Anna mengernyit dalam tidurnya pagi itu. Cahaya matahari terasa menyilaukan sampai Anna pun buru-buru membuka matanya. Dan benar saja hari sudah pagi. "Astaga, aku bangun kesiangan!" gumam Anna. Setiap pagi, Darren memang akan bersiap ke sekolah bersama pengasuhnya, lalu Anna yang akan mengantarnya ke sekolah. Anna pun menghela napas panjangnya yang masih begitu berat. Banyaknya masalah yang terjadi akhir-akhir ini membuat Anna begitu lelah, apalagi hari ini, Anna harus survey sekolah baru untuk Darren. Sudah dua tahun ini Darren bersekolah di sekolah internasional terbaik di kota itu. Sebagai orang kaya, tentu saja Anna merasa mampu memberikan pendidikan terbaik untuk Darren. Tapi itu dulu, sebelum tabungan Anna habis tidak bersisa. Anna pun terpaksa harus memindahkan Darren ke sekolah lain yang uang sekolahnya lebih murah tahun ajaran baru nanti. "Maafkan Mama, Sayang. Mama janji akan berusaha bagaimanapun caranya agar kau bisa sekolah di sekolah terbaik lagi. Mama hanya butuh
Anna membelalak tegang melihat Diego mencecap bibirnya sendiri setelah minum dari gelas Anna, seolah pria itu benar-benar baru saja berciuman dengan Anna. "Well, ternyata aku lebih suka melakukannya langsung," seru Diego sambil meletakkan kembali gelasnya di hadapan Anna. Anna sampai menatap gelas kosong itu cukup lama dan sumpah, Anna tidak mau memakainya lagi. "Jadi, ini pertama kalinya aku bertemu dengan suamimu. Dia tampan, walaupun tidak lebih tampan dariku," seru Diego percaya diri. Namun, Anna malah bertanya yang lain. "Mengapa kau harus bertemu dengannya, Pak Diego? Bukankah aku sudah bilang tidak akan ada kesepakatan di antara kita? Mengapa kau harus ...." "Dia yang meneleponku duluan, bukan aku yang meminta bertemu dengannya. Lagipula apa kau pernah dengar ada investor yang mengemis, Bu Anna? Tidak kan? Aku yang punya uang, aku yang punya kuasa. Suamimu justru yang mengemis padaku!" Anna menelan salivanya mendengar nada merendahkan dari Diego. Namun, Anna bel
"Di sini senang! Di sana senang! Di mana-mana hatiku senang ...." "Di sini senang! Di sana senang! Di mana-mana hatiku senang ...." "Yeay!" Darren masih tertawa dan bertepuk tangan bersama teman-temannya di dalam bus sekolah. Mereka hampir tiba ke taman wisata yang akan menjadi lokasi belajar sekaligus bermain pagi itu saat mendadak bus sekolah mengalami gangguan mesin. Guru Darren yang masih berdiri di bus pun mendadak oleng saat sopir bus membanting setirnya. "Akhh, ada apa? Ada apa?" "Miss!" teriak anak-anak yang kaget saat mereka juga terbentur bangku mereka sendiri. "Anak-anak tidak apa? Tenang dulu semua! Tenang dulu!" Sang guru mencoba menenangkan, tapi mendadak bus melaju begitu ngebut dan bau sangit mulai tercium di sana. Dan detik selanjutnya, semua kejadiannya pun berlangsung begitu cepat saat bus oleng lalu melaju makin tidak terkendali. "Akhh, ada apa ini? Ada apa ini?" pekik para guru yang sampai terhentak di kursinya. Beberapa guru yang lain berusaha memeluk p
