Mana nih yang hari Minggu cuma baca novel nggak jalan-jalan??? Ada nggak? >,< biar author berasa punya temen. ƪ(‾.‾“)┐
Seketika udara di dalam ruangan terasa sesak, seperti menindih pundaknya dengan beban yang tak terlihat. Naura membiarkan keheningan menyelimutinya. Namun, pikiran-pikiran itu tak bisa dibungkam. Kata-kata dalam pesan tadi masih bergema di kepalanya, mengusik kedamaiannya. “Apakah aku harus menceritakan hal ini kepada Pak Reval?” gumam Naura sendirian. “Ya, mungkin besok saat melakukan perjalanan ke luar kota. Hari ini sebaiknya aku fokus mempersiapkan semuanya.” Naura menghembuskan napas panjang. Pandangannya tertuju pada layar komputer di depannya. Ketukan di pintu cukup mengejutkan Naura. Ia terlonjak, lalu buru-buru membetulkan posisi duduk. “Masuk,” ucap Naura dengan suara setenang mungkin. Seorang rekan kerja laki-laki, Hendra, masuk dengan membawa berkas. Ia tersenyum, tetapi ada sesuatu di balik senyumnya yang membuat Naura merasa tidak nyaman. Apakah ia sudah mendengar gosip itu? “Naura, ini dokumen untuk revisi laporan kemarin. Bisa kamu cek lagi? Deadline-nya hari in
“Dinda, jangan mulai,” potong Naura dengan suara pelan tetapi tegas. “Dia hanya atasan. Tidak lebih dari itu.” “Iyalah, lagi pula kamu sudah punya suami. Mana mungkin kamu mengkhianatinya.” DEG ! Kata-kata itu benar-benar menghantam hati Naura. Bagaimana jika Dinda tahu yang sebenarnya? Apakah ia akan menjauhi Naura? Naura hanya memiliki Dinda sebagai sahabat. Ia tidak mau kehilangan Dinda. Naura mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang kian menggerogoti. Tangan-tangannya bergerak resah, memainkan ujung rambut panjangnya. Ia tidak ingin Dinda melihat perubahan ekspresi di wajahnya, tetapi Dinda tetap memperhatikannya dengan saksama. “Naura,” Dinda mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Naura lekat-lekat. “Kamu baik-baik aja, kan? Kok tiba-tiba mukamu jadi tegang gitu?” “Aku nggak apa-apa, Din,” jawab Naura cepat, terlalu cepat hingga terdengar seperti bantahan. “Oh, ya aku belum pesan makanan. Sebentar, ya?” Naura bangkit dari kursinya
Naura menelan ludah, berusaha mengolah informasi yang baru saja ia terima. Wanita tersebut merasa resah. Justru hal itu yang ia takutkan. Naura tidak mau menjadi sekretaris sekaligus asisten pribadi Reval. Itu hanya akan membuatnya semakin terjerat dalam rasa yang terlalu sulit untuk ia definisikan. “Bapak harus ingat. Saya wanita yang sudah berkeluarga.” Naura menarik napas dalam-dalam setelah menyelesaikan kalimatnya, mencoba mengembalikan kontrol atas perasaannya yang mulai goyah. Tangannya gemetar di bawah meja, tetapi wajahnya tetap tegas, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia telah mengambil langkah yang benar. Keheningan menggantung di antara mereka, terasa berat, seolah setiap detiknya membawa beban tak terlihat. Reval tidak langsung menjawab. Ia menatap Naura dengan sorot mata yang sulit diartikan. Tangan kanannya terangkat, jari-jarinya bermain dengan tepi gelas air di depannya, menciptakan suara kecil yang hampir tak terdengar. Ia menundukkan sedikit k
