Diego berjalan melewati lorong rumah sakit dengan langkah tegap pagi itu, tapi pikirannya tidak setenang penampilannya. Ia memutuskan datang ke sini karena penasaran. Setelah pertemuannya dengan Anna tiga hari lalu, nama Darren terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu tentang anak itu yang tidak bisa ia abaikan. "Jadi anak itu sudah baik-baik saja setelah dioperasi kemarin?" Diego melirik ke arah Jovan, asistennya yang setia mengikutinya. "Sudah, Pak. Dia sudah dipindahkan ke kamar perawatan intensif. Di sana kamarnya!" Jovan menunjuk ke sebuah kamar di depan sana. Diego mengangguk. Butuh berpikir sangat lama bagi Diego sebelum ia kemari. Diego pun baru saja akan melangkah ke kamar itu saat pandangannya menangkap seorang suster yang sedang mendorong kursi roda. Diego terpaku melihat siapa yang duduk di sana. Seorang wanita dengan wajah yang lelah dan rambutnya yang mulai memutih. Wajah wanita itu terlihat kurus seolah menahan sakit, tapi bagian yang lain terlihat lebih gemuk
Anna melangkah dengan begitu tegang kembali ke mobilnya. Langkahnya kaku dan tubuhnya juga kaku, seolah akan ada hal besar yang terjadi hari ini dan Anna belum siap. Ya, hal besarnya adalah Anna harus menyerahkan dirinya pada Diego malam ini. Itu salah! Tentu saja itu salah karena Anna adalah istri Jeremy dan Anna tahu, Diego melakukan ini untuk balas dendam pada Anna. Anna merinding dan tubuhnya bahkan terus gemetar sampai saat ia sudah duduk di mobilnya. Sekalipun ini keputusannya sendiri, tapi tetap saja, Anna belum siap. "Kau dengar apa yang aku katakan kan, Anna? Anna?" Suara Jeremy mendadak membuat Anna tersentak sampai Anna menoleh kaget. "Ya? Kau bicara denganku?" Jeremy yang sudah duduk di kursi pengemudi pun menatap Anna malas. "Sebenarnya apa yang kau pikirkan sejak tadi, Anna? Sejak pertemuan berlangsung, kau lebih banyak diam dan sama sekali tidak ramah. Dan sekarang, kau terus melamun seperti orang gila!" "Apa kau tidak serius menghandle kerja sama ini? Apa lagi
Anna masih berdiri mematung di tengah kamar hotel. AC di kamar itu terasa lebih dingin dari seharusnya, membuat tubuhnya gemetar halus. Tatapan tajam Diego menelusuri setiap inchi dirinya, membuat jantung Anna berdegup lebih kencang dari sebelumnya, apalagi saat Diego memberikan perintahnya yang membuat Anna makin gemetar. "Buka bajumu!" Anna membelalak sejenak. Anna berharap Diego bisa melakukannya dengan cepat tanpa drama dan Anna bisa segera terbebas dari semua ini. Namun, sepertinya itu mustahil. Anna pun masih terus diam tanpa melakukan apa-apa sampai Diego pun memicingkan matanya. "Kau tidak dengar apa yang aku katakan, Anna? Buka bajumu! Tunjukkan dirimu padaku!" titah Diego lagi yang sudah meraih gelas winenya dan meneguk isinya dengan tatapan yang tidak pernah lepas sama sekali dari Anna. Anna menelan salivanya dan mengeraskan rahangnya. Anna tidak bisa direndahkan seperti ini, tapi menentang Diego akan membuat segalanya makin berlarut-larut. Anna pun akhirnya menganggu
