"Di sini senang! Di sana senang! Di mana-mana hatiku senang ...." "Di sini senang! Di sana senang! Di mana-mana hatiku senang ...." "Yeay!" Darren masih tertawa dan bertepuk tangan bersama teman-temannya di dalam bus sekolah. Mereka hampir tiba ke taman wisata yang akan menjadi lokasi belajar sekaligus bermain pagi itu saat mendadak bus sekolah mengalami gangguan mesin. Guru Darren yang masih berdiri di bus pun mendadak oleng saat sopir bus membanting setirnya. "Akhh, ada apa? Ada apa?" "Miss!" teriak anak-anak yang kaget saat mereka juga terbentur bangku mereka sendiri. "Anak-anak tidak apa? Tenang dulu semua! Tenang dulu!" Sang guru mencoba menenangkan, tapi mendadak bus melaju begitu ngebut dan bau sangit mulai tercium di sana. Dan detik selanjutnya, semua kejadiannya pun berlangsung begitu cepat saat bus oleng lalu melaju makin tidak terkendali. "Akhh, ada apa ini? Ada apa ini?" pekik para guru yang sampai terhentak di kursinya. Beberapa guru yang lain berusaha memeluk p
Kaki Anna rasanya langsung lemas tak bertulang melihat Darren di sana. Sekuat tenaga, Anna berlari mencegat suster yang mendorong ranjang Darren, lalu memeluk anaknya. "Darren! Ini Mama, Darren! Bangun, Darren! Ini Mama!" seru Anna dengan tubuhnya yang gemetar hebat. "Bu, mohon tenang! Kami harus segera membawa pasien!" "Tapi dia tidak apa kan, Suster? Dia akan selamat kan, Suster? Selamatkan anakku, Suster! Tolong, selamatkan anakku!" Anna merasa seperti seluruh dunia runtuh di hadapannya. Ia berpegangan pada sisi ranjang dorong dengan air mata yang mengalir deras. "Kami akan berusaha semampunya, permisi, Bu!" Suster pun kembali membawa Darren sampai Anna hanya bisa mundur dan menatap kepergian mereka dengan hati teriris. "Bu Anna! Bu Anna!" Terdengar suara Bik Nim dan saat Anna menoleh, Bik Nim pun menghambur ke dalam pelukannya. "Darren, Bu! Darren!" lirih Bik Nim begitu pilu. Menjadi pengasuh Darren sejak Darren masih bayi membuat Bik Nim sangat menyayangi Darre
Anna melajukan mobilnya ke Global Jaya Group sore itu. Ya, Anna tahu Diego pasti bisa membantunya, walaupun jujur debar jantung Anna menghentak begitu kencang saat ini. Setelah direndahkan dan dilecehkan oleh Diego, setelah Anna begitu tegas menolak bantuan Diego, Anna tidak pernah menyangka scene seperti ini akan ada, Anna yang malah datang mencari pria itu. Namun, Anna sudah menyingkirkan semua harga dirinya. Bahkan, Anna sudah siap untuk direndahkan lagi atau bahkan ... dilecehkan. Anna sudah siap. Membayangkan wajah kesakitan Darren saat kecelakaan tadi dan membayangkan hal buruk yang akan menimpa Darren kalau anaknya itu tidak bisa dioperasi membuat Anna rela melakukan apa saja. Dengan langkah mantap, Anna pun akhirnya masuk ke gedung perusahaan itu. Tangannya gemetar menggenggam tasnya erat. Napasnya tersengal, bukan karena lelah, melainkan karena ketegangan yang begitu menusuk hati.Sampai akhirnya Anna tiba di meja resepsionis. "Selamat sore, ada yang bisa dibantu, Bu?"
