"Kau benar-benar brengsek, Pak Diego!"
Anna langsung mendorong Diego kasar sampai Kenny sontak ikut berdiri siaga dan menghampiri Anna. "Apa yang kau lakukan pada Pak Diego, hah? Kau tidak tahu siapa dia? Berani sekali kau, Anna!" "Kau dan dia sama-sama tidak sopannya!" geram Anna. Kenny tertawa kesal mendengarnya. "Memangnya apa yang Pak Diego minta, hah? Apa yang begitu susah kau turuti? Malahan seharusnya kau bersyukur kalau Pak Diego minta ditemani atau dilayani. Bahkan, aku juga tidak keberatan kalau kau mau melayaniku juga!" seru Kenny dengan menjijikkan sambil mencekal tangan Anna. "Akhh, lepaskan aku, Pak Kenny!" pekik Anna sambil menarik tangannya dari Kenny. "Jangan sok suci, Anna! Kau sudah di sini kan? Ayo kita bersenang-senang sebentar saja!" "Tidak! Lepaskan aku! Lepas!" pekik Anna lagi. Anna sempat menatap Diego, seolah meminta tolong pada pria itu, tapi Diego tetap diam di tempatnya, tanpa peduli apa pun. Anna makin kesal. Anna mengerahkan semua tenaganya untuk menarik dirinya lepas dari Kenny, tapi karena Kenny tetap menariknya begitu kuat, Anna pun tidak punya pilihan selain menyerang Kenny. Buk! Anna menendang kebanggaan Kenny sampai Kenny memekik keras dan melepaskan tangannya dari Anna. "Auw, apa yang kau lakukan, Wanita Sialan? Kau berani menendangku?" Anna sendiri langsung merapikan rambut dan bajunya yang berantakan karena ulah Kenny. "Rasakan itu, Pak Kenny! Kau pantas mendapatkannya! Dan kau, Pak Diego, aku tegaskan sekali lagi, aku tidak jadi menjual mobilku!" geram Anna yang berniat kabur dari sana. Namun, Kenny yang emosi tidak mengijinkannya pergi. "Sialan kau, Anna! Kau pikir bisa lolos setelah menendangku, hah?" geram Kenny yang langsung mengejar Anna dan dengan cepat menangkap lengannya. "Maaf, Pak Diego, aku ada urusan dengan wanita ini!" Kenny menatap Diego sejenak, sebelum ia mengalihkan tatapannya pada Anna dan menyeret wanita itu. "Sini kau, Wanita Sialan! Kau sama brengseknya dengan ayahmu! Kau harus diberi pelajaran!" "Tidak, lepaskan aku!" teriak Anna yang terus menahan kakinya dan tidak mau ikut, tapi Kenny terus menariknya dengan kasar. Sementara Diego hanya berdiri di tempatnya melihat Anna yang ditarik paksa. Di satu sisi, Diego puas melihat Anna tersiksa, seperti ia tersiksa di penjara dulu. Namun, di sisi lain, ego Diego tidak mengijinkan Anna dikasari pria lain selain dirinya. Anna sendiri masih berteriak dan memberontak sekuat tenaga, tapi Kenny mulai kehilangan kesabaran dan mendadak Kenny pun membopong Anna layaknya karung beras. "Akhh! Lepas!" "Diam kau! Permisi, Pak Diego!" Baru saja Kenny akan membawa Anna keluar, tapi Diego sudah menghentikannya. "Apa aku sudah mengijinkanmu membawanya pergi, Pak Kenny?" seru Diego tajam. Sontak Kenny menghentikan langkahnya dan menatap Diego. "Ah, itu ... aku ada urusan dengan wanita ini, Pak," jawab Kenny terbata. "Jangan lupa kalau akulah yang mengundangnya kemari, jadi urusannya adalah denganku, bukan denganmu! Sekarang lepaskan dia!" "Tapi Pak ...." "Lepaskan atau kerja sama kita batal, Pak Kenny!" ancam Diego tajam. Kenny sampai tidak bisa berkata-kata dan akhirnya menurunkan Anna. "Sekarang keluar kalian! Tinggalkan aku dan Bu Anna di sini! Keluar!" usir Diego lagi. Kenny membuka