Anna benar-benar ingin berteriak saat akhirnya Diego membawanya ke ranjang. Tubuh Anna dibaringkan di sana layaknya sebuah persembahan untuk dinikmati. Cara Diego menyentuhnya terus berganti, sebentar lembut, sebentar melecehkan. Apalagi saat pria itu akhirnya tiba di bagian sensitif dari diri Anna. Dengan kasar, Diego merobek penghalang terakhir Anna dan bermain di bawah sana sampai Anna berusaha keras menahan desahannya. "Tubuhmu masih meresponku dengan sangat baik, Anna. Tapi aku tidak suka bagaimana kau menahan desahanmu." Diego menyeringai melihat Anna sudah memejamkan mata dan memalingkan wajahnya. "Keluarkan suara seksimu, Anna! Aku ingin mendengarnya!" titah Diego yang bermain makin liar di bawah sana. Namun, Anna bertahan dengan menggigit bibir bawahnya. Hingga akhirnya Anna menyerah dan tidak tahan lagi dengan gelenyar di tubuhnya. Desahan itu pun lolos dari bibir Anna dan Diego begitu menikmatinya. Namun, Diego tidak melembut. Diego akui menyentuh Anna lagi rasanya sep
"Tidak menginginkan anak dariku?" Ucapan Diego benar-benar menusuk lubuk hati Anna yang paling dalam sampai ia mengulangi ucapan itu dengan lirih. "Ya, kau sudah mendengarnya kan, Anna? Aku hanya ingin bersenang-senang denganmu. Lagipula hamil anak pria lain selain suamimu itu akan membuat masalah baru dalam hidupmu kan? Karena itu, aku cukup bijak untuk mengingatkanmu agar jangan hamil anakku!" "Jadi tunggu apa lagi? Minum itu, Anna! Kau tidak berpikir untuk diam-diam hamil anakku agar bisa memerasku kan?" imbuh Diego dengan tatapan penuh penghinaan. Anna tertawa nanar dan Anna pun mengangguk. "Jangan halu, Diego! Dan jangan khawatir karena aku juga tidak sudi hamil anakmu!" Anna mengedarkan pandangan ke sekelilingnya mencari gelas air, tapi karena tidak ada, Anna pun akhirnya melihat gelas wine itu. Susah payah, Anna bergerak turun dari ranjang. Tubuhnya sangat pegal dan bagian intinya sangat sakit, terasa perih, dan seperti sensasi terbakar. Diego benar-benar menyiksanya tan
"Mmpphh, Diego ...."Suara parau Anna yang meneriakkan namanya membuat hasrat Diego makin membuncah. Dengan lihai, Diego menyusuri setiap inchi tubuh Anna tanpa terlewat dengan bibirnya dan membuat wanita itu bergerak tak karuan. Diego sendiri berakhir dengan membenamkan wajahnya ke ceruk leher Anna. Diego menggigit kecil leher itu dan meninggalkan jejak kepemilikannya sampai Anna menjerit tertahan. "Anna, kau membuatku gila ...," bisik Diego sambil menghentak tubuh wanita itu tanpa ampun. Desahan Anna membuat Diego makin bersemangat mengejar pelepasannya dan ia hampir sampai ke puncak kenikmatannya. Namun, suara bel pintu apartemennya mendadak berbunyi dan membuat Diego seketika membuka matanya kaget. Untuk sesaat, Diego mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, sebelum ia menyadari bahwa semuanya hanya mimpi. "Sial, aku hanya mimpi? Mimpi melakukannya lagi dengan Anna? Ck, mimpi sialan!" geram Diego sambil melirik celananya yang begitu ketat saat ini. Tentu saja Diego sering me
"Darren bosan, Mama. Darren mau jalan-jalan sama Bik Nim keluar." Setelah istirahat dua hari, Darren merasa begitu segar dan anak-anak yang sudah segar, tidak akan pernah betah terkurung di dalam kamar. Darren pun mulai merengek minta keluar sampai Anna pusing sendiri mendengar rengekan itu. "Di kamar saja ya, Sayang!" "Darren mau jalan-jalan, Mama!" "Tapi Darren kan baru sembuh." "Kan ada Bik Nim." Anna mengembuskan napas panjangnya dan mencoba memeriksa suhu tubuh Darren berulang kali. Saat suster masuk pun, suster mengatakan bahwa kondisi Darren sudah sangat stabil dan Darren diijinkan kalau mau jalan-jalan sebentar, tapi syaratnya harus dengan kursi roda. Darren pun antusias dan malah merasa kursi rodanya keren karena ia bisa menyetir sendiri seperti mobil. "Darren mau jalan-jalan pakai kursi roda!" pekik Darren. "Jangan jauh-jauh, Darren! Sini Mama temani saja!" "Bik Nim saja, Mama!" sahut Darren sambil terkikik. Darren tahu kalau ia bersama Anna, maka ini tidak boleh,