Anna berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi, wajahnya menunduk dalam. Jemarinya saling bertaut dan bibirnya tidak berhenti mengucap doa untuk kesembuhan anaknya. Sungguh, otak Anna begitu penuh saat ini. Sekalipun prioritas Anna adalah Darren, tapi tidak dapat dipungkiri, pikiran Anna berlarian kesana kemari. Apalagi sejak pertemuan dengan Diego dua hari yang lalu, Anna tidak bisa berhenti memikirkan kesepakatan gila itu. Bagian hati Anna marah pada dirinya yang lemah, tapi setiap bayangan Darren yang terbaring tak berdaya muncul, Anna pun memaksakan dirinya untuk tegar. Ini semua demi Darren. Demi anaknya dan demi keluarganya. Anna pun terus mengembuskan napas panjangnya. Darren akhirnya dioperasi hari ini dan operasinya berlangsung sangat lama sampai Anna begitu tersiksa. "Darren pasti baik-baik saja, Bu. Darren anak baik dan kuat, Tuhan sangat menyayangi Darren," seru Bik Nim menguatkan Anna. "Tentu, Bik, tentu! Darren pasti kuat dan dia pasti segera sembuh sepe
Diego berjalan melewati lorong rumah sakit dengan langkah tegap pagi itu, tapi pikirannya tidak setenang penampilannya. Ia memutuskan datang ke sini karena penasaran. Setelah pertemuannya dengan Anna tiga hari lalu, nama Darren terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu tentang anak itu yang tidak bisa ia abaikan. "Jadi anak itu sudah baik-baik saja setelah dioperasi kemarin?" Diego melirik ke arah Jovan, asistennya yang setia mengikutinya. "Sudah, Pak. Dia sudah dipindahkan ke kamar perawatan intensif. Di sana kamarnya!" Jovan menunjuk ke sebuah kamar di depan sana. Diego mengangguk. Butuh berpikir sangat lama bagi Diego sebelum ia kemari. Diego pun baru saja akan melangkah ke kamar itu saat pandangannya menangkap seorang suster yang sedang mendorong kursi roda. Diego terpaku melihat siapa yang duduk di sana. Seorang wanita dengan wajah yang lelah dan rambutnya yang mulai memutih. Wajah wanita itu terlihat kurus seolah menahan sakit, tapi bagian yang lain terlihat lebih gemuk
Anna melangkah dengan begitu tegang kembali ke mobilnya. Langkahnya kaku dan tubuhnya juga kaku, seolah akan ada hal besar yang terjadi hari ini dan Anna belum siap. Ya, hal besarnya adalah Anna harus menyerahkan dirinya pada Diego malam ini. Itu salah! Tentu saja itu salah karena Anna adalah istri Jeremy dan Anna tahu, Diego melakukan ini untuk balas dendam pada Anna. Anna merinding dan tubuhnya bahkan terus gemetar sampai saat ia sudah duduk di mobilnya. Sekalipun ini keputusannya sendiri, tapi tetap saja, Anna belum siap. "Kau dengar apa yang aku katakan kan, Anna? Anna?" Suara Jeremy mendadak membuat Anna tersentak sampai Anna menoleh kaget. "Ya? Kau bicara denganku?" Jeremy yang sudah duduk di kursi pengemudi pun menatap Anna malas. "Sebenarnya apa yang kau pikirkan sejak tadi, Anna? Sejak pertemuan berlangsung, kau lebih banyak diam dan sama sekali tidak ramah. Dan sekarang, kau terus melamun seperti orang gila!" "Apa kau tidak serius menghandle kerja sama ini? Apa lagi