mulut, berniat membantah, tapi melihat tatapan tajam Diego, ia pun menundukkan kepalanya dan sama sekali tidak berani bersuara. Dalam hitungan detik, ruangan itu pun langsung kosong, meninggalkan Diego dan Anna berdua saja. Dengan napas yang tersengal, Anna pun merapikan rambut dan bajunya yang berantakan karena ulah Kenny barusan yang sangat memalukan. "T-terima kasih sudah menolongku!" ucap Anna terbata. Anna menatap Diego tidak yakin. Diego memicingkan matanya menatap Anna. Hasrat Diego mendadak berkobar menatap mantan istri cantiknya yang berantakan. Dan sisi tangguh yang Anna tunjukkan selalu membuat Diego terpana. "Ya, aku sudah menolongmu. Tapi semua ada harganya kan? Seperti yang ayahmu pernah bilang padaku, semua ada harganya." Jantung Anna kembali memacu kencang, berusaha memahami maksud Diego. Namun, Anna tidak sempat berpikir lagi saat tiba-tiba Diego meraih tubuh Anna ke dalam pelukannya sampai tubuh keduanya menempel erat. "Kau mau apa, Diego? Minggir! Lepaskan aku!" "Bukankah kau mau berterima kasih padaku, Bu Anna?" Diego berbicara begitu dekat dengan wajah Anna sampai Anna bisa merasakan hembusan napas pria itu di wajahnya, napas beraroma alkohol yang membuat Anna merinding. Tangan Diego pun mendadak menyusup ke dalam blouse Anna dan dengan cepat menemukan dada Anna. "Akhh, apa yang kau lakukan? Lepaskan! Lepaskan!" Anna memberontak lagi dan tangannya terus menarik tangan Diego keluar dari blousenya. Namun, Diego malah berbalik menangkap tangan Anna dan menyatukannya di belakang tubuh wanita itu. Diego menekan Anna sampai ke dinding dan menghimpitnya. "Aku berpikir untuk mencicipimu dulu, Bu Anna. Apa rasanya sebanding dengan nilai investasiku nanti," bisik Diego. Baru saja Diego akan melahap bibir Anna saat ponsel Anna tiba-tiba berbunyi. Perhatian Diego pun teralihkan pada ponsel yang sudah tergeletak di lantai karena tas jinjing Anna terjatuh dengan semua barangnya yang berhamburan keluar. Diego pun langsung bisa melihat foto anak laki-laki di sana, sedang tertawa sambil menunjukkan deretan gigi putihnya. "Ponselku berbunyi! Lepaskan aku!" seru Anna yang juga melihat foto itu di sana. "Apa suamimu yang menelepon? Aku jadi penasaran apa yang akan dia katakan kalau dia tahu kau bersamaku!" **Dengan cepat, Diego pun langsung melepaskan Anna dan menyambar ponsel itu. Diego mengangkat teleponnya melalui pengeras suara dan ia langsung mematung mendengar suara anak kecil di sana."Mama di mana? Cepat pulang, Mama!"Anna membelalak dan langsung berlari menyambar ponselnya. "Berikan padaku!"Diego yang masih mematung mendengar suara anak kecil memanggil Mama pun hanya bisa diam dan terus menatap Anna dengan tatapan penuh tanya.Diego memang pernah meminta anak buahnya memeriksa tentang Anna dan perusahaannya, tapi anak buahnya hanya melaporkan tentang perusahaan Anna dan tentang suaminya, Diego sama sekali tidak tahu bahwa Anna punya seorang anak."Halo, Sayang?" sapa Anna begitu ia mematikan pengeras suaranya.Suara Anna nampak melembut dan tatapannya pun menghangat saat berbicara di telepon."Mama, cepat pulang! Darren mau sama Mama," rengek seorang anak kecil di sana."Iya, Sayang, Mama pulang sekarang. Darren tunggu Mama ya.""Oke, Mama, jangan lama-lama ya!""Iya, Sayang.""
