Hujan telah reda, meninggalkan aroma tanah basah dan lembap yang memenuhi udara pagi. Kontras dengan suasana di rumah Nara yang tetap muram. Ia duduk di meja makan, secangkir kopi yang sudah dingin di hadapannya. Pandangannya kosong, pikirannya sibuk memutar ulang kejadian semalam. Mulai dari kehadiran Arka, pesan misterius, saran-saran dari Dita, dan kemarahan Rama yang hampir tak terkendali. Semuanya seperti pusaran badai pasir yang menggulungnya semakin jauh tanpa arah.
“Kamu nggak tidur semalam?” suara Rama memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kemeja kerja yang rapi. Matanya tajam mengamati Nara, seperti mencoba membaca pikiran istrinya.
Nara tersentak kaget karena tidak menyadari jika Rama sudah pulang. Entah kapan. Ia sekuat tenaga menyembunyikan keheranannya.
Nara menggeleng pelan. “Nggak bisa tidur.”
Rama mendekat, duduk di seberang meja. “Aku juga.”
Nara mengangkat alis, sedikit terkejut mendengar pengakuan itu. Biasanya, Rama adalah tipe pria yang bisa menyembunyikan perasaannya dengan sempurna. Tetapi pagi ini, ada sesuatu yang berbeda. “Mencurigakan,” gumamnya dalam hati.
“Kita perlu bicara, Nara,” kata Rama akhirnya, suaranya terdengar lebih parau dan berat dari sebelumnya.
“Tentang apa?” Nara mencoba terdengar tenang dengan detak jantung yang berdetak kencang.
“Tentang Arka.” Tatapan Rama memindai wajah Nara, membaca perubahan gesturnya.
Nama itu meluncur dari bibir Rama seperti pisau yang langsung menghujam deras ke jantung Nara. Ia menatap suaminya dengan mata melebar, mencoba mencari petunjuk apakah Rama benar-benar tahu sesuatu atau hanya menebak-nebak saja.
“Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Rama menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Nara tanpa berkedip. “Aku tahu dia ada di sini semalam. Dan aku tahu ini bukan pertama kalinya, iya kan?”
Nara merasa dunia sekitarnya berhenti berputar. Waktu seperti berhenti seketika. “Kamu salah paham,” katanya cepat. “Arka hanya .…”
“Hanya apa?” potong Rama tajam. “Hanya mampir? Hanya kebetulan? Begitu, hah? Dengar, Nara, aku bukan orang bodoh.”
Nara terdiam. Ia tahu jika ia membantah, itu hanya akan memperburuk keadaan saja. Bahkan bisa lebih buruk. Tetapi bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya tanpa membuat Rama semakin curiga? Sedangkan alasan yang membenarkan bahwa ia tidak benar-benar bersalah belum ia dapatkan. “Aku nggak tahu harus bilang apa,” suaranya hampir putus. “Aku hanya … aku hanya butuh waktu, Rama. Mengertilah. Ini sungguh jauh dari apa yang kamu tuduhkan. Please …” Nara mulai terisak. Tepatnya, Nara hanya mendramatisir supaya asumsi Rama berubah.
Rama menghela napas panjang, lalu berdiri. “Aku juga butuh waktu. Tapi satu hal yang pasti, Nara, aku nggak akan diam begitu saja kalau kamu terus mempermainkan aku seperti ini.”
Tanpa menunggu jawaban, Rama bangkit dari meja makan dan pergi, meninggalkan Nara yang masih terpaku di tempatnya.
Seulas senyum aneh perlahan terbit di wajah Nara saat ia menatap punggung Rama yang semakin menjauh. Tapi entah mengapa, Nara masih memperlihatkan kesedihan dan ketakutan yang seolah-olah bercampur menjadi satu, seperti menanggung beban yang semakin sulit ia tanggung, dan … dia pun menangis.
Rama yang mendengar tangisan Nara sempat berhenti sejenak. Ia menoleh ke belakang seperti ingin menghampiri Nara. Tapi Rama hanya menghela napas berat, lalu melanjutkan langkahnya.
