Pagi..... Selamat weekend. Ayo, bantu kasih gems dan ulasan positifnya dong. ;D
Dinda mendongak, menatap Naura dengan tatapan yang sulit diartikan. Perpaduan antara rasa kesal, simpati, dan sedikit keraguan. “Kamu belum dengar gosip terbaru, Naura?” tanyanya balik dengan suara yang bergetar. Naura menggeleng lemah, tidak tahu apa yang sedang terjadi. “Gosip apaan?” Dinda mendesah berat, tampak mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara lebih lanjut. “Sheila dan yang lain … mereka sedang membicarakan sesuatu tentang kamu,” ujar Dinda akhirnya, nadanya rendah tetapi penuh tekanan. Naura merasakan darahnya mengalir dingin. “Membicarakan aku?” ulangnya, memastikan ia tidak salah dengar. Dinda mengangguk tegas. “Ya, mereka menyebarkan gosip di pantry. Sheila bilang kamu itu ... simpanan Pak Reval.” Kata-kata itu seperti petir yang menyambar kepala Naura. Ia terdiam, tubuhnya kaku, dan pikirannya seolah berhenti bekerja. “Apa?” suara Naura nyaris tak terdengar, lebih mirip bisikan. Dinda melangkah mendekat, meletakkan tangan di bahu Naura dengan gerakan
Seketika udara di dalam ruangan terasa sesak, seperti menindih pundaknya dengan beban yang tak terlihat. Naura membiarkan keheningan menyelimutinya. Namun, pikiran-pikiran itu tak bisa dibungkam. Kata-kata dalam pesan tadi masih bergema di kepalanya, mengusik kedamaiannya. “Apakah aku harus menceritakan hal ini kepada Pak Reval?” gumam Naura sendirian. “Ya, mungkin besok saat melakukan perjalanan ke luar kota. Hari ini sebaiknya aku fokus mempersiapkan semuanya.” Naura menghembuskan napas panjang. Pandangannya tertuju pada layar komputer di depannya. Ketukan di pintu cukup mengejutkan Naura. Ia terlonjak, lalu buru-buru membetulkan posisi duduk. “Masuk,” ucap Naura dengan suara setenang mungkin. Seorang rekan kerja laki-laki, Hendra, masuk dengan membawa berkas. Ia tersenyum, tetapi ada sesuatu di balik senyumnya yang membuat Naura merasa tidak nyaman. Apakah ia sudah mendengar gosip itu? “Naura, ini dokumen untuk revisi laporan kemarin. Bisa kamu cek lagi? Deadline-nya hari in
“Dinda, jangan mulai,” potong Naura dengan suara pelan tetapi tegas. “Dia hanya atasan. Tidak lebih dari itu.” “Iyalah, lagi pula kamu sudah punya suami. Mana mungkin kamu mengkhianatinya.” DEG ! Kata-kata itu benar-benar menghantam hati Naura. Bagaimana jika Dinda tahu yang sebenarnya? Apakah ia akan menjauhi Naura? Naura hanya memiliki Dinda sebagai sahabat. Ia tidak mau kehilangan Dinda. Naura mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang kian menggerogoti. Tangan-tangannya bergerak resah, memainkan ujung rambut panjangnya. Ia tidak ingin Dinda melihat perubahan ekspresi di wajahnya, tetapi Dinda tetap memperhatikannya dengan saksama. “Naura,” Dinda mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Naura lekat-lekat. “Kamu baik-baik aja, kan? Kok tiba-tiba mukamu jadi tegang gitu?” “Aku nggak apa-apa, Din,” jawab Naura cepat, terlalu cepat hingga terdengar seperti bantahan. “Oh, ya aku belum pesan makanan. Sebentar, ya?” Naura bangkit dari kursinya