Anna mengernyit dalam tidurnya pagi itu. Cahaya matahari terasa menyilaukan sampai Anna pun buru-buru membuka matanya. Dan benar saja hari sudah pagi. "Astaga, aku bangun kesiangan!" gumam Anna. Setiap pagi, Darren memang akan bersiap ke sekolah bersama pengasuhnya, lalu Anna yang akan mengantarnya ke sekolah. Anna pun menghela napas panjangnya yang masih begitu berat. Banyaknya masalah yang terjadi akhir-akhir ini membuat Anna begitu lelah, apalagi hari ini, Anna harus survey sekolah baru untuk Darren. Sudah dua tahun ini Darren bersekolah di sekolah internasional terbaik di kota itu. Sebagai orang kaya, tentu saja Anna merasa mampu memberikan pendidikan terbaik untuk Darren. Tapi itu dulu, sebelum tabungan Anna habis tidak bersisa. Anna pun terpaksa harus memindahkan Darren ke sekolah lain yang uang sekolahnya lebih murah tahun ajaran baru nanti. "Maafkan Mama, Sayang. Mama janji akan berusaha bagaimanapun caranya agar kau bisa sekolah di sekolah terbaik lagi. Mama hanya butuh
Anna membelalak tegang melihat Diego mencecap bibirnya sendiri setelah minum dari gelas Anna, seolah pria itu benar-benar baru saja berciuman dengan Anna. "Well, ternyata aku lebih suka melakukannya langsung," seru Diego sambil meletakkan kembali gelasnya di hadapan Anna. Anna sampai menatap gelas kosong itu cukup lama dan sumpah, Anna tidak mau memakainya lagi. "Jadi, ini pertama kalinya aku bertemu dengan suamimu. Dia tampan, walaupun tidak lebih tampan dariku," seru Diego percaya diri. Namun, Anna malah bertanya yang lain. "Mengapa kau harus bertemu dengannya, Pak Diego? Bukankah aku sudah bilang tidak akan ada kesepakatan di antara kita? Mengapa kau harus ...." "Dia yang meneleponku duluan, bukan aku yang meminta bertemu dengannya. Lagipula apa kau pernah dengar ada investor yang mengemis, Bu Anna? Tidak kan? Aku yang punya uang, aku yang punya kuasa. Suamimu justru yang mengemis padaku!" Anna menelan salivanya mendengar nada merendahkan dari Diego. Namun, Anna bel
"Di sini senang! Di sana senang! Di mana-mana hatiku senang ...." "Di sini senang! Di sana senang! Di mana-mana hatiku senang ...." "Yeay!" Darren masih tertawa dan bertepuk tangan bersama teman-temannya di dalam bus sekolah. Mereka hampir tiba ke taman wisata yang akan menjadi lokasi belajar sekaligus bermain pagi itu saat mendadak bus sekolah mengalami gangguan mesin. Guru Darren yang masih berdiri di bus pun mendadak oleng saat sopir bus membanting setirnya. "Akhh, ada apa? Ada apa?" "Miss!" teriak anak-anak yang kaget saat mereka juga terbentur bangku mereka sendiri. "Anak-anak tidak apa? Tenang dulu semua! Tenang dulu!" Sang guru mencoba menenangkan, tapi mendadak bus melaju begitu ngebut dan bau sangit mulai tercium di sana. Dan detik selanjutnya, semua kejadiannya pun berlangsung begitu cepat saat bus oleng lalu melaju makin tidak terkendali. "Akhh, ada apa ini? Ada apa ini?" pekik para guru yang sampai terhentak di kursinya. Beberapa guru yang lain berusaha memeluk p