Anna masih berdiri mematung di tengah kamar hotel. AC di kamar itu terasa lebih dingin dari seharusnya, membuat tubuhnya gemetar halus. Tatapan tajam Diego menelusuri setiap inchi dirinya, membuat jantung Anna berdegup lebih kencang dari sebelumnya, apalagi saat Diego memberikan perintahnya yang membuat Anna makin gemetar. "Buka bajumu!" Anna membelalak sejenak. Anna berharap Diego bisa melakukannya dengan cepat tanpa drama dan Anna bisa segera terbebas dari semua ini. Namun, sepertinya itu mustahil. Anna pun masih terus diam tanpa melakukan apa-apa sampai Diego pun memicingkan matanya. "Kau tidak dengar apa yang aku katakan, Anna? Buka bajumu! Tunjukkan dirimu padaku!" titah Diego lagi yang sudah meraih gelas winenya dan meneguk isinya dengan tatapan yang tidak pernah lepas sama sekali dari Anna. Anna menelan salivanya dan mengeraskan rahangnya. Anna tidak bisa direndahkan seperti ini, tapi menentang Diego akan membuat segalanya makin berlarut-larut. Anna pun akhirnya menganggu
Anna benar-benar ingin berteriak saat akhirnya Diego membawanya ke ranjang. Tubuh Anna dibaringkan di sana layaknya sebuah persembahan untuk dinikmati. Cara Diego menyentuhnya terus berganti, sebentar lembut, sebentar melecehkan. Apalagi saat pria itu akhirnya tiba di bagian sensitif dari diri Anna. Dengan kasar, Diego merobek penghalang terakhir Anna dan bermain di bawah sana sampai Anna berusaha keras menahan desahannya. "Tubuhmu masih meresponku dengan sangat baik, Anna. Tapi aku tidak suka bagaimana kau menahan desahanmu." Diego menyeringai melihat Anna sudah memejamkan mata dan memalingkan wajahnya. "Keluarkan suara seksimu, Anna! Aku ingin mendengarnya!" titah Diego yang bermain makin liar di bawah sana. Namun, Anna bertahan dengan menggigit bibir bawahnya. Hingga akhirnya Anna menyerah dan tidak tahan lagi dengan gelenyar di tubuhnya. Desahan itu pun lolos dari bibir Anna dan Diego begitu menikmatinya. Namun, Diego tidak melembut. Diego akui menyentuh Anna lagi rasanya sep
"Apa itu, Anna? Apa yang kau sembunyikan dariku?" Jeremy melangkah mendekati Anna sampai Anna makin tegang sendiri. Buru-buru Anna menutup kembali lemarinya baru ia berhadapan dengan Jeremy. "Aku tidak menyembunyikan apa-apa." "Jangan bohong, Anna! Kalau kau tidak mau memberitahuku, aku bisa melihatnya sendiri!" Jeremy berniat membuka lemari Anna, tapi Anna menghalanginya. "Jangan membuat keributan, Jeremy! Darren sudah tidur!" "Kau pikir aku peduli? Kalau kau tidak mau aku membuat keributan, tunjukkan padaku sekarang!" Otak Anna pun berpikir cepat, sebelum akhirnya ia menjawab asal. "Itu hanya sisa perhiasan yang aku punya. Aku ... sedang menghitung sisa perhiasan yang bisa dijual untuk pengobatan ibuku," dusta Anna yang mendadak begitu lancar. Jeremy yang mendengarnya pun mendadak mengurungkan niatnya membuka lemari dan langsung memicingkan matanya. "Perhiasan? Jadi kau masih punya sisa perhiasan, tapi berpura-pura tidak punya apa-apa? Apa perhiasan itu juga yang kau jual
"Mama, Uncle Ronaldo mana?""Uncle sudah janji mau main bola sama Darren kalau Darren keluar dari rumah sakit." "Darren mau main bola, Mama ...." Darren tidak berhenti mencari Diego saat akhirnya ia diijinkan pulang dari rumah sakit malam itu. Malahan, Darren sempat tidak mau pulang tadi karena ngotot mencari Diego yang diyakini masih menunggunya di rumah sakit, tapi Anna dan Bik Nim memaksanya pulang. Anna yang menyetir mobilnya sampai terus mengembuskan napas lelahnya. Bagaimana tidak lelah kalau setelah ditinggalkan Diego, Anna terus menangis. Bahkan, wajah Anna terasa tebal saat ini. Anna berharap bisa menenangkan hatinya dan ia berharap tidak akan mendengar apa pun tentang Diego dalam waktu dekat, tapi malah anaknya yang terus menyebut nama pria itu. "Tidak ada Uncle Ronaldo, Darren! Mama kan sudah bilang tidak ada!" geram Anna sambil menggertakkan giginya. "Tapi Darren mau sama Uncle Ronaldo. Mama sudah janji mau temani Darren cari Uncle. Darren mau cari Uncle ...." Menda