Kaki Anna rasanya langsung lemas tak bertulang melihat Darren di sana. Sekuat tenaga, Anna berlari mencegat suster yang mendorong ranjang Darren, lalu memeluk anaknya. "Darren! Ini Mama, Darren! Bangun, Darren! Ini Mama!" seru Anna dengan tubuhnya yang gemetar hebat. "Bu, mohon tenang! Kami harus segera membawa pasien!" "Tapi dia tidak apa kan, Suster? Dia akan selamat kan, Suster? Selamatkan anakku, Suster! Tolong, selamatkan anakku!" Anna merasa seperti seluruh dunia runtuh di hadapannya. Ia berpegangan pada sisi ranjang dorong dengan air mata yang mengalir deras. "Kami akan berusaha semampunya, permisi, Bu!" Suster pun kembali membawa Darren sampai Anna hanya bisa mundur dan menatap kepergian mereka dengan hati teriris. "Bu Anna! Bu Anna!" Terdengar suara Bik Nim dan saat Anna menoleh, Bik Nim pun menghambur ke dalam pelukannya. "Darren, Bu! Darren!" lirih Bik Nim begitu pilu. Menjadi pengasuh Darren sejak Darren masih bayi membuat Bik Nim sangat menyayangi Darre
Anna melajukan mobilnya ke Global Jaya Group sore itu. Ya, Anna tahu Diego pasti bisa membantunya, walaupun jujur debar jantung Anna menghentak begitu kencang saat ini. Setelah direndahkan dan dilecehkan oleh Diego, setelah Anna begitu tegas menolak bantuan Diego, Anna tidak pernah menyangka scene seperti ini akan ada, Anna yang malah datang mencari pria itu. Namun, Anna sudah menyingkirkan semua harga dirinya. Bahkan, Anna sudah siap untuk direndahkan lagi atau bahkan ... dilecehkan. Anna sudah siap. Membayangkan wajah kesakitan Darren saat kecelakaan tadi dan membayangkan hal buruk yang akan menimpa Darren kalau anaknya itu tidak bisa dioperasi membuat Anna rela melakukan apa saja. Dengan langkah mantap, Anna pun akhirnya masuk ke gedung perusahaan itu. Tangannya gemetar menggenggam tasnya erat. Napasnya tersengal, bukan karena lelah, melainkan karena ketegangan yang begitu menusuk hati.Sampai akhirnya Anna tiba di meja resepsionis. "Selamat sore, ada yang bisa dibantu, Bu?"
Anna berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi, wajahnya menunduk dalam. Jemarinya saling bertaut dan bibirnya tidak berhenti mengucap doa untuk kesembuhan anaknya. Sungguh, otak Anna begitu penuh saat ini. Sekalipun prioritas Anna adalah Darren, tapi tidak dapat dipungkiri, pikiran Anna berlarian kesana kemari. Apalagi sejak pertemuan dengan Diego dua hari yang lalu, Anna tidak bisa berhenti memikirkan kesepakatan gila itu. Bagian hati Anna marah pada dirinya yang lemah, tapi setiap bayangan Darren yang terbaring tak berdaya muncul, Anna pun memaksakan dirinya untuk tegar. Ini semua demi Darren. Demi anaknya dan demi keluarganya. Anna pun terus mengembuskan napas panjangnya. Darren akhirnya dioperasi hari ini dan operasinya berlangsung sangat lama sampai Anna begitu tersiksa. "Darren pasti baik-baik saja, Bu. Darren anak baik dan kuat, Tuhan sangat menyayangi Darren," seru Bik Nim menguatkan Anna. "Tentu, Bik, tentu! Darren pasti kuat dan dia pasti segera sembuh sepe
Diego berjalan melewati lorong rumah sakit dengan langkah tegap pagi itu, tapi pikirannya tidak setenang penampilannya. Ia memutuskan datang ke sini karena penasaran. Setelah pertemuannya dengan Anna tiga hari lalu, nama Darren terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu tentang anak itu yang tidak bisa ia abaikan. "Jadi anak itu sudah baik-baik saja setelah dioperasi kemarin?" Diego melirik ke arah Jovan, asistennya yang setia mengikutinya. "Sudah, Pak. Dia sudah dipindahkan ke kamar perawatan intensif. Di sana kamarnya!" Jovan menunjuk ke sebuah kamar di depan sana. Diego mengangguk. Butuh berpikir sangat lama bagi Diego sebelum ia kemari. Diego pun baru saja akan melangkah ke kamar itu saat pandangannya menangkap seorang suster yang sedang mendorong kursi roda. Diego terpaku melihat siapa yang duduk di sana. Seorang wanita dengan wajah yang lelah dan rambutnya yang mulai memutih. Wajah wanita itu terlihat kurus seolah menahan sakit, tapi bagian yang lain terlihat lebih gemuk
