"Ibu Anda harus segera dioperasi untuk menyelamatkan nyawanya."
Suara tegas sang dokter seketika membuat Anna menahan napasnya sejenak. Sudah satu tahun ini, Martha, ibu Anna menderita gagal ginjal sampai harus rutin cuci darah. Komplikasi membuat kondisinya terus memburuk hingga Martha harus terus menginap di rumah sakit beberapa bulan terakhir ini. Semua harta benda pun sudah dijual habis hingga Anna tidak tahu lagi harus mencari uang ke mana untuk biaya operasi yang selangit itu. "Itu ... apa harus sekarang, Dokter? Bisakah ditunda dulu? Aku masih belum punya uang. Bisakah diobati dulu seperti biasa saja?" Anna mencoba menawar. "Melihat kondisinya sekarang, kami khawatir jantungnya mendadak berhenti saat cuci darah ...." Lagi-lagi Anna menahan napasnya. Jantungnya seolah tertusuk oleh benda tumpul sampai ia sulit bernapas. Tanpa bisa dicegah, air mata Anna pun menetes merasakan bagaimana dunia bisa berputar dalam sekejap. Padahal dulu hidup Anna serba mewah. Lahir di keluarga kaya dan terpandang menjadikan Anna putri yang memiliki segalanya. Namun, perusahaan mendadak bangkrut, kerja sama gagal, semua aset disita, hutang di mana-mana. Ibunya sakit parah dan yang lebih menyakitkan adalah ayah Anna malah kabur dengan tidak bertanggung jawab setelah menipu banyak orang sambil membawa semua harta mereka yang tersisa. Dengan tega, ayah Anna membiarkan Anna berjuang sendiri demi kesembuhan Martha tanpa peduli Martha hidup atau mati saat ini. Dada Anna pun bergemuruh. Amarah dan keputusasaan bercampur menjadi satu hingga akhirnya ia segera pulang ke rumah untuk meminta bantuan pada Jeremy, pria yang sudah menjadi suaminya selama enam tahun ini. "Aku butuh uang untuk transplantasi ginjal ibuku. Pinjami aku uang, Jeremy! Aku bersumpah akan menyicil dan melunasinya." Jeremy yang sedang berkutat dengan pekerjaannya pun langsung melotot menatap Anna. "Apa, Anna? Pinjam uang? Kau lupa kalau semua uangku sudah dibawa kabur oleh ayahmu yang brengsek itu, hah?" Anna bergidik. Jeremy juga menjadi korban dari ayah Anna sampai perusahaan Jeremy terkena banyak masalah dan berada di ambang kebangkrutan juga saat ini. "Jeremy, aku mohon sekali saja! Aku tahu kau masih punya simpanan, pinjamkan dulu padaku untuk menyelamatkan ibuku!" Brak! Jeremy menggebrak mejanya. "Anna, sadarlah kau bukan lagi tuan putri yang bisa mendapatkan segalanya hanya karena kau menginginkannya! Aku sudah tidak punya uang lagi!" "Tapi kalau kau berhasil mendapatkan investor untuk menyelamatkan perusahaan, mungkin aku bisa memberikan uang itu ...." Air mata Anna makin mengucur deras. Ini terlalu berat. Entah apa Martha bisa bertahan sampai Anna mendapatkan investor, sementara mencari investor untuk perusahaan mereka itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Sangat sulit. Bahkan, setelah bertemu banyak pengusaha, menyebar banyak proposal, berusaha siang dan malam, masih tetap tidak ada orang gila yang rela menghamburkan uangnya untuk berinvestasi di perusahaan yang hampir mati seperti perusahaan mereka. Namun, telepon yang masuk sore itu ke ponselnya mendadak membuat Anna kembali menemukan harapan. "Global Jaya Group setuju menjadi investor di perusahaan kita, Bu. Pimpinannya ingin bertemu Anda besok pagi." "Benarkah itu? Beritahu aku akan datang! Aku pasti akan datang