Anna tidak pernah menyangka pada akhirnya Diego akan mengetahui tentang Darren. Anna tidak bisa menjelaskan debaran jantungnya yang menghentak tidak karuan saat ini dan tubuh Anna gemetar sampai ia tidak tahu harus menjawab bagaimana. "Aku ... aku ....""Apa menjawab iya atau tidak saja begitu sulit untukmu, Anna?" sela Diego tajam.Diego menatap Anna dengan tatapan mengerikan yang tidak bisa dijelaskan. Tatapannya penuh dengan kebencian, tapi Anna juga bisa melihat luka yang mendalam di sana. "Mungkin, dengan menyingkirkan aku, kau berpikir bisa menutupi kenyataan ini selamanya. Tapi takdir akhirnya membuatku melihat wanita seperti apa mantan istriku ini!" imbuh Diego penuh amarah tertahan. Anna sempat mengernyit, berusaha memahami maksud Diego. Namun, Diego kembali berbicara. "Selama pernikahan kita, aku hanya dianggap menantu sampah di rumahmu. Sampai suatu hari, ayahmu memintaku bekerja di perusahaan." "Aku mengira pada akhirnya dia bisa menerimaku, tapi ternyata itu hanyala
"Apa Anda Papanya? Tolong isi data pasien dulu, Pak!" Darren akhirnya tiba di ruang UGD sebuah rumah sakit. Darren langsung ditangani dan Diego pun diminta mengisi data pasien karena memang Diego tiba duluan di sana. "Isi data pasiennya, Jovan!" "Baik, Pak!" Jovan segera pergi, sedangkan Diego sama sekali tidak beranjak dari bilik Darren. Diego terus mengamati ekspresi Darren yang tadi masih kaku, tapi sekarang sudah mulai tenang. Diego pun kembali lega. "Bagaimana kondisinya, Dokter?" "Jadi dia tersedak makanan, Pak?" "Ya, seperti bola-bola daging, aku tidak melihatnya dengan jelas, tapi memang cukup besar." Sang dokter mengangguk. "Dari pernapasannya, semua sudah normal. Untung saja pertolongan pertama bisa diberikan segera. Karena kalau terlambat, pasien akan kehabisan napas. Untuk sementara, kami akan memantaunya dan memastikan kondisinya stabil dulu, tapi tidak ada kondisi bahaya yang harus dikhawatirkan, Pak!" "Syukurlah, terima kasih, Dokter!" "Sama-sama! Per
Jantung Anna berdebar tidak karuan melihat Darren digendong oleh Bik Nim, apalagi tubuh Darren terlihat begitu kaku. "Darren! Darren, ada apa? Apa yang terjadi pada Darren?" Anna langsung menghambur ke arah Bik Nim. Bik Nim sendiri sudah jatuh berlutut di dekat pintu karena ia tidak kuat menggendong tubuh Darren yang menjadi begitu berat. "Darren tersedak, Bu! Darren tersedak dan tidak bisa bernapas!" sahut Bik Nim panik. Bik Nim berusaha menjelaskan, tapi suaranya putus-putus dan kalimatnya belepotan. Bik Nim sesenggukan dan terus memeluk Darren begitu sedih sampai semua orang makin panik melihatnya. Jeremy dan Diego sudah ikut berdiri dari kursinya. Diego masih mengernyit berusaha memahami kejadiannya, tapi Jeremy kembali emosi. "Tersedak? Hanya tersedak tapi kau begitu heboh! Dia sudah sering tersedak kan?" geram Jeremy yang langsung melangkah mendekat. Jeremy tidak melakukan apa pun dan mendadak diam menatap Darren yang terlihat seperti orang akan mati, tapi Jeremy juga tid