Anna melangkah dengan begitu tegang kembali ke mobilnya. Langkahnya kaku dan tubuhnya juga kaku, seolah akan ada hal besar yang terjadi hari ini dan Anna belum siap. Ya, hal besarnya adalah Anna harus menyerahkan dirinya pada Diego malam ini. Itu salah! Tentu saja itu salah karena Anna adalah istri Jeremy dan Anna tahu, Diego melakukan ini untuk balas dendam pada Anna. Anna merinding dan tubuhnya bahkan terus gemetar sampai saat ia sudah duduk di mobilnya. Sekalipun ini keputusannya sendiri, tapi tetap saja, Anna belum siap. "Kau dengar apa yang aku katakan kan, Anna? Anna?" Suara Jeremy mendadak membuat Anna tersentak sampai Anna menoleh kaget. "Ya? Kau bicara denganku?" Jeremy yang sudah duduk di kursi pengemudi pun menatap Anna malas. "Sebenarnya apa yang kau pikirkan sejak tadi, Anna? Sejak pertemuan berlangsung, kau lebih banyak diam dan sama sekali tidak ramah. Dan sekarang, kau terus melamun seperti orang gila!" "Apa kau tidak serius menghandle kerja sama ini? Apa lagi
"Sial! Aku tidak pernah tahu kalau Diego itu ternyata adalah mantan suami Anna! Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, hah?" "Sejak awal Anna dan Diego sudah membodohi aku? Keduanya sudah saling mengenal dan memang benar berselingkuh di belakangku?" "Bahkan mereka punya anak ... sial! Darren itu anak Diego! Mengapa kau begitu bodoh dan tidak bisa mencari tahu tentang hal seperti itu, Bram!"Jeremy tidak berhenti berteriak kesal setelah Diego dan Anna pulang. Jeremy yang sudah dikembalikan ke selnya pun begitu emosi sampai menendang kaki Bram. Keduanya ditempatkan di satu sel yang sama, sel sementara di kantor polisi, tapi Jeremy sudah hampir gila sekarang. "Anna memukuli aku dan Diego brengsek itu membuat wajahku bengkak! Sial! Buatkan gugatan! Buatkan gugatan untuk perselingkuhan dan penipuan! Mereka menipuku! Mereka menipuku habis-habisan dan tertawa di atas penderitaanku!" Jeremy membentak pengacaranya yang saat ini juga sudah berdiri di depan selnya. "Maaf, Pak. Itu tidak bisa d
"Hasil forensiknya sudah keluar. Dari tanda fisik yang telah diperiksa, dapat disimpulkan bahwa Bu Martha meninggal karena dicekik." Diego dan Anna akhirnya pergi ke rumah sakit menjelang malam itu dan hasil pemeriksaan forensik untuk penyebab utama kematian sudah keluar. "Selain itu, ada bekas darah di kuku Bu Martha yang menunjukkan Bu Martha sempat melakukan perlawanan. Kemungkinan darah tersebut adalah darah dari pelaku saat Bu Martha mencakar lengan sang pelaku," jelas sang dokter lagi. Seorang polisi yang menhandle kasus ini pun mengangguk dan menambahkan keterangannya. "Sesuai instruksi, kami juga langsung mencocokkan sidik jari yang ditemukan dengan sidik jari dari Pak Jeremy, hasilnya cocok. Pak Jeremy menolak melakukan tes DNA untuk darah di kuku Bu Martha, tapi bekas cakaran di lengan Pak Jeremy sudah bisa menjadi bukti kuat." "CCTV rumah sakit juga bisa membuktikan bahwa Pak Jeremy adalah orang terakhir yang keluar dari kamar Bu Martha setelah Bu Martha meninggal. Bu