Kaki Anna rasanya langsung lemas tak bertulang melihat Darren di sana. Sekuat tenaga, Anna berlari mencegat suster yang mendorong ranjang Darren, lalu memeluk anaknya. "Darren! Ini Mama, Darren! Bangun, Darren! Ini Mama!" seru Anna dengan tubuhnya yang gemetar hebat. "Bu, mohon tenang! Kami harus segera membawa pasien!" "Tapi dia tidak apa kan, Suster? Dia akan selamat kan, Suster? Selamatkan anakku, Suster! Tolong, selamatkan anakku!" Anna merasa seperti seluruh dunia runtuh di hadapannya. Ia berpegangan pada sisi ranjang dorong dengan air mata yang mengalir deras. "Kami akan berusaha semampunya, permisi, Bu!" Suster pun kembali membawa Darren sampai Anna hanya bisa mundur dan menatap kepergian mereka dengan hati teriris. "Bu Anna! Bu Anna!" Terdengar suara Bik Nim dan saat Anna menoleh, Bik Nim pun menghambur ke dalam pelukannya. "Darren, Bu! Darren!" lirih Bik Nim begitu pilu. Menjadi pengasuh Darren sejak Darren masih bayi membuat Bik Nim sangat menyayangi Darre
Anna melajukan mobilnya ke Global Jaya Group sore itu. Ya, Anna tahu Diego pasti bisa membantunya, walaupun jujur debar jantung Anna menghentak begitu kencang saat ini. Setelah direndahkan dan dilecehkan oleh Diego, setelah Anna begitu tegas menolak bantuan Diego, Anna tidak pernah menyangka scene seperti ini akan ada, Anna yang malah datang mencari pria itu. Namun, Anna sudah menyingkirkan semua harga dirinya. Bahkan, Anna sudah siap untuk direndahkan lagi atau bahkan ... dilecehkan. Anna sudah siap. Membayangkan wajah kesakitan Darren saat kecelakaan tadi dan membayangkan hal buruk yang akan menimpa Darren kalau anaknya itu tidak bisa dioperasi membuat Anna rela melakukan apa saja. Dengan langkah mantap, Anna pun akhirnya masuk ke gedung perusahaan itu. Tangannya gemetar menggenggam tasnya erat. Napasnya tersengal, bukan karena lelah, melainkan karena ketegangan yang begitu menusuk hati.Sampai akhirnya Anna tiba di meja resepsionis. "Selamat sore, ada yang bisa dibantu, Bu?"
Anna berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi, wajahnya menunduk dalam. Jemarinya saling bertaut dan bibirnya tidak berhenti mengucap doa untuk kesembuhan anaknya. Sungguh, otak Anna begitu penuh saat ini. Sekalipun prioritas Anna adalah Darren, tapi tidak dapat dipungkiri, pikiran Anna berlarian kesana kemari. Apalagi sejak pertemuan dengan Diego dua hari yang lalu, Anna tidak bisa berhenti memikirkan kesepakatan gila itu. Bagian hati Anna marah pada dirinya yang lemah, tapi setiap bayangan Darren yang terbaring tak berdaya muncul, Anna pun memaksakan dirinya untuk tegar. Ini semua demi Darren. Demi anaknya dan demi keluarganya. Anna pun terus mengembuskan napas panjangnya. Darren akhirnya dioperasi hari ini dan operasinya berlangsung sangat lama sampai Anna begitu tersiksa. "Darren pasti baik-baik saja, Bu. Darren anak baik dan kuat, Tuhan sangat menyayangi Darren," seru Bik Nim menguatkan Anna. "Tentu, Bik, tentu! Darren pasti kuat dan dia pasti segera sembuh sepe