Naura tertegun. “T-tidak ada,” jawabnya buru-buru, meskipun ia tahu jawabannya sama sekali tidak meyakinkan. Ia menundukkan kepala, memindahkan pandangannya ke piringnya yang kini setengah kosong. Reval tidak langsung merespon. Ia hanya menatap Naura dalam diam, menciptakan tekanan yang membuat wanita itu semakin gelisah. Ia mengetukkan garpunya pelan ke piring, bunyinya nyaris seperti dentingan lembut, tetapi cukup untuk membuat Naura semakin merasa terpojok. “Aku tahu ada sesuatu,” ucap Reval akhirnya, nada bicaranya lebih lembut, tetapi tetap saja membuat Naura merasa terjebak. “Sepertinya kamu tidak pernah merasa nyaman berada di dekatku.” Naura mendongak, terkejut dengan pernyataan itu. Bagaimana mungkin Reval bisa mengatakan hal itu kepadanya? Tentu ia tahu jawabannya. “Sa–sayaya tidak ...” Naura menghentikan kalimatnya, merasa tidak mampu melanjutkan karena pada kenyataannya, yang dikatakan Reval memang benar. Bukan hanya merasa tidak nyaman. Namun, Naura juga merasa
Naura mengangguk cepat. “Ya, hanya ... sedikit terkejut.” Ia mengalihkan pandangannya ke lantai lift, berharap Reval tidak melihat wajahnya yang memerah. Tetapi, saat ia menunduk, sesuatu yang kecil tetapi cukup memalukan terjadi. Tali sepatu haknya tiba-tiba longgar. “Aduh ....” gumamnya pelan, mencoba membungkuk untuk mengikat kembali tali sepatu itu. Tetapi karena ruang di lift yang terbatas, ia malah kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Untungnya, tangannya sempat memegang dinding lift untuk menahan tubuhnya. Reval, yang memperhatikan itu, tidak bisa menahan senyumnya. Senyum yang mengejek. “Kamu selalu ceroboh seperti ini?” tanya Reval sambil mencondongkan tubuh sedikit, jelas-jelas menikmati situasi tersebut. Wajah Naura kembali memerah. Ia buru-buru berdiri tegak kembali, meskipun tali sepatunya masih belum terikat sempurna. “Saya tidak ceroboh. Ini hanya ... kebetulan.” Reval menggeleng pelan, senyumnya tidak hilang. “Kebetulan yang terlalu sering.” Sebelum N
Perjalanan menuju bandara berlangsung dalam keheningan. Hanya suara radio yang terdengar samar-samar mengisi ruang mobil. Naura memandang keluar jendela, memperhatikan pemandangan yang berlalu cepat, tetapi pikirannya terus berputar. Ketika mobil memasuki area parkir bandara, Reval langsung memarkirkan mobilnya di salah satu tempat kosong yang tidak jauh dari pintu kedatangan. Ia mematikan mesin, melepas sabuk pengaman dengan cepat. Sementara itu, Naura, yang duduk di sebelahnya, mencoba melakukan hal yang sama. Jemarinya berusaha menarik pengait sabuk pengaman, tetapi benda itu terasa begitu bandel hari ini. Tidak mau bergerak sedikit pun. “Duh ...,” gumam Naura pelan sambil menggoyangkan sabuk pengaman dengan wajah frustrasi. Tangannya berkali-kali menarik tuas pengait, tetapi nihil. Reval, yang sudah bersiap keluar, mendesah pelan ketika menyadari Naura masih terjebak di kursinya. Ia memutar tubuhnya dan menatap Naura dengan tatapan datar, tetapi ada kilatan lain yang tidak bi
“Alexa,” ujar Reval sambil melepaskan pelukan gadis itu. “Jangan seperti ini. Kamu sudah besar. Bukan saatnya bermanja-manja lagi.” Alexa hanya tertawa kecil. “Ah, Kak Reval. Aku tetap akan menjadi gadis kesayanganmu, tidak peduli berapapun umurku.” Naura hanya bisa berdiri di samping mereka, merasa seperti orang asing yang tidak diinginkan kehadirannya. Ia berusaha memasang wajah datar, tetapi hatinya terusik melihat kedekatan Alexa dengan Reval. Entah kenapa dadanya terasa sedikit nyeri. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, meski ia tahu itu tidak masuk akal. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi matanya tetap terpaku pada adegan di depannya. ‘Apa ini? Kenapa aku harus merasa seperti ini?’ batin Naura sambil menggigit bibirnya. Sementara itu, Alexa melepas pelukannya dan langsung menggamit lengan Reval seperti anak kecil yang enggan jauh dari orang tuanya. “Aku kangen banget sama Kak Reval. Lama banget nggak ketemu!” ujarnya dengan suara manja. “Alexa, kamu selalu be