Anna membuka matanya sambil mengernyit pagi itu. Tubuhnya terasa begitu lelah dan sakit semua. Anna kesulitan bergerak dan rasa di tenggorokannya begitu kering."Hmm, aku tertidur," gumam Anna. "Di mana ini?" Anna masih mengernyit menatap sekelilingnya yang begitu asing. Anna belum pernah ke apartemen Diego sebelumnya. "Akhh ...," rintih Anna saat ia bangkit duduk. Tidak ada siapa-siapa di samping Anna dan ia sendirian di kamar itu, tapi Anna bisa merasakan aroma parfum yang familiar di sana. Parfum yang biasa Diego pakai. "Ini pasti apartemennya. Hmm, kepalaku sakit sekali," gumam Anna lagi. Demam membuat tubuhnya terasa linu dan sakit di semua bagian. Namun, perlahan Anna bangkit dari ranjangnya dan ia langsung bisa mendengar suara ribut dari luar kamar. Suara ribut yang menyenangkan, suara tawa, dan suara teriakan sumringah anak kecil. Suara yang jarang ia dengar di rumah karena Darren tidak berani tertawa terlalu keras saat ada Jeremy. Suara itu pun membuat Anna penasaran d
Martha benar. Semua cerita Martha benar. Diego tidak pernah meragukannya. Hanya saja, barang berharga yang Diego temukan menegaskan kebenaran itu dan membuat Diego makin membenci dirinya yang begitu brengsek. "Maafkan aku, Anna! Maafkan aku! Aku bodoh! Aku sangat bodoh! Maafkan aku!" ucap Diego penuh penyesalan. Cukup lama Diego meredakan tangisannya, sebelum Diego menggantikan Anna baju. Diego menyeka tubuh Anna dengan kain hangat agar wanita itu merasa nyaman lalu memakaikan sepasang baju tidur yang hangat. Anna hanya membawa satu pasang baju tidur. Dua celana panjang dan beberapa atasan. Hanya itu yang ia bawa dalam pelariannya kali ini. "Besok kita akan belanja. Besok kita akan membeli banyak baju untukmu dan Darren," bisik Diego yang terus membelai kepala Anna sayang. Tidak lama kemudian, Anna mulai bergerak gelisah karena mimpi buruknya dan ia mulai mengigau. Namun, Diego langsung memeluk dan menenangkannya. Diego duduk bersandar di ranjang dan memeluk Anna begitu erat sa
Anna tertidur.Anna tidak tahu kapan pastinya ia tertidur dan sudah berapa lama, tapi Anna hanya bisa merasakan linu di sekujur tubuhnya. Anna juga menggigil dan rasanya sama sekali tidak nyaman. "Kau demam, Anna!" Diego baru saja menghentikan mobilnya di parkiran apartemennya malam itu. Sebenarnya jarak antara rumah sakit dan apartemen tidak sejauh itu, tapi Diego memutar lagi arah mobilnya saat melihat Anna yang akhirnya tertidur. Diego ingin Anna bisa tidur lelap dulu agar Diego tinggal menggendongnya nanti, tapi ternyata Diego malah mendapati Anna yang demam. "Kau dengar aku, Anna? Bagaimana rasanya? Apa kita perlu ke rumah sakit lagi?" bisik Diego lembut, mencoba membangunkan Anna yang terlihat menggigil dan tidak nyaman. Namun, Anna menggeleng dan menarik Diego mendekat, berusaha mencari kehangatan karena ia sangat kedinginan. Diego yang masih duduk di mobilnya pun langsung bergerak cepat, membuka sabuk pengaman, turun dari mobil, dan akhirnya menggendong Anna naik ke apar
Diego benar-benar tersentak mendengar ucapan Anna sampai ia menoleh kaget. "Sial, Anna! Apa yang kau katakan, hah?" "Aku serius! Bukankah kau yang duluan menginginkan tubuhku untuk membayar hutang operasi Darren dan investasi di perusahaan Jeremy? Hanya itu yang aku punya. Aku tahu waktu itu aku sudah menolaknya, tapi aku menarik kembali ucapanku, bagaimana kalau kau memakaiku saja sampai kau puas?" Lagi-lagi Anna tertawa begitu frustasi sampai Diego pun menggenggam erat setirnya. Dengan geram, Diego membelokkan mobilnya ke pinggir jalan dan menghentikan mobilnya asal. Anna ikut tersentak. "Ada apa ini? Mengapa kita berhenti di sini? Aku harus menjemput Darren." Diego tidak menyahutinya, tapi Diego membuka sabun pengamannya dan menatap Anna. Diego menangkup wajah Anna dan menatapnya lekat-lekat. Wajah cantik itu masih belum benar-benar hidup. Kedua manik mata indah itu juga tidak menyala, hingga air mata Diego pun ikut menetes. Bukankah saat kita sedang bersedih, hal yang akan
