terucapkan. “Saya ....” Naura menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian. “Saya tidak tahu, Pak Reval.” Suaranya terdengar ragu, tetapi ada kejujuran di sana, sebuah pengakuan yang bahkan membuat dirinya terkejut. Reval tersenyum kecil, tatapannya melunak. “Tidak tahu?” gumamnya sambil mengangkat satu alis. Jemarinya dengan lembut menyentuh dagu Naura, mengangkatnya sedikit agar wanita itu tetap menatapnya. “Apa yang kamu rasakan, Naura? Jangan takut untuk jujur.” Naura
Reval mengerutkan kening, menatap wanita itu dengan seksama. “Apa itu?” Naura menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata Reval. “Katakanlah.” Alis Reval semakin bertaut, tetapi ia tetap diam, menunggu kelanjutan ucapan Naura. “Saya ingin tahu … sebenarnya siapa Kirana itu? Apakah benar, Bapak sangat mencintainya?” Hening. Wajah Reval yang sebelumnya tenang berubah drastis. Matanya menajam, rahangnya mengeras. Udara di antara mereka seketika menjadi berat, seperti ada sesuatu yang menekan. Dalam sekejap, langkah Reval menghantam lantai, mendekati Naura dengan tatapan gelap. Sebelum wanita itu sempat mundur, tubuhnya sudah terdorong hingga punggungnya membentur dinding. “Tidak seharusnya kamu menanyakan hal itu kepadaku, Naura.” Suara Reval rendah, tetapi penuh tekanan. Napasnya terdengar berat, emosinya seperti bergejolak di dalam dadanya. Naura terkejut. Dadanya naik-turun cepat, tubuhnya membeku di tempat. Matanya membesar ketik
Adelia meletakkan sendoknya dengan perlahan, tatapannya tajam menusuk ke arah putranya. Ruang makan yang sebelumnya dipenuhi suara alat makan kini mendadak sunyi. “Reval, apakah kamu serius?” suaranya datar, tetapi ada nada kekecewaan yang terselip di sana. Reval mengangguk mantap. “Aku tidak pernah seyakin ini dalam hidupku, Ma. Aku memilih Naura.” Adelia menghela napas panjang, tatapannya beralih ke arah Naura yang masih diam di tempatnya. “Wanita ini? Kamu yakin? Apa yang bisa dia berikan padamu?” Naura menelan ludah, merasakan tekanan dari tatapan wanita itu. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Reval lebih dulu berbicara. “Mama selalu melihat segalanya dari status dan latar belakang keluarga, tapi Mama lupa … perasaan dan kebahagiaan tidak bisa diukur dengan itu semua,” ujar Reval tegas. “Aku mencintai Naura bukan karena siapa dia di masa lalu, tetapi karena siapa dia di sisiku sekarang.” Adelia menatap putranya dalam diam. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada kilatan emosi yan