ke sana," sahut Anna dengan tatapan yang berbinar-binar penuh harap. Keesokan harinya, Anna merapikan penampilannya. Anna memang sudah lama bekerja di perusahaan dan ikut merasakan bagaimana perusahaan mengalami kemunduran hingga semuanya habis perlahan. Pengurangan karyawan sudah tidak bisa dicegah lagi. Bahkan, gaji karyawan yang masih ada sekarang saja sudah menunggak dua bulan. Miris sekali. Dari punya segalanya menjadi minus segalanya, itu kondisi Anna sekarang. Namun, Anna tidak mau larut dalam kesedihannya dan berusaha tersenyum untuk menyambut satu-satunya harapan barunya. Dengan cepat, Anna pun tiba di gedung Global Jaya Group, sebuah perusahaan konstruksi besar, megah, dan berkembang. "Dengan Bu Anna? Silakan ikut saya, Pak Diego sudah menunggu Anda," sapa sang sekretaris. Senyuman Anna sedikit memudar mendengar nama itu. Waktu memasukkan proposal, Anna memang hanya berhubungan dengan manager perusahaan dan saking banyaknya perusahaan yang Anna datangi, Anna sampai tidak sempat mencari tahu tentang pimpinan perusahaan itu. Namun, nama itu membuat Anna seketika terdiam. Diego. Nama itu mengingatkannya pada sosok yang ingin Anna lupakan. Pria pemilik nama itu adalah pria yang sudah Anna hancurkan hidupnya tanpa perasaan enam tahun yang lalu. Pria yang membuat Anna merasa sangat bersalah, tapi juga tidak berdaya. Pria itu adalah mantan suami Anna yang sangat Anna cintai. Ya, Anna sudah pernah menikah sebelum ia menikah dengan Jeremy. Pernikahan mereka tidak direstui karena Diego hanyalah pemuda miskin. Hingga tanpa perasaan, ayah Anna memfitnah Diego dan menjebloskannya ke penjara. Dada Anna sesak mengingatnya. Entah bagaimana kabar Diego setelah keluar dari penjara, Anna tidak tahu. Tapi satu yang pasti, Anna yakin, sampai mati Diego pasti akan membencinya dan membayangkannya membuat tubuh Anna bergidik sendiri. "Permisi, Bu! Kita sudah tiba, silakan masuk!" Suara sang sekretaris membuyarkan lamunan Anna. "Ah, terima kasih!" Sambil merapikan setelan formalnya, Anna pun masuk ke ruangan itu dan berusaha tersenyum menatap punggung seorang pria yang begitu tinggi dan gagah, satu tangan pria itu memegang gelas minuman dan tangan yang lain dimasukkan ke dalam kantong celananya. Pria itu sedang berdiri menatap jendela besarnya yang langsung menampilkan pemandangan jalanan kota yang begitu ramai. "Selamat pagi, Pak! Anda pasti Pak Diego, pimpinan Global Jaya Group. Perkenalkan, saya Anna dari Angkasa Konstruksi," sapa Anna dengan sopan. Pria itu pun menyeringai mendengar suara Anna, suara yang sudah sangat lama tidak ia dengar. "Bu Anna Wijaya dari Angkasa Konstruksi!" ulang pria itu yang membuat Anna mengernyit. Mengapa suara pria itu sangat tidak asing di telinganya? Apa mereka pernah bertemu sebelumnya? Anna pun masih menerka-nerka sampai saat pimpinan perusahaan itu pun membalikkan tubuhnya dan membuat Anna membelalak begitu lebar. "Bu Anna Wijaya, akhirnya kita bertemu lagi!" **Mungkin, seumur hidup, orang yang tidak mau Anna temui lagi adalah mantan suaminya. Bukan karena Anna membenci pria itu, tapi Anna terlalu takut pada kemarahan dan kebencian pria itu padanya. Namun, takdir malah membawa Diego, mantan suami Anna berdiri tepat di hadapannya seperti ini. "Bagaimana kabarmu, Bu Anna Wijaya?"Suara Diego membuat Anna tersentak. "D-Diego ...." lirih Anna dengan susah payah. "Pak Diego!" Diego mengoreksi. "Jangan lupa kalau posisi kita sudah setara sekarang. Atau malah ... aku lebih tinggi?" Diego menyeringai. Anna menahan napasnya sejenak dan ekspresi Anna benar-benar membuat Diego puas. "Mengapa ekspresimu seperti sedang melihat hantu, Bu Anna? Kau pasti tidak berharap bertemu denganku lagi kan? Tapi nyatanya kita bertemu lagi."Seringaian itu makin mengembang dengan tatapan yang tidak pernah lepas sedikit pun dari Anna. "Jadi apa hidupmu lebih bahagia setelah membuang suami miskinmu yang tidak berguna ini dan menikah lagi dengan pria kaya?" "Bahka
Anna langsung meradang mendengar persyaratan kurang ajar dari Diego. Walaupun Anna butuh uang, tapi Anna punya harga diri dan Anna tidak akan membiarkan Diego menginjak-injak harga dirinya seperti itu. "Dasar kurang ajar! Berani sekali kau meminta hal seperti itu padaku, Diego?" kecam Anna. "Pak Diego!" Diego mengingatkan. "Bersikap sopanlah padaku!" "Baiklah, Pak Diego!" ulang Anna dengan penuh tekanan. "Tapi aku tidak akan pernah setuju dengan syaratmu!" Diego menaikkan alisnya. "Boleh aku tahu alasannya? Aku menyetujui semua poin yang perusahaanmu minta, sedangkan aku hanya mengajukan satu syarat dariku, apanya yang berat?" "Syaratmu sangat tidak bermoral dan aku menolaknya! Jadi tidak akan ada kesepakatan di antara kita! Permisi!" Anna mencengkeram berkas yang ia pegang dan ia pun buru-buru keluar dari sana dengan jantung yang masih berdebar tidak karuan. Anna menahan dirinya dan terus mengangkat dagunya angkuh sampai saat ia sudah duduk di mobilnya dan tangisannya pun mel
"Hei, bukankah ini Anna Wijaya, anaknya Pak Wijaya yang terhormat, hah?" Suara seorang pria mendadak membuat Anna memalingkan tatapannya dari Diego.Diego sedang duduk sendirian di tengah sofa panjang diapit oleh dua pria yang membawa pasangannya masing-masing. Dan Anna mengenali salah satu pria yang bersama Diego. Namanya Kenny, pengusaha yang menjadi korban penipuan ayahnya Anna juga. Kenny dulu juga pernah mengejar Anna, tapi Anna selalu menolaknya. "Jadi orang yang menjual mobilnya padamu itu adalah Anna Wijaya ini, Pak Diego?" seru Kenny yang membuat Anna membelalak. Ini terlalu kebetulan Diego yang akan membeli mobil Anna. Terlalu kebetulan dan terlalu memalukan. "Apa kau kekurangan uang, hah? Kasihan sekali! Anna Wijaya yang dulu kaya sekarang jadi seperti ini." Kenny mencemooh. "Tapi keluarga kalian pantas mendapatkannya, Anna! Ayahmu itu sombong dan suka merendahkan orang lain! Merasa dirinya yang paling hebat, tapi ternyata tidak lebih dari seorang pencuri! Berapa banya
"Kau benar-benar brengsek, Pak Diego!" Anna langsung mendorong Diego kasar sampai Kenny sontak ikut berdiri siaga dan menghampiri Anna. "Apa yang kau lakukan pada Pak Diego, hah? Kau tidak tahu siapa dia? Berani sekali kau, Anna!" "Kau dan dia sama-sama tidak sopannya!" geram Anna. Kenny tertawa kesal mendengarnya. "Memangnya apa yang Pak Diego minta, hah? Apa yang begitu susah kau turuti? Malahan seharusnya kau bersyukur kalau Pak Diego minta ditemani atau dilayani. Bahkan, aku juga tidak keberatan kalau kau mau melayaniku juga!" seru Kenny dengan menjijikkan sambil mencekal tangan Anna. "Akhh, lepaskan aku, Pak Kenny!" pekik Anna sambil menarik tangannya dari Kenny. "Jangan sok suci, Anna! Kau sudah di sini kan? Ayo kita bersenang-senang sebentar saja!" "Tidak! Lepaskan aku! Lepas!" pekik Anna lagi. Anna sempat menatap Diego, seolah meminta tolong pada pria itu, tapi Diego tetap diam di tempatnya, tanpa peduli apa pun. Anna makin kesal. Anna mengerahkan semua tenagan