Jeremy langsung mencari tanda yang dimaksud Diego, tapi Anna terus menutupinya sampai Jeremy makin curiga. "Tanda apa, Anna? Apa yang kau tutup itu? Biarkan aku melihatnya." Jeremy mencoba menepis tangan Anna sampai Anna makin tegang. "Ah, tidak ada apa-apa, Jeremy. Bukan tanda apa-apa." "Kalau begitu, biarkan aku melihatnya, Sayang," seru Jeremy sedikit geram karena ia tidak suka Anna menyembunyikan apa pun darinya. Namun, Jeremy masih tetap mempertahankan ekspresinya di depan Diego. Anna sendiri makin tegang, tapi ia tidak bisa menahan saat Jeremy menepis tangannya. "Ini ... bukan apa-apa, Jeremy. Ini bekas gigitan serangga, aku tidak tahu kapan serangganya menggigit, tapi tiba-tiba aku merasa gatal dan saat tadi pagi aku bercermin, ini sudah merah dan membekas," dusta Anna mengarang alasan. Jeremy yang akhirnya melihat tanda itu pun terus mengernyit dan bertanya-tanya sendiri, tapi untungnya Jeremy tidak memikirkan apa pun dan hanya mengangguk mendengar penjelasan Anna. Semen
Akhir pekan begitu cepat datang dan Anna pun bersiap ke resort di luar kota bersama Jeremy. "Darren baik-baik sama Bik Nim ya! Maaf Mama harus pergi bekerja ke luar kota, tapi hanya dua malam saja. Tidak akan lama," pesan Anna pada Darren pagi itu. "Darren tidak nakal kok, Mama. Nanti Darren mau gambar sama Bik Nim, terus main bola sama Pak sopir." Anna terdiam sejenak mendengar kata main bola, tapi Anna pun mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Baik-baik ya, Sayang. Hati-hati juga makannya, jangan buru-buru! Kabari aku apa pun yang terjadi, Bik!" "Baik, Bu!" Anna berpamitan pada Darren dan Bik Nim, sebelum ia pun pergi bersama Jeremy. Sepanjang perjalanan, Jeremy pun memberitahu Anna banyak hal, Jeremy memberikan briefing apa yang harus Anna lakukan seolah Anna tidak bisa melakukan apa pun tanpa diberitahu dulu. "Jangan membuat kesalahan yang tidak perlu, Anna! Aku juga tidak mau mendadak kau menghilang tidak jelas. Kau harus selalu ada di sampingku! Kau mengerti?" Anna mengemb
Diego benar-benar membuat Anna merasa seperti wanita panggilan. Dibawa-bawa ke luar kota hanya untuk memuaskan hasrat para pengusaha, tapi Anna tidak sudi melakukannya. "Jangan mimpi, Diego! Aku tidak akan ke luar kota denganmu!" tolak Anna tegas. "Kenapa tidak? Kita belum pernah merasakan bulan madu kan? Aku ingin mengajakmu dan kau pasti tidak akan melupakan bulan madu bersamaku, Anna," sahut Diego dengan tetap santai. Bahkan, Diego sudah memikirkan banyak gambaran erotis bersama Anna, tapi Anna kembali menolak. "Bulan madu? Dasar sinting! Aku bukan istrimu, aku tidak akan pergi bulan madu denganmu! Dan aku juga tidak takut pada ancamanmu! Jadi jangan mengirimiku foto apa pun dan jangan meneleponku lagi!" Blep!Anna buru-buru menutup teleponnya dengan jantung yang berdebar kencang. Anna takut. Tentu saja Anna takut, tapi Anna tidak boleh menunjukkan ketakutannya. Anna pun mematikan ponselnya untuk mencegah Diego meneleponnya lagi. "Dia makin gila! Ya Tuhan, bagaimana caranya