Diego berjalan melewati lorong rumah sakit dengan langkah tegap pagi itu, tapi pikirannya tidak setenang penampilannya. Ia memutuskan datang ke sini karena penasaran. Setelah pertemuannya dengan Anna tiga hari lalu, nama Darren terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu tentang anak itu yang tidak bisa ia abaikan. "Jadi anak itu sudah baik-baik saja setelah dioperasi kemarin?" Diego melirik ke arah Jovan, asistennya yang setia mengikutinya. "Sudah, Pak. Dia sudah dipindahkan ke kamar perawatan intensif. Di sana kamarnya!" Jovan menunjuk ke sebuah kamar di depan sana. Diego mengangguk. Butuh berpikir sangat lama bagi Diego sebelum ia kemari. Diego pun baru saja akan melangkah ke kamar itu saat pandangannya menangkap seorang suster yang sedang mendorong kursi roda. Diego terpaku melihat siapa yang duduk di sana. Seorang wanita dengan wajah yang lelah dan rambutnya yang mulai memutih. Wajah wanita itu terlihat kurus seolah menahan sakit, tapi bagian yang lain terlihat lebih gemuk
"Sial! Aku tidak pernah tahu kalau Diego itu ternyata adalah mantan suami Anna! Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, hah?" "Sejak awal Anna dan Diego sudah membodohi aku? Keduanya sudah saling mengenal dan memang benar berselingkuh di belakangku?" "Bahkan mereka punya anak ... sial! Darren itu anak Diego! Mengapa kau begitu bodoh dan tidak bisa mencari tahu tentang hal seperti itu, Bram!"Jeremy tidak berhenti berteriak kesal setelah Diego dan Anna pulang. Jeremy yang sudah dikembalikan ke selnya pun begitu emosi sampai menendang kaki Bram. Keduanya ditempatkan di satu sel yang sama, sel sementara di kantor polisi, tapi Jeremy sudah hampir gila sekarang. "Anna memukuli aku dan Diego brengsek itu membuat wajahku bengkak! Sial! Buatkan gugatan! Buatkan gugatan untuk perselingkuhan dan penipuan! Mereka menipuku! Mereka menipuku habis-habisan dan tertawa di atas penderitaanku!" Jeremy membentak pengacaranya yang saat ini juga sudah berdiri di depan selnya. "Maaf, Pak. Itu tidak bisa d
"Hasil forensiknya sudah keluar. Dari tanda fisik yang telah diperiksa, dapat disimpulkan bahwa Bu Martha meninggal karena dicekik." Diego dan Anna akhirnya pergi ke rumah sakit menjelang malam itu dan hasil pemeriksaan forensik untuk penyebab utama kematian sudah keluar. "Selain itu, ada bekas darah di kuku Bu Martha yang menunjukkan Bu Martha sempat melakukan perlawanan. Kemungkinan darah tersebut adalah darah dari pelaku saat Bu Martha mencakar lengan sang pelaku," jelas sang dokter lagi. Seorang polisi yang menhandle kasus ini pun mengangguk dan menambahkan keterangannya. "Sesuai instruksi, kami juga langsung mencocokkan sidik jari yang ditemukan dengan sidik jari dari Pak Jeremy, hasilnya cocok. Pak Jeremy menolak melakukan tes DNA untuk darah di kuku Bu Martha, tapi bekas cakaran di lengan Pak Jeremy sudah bisa menjadi bukti kuat." "CCTV rumah sakit juga bisa membuktikan bahwa Pak Jeremy adalah orang terakhir yang keluar dari kamar Bu Martha setelah Bu Martha meninggal. Bu
Anna membuka matanya sambil mengernyit pagi itu. Tubuhnya terasa begitu lelah dan sakit semua. Anna kesulitan bergerak dan rasa di tenggorokannya begitu kering."Hmm, aku tertidur," gumam Anna. "Di mana ini?" Anna masih mengernyit menatap sekelilingnya yang begitu asing. Anna belum pernah ke apartemen Diego sebelumnya. "Akhh ...," rintih Anna saat ia bangkit duduk. Tidak ada siapa-siapa di samping Anna dan ia sendirian di kamar itu, tapi Anna bisa merasakan aroma parfum yang familiar di sana. Parfum yang biasa Diego pakai. "Ini pasti apartemennya. Hmm, kepalaku sakit sekali," gumam Anna lagi. Demam membuat tubuhnya terasa linu dan sakit di semua bagian. Namun, perlahan Anna bangkit dari ranjangnya dan ia langsung bisa mendengar suara ribut dari luar kamar. Suara ribut yang menyenangkan, suara tawa, dan suara teriakan sumringah anak kecil. Suara yang jarang ia dengar di rumah karena Darren tidak berani tertawa terlalu keras saat ada Jeremy. Suara itu pun membuat Anna penasaran d