Naura menelan ludah, berusaha mengolah informasi yang baru saja ia terima. Wanita tersebut merasa resah. Justru hal itu yang ia takutkan. Naura tidak mau menjadi sekretaris sekaligus asisten pribadi Reval. Itu hanya akan membuatnya semakin terjerat dalam rasa yang terlalu sulit untuk ia definisikan. “Bapak harus ingat. Saya wanita yang sudah berkeluarga.” Naura menarik napas dalam-dalam setelah menyelesaikan kalimatnya, mencoba mengembalikan kontrol atas perasaannya yang mulai goyah. Tangannya gemetar di bawah meja, tetapi wajahnya tetap tegas, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia telah mengambil langkah yang benar. Keheningan menggantung di antara mereka, terasa berat, seolah setiap detiknya membawa beban tak terlihat. Reval tidak langsung menjawab. Ia menatap Naura dengan sorot mata yang sulit diartikan. Tangan kanannya terangkat, jari-jarinya bermain dengan tepi gelas air di depannya, menciptakan suara kecil yang hampir tak terdengar. Ia menundukkan sedikit k
Naura tertegun. “T-tidak ada,” jawabnya buru-buru, meskipun ia tahu jawabannya sama sekali tidak meyakinkan. Ia menundukkan kepala, memindahkan pandangannya ke piringnya yang kini setengah kosong. Reval tidak langsung merespon. Ia hanya menatap Naura dalam diam, menciptakan tekanan yang membuat wanita itu semakin gelisah. Ia mengetukkan garpunya pelan ke piring, bunyinya nyaris seperti dentingan lembut, tetapi cukup untuk membuat Naura semakin merasa terpojok. “Aku tahu ada sesuatu,” ucap Reval akhirnya, nada bicaranya lebih lembut, tetapi tetap saja membuat Naura merasa terjebak. “Sepertinya kamu tidak pernah merasa nyaman berada di dekatku.” Naura mendongak, terkejut dengan pernyataan itu. Bagaimana mungkin Reval bisa mengatakan hal itu kepadanya? Tentu ia tahu jawabannya. “Sa–sayaya tidak ...” Naura menghentikan kalimatnya, merasa tidak mampu melanjutkan karena pada kenyataannya, yang dikatakan Reval memang benar. Bukan hanya merasa tidak nyaman. Namun, Naura juga merasa
Naura mengangguk cepat. “Ya, hanya ... sedikit terkejut.” Ia mengalihkan pandangannya ke lantai lift, berharap Reval tidak melihat wajahnya yang memerah. Tetapi, saat ia menunduk, sesuatu yang kecil tetapi cukup memalukan terjadi. Tali sepatu haknya tiba-tiba longgar. “Aduh ....” gumamnya pelan, mencoba membungkuk untuk mengikat kembali tali sepatu itu. Tetapi karena ruang di lift yang terbatas, ia malah kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Untungnya, tangannya sempat memegang dinding lift untuk menahan tubuhnya. Reval, yang memperhatikan itu, tidak bisa menahan senyumnya. Senyum yang mengejek. “Kamu selalu ceroboh seperti ini?” tanya Reval sambil mencondongkan tubuh sedikit, jelas-jelas menikmati situasi tersebut. Wajah Naura kembali memerah. Ia buru-buru berdiri tegak kembali, meskipun tali sepatunya masih belum terikat sempurna. “Saya tidak ceroboh. Ini hanya ... kebetulan.” Reval menggeleng pelan, senyumnya tidak hilang. “Kebetulan yang terlalu sering.” Sebelum N
Perjalanan menuju bandara berlangsung dalam keheningan. Hanya suara radio yang terdengar samar-samar mengisi ruang mobil. Naura memandang keluar jendela, memperhatikan pemandangan yang berlalu cepat, tetapi pikirannya terus berputar. Ketika mobil memasuki area parkir bandara, Reval langsung memarkirkan mobilnya di salah satu tempat kosong yang tidak jauh dari pintu kedatangan. Ia mematikan mesin, melepas sabuk pengaman dengan cepat. Sementara itu, Naura, yang duduk di sebelahnya, mencoba melakukan hal yang sama. Jemarinya berusaha menarik pengait sabuk pengaman, tetapi benda itu terasa begitu bandel hari ini. Tidak mau bergerak sedikit pun. “Duh ...,” gumam Naura pelan sambil menggoyangkan sabuk pengaman dengan wajah frustrasi. Tangannya berkali-kali menarik tuas pengait, tetapi nihil. Reval, yang sudah bersiap keluar, mendesah pelan ketika menyadari Naura masih terjebak di kursinya. Ia memutar tubuhnya dan menatap Naura dengan tatapan datar, tetapi ada kilatan lain yang tidak bi
“Alexa,” ujar Reval sambil melepaskan pelukan gadis itu. “Jangan seperti ini. Kamu sudah besar. Bukan saatnya bermanja-manja lagi.” Alexa hanya tertawa kecil. “Ah, Kak Reval. Aku tetap akan menjadi gadis kesayanganmu, tidak peduli berapapun umurku.” Naura hanya bisa berdiri di samping mereka, merasa seperti orang asing yang tidak diinginkan kehadirannya. Ia berusaha memasang wajah datar, tetapi hatinya terusik melihat kedekatan Alexa dengan Reval. Entah kenapa dadanya terasa sedikit nyeri. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, meski ia tahu itu tidak masuk akal. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi matanya tetap terpaku pada adegan di depannya. ‘Apa ini? Kenapa aku harus merasa seperti ini?’ batin Naura sambil menggigit bibirnya. Sementara itu, Alexa melepas pelukannya dan langsung menggamit lengan Reval seperti anak kecil yang enggan jauh dari orang tuanya. “Aku kangen banget sama Kak Reval. Lama banget nggak ketemu!” ujarnya dengan suara manja. “Alexa, kamu selalu be
Naura duduk di sudut ruangan, kepalanya bersandar pada dinding kayu yang mulai lapuk. Tangannya masih terikat, tapi ia tak mau menyerah begitu saja. Pikirannya terus berputar mencari celah. Ia harus keluar dari sini sebelum Dion benar-benar menghancurkan segalanya. Dari luar, terdengar suara langkah kaki mendekat. Pintu terbuka, dan pria bertopeng yang tadi datang kembali, kali ini tanpa nampan makanan. “Hari ini kau akan dipindahkan,” katanya singkat. Naura menelan ludah. Dipindahkan? Ke mana? Pria itu berjalan mendekat, menarik tali yang mengikat tangannya, lalu menyeretnya berdiri. “Ayo.” Naura tahu ia tak bisa melawan dalam kondisi seperti ini. Tapi, jika dia dipindahkan ke tempat yang lebih jauh, peluangnya untuk selamat akan semakin kecil. ‘Tuhan, bantu aku…’ Saat mereka melewati lorong sempit yang gelap, Naura memperhatikan sekelilingnya. Matanya menangkap sebilah pisau kecil tergeletak di atas meja kayu di sudut ruangan. Tanpa berpikir panjang, ia menjatuhkan tubuhnya
“Paman Riko?” Reval merasakan amarah membakar seluruh tubuhnya. Ia mengepalkan tangan, nyaris melayangkan pukulan ke wajah Dion, tetapi pria itu dengan santai menjauh, mengangkat ponselnya lebih tinggi. “Tenang, Reval. Kalau kau menyentuhku, aku bisa saja menyuruh Riko melakukan sesuatu yang lebih buruk pada Naura,” katanya dengan seringai puas. Reval mengertakkan giginya. “Apa yang kau inginkan?” Dion menoleh ke Callista dan tertawa kecil. “Gampang. Akui bahwa anak dalam kandungan Callista adalah milikmu, nikahi dia, dan aku akan melepaskan Naura,” katanya santai. Reval mencibir. “Mimpi.” Callista mendekat dengan tatapan penuh kemenangan. “Reval, kau tahu kau tidak punya pilihan, kan?” ujarnya manja, tangannya berusaha menyentuh dada Reval. Reval menepisnya kasar. “Kalian pikir aku bisa percaya pada kalian? Bahkan jika aku menuruti permintaan kalian, tidak ada jaminan Naura akan selamat.” Dion terkekeh. “Tentu saja ada jaminannya. Tapi kalau kau membangkang…” Ia memutar vide
“Sebenarnya ... ini bukan hal yang penting.” Naura tidak tahu harus menjawab apa. “Naura, ada apa? Apapun itu, aku akan mendengarkannya.” Naura menatap Reval, lalu mengambil secarik kertas. “Surat cerai saya sudah resmi. Saya dan Mas Dion … bukan suami-istri lagi.” Reval menatap surat itu. Rasanya seperti beban besar terangkat dari dadanya. Ia merasa lega dan informasi itu adalah sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu olehnya. Bagaimana mungkin Naura mengatakan bahwa itu tidak penting? Namun, ekspresi Naura masih terlihat berat dan seolah sedang dilanda gelisah yang mendalam. “Ada apa lagi?” tanya Reval lembut. Naura menggigit bibirnya. “Saya mendengar sesuatu dari Bu Lastri belakangan ini.” Reval mengernyit. “Apa?” Naura menghela napas, lalu menatap Reval dalam-dalam. “Callista. Sebenarnya dia tidak benar-benar tinggal di rumah Mas Dion. Waktu itu dia hanya kebetulan ada di sana saat saya mengajukan cerai dan dia sengaja memanas-manasi saya.” Reval menegang. “Dan
Reval berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang. Firasat buruk terus menghantui pikirannya. Ponselnya di saku bergetar. Dengan malas, ia meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar. Dahi Reval mengernyit. Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana ia melihat Callista duduk di atas ranjang dengan wajah pucat. Mata wanita itu tampak merah seolah habis menangis. Reval menutup pintu dan berjalan mendekat. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu yang ada di sini?” Callista menundukkan kepalanya, menggenggam ujung selimut dengan erat. “Aku … aku hamil, Reval.” Jantung Reval seperti berhenti berdetak sejenak. Ia menatap Callista dengan tatapan tajam. “Apa hubungannya denganku? Lalu di mana Naura? Aku ingin bertemu dengannya.” “Tentu saja ada hubungannya denganmu, Reval.” Callista mengangkat kepalanya, menatapnya dengan mata penuh harap. “Ini adalah anakmu.” Reval m
Ruang tamu dipenuhi keheningan yang menegangkan. Adelia duduk di sofa dengan tatapan dingin, sementara Reval berdiri di depannya, menatapnya dengan penuh ketegasan. “Apa kamu bilang?” suara Adelia meninggi, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. Reval menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. “Aku ingin mama meminta maaf kepada Naura.” Adelia tertawa kecil, namun tidak ada kehangatan dalam tawanya. “Kenapa tiba-tiba kamu meminta hal itu, Reval? Mama tidak merasa punya urusan dengan perempuan itu.” Reval mengepalkan tangan, berusaha tetap tenang. “Karena mama telah menyakitinya.” Adelia menyipitkan mata. “Jangan membesar-besarkan masalah, Reval. Lagipula, perempuan itu bukan siapa-siapa bagi mama.” Reval mendekat, menatap ibunya dengan tajam. “Bukan siapa-siapa? Dia adalah wanita yang sedang mengandung anakku, Ma!” Adelia terdiam sesaat. Matanya membulat, tapi ia segera menyembunyikan keterkejutannya dengan tawa sinis. “Jadi, itu alasan kamu membelanya mati-matian
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dion, meninggalkan jejak kemerahan yang jelas. Kepala pria itu sedikit tergeleng, namun bukan karena sakitnya tamparan itu, melainkan karena keterkejutannya. Callista berdiri di hadapannya dengan mata membelalak, napasnya memburu penuh amarah. “Ini semua gara-gara kamu, Dion!” suara Callista menggema di seluruh ruangan. Dion mengusap pipinya yang perih, ekspresinya berubah dingin. “Kenapa kamu menamparku, Callista? Kita melakukannya atas dasar suka sama suka.” Callista mendengkus kasar. Ia memeluk tubuhnya sendiri, seakan merasa jijik dengan situasi yang sedang terjadi. “Sial! Aku hanya ingin bersenang-senang, bukan mendapatkan ini!” Suaranya bergetar, dan matanya menatap Dion dengan kebencian. Dion menyipitkan mata. “Maksudmu?” “Aku hamil, Dion! Aku mengandung anak sialan ini gara-gara kamu!” Callista berteriak frustrasi, tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dion terdiam sejenak. Pikirannya berputar cepat, menc
Beberapa minggu telah berlalu. Naura berdiri di depan pintu rumah yang dulu ia tinggali sebagai istri Dion. Pintu rumah itu masih sama seperti terakhir kali Naura melihatnya. Cat cokelat tua yang mulai memudar, gagang pintu berwarna perak yang kini tampak lebih kusam. Namun, bagi Naura, rumah ini sudah kehilangan maknanya sejak lama. Tangannya menggenggam erat amplop cokelat berisi surat cerai. Dalam hati, ia menguatkan dirinya. Ia harus menyelesaikan semuanya. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan di dalam pernikahan yang telah hancur sejak lama. Dengan napas panjang, Naura mengetuk pintu. Dadanya berdebar, bukan karena ragu, tetapi karena ia ingin semua ini segera berakhir. Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki terdengar dari dalam, lalu pintu terbuka. “Naura!” Suara itu begitu akrab. Hangat. Seakan tidak ada luka yang pernah mengisi kehidupan mereka. Bu Lastri berdiri di ambang pintu dengan mata berbinar, seolah-olah kehadiran Naura adalah sesuatu yang ia rindukan sejak la
Reval menghela napas, lalu menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya. “Aku mencintaimu, Naura,” ucapnya serius. “Aku tidak akan menikahimu hanya karena tanggung jawab. Aku ingin bersamamu karena aku memang menginginkannya. Lebih dari apapun.” Naura menatap mata Reval, mencari kepastian di sana. Dan ia menemukannya. Kejujuran. Ketulusan. Tapi tetap saja... “Tidak semudah itu, Pak Reval,” bisiknya. “Ada banyak hal yang harus saya pikirkan.” Reval melepaskan tangannya dari wajah Naura, kemudian menghela napas panjang. “Lalu berapa lama lagi kamu mau berpikir?” tanya Reval dengan nada frustrasi. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. “Apa kamu takut?” tanya Reval lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap Reval dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Ya,” jawabnya jujur. Reval terdiam. Naura menghela napas berat, suaranya lirih ketika berkata, “Saya takut mengambil keputusan yang salah. Takut jika perasaan ini hanya sesaat. Takut jika nanti saya justru menyakiti B
Naura mengangguk cepat. Reval mendesah, lalu melambai pada pelayan. “Pesan satu es krim cokelat.” “Tunggu, Pak Reval! Saya maunya yang stroberi.” Reval terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Oke, stroberi.” Tak butuh waktu lama, es krim datang. Naura langsung menyendoknya dengan bahagia, tapi tiba-tiba ia mengernyit. Reval memperhatikan ekspresinya dengan waspada. “Kenapa lagi?” Naura menggigit bibirnya. “Sepertinya saya ingin yang cokelat.” Reval menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa lepas. Naura menatapnya kesal. “Bapak kenapa tertawa?” “Kamu mulai bertingkah seperti ibu hamil pada umumnya.” Naura mendelik. “Saya memang hamil, kan?” Reval mengangkat bahu dengan senyum lebar. “Ya, tapi sekarang kamu benar-benar kelihatan seperti bumil yang sering ngidam aneh-aneh.” Naura mendengkus, tapi diam-diam pipinya merona. Reval memperhatikannya, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Naura di atas meja. “Apa?” tanya Naura bingung. Reval te