Di sisi lain kota, Dita duduk di dalam sebuah kafe mewah, menyesap latte-nya dengan santai. Ia memandangi layar ponselnya, membaca ulang pesan-pesan yang ia kirim dan terima semalam. Semuanya berjalan sesuai rencana, pikirnya. Rama sudah terpancing, dan Nara semakin terpojok. Kini, tinggal menunggu langkah berikutnya.
“Kamu kelihatan puas,” suara seorang pria membuat Dita mendongak. Arka berdiri di depannya, mengenakan jaket kulit hitam yang sedikit lembap karena sisa basah semalam. Ia menarik kursi dan duduk di seberang meja tanpa menunggu undangan basa-basi dari Dita.
“Kenapa nggak? Semua berjalan sesuai rencana, kan?” jawab Dita sambil tersenyum tipis.
Arka mengangkat alis. “Aku nggak yakin Nara akan setuju kalau tahu kamu memanfaatkannya seperti ini.”
Dita tertawa kecil. “Setuju atau nggak, itu nggak begitu penting. Yang terpenting, dia tetap mengikuti permainan ini.”
“Dan kalau dia berhenti?” tanya Arka, nadanya menantang.
Dita menatap Arka dengan tajam. “Dia nggak akan berhenti. Dia terlalu dalam untuk mundur sekarang.”
Arka terdiam, tetapi ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya setuju. “Aku harap kamu tahu apa yang kamu lakukan, Dita. Karena kalau ini gagal, kita semua akan hancur.”
Dita tersenyum lagi, tetapi kali ini ada sesuatu yang dingin dalam senyumnya. “Percayalah, Arka. Aku selalu tahu apa yang aku lakukan.”
Di rumah Nara, Nara duduk di kamarnya, mencoba mengumpulkan pikirannya. Ia tahu ia harus mengambil langkah sebelum semuanya semakin kacau. Tetapi apa yang harus ia lakukan? Menghadapi Rama? Berbicara dengan Dita? Atau ….
Pikirannya terhenti saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenal.
"Aku tahu rahasiamu. Kalau kamu ingin semuanya tetap aman, temui aku di tempat biasa."
Nara membaca pesan itu berulang kali, mencoba memahami siapa pengirimnya. “Tempat biasa? Apa maksudnya? Dan apa yang dia tahu?” gumamnya, penuh tanda tanya.
Hatinya berdebar kencang saat ia menyadari bahwa ini bukanlah sebuah ancaman kosong belaka. Seseorang benar-benar tahu sesuatu, dan seseorang itu ingin bertemu dengannya. Tetapi siapa? Dan apa yang diinginkannya?
Dengan tangan gemetar, Nara mengetik balasan.
"Siapa ini?"
Jawabannya datang hampir seketika.
"Kamu tahu siapa aku. Jangan terlambat."
Nara merasa seluruh tubuhnya gemetar. Ia tahu ia tidak bisa mengabaikan pesan ini. Tetapi apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus memberi tahu Dita? Atau Rama?
Sebelum ia sempat memutuskan, sebuah kenangan lama muncul di benaknya. Tempat biasa. Itu adalah kode yang hanya ia dan satu orang lain yang tahu. “Mungkinkah dia?” pikir Nara keras. Tapi, hanya pertanyaan tanpa jawaban yang ia dapatkan.
Nara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu ia harus pergi, meskipun ia juga tahu ini bisa jadi hanya sebuah jebakan. Sayangnya, ia tidak punya pilihan lain. Jika seseorang benar-benar tahu rahasianya, ia harus memastikan apa yang dia ketahui dan apa yang dia inginkan.
Malam itu, Nara meninggalkan rumah dengan hati yang berat. Ia tidak tahu siapa yang menunggunya di tempat biasa. Nara hanya bisa menebak-nebak.
Di tempat lain, Dita menerima pesan di ponselnya. Sebuah foto, menunjukkan Nara sedang masuk ke sebuah gedung tua yang tampak sepi.
“Bagus,” gumam Dita sambil tersenyum. Ia tahu permainan ini baru saja naik ke level berikutnya.
Namun, senyum itu memudar saat ia menerima pesan lain, kali ini dari nomor yang tidak ia kenal.
"Kamu pikir kamu mengendalikan semuanya, tapi kamu salah. Aku akan memastikan semuanya berakhir sesuai keinginanku. Bukan keinginanmu."
Dita menatap layar ponselnya dengan ekspresi tegang. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa permainan ini mungkin tidak sepenuhnya berada di tangannya.