"Apa itu, Anna? Apa yang kau sembunyikan dariku?" Jeremy melangkah mendekati Anna sampai Anna makin tegang sendiri. Buru-buru Anna menutup kembali lemarinya baru ia berhadapan dengan Jeremy. "Aku tidak menyembunyikan apa-apa." "Jangan bohong, Anna! Kalau kau tidak mau memberitahuku, aku bisa melihatnya sendiri!" Jeremy berniat membuka lemari Anna, tapi Anna menghalanginya. "Jangan membuat keributan, Jeremy! Darren sudah tidur!" "Kau pikir aku peduli? Kalau kau tidak mau aku membuat keributan, tunjukkan padaku sekarang!" Otak Anna pun berpikir cepat, sebelum akhirnya ia menjawab asal. "Itu hanya sisa perhiasan yang aku punya. Aku ... sedang menghitung sisa perhiasan yang bisa dijual untuk pengobatan ibuku," dusta Anna yang mendadak begitu lancar. Jeremy yang mendengarnya pun mendadak mengurungkan niatnya membuka lemari dan langsung memicingkan matanya. "Perhiasan? Jadi kau masih punya sisa perhiasan, tapi berpura-pura tidak punya apa-apa? Apa perhiasan itu juga yang
"Mama, Uncle Ronaldo mana?""Uncle sudah janji mau main bola sama Darren kalau Darren keluar dari rumah sakit." "Darren mau main bola, Mama ...." Darren tidak berhenti mencari Diego saat akhirnya ia diijinkan pulang dari rumah sakit malam itu. Malahan, Darren sempat tidak mau pulang tadi karena ngotot mencari Diego yang diyakini masih menunggunya di rumah sakit, tapi Anna dan Bik Nim memaksanya pulang. Anna yang menyetir mobilnya sampai terus mengembuskan napas lelahnya. Bagaimana tidak lelah kalau setelah ditinggalkan Diego, Anna terus menangis. Bahkan, wajah Anna terasa tebal saat ini. Anna berharap bisa menenangkan hatinya dan ia berharap tidak akan mendengar apa pun tentang Diego dalam waktu dekat, tapi malah anaknya yang terus menyebut nama pria itu. "Tidak ada Uncle Ronaldo, Darren! Mama kan sudah bilang tidak ada!" geram Anna sambil menggertakkan giginya. "Tapi Darren mau sama Uncle Ronaldo. Mama sudah janji mau temani Darren cari Uncle. Darren mau cari Uncle ...." Menda
Anna tidak pernah menyangka pada akhirnya Diego akan mengetahui tentang Darren. Anna tidak bisa menjelaskan debaran jantungnya yang menghentak tidak karuan saat ini dan tubuh Anna gemetar sampai ia tidak tahu harus menjawab bagaimana. "Aku ... aku ....""Apa menjawab iya atau tidak saja begitu sulit untukmu, Anna?" sela Diego tajam.Diego menatap Anna dengan tatapan mengerikan yang tidak bisa dijelaskan. Tatapannya penuh dengan kebencian, tapi Anna juga bisa melihat luka yang mendalam di sana. "Mungkin, dengan menyingkirkan aku, kau berpikir bisa menutupi kenyataan ini selamanya. Tapi takdir akhirnya membuatku melihat wanita seperti apa mantan istriku ini!" imbuh Diego penuh amarah tertahan. Anna sempat mengernyit, berusaha memahami maksud Diego. Namun, Diego kembali berbicara. "Selama pernikahan kita, aku hanya dianggap menantu sampah di rumahmu. Sampai suatu hari, ayahmu memintaku bekerja di perusahaan." "Aku mengira pada akhirnya dia bisa menerimaku, tapi ternyata itu hanyala
"Apa Anda Papanya? Tolong isi data pasien dulu, Pak!" Darren akhirnya tiba di ruang UGD sebuah rumah sakit. Darren langsung ditangani dan Diego pun diminta mengisi data pasien karena memang Diego tiba duluan di sana. "Isi data pasiennya, Jovan!" "Baik, Pak!" Jovan segera pergi, sedangkan Diego sama sekali tidak beranjak dari bilik Darren. Diego terus mengamati ekspresi Darren yang tadi masih kaku, tapi sekarang sudah mulai tenang. Diego pun kembali lega. "Bagaimana kondisinya, Dokter?" "Jadi dia tersedak makanan, Pak?" "Ya, seperti bola-bola daging, aku tidak melihatnya dengan jelas, tapi memang cukup besar." Sang dokter mengangguk. "Dari pernapasannya, semua sudah normal. Untung saja pertolongan pertama bisa diberikan segera. Karena kalau terlambat, pasien akan kehabisan napas. Untuk sementara, kami akan memantaunya dan memastikan kondisinya stabil dulu, tapi tidak ada kondisi bahaya yang harus dikhawatirkan, Pak!" "Syukurlah, terima kasih, Dokter!" "Sama-sama! Per