Martha benar. Semua cerita Martha benar. Diego tidak pernah meragukannya. Hanya saja, barang berharga yang Diego temukan menegaskan kebenaran itu dan membuat Diego makin membenci dirinya yang begitu brengsek. "Maafkan aku, Anna! Maafkan aku! Aku bodoh! Aku sangat bodoh! Maafkan aku!" ucap Diego penuh penyesalan. Cukup lama Diego meredakan tangisannya, sebelum Diego menggantikan Anna baju. Diego menyeka tubuh Anna dengan kain hangat agar wanita itu merasa nyaman lalu memakaikan sepasang baju tidur yang hangat. Anna hanya membawa satu pasang baju tidur. Dua celana panjang dan beberapa atasan. Hanya itu yang ia bawa dalam pelariannya kali ini. "Besok kita akan belanja. Besok kita akan membeli banyak baju untukmu dan Darren," bisik Diego yang terus membelai kepala Anna sayang. Tidak lama kemudian, Anna mulai bergerak gelisah karena mimpi buruknya dan ia mulai mengigau. Namun, Diego langsung memeluk dan menenangkannya. Diego duduk bersandar di ranjang dan memeluk Anna begitu erat sa
Anna tertidur.Anna tidak tahu kapan pastinya ia tertidur dan sudah berapa lama, tapi Anna hanya bisa merasakan linu di sekujur tubuhnya. Anna juga menggigil dan rasanya sama sekali tidak nyaman. "Kau demam, Anna!" Diego baru saja menghentikan mobilnya di parkiran apartemennya malam itu. Sebenarnya jarak antara rumah sakit dan apartemen tidak sejauh itu, tapi Diego memutar lagi arah mobilnya saat melihat Anna yang akhirnya tertidur. Diego ingin Anna bisa tidur lelap dulu agar Diego tinggal menggendongnya nanti, tapi ternyata Diego malah mendapati Anna yang demam. "Kau dengar aku, Anna? Bagaimana rasanya? Apa kita perlu ke rumah sakit lagi?" bisik Diego lembut, mencoba membangunkan Anna yang terlihat menggigil dan tidak nyaman. Namun, Anna menggeleng dan menarik Diego mendekat, berusaha mencari kehangatan karena ia sangat kedinginan. Diego yang masih duduk di mobilnya pun langsung bergerak cepat, membuka sabuk pengaman, turun dari mobil, dan akhirnya menggendong Anna naik ke apar
Diego benar-benar tersentak mendengar ucapan Anna sampai ia menoleh kaget. "Sial, Anna! Apa yang kau katakan, hah?" "Aku serius! Bukankah kau yang duluan menginginkan tubuhku untuk membayar hutang operasi Darren dan investasi di perusahaan Jeremy? Hanya itu yang aku punya. Aku tahu waktu itu aku sudah menolaknya, tapi aku menarik kembali ucapanku, bagaimana kalau kau memakaiku saja sampai kau puas?" Lagi-lagi Anna tertawa begitu frustasi sampai Diego pun menggenggam erat setirnya. Dengan geram, Diego membelokkan mobilnya ke pinggir jalan dan menghentikan mobilnya asal. Anna ikut tersentak. "Ada apa ini? Mengapa kita berhenti di sini? Aku harus menjemput Darren." Diego tidak menyahutinya, tapi Diego membuka sabun pengamannya dan menatap Anna. Diego menangkup wajah Anna dan menatapnya lekat-lekat. Wajah cantik itu masih belum benar-benar hidup. Kedua manik mata indah itu juga tidak menyala, hingga air mata Diego pun ikut menetes. Bukankah saat kita sedang bersedih, hal yang akan