"Berhenti mengganggu Papa seperti tadi, Darren! Papa sedang menelepon!" Terdengar suara bentakan begitu Anna tiba di rumah dan tidak lama kemudian, suara isakan tertahan anak kecil juga ikut terdengar. Anna membelalak saat menyadari bahwa itu adalah suara Jeremy dan Darren. Anna pun langsung menghambur masuk ke rumah dan berlari menyelamatkan anaknya itu, anak kandungnya yang berumur lima tahun itu. "Mama!" "Darren, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan pada Darren, Jeremy?" bentak Anna kesal. Anna bisa terima Jeremy membentaknya atau menghinanya, tapi Anna tidak bisa terima kalau anaknya dikasari. Jeremy sendiri hanya tertawa kesal menatap Anna. "Akhirnya kau pulang juga, hmm? Pergi ke mana kau? Apa kau tidak tahu kalau anakmu dari tadi begitu ribut mencarimu dan begitu ribut menggangguku, hah? Kau malah enak-enakan keluyuran?" "Aku ada urusan, Jeremy! Dan urusanku itu tidak ada hubungannya denganmu!" "Oh, tidak ada hubungannya denganku? Dengar, Anna! Aku tidak suk
Anna mengernyit dalam tidurnya pagi itu. Cahaya matahari terasa menyilaukan sampai Anna pun buru-buru membuka matanya. Dan benar saja hari sudah pagi. "Astaga, aku bangun kesiangan!" gumam Anna. Setiap pagi, Darren memang akan bersiap ke sekolah bersama pengasuhnya, lalu Anna yang akan mengantarnya ke sekolah. Anna pun menghela napas panjangnya yang masih begitu berat. Banyaknya masalah yang terjadi akhir-akhir ini membuat Anna begitu lelah, apalagi hari ini, Anna harus survey sekolah baru untuk Darren. Sudah dua tahun ini Darren bersekolah di sekolah internasional terbaik di kota itu. Sebagai orang kaya, tentu saja Anna merasa mampu memberikan pendidikan terbaik untuk Darren. Tapi itu dulu, sebelum tabungan Anna habis tidak bersisa. Anna pun terpaksa harus memindahkan Darren ke sekolah lain yang uang sekolahnya lebih murah tahun ajaran baru nanti. "Maafkan Mama, Sayang. Mama janji akan berusaha bagaimanapun caranya agar kau bisa sekolah di sekolah terbaik lagi. Mama hanya butuh
Anna membelalak tegang melihat Diego mencecap bibirnya sendiri setelah minum dari gelas Anna, seolah pria itu benar-benar baru saja berciuman dengan Anna. "Well, ternyata aku lebih suka melakukannya langsung," seru Diego sambil meletakkan kembali gelasnya di hadapan Anna. Anna sampai menatap gelas kosong itu cukup lama dan sumpah, Anna tidak mau memakainya lagi. "Jadi, ini pertama kalinya aku bertemu dengan suamimu. Dia tampan, walaupun tidak lebih tampan dariku," seru Diego percaya diri. Namun, Anna malah bertanya yang lain. "Mengapa kau harus bertemu dengannya, Pak Diego? Bukankah aku sudah bilang tidak akan ada kesepakatan di antara kita? Mengapa kau harus ...." "Dia yang meneleponku duluan, bukan aku yang meminta bertemu dengannya. Lagipula apa kau pernah dengar ada investor yang mengemis, Bu Anna? Tidak kan? Aku yang punya uang, aku yang punya kuasa. Suamimu justru yang mengemis padaku!" Anna menelan salivanya mendengar nada merendahkan dari Diego. Namun, Anna bel