Jantung Anna berdebar tidak karuan melihat Darren digendong oleh Bik Nim, apalagi tubuh Darren terlihat begitu kaku. "Darren! Darren, ada apa? Apa yang terjadi pada Darren?" Anna langsung menghambur ke arah Bik Nim. Bik Nim sendiri sudah jatuh berlutut di dekat pintu karena ia tidak kuat menggendong tubuh Darren yang menjadi begitu berat. "Darren tersedak, Bu! Darren tersedak dan tidak bisa bernapas!" sahut Bik Nim panik. Bik Nim berusaha menjelaskan, tapi suaranya putus-putus dan kalimatnya belepotan. Bik Nim sesenggukan dan terus memeluk Darren begitu sedih sampai semua orang makin panik melihatnya. Jeremy dan Diego sudah ikut berdiri dari kursinya. Diego masih mengernyit berusaha memahami kejadiannya, tapi Jeremy kembali emosi. "Tersedak? Hanya tersedak tapi kau begitu heboh! Dia sudah sering tersedak kan?" geram Jeremy yang langsung melangkah mendekat. Jeremy tidak melakukan apa pun dan mendadak diam menatap Darren yang terlihat seperti orang akan mati, tapi Jeremy juga tid
Darren langsung kaku melihat Jeremy dan Anna saling membentak. Biasanya Bik Nim akan membawa Darren pergi dari pertengkaran orang tuanya, tapi kali ini, Bik Nim sendiri sampai tidak berani berkutik karena ada tamu Jeremy di sana. Jeremy dan Anna pun masih saling melotot, tapi Jeremy segera menyadari keberadaan Diego dan menjaga sikapnya lagi. "Ah, astaga, aku lepas kendali. Maafkan aku lagi, Pak Diego! Tidak seharusnya Anda melihat ini." Jeremy berusaha untuk tersenyum. Anna sendiri masih menenangkan napasnya yang tersengal. Jeremy benar, tidak seharusnya Diego melihat ini atau Diego akan menjadikan ini sebagai alat untuk makin menekan Anna. "Maafkan aku juga! Kurasa ... aku akan membawa Darren ke kamarnya saja! Ayo, Sayang!" Anna buru-buru memeluk Darren bersamanya. "Biarkan Bik Nim yang membawanya, Anna! Kau tetap di sini!" titah Jeremy, sebelum Anna sempat melangkah lagi. Anna terdiam sejenak dengan emosi yang hampir meledak lagi. Tapi layaknya Jeremy, Anna pun menahan diriny
Anna membelalak begitu lebar melihat Darren memeluk Diego. Tubuh Darren cukup tinggi untuk anak berumur lima tahun, tapi Darren tetap hanya memeluk kaki pria itu dan sedikit pinggangnya. Tapi bagaimana bisa Darren begitu akrab dengan Diego? Bagaimana bisa? "Uncle Ronaldo!" seru Darren dengan wajah yang berbinar-binar. Diego sendiri sempat terdiam kaget saat mendadak Darren memeluknya. Scene seperti ini sama sekali tidak ada dalam bayangan Diego, tapi entah mengapa, rasanya hangat. Diego sempat tersenyum tipis, sebelum ia balas memeluk Darren singkat dan membelai kepala anak itu. "Uncle Ronaldo!" panggil Darren lagi sambil mendongak menatap Diego. "Darren! Kau Darren yang di rumah sakit itu kan?" Diego menunduk menatap wajah tampan Darren. Darren mengangguk antusias. "Akhirnya Darren ketemu lagi sama Uncle Ronaldo!" Tatapan Anna goyah. "Apa? Uncle Ronaldo itu Uncle ini?" tanya Anna dengan suara yang bergetar. "Iya, Mama. Ini Uncle Ronaldo yang main bola sama Darren di rumah sa