"Anna sialan! Diego sialan! Brengsek semua!" Jeremy tidak berhenti mengumpat saat akhirnya ia terpaksa turun dari pesawat dan ikut dengan polisi. Namun, Jeremy tidak mau terlihat seperti seorang buronan dan ia ingin tetap terlihat terhormat. Jeremy pun berjanji tidak akan kabur, tapi ia menolak diborgol. Polisi mengijinkannya berjalan sendiri dengan pengawasan ketat karena ternyata di bawah pesawat sendiri sudah ada beberapa anggota polisi yang lain. "Berani sekali kalian memperlakukan aku seperti ini! Aku bukan penjahat!" "Silakan dijelaskan di kantor, Pak! Anda juga dipersilakan memanggil pengacara. Tapi selama proses penyelidikan, Anda tidak diijinkan pergi ke luar kota maupun luar negeri." Jeremy tidak banyak bicara lagi, tapi ia tidak berhenti mengirim pesan pada pengacaranya yang dengan cepat sudah menunggu di kantor polisi. Jeremy pikir malam itu ia akan langsung bebas dan pulang ke rumah, tapi sialnya, Martha brengsek itu sebelum meninggal sudah membuat banyak laporan me
"Ibu, jangan khawatir, aku akan menegakkan keadilan itu untuk Ibu. Tenanglah, Ibu! Tenanglah!" "Aku tidak akan melepaskan Jeremy! Aku bersumpah, Ibu! Maafkan aku yang tidak ada di saat-saat terakhir Ibu! Maafkan aku!" Anna kembali memeluk jasad Martha. Bahkan, saat jasad Martha akan dibawa pergi pun Anna masih belum rela melepaskannya. Diego yang melihatnya pun menangkup bahu Anna dari belakang dan berusaha menenangkannya. "Anna, jasad Bu Martha harus segera dipindahkan." "Tidak, jangan pisahkan aku dengan ibuku! Tidak!" "Anna ...." "Aku masih mau bersamanya, aku belum puas bersamanya. Ibu ...." Anna masih menangis lirih, tapi Diego memeluknya dari belakang agar suster bisa memindahkan jasad Martha. "Lepaskan aku, Diego! Lepaskan! Ibu ...," lirih Anna lagi saat melihat jasad Martha akhirnya dibawa pergi dari sana. Bik Nim yang masih di luar kamar sambil menggendong Darren pun hanya bisa menatap sedih pada tubuh Martha yang sudah tertutup sampai ke kepala itu. Jasad Martha di
"Sial! Apa yang terjadi di rumah, hah? Mengapa semuanya berantakan seperti ini?" bentak Jeremy penuh amarah. Jeremy akhirnya tiba di rumah setelah menyetir seperti kesetanan. Jeremy menyetir begitu cepat seolah takut akan tertangkap oleh siapa pun. Jantung Jeremy pun memacu tidak karuan karena ia baru saja membunuh Martha dengan tangannya sendiri, padahal biasanya Jeremy selalu menggunakan tangan orang lain kalau akan melakukan kecurangan atau kejahatan apa pun. Setibanya di rumah, bukannya makin tenang, jantung Jeremy malah makin tidak karuan mendengar Anna yang berhasil kabur dari rumah. Jeremy pun segera melihat rekaman CCTV rumah dan Jeremy marah luar biasa. "Dasar bodoh! Apa gunanya tubuhmu sebesar itu kalau mengalahkan seorang Diego saja tidak bisa, hah?" bentak Jeremy lagi. Jeremy melihat jelas bagaimana Diego menghajar Bram, sebelum Bram tumbang setelah dipukul Anna dengan guci mahal. "Sial! Guci itu mahal sekali! Sial! Bodoh semua! Bodoh! Pecat security bodoh itu juga!