“Alexa, aku sibuk. Sudah ada jadwal lain,” jawab Reval tegas, tidak mau dibantah. Mendengar penolakan itu, Alexa langsung berbalik ke arah Naura yang sedang sibuk menunduk, tidak ingin terlibat dalam pembicaraan. “Kalau Kak Reval sibuk karena dia, aku keberatan. Serius, Kak, kenapa harus dia?” Alexa menunjuk ke arah Naura dengan dagunya, nada suaranya jelas penuh kecurigaan. Naura mengangkat wajahnya perlahan, menatap Alexa dengan ragu. Ia membuka mulut untuk menjelaskan, tetapi Reval memotong lebih dulu. “Alexa, cukup!” Nada suaranya tajam, jauh berbeda dari sebelumnya. Alexa tampak terkejut, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang baru dimarahi. “Kak Reval jadi marah cuma karena perempuan ini?” Naura merasa dadanya berdesir, tetapi ia tetap berusaha mempertahankan sikap profesionalnya. Ia tahu bukan tempatnya untuk ikut campur, tetapi suasana ini semakin membuatnya tidak nyaman. “Naura bekerja denganku, Alexa. Itu saja. Jangan membuat masalah yang tidak perlu,” kata Reval
Reval mendesah pelan, tatapan matanya menunjukkan ketidaksenangan. “Bagaimana ini bisa terjadi? Saya sudah memastikan pemesanan dua kamar beberapa hari yang lalu.”Resepsionis tampak cemas. “Kami sangat meminta maaf, Pak. Saat ini hotel kami penuh. Namun, kamar yang tersedia adalah suite dengan dua tempat tidur. Kami pastikan kamar itu nyaman.”Reval mengerutkan dahi, lalu menoleh ke arah Naura. “Kamu keberatan?”Naura merasa jantungnya seperti ingin melompat keluar. “Ehm, saya ... saya kira—”“Ini hanya tiga hari. Kita bisa mengatur ini,” potong Reval santai.“Baik, Pak. Kami akan mengantar Anda ke kamar,” ujar resepsionis dengan suara penuh permohonan maaf.Saat pintu kamar suite terbuka, Naura tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Kamar itu begitu luas, dengan sofa kulit di ruang tamu kecil, meja makan, dan balkon yang menghadap langsung ke pemandangan kota. Dua tempat tidur besar terletak di sisi ruangan, dipisahkan oleh meja kecil. Meski begitu, hati Naura merasa resah. Mengap
Reval tidak langsung merespons. Ia hanya menggerakkan alis sedikit, tanda bahwa ia mendengar. Keheningan melingkupi mobil, menciptakan ketegangan yang hampir membuat Naura menyesal telah mengucapkan kata-kata itu.“Apakah ini ada hubungannya dengan suamimu, Dion?” akhirnya Reval bertanya, suaranya datar, tetapi ada nada menyelidik yang membuat Naura merasa seperti sedang diinterogasi.Naura tercekat. Ia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul. Haruskah ia jujur? Haruskah ia mengakui bahwa Dion-lah alasan di balik permintaannya? Tapi apa yang akan Reval pikirkan tentangnya jika ia mengatakan yang sebenarnya?Kebingungan menghantamnya, seperti gelombang besar yang sulit dihentikan. Naura menunduk, menghindari tatapan Reval yang begitu tajam.“Tidak, Pak,” jawab Naura berbohong, suaranya hampir seperti bisikan.Reval mendengkus pelan, tetapi tidak mengatakan apa-apa.Naura merasa dadanya sesak. Ia tahu ia harus memberikan alasan. Dan alasan itu harus masuk akal. Namun, kebohongan yan