Darren langsung kaku melihat Jeremy dan Anna saling membentak. Biasanya Bik Nim akan membawa Darren pergi dari pertengkaran orang tuanya, tapi kali ini, Bik Nim sendiri sampai tidak berani berkutik karena ada tamu Jeremy di sana. Jeremy dan Anna pun masih saling melotot, tapi Jeremy segera menyadari keberadaan Diego dan menjaga sikapnya lagi. "Ah, astaga, aku lepas kendali. Maafkan aku lagi, Pak Diego! Tidak seharusnya Anda melihat ini." Jeremy berusaha untuk tersenyum. Anna sendiri masih menenangkan napasnya yang tersengal. Jeremy benar, tidak seharusnya Diego melihat ini atau Diego akan menjadikan ini sebagai alat untuk makin menekan Anna. "Maafkan aku juga! Kurasa ... aku akan membawa Darren ke kamarnya saja! Ayo, Sayang!" Anna buru-buru memeluk Darren bersamanya. "Biarkan Bik Nim yang membawanya, Anna! Kau tetap di sini!" titah Jeremy, sebelum Anna sempat melangkah lagi. Anna terdiam sejenak dengan emosi yang hampir meledak lagi. Tapi layaknya Jeremy, Anna pun menahan diriny
Anna membelalak begitu lebar melihat Darren memeluk Diego. Tubuh Darren cukup tinggi untuk anak berumur lima tahun, tapi Darren tetap hanya memeluk kaki pria itu dan sedikit pinggangnya. Tapi bagaimana bisa Darren begitu akrab dengan Diego? Bagaimana bisa? "Uncle Ronaldo!" seru Darren dengan wajah yang berbinar-binar. Diego sendiri sempat terdiam kaget saat mendadak Darren memeluknya. Scene seperti ini sama sekali tidak ada dalam bayangan Diego, tapi entah mengapa, rasanya hangat. Diego sempat tersenyum tipis, sebelum ia balas memeluk Darren singkat dan membelai kepala anak itu. "Uncle Ronaldo!" panggil Darren lagi sambil mendongak menatap Diego. "Darren! Kau Darren yang di rumah sakit itu kan?" Diego menunduk menatap wajah tampan Darren. Darren mengangguk antusias. "Akhirnya Darren ketemu lagi sama Uncle Ronaldo!" Tatapan Anna goyah. "Apa? Uncle Ronaldo itu Uncle ini?" tanya Anna dengan suara yang bergetar. "Iya, Mama. Ini Uncle Ronaldo yang main bola sama Darren di rumah sa
"Sial! Apa yang kau lakukan, Anna?" geram Diego yang langsung memegangi bibirnya yang berdarah. Gigitan Anna cukup menyakitkan karena Anna melakukannya dengan sepenuh hati. Namun, Anna begitu puas melihatnya. "Kau pikir aku tidak berani melawanmu, hmm? Itulah yang akan kucing liar lakukan untuk melindungi dirinya," desis Anna. Belum sempat Diego menjawabnya lagi, tapi Jeremy sudah kembali ke ruang makan. "Maaf membuat Anda menunggu, Pak. Mengapa kau tidak mempersilakan Pak Diego duduk, Anna?" "Silakan duduk, Pak Diego!" seru Anna cepat. Diego sendiri hanya tertawa kesal, sebelum akhirnya ia duduk. Semua orang duduk di kursinya masing-masing dan Jeremy pun menyadari luka di bibir Diego. "Maaf, Pak, tapi apa bibir Anda terluka? Sepertinya tadi aku tidak melihat luka itu."Diego menyentuh bibirnya lagi sekilas sambil melirik Anna. "Sepertinya digigit serangga barusan. Aku juga baru menyadarinya," jawab Diego asal. "Serangga? Di dalam rumahku?" "Aku juga tidak yakin. Hanya saja,
"Cepat bereskan yang di sana!" "Yang di sana juga! Susun meja makannya yang benar!" "Ayo bekerja yang benar!" Jeremy terus memberikan perintah pada tiga orang pelayan untuk menyiapkan makanan dan membereskan ruang makan di rumahnya malam itu. Sekalipun Jeremy sudah bangkrut, tapi Jeremy adalah tipe orang yang harus dilayani. Jeremy yang dasarnya memang orang kaya juga harus tinggal di rumah yang bersih. Karena itulah, Jeremy masih mempertahankan tiga pelayannya, satu sopir, dan satu security di rumah.Jeremy bisa menggaji mereka. Bahkan, Bik Nim pun digaji oleh Jeremy. Namun, setiap kali Anna minta uang, Jeremy selalu bilang tidak punya uang. "Mama, siapa yang mau datang? Kok Papa sibuk dari tadi?" Darren yang sudah digandeng oleh Anna pun menatap ke arah para pelayan yang lalu lalang sejak tadi. "Teman Papa," sahut Anna singkat. Jantung Anna tidak berhenti berdebar kencang sejak Diego minta makan malam di rumah, apalagi alasannya adalah karena ingin mengenal anak Anna. Anna