Di dalam gedung tua itu, Nara melangkah dengan hati-hati. Lampu remang-remang dan aroma lembap membuat suasana semakin mencekam. Ia menahan napas saat mendengar langkah kaki mendekat.
"Kamu datang," suara itu membuatnya membeku. Ia menoleh, dan melihat sosok tengah berdiri menjulang di balik bayangan gelap, yang hanya terlihat kaki jenjang dengan celana bahan panjang, tanpa bisa ia lihat rupa dari laki-laki itu.
"Apa yang kamu inginkan?" tanyanya, suaranya bergetar.
Sosok itu melangkah mendekat, sehingga wajahnya terlihat lebih jelas di bawah cahaya lampu. Nara merasa darahnya berhenti mengalir saat ia menyadari siapa orang itu.
"Kita perlu bicara, Nara. Tentang dosa-dosamu."
Lampu redup di dalam gedung tua itu memunculkan bayangan panjang yang seolah merayap di dinding. Nara menatap lekat sosok di depannya, berusaha lebih cepat memahami siapa dia. Sosok itu melangkah lebih dekat, memperlihatkan wajah yang tidak asing bagi Nara.… Reno, pria yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya, seseorang yang seharusnya tidak lagi muncul di kehidupannya."Reno?!" Nara berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam suara detak jantungnya sendiri. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Reno menatapnya tajam, senyum tipis terbentuk di bibirnya, "Aku tahu lebih banyak dari yang kamu pikirkan, Nara. Tentang Arka, tentang Dita, dan tentang rahasiamu. Ha-ha-ha."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Nara menahan napas, tubuhnya terasa membeku. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara yang hampir tidak keluar.Reno mengeluarkan ponsel dari sakunya dan memperlihatkan sebuah video. Dalam video itu, terlihat Nara dan Arka bertemu di tempat yang tampak seperti kafe kecil. Percakapan
Nara duduk di dalam mobil, jari-jarinya menggenggam setir dengan erat. Ia menatap ke luar jendela, memperhatikan bayangan gedung tua tempat ia berjanji bertemu dengan seseorang. Hatinya berdebar kencang. Apakah ini keputusan yang tepat?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk: "Aku sudah di dalam. Masuklah. Jangan coba-coba membawa orang lain."Menelan ludah, Nara menarik napas dalam sebelum keluar dari mobil dan melangkah ke dalam gedung. Cahaya lampu redup membuat suasana terasa lebih menekan. Setiap langkahnya bergema di lorong sempit itu.Di sebuah ruangan kecil, seseorang duduk dengan tenang, menunggunya. Wajah itu tersamar oleh bayangan, Ada sedikit rasa was-was dalam hati Nara. Tetapi ketika ia melangkah lebih dekat, ia merasa lega setelah melihat orang itu dengan jelas."Kamu sudah datang," ujar orang itu dengan nada tenang.Nara mengangguk, menatapnya tanpa keraguan. "Aku ingin tahu semuanya. Jangan ada yang disembunyikan dariku."Orang itu menyeringai, matanya menelusuri waja
Nara menatap sosok yang berdiri di bawah cahaya lampu jalan itu dengan jantung berdegup kencang. Ia mengeratkan genggaman pada kunci mobilnya, bersiap jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi."Siapa kau?" suaranya tegas, meski ada sedikit getaran di dalamnya.Sosok itu melangkah maju, membuat bayangannya semakin jelas. Dan ketika wajah itu tampak di bawah cahaya, napas Nara tercekat."Aku tidak menyangka kau akan pulang selarut ini, Nara," suara itu akrab, tetapi ada nada dingin yang membuatnya menggigil."Arka?" Mata Nara membulat, tubuhnya menegang.Pria itu berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, matanya menatap lurus padanya. Sorot matanya tajam, seakan sedang menghakiminya."Kau dari mana?" tanyanya dengan nada rendah, nyaris seperti bisikan, tetapi penuh tekanan.Nara berusaha menjaga ekspresinya tetap datar. "Bukan urusanmu."Arka tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya. "Bukan urusanku? Kau yakin?"Nara mendengus. "Sejak kapan aku harus melapor