Naura mengangguk. “Sebagian besar sudah, Mas. Nanti aku akan berangkat langsung dari kantor.”Dion menghela napas. “Semoga perjalananmu lancar.”Naura mengangguk lagi, tetapi kali ini tanpa bicara. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Kata-kata Dion terdengar datar, tanpa emosi. Namun, Naura mencoba untuk tidak memikirkan itu terlalu dalam.Setelah selesai membereskan semua, Naura memasak sarapan sederhana. Meja makan menjadi tempat mereka bertemu lagi, tetapi seperti biasanya, keheningan mengisi ruang di antara mereka. Hanya suara sendok dan piring yang saling beradu.“Naura,” panggil Dion tiba-tiba, memecah suasana.Naura mengangkat wajahnya. “Iya, Mas?”“Nanti kalau di sana, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa makan, ya?” Kata-katanya terdengar tulus, tetapi Naura tahu, itu hanyalah basa-basi kecil sebelum ia meminta sesuatu lagi.“Baik, Mas,” jawab Naura singkat.Tiba di kantor, Naura sudah bersiap menunggu keberangkatan dengan Reval. Sebuah koper kecil tergeleta
Dion menegakkan tubuhnya sedikit. Ia menatap Naura dengan penuh harap, meskipun wajahnya masih dihiasi luka yang belum kering. “Apa syaratnya?”Ruangan itu terasa hening setelah Dion mengajukan pertanyaan. Hanya suara detak jam dinding yang terus berdetak seperti mengingatkan waktu yang berjalan tanpa henti. Naura menghela napas panjang. Matanya menatap lurus pada suaminya, mencoba mengukur reaksi dari apa yang akan ia katakan.“Besok aku harus menemani Pak Reval keluar kota, Mas. Mungkin sampai tiga hari,” jelas Naura dengan nada yang sedapat mungkin dibuat tenang.Dion mengerutkan kening sejenak, tetapi kemudian mengangguk. “Ya, itu tidak masalah. Asalkan aku dapatkan uangnya, Naura.”Jawaban Dion membuat hati Naura sedikit terguncang. Begitu sederhananya pria itu menyetujui, seolah kepergian istrinya bersama pria lain tidak membawa beban apa pun. Namun, Naura menahan lidahnya. Ia tidak ingin menambah panjang konflik malam ini.“Mas, kamu yakin tidak apa-apa aku pergi selama itu?”
Jantung Naura berdegup lebih cepat. Pesan itu singkat, tetapi Naura merasakan sesuatu yang tidak beres. Dalam pikirannya, berbagai kemungkinan buruk bermunculan, membuatnya merasa tak nyaman. Naura segera menyelesaikan laporan terakhir. Ia menyusun dokumen di mejanya dengan tergesa-gesa.Saat berjalan keluar dari ruangan, langkah cepat Naura menarik perhatian Dinda, rekannya.“Naura, kenapa terburu-buru?” tanya Dinda, menghentikan langkahnya.“Hai, Din.” Naura tersenyum tipis meski terlihat jelas wajahnya diliputi kecemasan. “Sepertinya ibu sangat membutuhkan aku di rumah. Aku duluan ya?”Tanpa menunggu jawaban, Naura berjalan ke arah pintu keluar. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran, dan suara-suara bising di kantor seolah menghilang. Ia memesan ojek melalui aplikasi ponsel dan berdiri gelisah di pinggir jalan, menunggu pengemudi tiba.Tak lama, ojek datang, dan Naura segera naik. Angin sore menerpa wajahnya saat motor melaju, tetapi bukannya membuatnya merasa tenang, angin itu jus
Langit sore mulai menggelap, seolah menandakan hujan yang akan segera turun. Naura berdiri di tepi trotoar depan apartemen Reval, dengan ponsel di tangannya. Ia mencoba memesan taksi melalui aplikasi, tetapi sinyal yang tidak stabil membuatnya frustrasi. Pandangannya sesekali melirik ke arah pintu apartemen, memastikan tidak ada tanda-tanda Reval keluar untuk mengajaknya kembali ke kantor. Tiba-tiba, suara klakson mobil membuyarkan pikirannya. Sebuah sedan hitam berhenti tepat di depannya. Kaca jendela bagian depan perlahan turun, memperlihatkan wajah Ervan. Senyum ramah pria itu muncul, tetapi Naura hanya memandanginya dengan alis terangkat. “Bu Naura, ayo masuk,” ujar Ervan, seolah-olah itu hal yang sudah diputuskan tanpa perlu diskusi. Naura menggeleng halus. “Tidak usah, Ervan. Saya sudah memesan taksi. Lagi pula, sebentar lagi sudah jam lembur.” Ervan tertawa kecil, lalu melirik arlojinya. Ia kemudian keluar dari mobil. “Taksi di sekitar sini biasanya lama datangnya,
“Pak ... saya tidak ...” Naura tergagap, mencoba mencari alasan, tetapi otaknya tidak bekerja dengan baik. Reval menyipitkan matanya, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang seolah mengejek. “Apa aku terlihat menakutkan?” Naura menggeleng cepat. “Bukan, Pak. Saya hanya ....” Kata-katanya terhenti ketika Reval mengulurkan tangan, menyentuh sudut bibir Naura dengan jemarinya yang panjang. Sentuhan itu ringan, hampir seperti angin, tetapi cukup untuk membuat Naura terdiam. “Kenapa kamu selalu tampak gelisah di dekatku?” bisik Reval, suaranya penuh dengan godaan yang samar. Naura menahan napas. Jantungnya berdebar tak karuan, seperti lonceng alarm yang berdentang tanpa henti. Ia mencoba membuang wajah, tetapi Reval malah semakin mendekat, membuat jarak di antara mereka nyaris tak bersisa. ‘Kenapa dia justru menanyakan hal ini? Apakah dia benar-benar tidak paham dengan statusku yang masih istri sah Mas Dion?’ Naura mengumpat di dalam hatinya, namun tak mampu meluahk
Naura duduk di ujung ranjang, tangannya menggenggam ujung roknya dengan gelisah. Ia memandang ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat, di mana suara gemericik air terdengar samar dari dalam. “Apa yang dilakukan Pak Reval? Kenapa lama sekali?” gumam Naura. Waktu terasa berjalan lambat. Keheningan yang menyelimuti kamar membuat pikirannya berlarian ke berbagai arah. Setelah beberapa menit berlalu, suara dari dalam kamar mandi memecah keheningan. “Naura, ambilkan handukku!” Suara Reval terdengar jelas, tegas, namun tetap rendah seperti biasa. Naura terlonjak sedikit. “Ba–baik, Pak,” jawabnya gugup. Wanita itu segera berdiri, mencari-cari handuk di lemari yang terletak di sudut ruangan. Setelah menemukannya, ia berjalan ke arah pintu kamar mandi dengan langkah ragu. Tangannya terulur untuk mengetuk pintu, tetapi sebelum sempat melakukannya, suara Reval terdengar lagi dari dalam. “Masuk saja.” Naura menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia memutar ke
Ruangan itu masih sunyi, hanya ditemani suara pelan dari pendingin udara yang berhembus lembut. Naura terbangun perlahan, matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Sebentar, di mana ini? pikirnya, sebelum menyadari bahwa ia masih berada di kamar apartemen Reval. Tubuhnya terasa kaku, tetapi yang lebih mengganggunya adalah sesuatu yang berat di pinggangnya. Perlahan, ia menoleh ke samping dan langsung membeku. Tangan Reval bertengger di pinggangnya, menjaganya tetap dekat dengan tubuh pria itu. Jantung Naura langsung berdegup kencang. Ia menelan ludah, menatap wajah Reval yang tampak begitu damai dalam tidurnya. Kedua mata pria itu masih terpejam, napasnya terdengar tenang, dan rambutnya sedikit berantakan, membuatnya terlihat lebih santai dibandingkan citra dingin yang biasa ditampilkan di kantor. Namun, ini bukan saatnya untuk mengagumi. Naura tahu ia harus segera bergerak. Ia tidak bisa terus berada di sini, terperangkap dalam situasi yang membuatnya gelisah.