"Di sini senang! Di sana senang! Di mana-mana hatiku senang ...." "Di sini senang! Di sana senang! Di mana-mana hatiku senang ...." "Yeay!" Darren masih tertawa dan bertepuk tangan bersama teman-temannya di dalam bus sekolah. Mereka hampir tiba ke taman wisata yang akan menjadi lokasi belajar sekaligus bermain pagi itu saat mendadak bus sekolah mengalami gangguan mesin. Guru Darren yang masih berdiri di bus pun mendadak oleng saat sopir bus membanting setirnya. "Akhh, ada apa? Ada apa?" "Miss!" teriak anak-anak yang kaget saat mereka juga terbentur bangku mereka sendiri. "Anak-anak tidak apa? Tenang dulu semua! Tenang dulu!" Sang guru mencoba menenangkan, tapi mendadak bus melaju begitu ngebut dan bau sangit mulai tercium di sana. Dan detik selanjutnya, semua kejadiannya pun berlangsung begitu cepat saat bus oleng lalu melaju makin tidak terkendali. "Akhh, ada apa ini? Ada apa ini?" pekik para guru yang sampai terhentak di kursinya. Beberapa guru yang lain berusaha memeluk p
"Apa itu, Anna? Apa yang kau sembunyikan dariku?" Jeremy melangkah mendekati Anna sampai Anna makin tegang sendiri. Buru-buru Anna menutup kembali lemarinya baru ia berhadapan dengan Jeremy. "Aku tidak menyembunyikan apa-apa." "Jangan bohong, Anna! Kalau kau tidak mau memberitahuku, aku bisa melihatnya sendiri!" Jeremy berniat membuka lemari Anna, tapi Anna menghalanginya. "Jangan membuat keributan, Jeremy! Darren sudah tidur!" "Kau pikir aku peduli? Kalau kau tidak mau aku membuat keributan, tunjukkan padaku sekarang!" Otak Anna pun berpikir cepat, sebelum akhirnya ia menjawab asal. "Itu hanya sisa perhiasan yang aku punya. Aku ... sedang menghitung sisa perhiasan yang bisa dijual untuk pengobatan ibuku," dusta Anna yang mendadak begitu lancar. Jeremy yang mendengarnya pun mendadak mengurungkan niatnya membuka lemari dan langsung memicingkan matanya. "Perhiasan? Jadi kau masih punya sisa perhiasan, tapi berpura-pura tidak punya apa-apa? Apa perhiasan itu juga yang kau jual
"Mama, Uncle Ronaldo mana?""Uncle sudah janji mau main bola sama Darren kalau Darren keluar dari rumah sakit." "Darren mau main bola, Mama ...." Darren tidak berhenti mencari Diego saat akhirnya ia diijinkan pulang dari rumah sakit malam itu. Malahan, Darren sempat tidak mau pulang tadi karena ngotot mencari Diego yang diyakini masih menunggunya di rumah sakit, tapi Anna dan Bik Nim memaksanya pulang. Anna yang menyetir mobilnya sampai terus mengembuskan napas lelahnya. Bagaimana tidak lelah kalau setelah ditinggalkan Diego, Anna terus menangis. Bahkan, wajah Anna terasa tebal saat ini. Anna berharap bisa menenangkan hatinya dan ia berharap tidak akan mendengar apa pun tentang Diego dalam waktu dekat, tapi malah anaknya yang terus menyebut nama pria itu. "Tidak ada Uncle Ronaldo, Darren! Mama kan sudah bilang tidak ada!" geram Anna sambil menggertakkan giginya. "Tapi Darren mau sama Uncle Ronaldo. Mama sudah janji mau temani Darren cari Uncle. Darren mau cari Uncle ...." Menda