“Stop, Reno!” pinta Nara di tengah kepanikannya.Tapi Reno tidak sedikitpun menggubrisnya. Matanya memancarkan gairah liar yang tak dapat dibendung. Dia seperti seekor singa yang kelaparan, buas dan tak terkontrol. Underwear Nara telah direnggutnya dengan mudah. Nafas Reno semakin berat, dadanya naik turun tak beraturan. Kini dia memposisikan dirinya di antara kedua kaki Nara yang jenjang.Nara menggigit bibir bawahnya. Hatinya berperang hebat, antara ketakutan dan keinginan yang saling bertabrakan. Kedua tangannya mencengkeram sudut belakang sofa dengan kuat, mencoba mencari pijakan di tengah kekacauan yang melanda batinnya.Reno menatap tubuh Nara dengan intens, seakan ingin menghafal setiap lekuk yang terpampang jelas di hadapannya. Matanya gelap, penuh obsesi. Perlahan, dia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke leher Nara. Kehangatan nafasnya menyapu kulit halus Wanita itu, membuat bulu kuduknya meremang.“Reno, kau emang gila. Kalau suamiku tahu, bisa mati kita berdua.”Tetapii, s
Nara berdiri di depan cermin besar di kamar tidurnya. Gaun satin hitam yang membalut tubuhnya mempertegas keanggunan sekaligus aura sensualnya. Dengan tangan terampil, ia menyisir rambut panjangnya, menyiapkan diri untuk menghabiskan malam yang dijanjikan penuh petualangan. Akan tetapi, sorot matanya tak memandang pantulan dirinya di cermin. Ia hanya terpaku pada layar ponsel di atas meja rias yang baru saja menampilkan sebuah pesan singkat dari Arka:“Sudah siap, sayang? Aku di lobi.”Dehaman kecil keluar dari bibirnya, setengah menikmati getaran-getaran dan bayangan-bayabgan sensasi yang mendebarkan dari situasi ini, Hati Nara serasa dikepung oleh ketegangan tak kasat mata."Arka, aku sungguh merindukan semua sentuhanmu. Dan aku tidak sabar malam ini kita akan kembali bertemu," gumam Nara dengan hati berdebar kencang saat membaca pesan yang baru saja Arka kirimkan.Untuk sesaat, gairah liarnya tak bisa lagi ia padamkan, Nara bahkan bisa membayangkan setiap sentuhan memabukkan yang s
Ternyata yang muncul bukan Rama. Di depan pintu telah berdiri Dita, sahabatnya yang beberapa hari ini baru pulang dari luar negeri. Sahabat sedari masa SMA dulu. Nara memandang sosok itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega karena ternyata yang mengetuk pintu bukanlah Rama, Meski perasaan yang gak keruan bercampur dengan kegelisahan masih menguasai hatinya. Dita tersenyum tipis, membawa aura tenang yang anehnya menenangkan sekaligus mengintimidasi. Ia tampak seperti seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang seharusnya."Dita? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Nara, mencoba menyembunyikan kegugupannya di balik nada terkejut."Maaf jika aku membuatmu terkejut, Nara. Aku tahu ini mendadak," jawab Dita lembut, matanya tajam menatap Nara, "Tapi aku harus membicarakan semua ini ke kamu. Ada hal penting yang perlu kamu tahu."Nara terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan, memberi isyarat agar Dita masuk ke kamarnya. Ia melirik ponsel yang masih tergeletak di lantai dengan layar
Hujan deras mengguyur kota malam itu, membungkus suasana dalam keheningan yang penuh misteri. Nara duduk di ruang tamu rumahnya, memandangi ponsel yang tergeletak di meja. Layarnya yang retak benar-benar menjadi simbol dari hatinya yang sekarang sedang hancur berkeping-keping. Dalam pikirannya, pertengkaran dengan Rama masih terulang seperti film yang buruk, diputar berulang-ulang tanpa berkesudahan. Sejak pertengkaran itu, Rama seolah menghilang, tak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya.Ketukan di pintu membuat Nara tersentak. Ia bangkit dengan ragu, bertanya-tanya siapa yang datang di tengah malam seperti ini. Hatinya diliputi tanda tanya, "Apakah Rama pulang?" Saat pintu terbuka, sosok pria yang berdiri di sana membuat darahnya membeku. