Malam.... :-)
“Alexa, aku sibuk. Sudah ada jadwal lain,” jawab Reval tegas, tidak mau dibantah. Mendengar penolakan itu, Alexa langsung berbalik ke arah Naura yang sedang sibuk menunduk, tidak ingin terlibat dalam pembicaraan. “Kalau Kak Reval sibuk karena dia, aku keberatan. Serius, Kak, kenapa harus dia?” Alexa menunjuk ke arah Naura dengan dagunya, nada suaranya jelas penuh kecurigaan. Naura mengangkat wajahnya perlahan, menatap Alexa dengan ragu. Ia membuka mulut untuk menjelaskan, tetapi Reval memotong lebih dulu. “Alexa, cukup!” Nada suaranya tajam, jauh berbeda dari sebelumnya. Alexa tampak terkejut, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang baru dimarahi. “Kak Reval jadi marah cuma karena perempuan ini?” Naura merasa dadanya berdesir, tetapi ia tetap berusaha mempertahankan sikap profesionalnya. Ia tahu bukan tempatnya untuk ikut campur, tetapi suasana ini semakin membuatnya tidak nyaman. “Naura bekerja denganku, Alexa. Itu saja. Jangan membuat masalah yang tidak perlu,” kata Reval
Naura menoleh cepat, matanya membelalak. “Apa?” serunya spontan, tetapi tidak cukup keras. Reval tidak menjawab, hanya tersenyum tipis sambil menatap lurus ke depan. Naura mengerutkan kening, merasa kesal sekaligus bingung. Ia memeluk tasnya erat-erat, mencoba menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang mungkin akan ia sesali. Namun, rasa kesal itu terus menggelitik pikirannya. ‘Apa-apaan maksudnya? Aku jadi berhutang budi kepadanya?’ pikir Naura, bibirnya mengerucut. Suasana di dalam mobil kembali hening. Tetapi kali ini, Naura merasa lebih tidak nyaman. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya terasa kelu. Sementara itu, Reval tetap tenang, seperti tidak ada yang perlu dibahas lagi. Naura mengamati jalan yang mereka lewati dan menyadari sesuatu. Mereka tidak sedang menuju kantor. “Pak, ini bukan arah ke kantor,” katanya ragu. Reval tidak langsung menjawab. Ia hanya melirik Naura sekilas, sebelum kembali fokus menyetir. “Ikut saja Naura,” ucap Reval singkat, tanpa p
Ruangan itu masih sunyi, hanya ditemani suara pelan dari pendingin udara yang berhembus lembut. Naura terbangun perlahan, matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Sebentar, di mana ini? pikirnya, sebelum menyadari bahwa ia masih berada di kamar apartemen Reval. Tubuhnya terasa kaku, tetapi yang lebih mengganggunya adalah sesuatu yang berat di pinggangnya. Perlahan, ia menoleh ke samping dan langsung membeku. Tangan Reval bertengger di pinggangnya, menjaganya tetap dekat dengan tubuh pria itu. Jantung Naura langsung berdegup kencang. Ia menelan ludah, menatap wajah Reval yang tampak begitu damai dalam tidurnya. Kedua mata pria itu masih terpejam, napasnya terdengar tenang, dan rambutnya sedikit berantakan, membuatnya terlihat lebih santai dibandingkan citra dingin yang biasa ditampilkan di kantor. Namun, ini bukan saatnya untuk mengagumi. Naura tahu ia harus segera bergerak. Ia tidak bisa terus berada di sini, terperangkap dalam situasi yang membuatnya gelisah.
Naura duduk di ujung ranjang, tangannya menggenggam ujung roknya dengan gelisah. Ia memandang ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat, di mana suara gemericik air terdengar samar dari dalam. “Apa yang dilakukan Pak Reval? Kenapa lama sekali?” gumam Naura. Waktu terasa berjalan lambat. Keheningan yang menyelimuti kamar membuat pikirannya berlarian ke berbagai arah. Setelah beberapa menit berlalu, suara dari dalam kamar mandi memecah keheningan. “Naura, ambilkan handukku!” Suara Reval terdengar jelas, tegas, namun tetap rendah seperti biasa. Naura terlonjak sedikit. “Ba–baik, Pak,” jawabnya gugup. Wanita itu segera berdiri, mencari-cari handuk di lemari yang terletak di sudut ruangan. Setelah menemukannya, ia berjalan ke arah pintu kamar mandi dengan langkah ragu. Tangannya terulur untuk mengetuk pintu, tetapi sebelum sempat melakukannya, suara Reval terdengar lagi dari dalam. “Masuk saja.” Naura menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia memutar ke
“Pak ... saya tidak ...” Naura tergagap, mencoba mencari alasan, tetapi otaknya tidak bekerja dengan baik. Reval menyipitkan matanya, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang seolah mengejek. “Apa aku terlihat menakutkan?” Naura menggeleng cepat. “Bukan, Pak. Saya hanya ....” Kata-katanya terhenti ketika Reval mengulurkan tangan, menyentuh sudut bibir Naura dengan jemarinya yang panjang. Sentuhan itu ringan, hampir seperti angin, tetapi cukup untuk membuat Naura terdiam. “Kenapa kamu selalu tampak gelisah di dekatku?” bisik Reval, suaranya penuh dengan godaan yang samar. Naura menahan napas. Jantungnya berdebar tak karuan, seperti lonceng alarm yang berdentang tanpa henti. Ia mencoba membuang wajah, tetapi Reval malah semakin mendekat, membuat jarak di antara mereka nyaris tak bersisa. ‘Kenapa dia justru menanyakan hal ini? Apakah dia benar-benar tidak paham dengan statusku yang masih istri sah Mas Dion?’ Naura mengumpat di dalam hatinya, namun tak mampu meluahk
Langit sore mulai menggelap, seolah menandakan hujan yang akan segera turun. Naura berdiri di tepi trotoar depan apartemen Reval, dengan ponsel di tangannya. Ia mencoba memesan taksi melalui aplikasi, tetapi sinyal yang tidak stabil membuatnya frustrasi. Pandangannya sesekali melirik ke arah pintu apartemen, memastikan tidak ada tanda-tanda Reval keluar untuk mengajaknya kembali ke kantor. Tiba-tiba, suara klakson mobil membuyarkan pikirannya. Sebuah sedan hitam berhenti tepat di depannya. Kaca jendela bagian depan perlahan turun, memperlihatkan wajah Ervan. Senyum ramah pria itu muncul, tetapi Naura hanya memandanginya dengan alis terangkat. “Bu Naura, ayo masuk,” ujar Ervan, seolah-olah itu hal yang sudah diputuskan tanpa perlu diskusi. Naura menggeleng halus. “Tidak usah, Ervan. Saya sudah memesan taksi. Lagi pula, sebentar lagi sudah jam lembur.” Ervan tertawa kecil, lalu melirik arlojinya. Ia kemudian keluar dari mobil. “Taksi di sekitar sini biasanya lama datangnya,
Jantung Naura berdegup lebih cepat. Pesan itu singkat, tetapi Naura merasakan sesuatu yang tidak beres. Dalam pikirannya, berbagai kemungkinan buruk bermunculan, membuatnya merasa tak nyaman. Naura segera menyelesaikan laporan terakhir. Ia menyusun dokumen di mejanya dengan tergesa-gesa. Saat berjalan keluar dari ruangan, langkah cepat Naura menarik perhatian Dinda, rekannya. “Naura, kenapa terburu-buru?” tanya Dinda, menghentikan langkahnya. “Hai, Din.” Naura tersenyum tipis meski terlihat jelas wajahnya diliputi kecemasan. “Sepertinya ibu sangat membutuhkan aku di rumah. Aku duluan ya?” Tanpa menunggu jawaban, Naura berjalan ke arah pintu keluar. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran, dan suara-suara bising di kantor seolah menghilang. Ia memesan ojek melalui aplikasi ponsel dan berdiri gelisah di pinggir jalan, menunggu pengemudi tiba. Tak lama, ojek datang, dan Naura segera naik. Angin sore menerpa wajahnya saat motor melaju, tetapi bukannya membuatnya merasa tenang, angin it
Dion menegakkan tubuhnya sedikit. Ia menatap Naura dengan penuh harap, meskipun wajahnya masih dihiasi luka yang belum kering. “Apa syaratnya?” Ruangan itu terasa hening setelah Dion mengajukan pertanyaan. Hanya suara detak jam dinding yang terus berdetak seperti mengingatkan waktu yang berjalan tanpa henti. Naura menghela napas panjang. Matanya menatap lurus pada suaminya, mencoba mengukur reaksi dari apa yang akan ia katakan. “Besok aku harus menemani Pak Reval keluar kota, Mas. Mungkin sampai tiga hari,” jelas Naura dengan nada yang sedapat mungkin dibuat tenang. Dion mengerutkan kening sejenak, tetapi kemudian mengangguk. “Ya, itu tidak masalah. Asalkan aku dapatkan uangnya, Naura.” Jawaban Dion membuat hati Naura sedikit terguncang. Begitu sederhananya pria itu menyetujui, seolah kepergian istrinya bersama pria lain tidak membawa beban apa pun. Namun, Naura menahan lidahnya. Ia tidak ingin menambah panjang konflik malam ini. “Mas, kamu yakin tidak apa-apa aku pergi se
Seseorang yang selama ini berusaha ia hindari. Reval. Mata lelaki itu bertemu langsung dengan mata Naura. Seketika, udara di antara mereka terasa begitu menyesakkan. Dan di saat itu, Naura sadar. Melupakan Reval ternyata jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Naura segera mengajak Dinda untuk pergi. “Ayo, Dinda. Kita harus segera kembali ke ruangan kita.” Namun tiba-tiba Reval bersuara. “Rupanya kamu di sini, Naura.” Langkah Naura terhenti mendadak. Suara itu. Suara yang selama ini selalu ia rindukan, tetapi juga ingin ia hindari. Napas Naura tercekat. Perlahan, ia menoleh. Reval berdiri di ujung koridor. Tangan lelaki itu dimasukkan ke dalam saku celana, ekspresinya sulit ditebak. Namun, tatapan matanya mengunci Naura di tempat. Ada sesuatu dalam tatapan itu. Bukan kemarahan. Bukan rasa kecewa. Tetapi lebih dari itu. Naura tidak berani menebak. Ia merasakan genggaman tangan Dinda di lengannya, memberi sedikit kekuatan. Namun, Dinda juga tahu kapan harus mundur. “Nau,
“Ada yang ingin kamu sampaikan?” tanya Naura, sedikit ragu. Ervan membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Raut wajahnya seakan menyimpan sesuatu, tetapi akhirnya ia hanya menggeleng. “Tidak, Ibu Naura.” Naura menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Baiklah. Kalau begitu, aku pamit dulu.” Naura segera melangkah pergi, ia berusaha fokus menyelesaikan pekerjaannya. Ketika jam makan siang tiba, Naura memilih untuk menyendiri. Wanita itu sengaja mencari restoran agak jauh dari kantor. Setiap langkah terasa begitu berat, tetapi Naura tetap berjalan. Suasana restoran itu tidak terlalu ramai, seperti yang ia harapkan. Ia memilih meja di sudut ruangan. Tempat yang biasa ia duduki bersama Reval. Sebuah meja kecil di dekat jendela, dengan pemandangan jalanan kota yang sibuk. Tempat yang penuh kenangan. Naura menghela napas panjang. Kali ini, tidak ada suara tawa Reval, tidak ada tatapan tajamnya, tidak ada obrolan ringan yang biasanya mengisi waktu makan siangnya. Yang ada hanyala
Ervan menelan ludah. Ia berdeham dengan canggung. Dinda masih belum bisa berpikir dengan jernih. Wajahnya terasa panas, dan ia bisa merasakan jari-jari Ervan masih dengan lembut menopang punggungnya. “A-aku ... aku baik-baik saja,” gumam Dinda pelan. Namun, tubuhnya masih dalam dekapan Ervan. Dan itu membuatnya semakin salah tingkah. Ervan menyadari hal itu dan segera melepaskan Dinda dengan gerakan hati-hati. “Maaf. Aku refleks.” Dinda buru-buru berdiri tegak dan merapikan bajunya, berharap Ervan tidak menyadari betapa panasnya wajahnya saat ini. “T-tidak, tidak apa-apa. Terima kasih ... kalau saja tadi kamu tidak menangkapku, mungkin aku sudah babak belur.” Ervan tersenyum kecil, tetapi matanya masih menyiratkan sisa keterkejutan. “Aku kebetulan lewat dan melihatmu hampir jatuh. Instingku langsung bergerak.” Dinda mengangguk kikuk, merasa bodoh karena tidak tahu harus berkata apa. Sementara itu, Ervan juga tampak sama canggungnya. Ia menggaruk tengkuknya, sesuatu yang selalu
Naura merasakan aliran darahnya seakan berhenti sesaat. Callista? Ia menatap layar ponselnya sekali lagi. Nama yang tertera di sana memang Reval, tetapi suara yang ia dengar jelas milik Callista. Dinda yang masih berdiri di sampingnya menatap penuh tanya, tetapi Naura terlalu sibuk mengendalikan napasnya yang tiba-tiba terasa berat. “Halo? Naura?” suara Callista kembali terdengar, kali ini lebih lembut, tetapi menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Naura menelan ludah. “Iya, aku Naura.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Hanya terdengar embusan napas Callista sebelum akhirnya wanita itu kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih dalam. “Aku ingin bertemu denganmu.” Naura mengernyit. “Bertemu denganku? Untuk apa?” Dinda kini semakin penasaran, matanya menatap Naura penuh keingintahuan, tetapi Naura mengangkat satu tangan, memberi isyarat agar Dinda menunggu. “Ada sesuatu yang harus aku bicarakan denganmu,” ujar Callista. “Aku rasa … ini penting.” Naura menghe
Naura menarik napas dalam, mencoba mengontrol gejolak yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Ia menatap Dinda dengan ekspresi setenang mungkin. Dinda menatap Naura dengan mata berbinar, tampak begitu bersemangat menceritakan gosip yang tengah hangat diperbincangkan di kantor. “Nona Callista.” Kata itu seperti palu godam yang menghantam dada Naura. Seketika, suara di sekitarnya memudar. Udara yang tadi bisa ia hirup dengan leluasa kini seakan menipis, menyisakan rongga kosong di dadanya. Callista? Tangannya mencengkeram tali tas lebih erat, berusaha menstabilkan dirinya yang tiba-tiba merasa limbung. Seharusnya ia tidak terkejut. Callista memang selalu berada di sekitar Reval, dan wanita itu bukan orang asing di kehidupan mereka. Tapi mendengarnya langsung seperti ini … tetap saja membuatnya sesak. “Naura, kamu kenapa?” suara Dinda membuyarkan lamunannya. Naura segera menampilkan senyum tipis. “Em, tidak apa-apa kok, Din. Aku masuk dulu ya?” Ia melangkah cepat menuju lift, berhara
Naura sontak sedikit menjauhkan kepalanya. Ada sesuatu yang terasa janggal. Ia menarik napas pelan, mencoba meredakan kegelisahan dalam hatinya. “Kenapa mendadak, Mas?” tanya Naura menatap Dion melalui cermin. Dion tersenyum samar. “Nggak ada alasan khusus, Sayang. Aku hanya ingin menebus waktu yang terbuang. Selama ini aku terlalu sibuk dengan urusan kerja, sampai lupa membahagiakanmu.” Naura mengerutkan kening. Sejak kapan Dion sibuk kerja? Setahu Naura, Dion lebih sering menghilang tanpa kabar. Malam-malam pulang larut atau bahkan tidak pulang sama sekali. Sekarang, tiba-tiba berbicara soal liburan berdua? Naura menatap bayangan suaminya di cermin. Ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami dari sikap Dion pagi ini. “Jadi bagaimana? Kamu mau kan?” Dion berbisik lagi, tangannya kini bergerak naik, menyentuh bahu Naura dengan lembut. Naura mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi tanda tanya. “Kita lihat nanti saja, Mas. Aku juga perlu mempersiapkan semuanya. Selain itu, aku be
Kedua mata Naura melirik jam digital di atas nakas. 01.45 AM. Malam sudah sangat larut. Naura menyingkap selimut, menurunkan kakinya ke lantai. Hawa dingin segera menyergap kulitnya, tetapi bukan itu yang mengganggunya. Ada perasaan tidak nyaman yang menekan dadanya, sebuah firasat yang sulit dijelaskan. Ia bangkit dan berjalan ke arah pintu, membuka perlahan. Koridor rumah gelap, hanya ada sedikit cahaya dari lampu di ruang tengah. Nafasnya tertahan saat menatap sekeliling. Rumah terasa terlalu sepi. “Mas Dion?” panggilnya pelan, suara seraknya nyaris tenggelam dalam keheningan malam. Tidak ada jawaban. Naura melangkah ke dapur, berharap suaminya ada di sana untuk mengambil minum seperti yang sering dilakukan. Namun, dapur kosong. Tidak ada jejak Dion di sana. Tidak ada gelas yang diletakkan di meja. Bahkan kulkas masih tertutup rapat, tidak menunjukkan tanda-tanda baru saja digunakan. Dadanya mulai terasa berat. Nafasnya tersendat. Matanya kemudian melirik ke arah
Callista berusaha menarik tangannya, tetapi genggaman Dion terlalu kuat. “Lepaskan aku! Ini tidak termasuk dalam kesepakatan kita!” Dion terkekeh, matanya berkilat dengan sesuatu yang sulit diartikan. “Kata siapa?” Callista mendelik, wajahnya mengeras. “Aku tidak pernah menawarkan diriku, Dion. Aku hanya ingin menyelesaikan urusan denganmu, bukan melayani keinginan kotormu.” Dion menyipitkan matanya. “Oh, jadi kamu berani menentangku?” Callista berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu lebih cepat. Ia tahu Dion, mengenalnya lebih baik daripada siapa pun. Jika pria itu sudah menunjukkan sisi gelapnya, maka tidak ada gunanya melawan dengan keras kepala. Tetapi Callista bukan wanita lemah. Ia menarik napas panjang, mencoba melepaskan tangannya dengan sedikit lebih lembut. “Dion, dengarkan aku. Aku tidak mau ada masalah. Kita sudah punya kesepakatan, bukan?” Dion tidak bergeming. Matanya menatap Callista dengan penuh penilaian sebelum bibirnya melengkung dalam sen
Dion mengerjap, matanya membesar. “Callista?” Wanita itu tersenyum miring, lalu dengan anggun memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan. “Apa kabar kamu, Dion? Sudah lama aku tidak melihatmu.” Dion melepaskan tangannya perlahan, membiarkan Callista berdiri tegak kembali. Matanya mengamati wanita itu dengan penuh kewaspadaan. Callista masih seperti dulu. Berpenampilan mewah, tubuhnya dibalut gaun hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Parfum mahalnya masih tercium kuat, mengingatkan Dion pada masa-masa yang ingin ia lupakan. “Aku pikir kamu masih di luar negeri,” gumam Dion. Callista menyeringai. “Aku pulang beberapa bulan lalu. Kau tidak tahu?” Dion menggeleng. “Tentu saja kamu tidak tahu. Aku tidak menghubungimu.” Callista melipat tangan di depan dadanya. “Kamu terlalu sibuk dengan istrimu, kan?” Dion menatap Callista tajam. Wanita itu terkekeh pelan. “Kamu ingat, Dion? Waktu itu kamu membawa kabur uangku.” Dion mengepalkan tangan. “Aku tidak punya pilihan.” “Dan