Anna tidak pernah menyangka pada akhirnya Diego akan mengetahui tentang Darren. Anna tidak bisa menjelaskan debaran jantungnya yang menghentak tidak karuan saat ini dan tubuh Anna gemetar sampai ia tidak tahu harus menjawab bagaimana. "Aku ... aku ....""Apa menjawab iya atau tidak saja begitu sulit untukmu, Anna?" sela Diego tajam.Diego menatap Anna dengan tatapan mengerikan yang tidak bisa dijelaskan. Tatapannya penuh dengan kebencian, tapi Anna juga bisa melihat luka yang mendalam di sana. "Mungkin, dengan menyingkirkan aku, kau berpikir bisa menutupi kenyataan ini selamanya. Tapi takdir akhirnya membuatku melihat wanita seperti apa mantan istriku ini!" imbuh Diego penuh amarah tertahan. Anna sempat mengernyit, berusaha memahami maksud Diego. Namun, Diego kembali berbicara. "Selama pernikahan kita, aku hanya dianggap menantu sampah di rumahmu. Sampai suatu hari, ayahmu memintaku bekerja di perusahaan." "Aku mengira pada akhirnya dia bisa menerimaku, tapi ternyata itu hanyala
"Apa Anda Papanya? Tolong isi data pasien dulu, Pak!" Darren akhirnya tiba di ruang UGD sebuah rumah sakit. Darren langsung ditangani dan Diego pun diminta mengisi data pasien karena memang Diego tiba duluan di sana. "Isi data pasiennya, Jovan!" "Baik, Pak!" Jovan segera pergi, sedangkan Diego sama sekali tidak beranjak dari bilik Darren. Diego terus mengamati ekspresi Darren yang tadi masih kaku, tapi sekarang sudah mulai tenang. Diego pun kembali lega. "Bagaimana kondisinya, Dokter?" "Jadi dia tersedak makanan, Pak?" "Ya, seperti bola-bola daging, aku tidak melihatnya dengan jelas, tapi memang cukup besar." Sang dokter mengangguk. "Dari pernapasannya, semua sudah normal. Untung saja pertolongan pertama bisa diberikan segera. Karena kalau terlambat, pasien akan kehabisan napas. Untuk sementara, kami akan memantaunya dan memastikan kondisinya stabil dulu, tapi tidak ada kondisi bahaya yang harus dikhawatirkan, Pak!" "Syukurlah, terima kasih, Dokter!" "Sama-sama! Per
Jantung Anna berdebar tidak karuan melihat Darren digendong oleh Bik Nim, apalagi tubuh Darren terlihat begitu kaku. "Darren! Darren, ada apa? Apa yang terjadi pada Darren?" Anna langsung menghambur ke arah Bik Nim. Bik Nim sendiri sudah jatuh berlutut di dekat pintu karena ia tidak kuat menggendong tubuh Darren yang menjadi begitu berat. "Darren tersedak, Bu! Darren tersedak dan tidak bisa bernapas!" sahut Bik Nim panik. Bik Nim berusaha menjelaskan, tapi suaranya putus-putus dan kalimatnya belepotan. Bik Nim sesenggukan dan terus memeluk Darren begitu sedih sampai semua orang makin panik melihatnya. Jeremy dan Diego sudah ikut berdiri dari kursinya. Diego masih mengernyit berusaha memahami kejadiannya, tapi Jeremy kembali emosi. "Tersedak? Hanya tersedak tapi kau begitu heboh! Dia sudah sering tersedak kan?" geram Jeremy yang langsung melangkah mendekat. Jeremy tidak melakukan apa pun dan mendadak diam menatap Darren yang terlihat seperti orang akan mati, tapi Jeremy juga tid
Darren langsung kaku melihat Jeremy dan Anna saling membentak. Biasanya Bik Nim akan membawa Darren pergi dari pertengkaran orang tuanya, tapi kali ini, Bik Nim sendiri sampai tidak berani berkutik karena ada tamu Jeremy di sana. Jeremy dan Anna pun masih saling melotot, tapi Jeremy segera menyadari keberadaan Diego dan menjaga sikapnya lagi. "Ah, astaga, aku lepas kendali. Maafkan aku lagi, Pak Diego! Tidak seharusnya Anda melihat ini." Jeremy berusaha untuk tersenyum. Anna sendiri masih menenangkan napasnya yang tersengal. Jeremy benar, tidak seharusnya Diego melihat ini atau Diego akan menjadikan ini sebagai alat untuk makin menekan Anna. "Maafkan aku juga! Kurasa ... aku akan membawa Darren ke kamarnya saja! Ayo, Sayang!" Anna buru-buru memeluk Darren bersamanya. "Biarkan Bik Nim yang membawanya, Anna! Kau tetap di sini!" titah Jeremy, sebelum Anna sempat melangkah lagi. Anna terdiam sejenak dengan emosi yang hampir meledak lagi. Tapi layaknya Jeremy, Anna pun menahan diriny
Anna membelalak begitu lebar melihat Darren memeluk Diego. Tubuh Darren cukup tinggi untuk anak berumur lima tahun, tapi Darren tetap hanya memeluk kaki pria itu dan sedikit pinggangnya. Tapi bagaimana bisa Darren begitu akrab dengan Diego? Bagaimana bisa? "Uncle Ronaldo!" seru Darren dengan wajah yang berbinar-binar. Diego sendiri sempat terdiam kaget saat mendadak Darren memeluknya. Scene seperti ini sama sekali tidak ada dalam bayangan Diego, tapi entah mengapa, rasanya hangat. Diego sempat tersenyum tipis, sebelum ia balas memeluk Darren singkat dan membelai kepala anak itu. "Uncle Ronaldo!" panggil Darren lagi sambil mendongak menatap Diego. "Darren! Kau Darren yang di rumah sakit itu kan?" Diego menunduk menatap wajah tampan Darren. Darren mengangguk antusias. "Akhirnya Darren ketemu lagi sama Uncle Ronaldo!" Tatapan Anna goyah. "Apa? Uncle Ronaldo itu Uncle ini?" tanya Anna dengan suara yang bergetar. "Iya, Mama. Ini Uncle Ronaldo yang main bola sama Darren di rumah sa
"Sial! Apa yang kau lakukan, Anna?" geram Diego yang langsung memegangi bibirnya yang berdarah. Gigitan Anna cukup menyakitkan karena Anna melakukannya dengan sepenuh hati. Namun, Anna begitu puas melihatnya. "Kau pikir aku tidak berani melawanmu, hmm? Itulah yang akan kucing liar lakukan untuk melindungi dirinya," desis Anna. Belum sempat Diego menjawabnya lagi, tapi Jeremy sudah kembali ke ruang makan. "Maaf membuat Anda menunggu, Pak. Mengapa kau tidak mempersilakan Pak Diego duduk, Anna?" "Silakan duduk, Pak Diego!" seru Anna cepat. Diego sendiri hanya tertawa kesal, sebelum akhirnya ia duduk. Semua orang duduk di kursinya masing-masing dan Jeremy pun menyadari luka di bibir Diego. "Maaf, Pak, tapi apa bibir Anda terluka? Sepertinya tadi aku tidak melihat luka itu."Diego menyentuh bibirnya lagi sekilas sambil melirik Anna. "Sepertinya digigit serangga barusan. Aku juga baru menyadarinya," jawab Diego asal. "Serangga? Di dalam rumahku?" "Aku juga tidak yakin. Hanya saja,
"Cepat bereskan yang di sana!" "Yang di sana juga! Susun meja makannya yang benar!" "Ayo bekerja yang benar!" Jeremy terus memberikan perintah pada tiga orang pelayan untuk menyiapkan makanan dan membereskan ruang makan di rumahnya malam itu. Sekalipun Jeremy sudah bangkrut, tapi Jeremy adalah tipe orang yang harus dilayani. Jeremy yang dasarnya memang orang kaya juga harus tinggal di rumah yang bersih. Karena itulah, Jeremy masih mempertahankan tiga pelayannya, satu sopir, dan satu security di rumah.Jeremy bisa menggaji mereka. Bahkan, Bik Nim pun digaji oleh Jeremy. Namun, setiap kali Anna minta uang, Jeremy selalu bilang tidak punya uang. "Mama, siapa yang mau datang? Kok Papa sibuk dari tadi?" Darren yang sudah digandeng oleh Anna pun menatap ke arah para pelayan yang lalu lalang sejak tadi. "Teman Papa," sahut Anna singkat. Jantung Anna tidak berhenti berdebar kencang sejak Diego minta makan malam di rumah, apalagi alasannya adalah karena ingin mengenal anak Anna. Anna