"Anna sialan! Diego sialan! Brengsek semua!" Jeremy tidak berhenti mengumpat saat akhirnya ia terpaksa turun dari pesawat dan ikut dengan polisi. Namun, Jeremy tidak mau terlihat seperti seorang buronan dan ia ingin tetap terlihat terhormat. Jeremy pun berjanji tidak akan kabur, tapi ia menolak diborgol. Polisi mengijinkannya berjalan sendiri dengan pengawasan ketat karena ternyata di bawah pesawat sendiri sudah ada beberapa anggota polisi yang lain. "Berani sekali kalian memperlakukan aku seperti ini! Aku bukan penjahat!" "Silakan dijelaskan di kantor, Pak! Anda juga dipersilakan memanggil pengacara. Tapi selama proses penyelidikan, Anda tidak diijinkan pergi ke luar kota maupun luar negeri." Jeremy tidak banyak bicara lagi, tapi ia tidak berhenti mengirim pesan pada pengacaranya yang dengan cepat sudah menunggu di kantor polisi. Jeremy pikir malam itu ia akan langsung bebas dan pulang ke rumah, tapi sialnya, Martha brengsek itu sebelum meninggal sudah membuat banyak laporan me
"Ibu, jangan khawatir, aku akan menegakkan keadilan itu untuk Ibu. Tenanglah, Ibu! Tenanglah!" "Aku tidak akan melepaskan Jeremy! Aku bersumpah, Ibu! Maafkan aku yang tidak ada di saat-saat terakhir Ibu! Maafkan aku!" Anna kembali memeluk jasad Martha. Bahkan, saat jasad Martha akan dibawa pergi pun Anna masih belum rela melepaskannya. Diego yang melihatnya pun menangkup bahu Anna dari belakang dan berusaha menenangkannya. "Anna, jasad Bu Martha harus segera dipindahkan." "Tidak, jangan pisahkan aku dengan ibuku! Tidak!" "Anna ...." "Aku masih mau bersamanya, aku belum puas bersamanya. Ibu ...." Anna masih menangis lirih, tapi Diego memeluknya dari belakang agar suster bisa memindahkan jasad Martha. "Lepaskan aku, Diego! Lepaskan! Ibu ...," lirih Anna lagi saat melihat jasad Martha akhirnya dibawa pergi dari sana. Bik Nim yang masih di luar kamar sambil menggendong Darren pun hanya bisa menatap sedih pada tubuh Martha yang sudah tertutup sampai ke kepala itu. Jasad Martha di
"Sial! Apa yang terjadi di rumah, hah? Mengapa semuanya berantakan seperti ini?" bentak Jeremy penuh amarah. Jeremy akhirnya tiba di rumah setelah menyetir seperti kesetanan. Jeremy menyetir begitu cepat seolah takut akan tertangkap oleh siapa pun. Jantung Jeremy pun memacu tidak karuan karena ia baru saja membunuh Martha dengan tangannya sendiri, padahal biasanya Jeremy selalu menggunakan tangan orang lain kalau akan melakukan kecurangan atau kejahatan apa pun. Setibanya di rumah, bukannya makin tenang, jantung Jeremy malah makin tidak karuan mendengar Anna yang berhasil kabur dari rumah. Jeremy pun segera melihat rekaman CCTV rumah dan Jeremy marah luar biasa. "Dasar bodoh! Apa gunanya tubuhmu sebesar itu kalau mengalahkan seorang Diego saja tidak bisa, hah?" bentak Jeremy lagi. Jeremy melihat jelas bagaimana Diego menghajar Bram, sebelum Bram tumbang setelah dipukul Anna dengan guci mahal. "Sial! Guci itu mahal sekali! Sial! Bodoh semua! Bodoh! Pecat security bodoh itu juga!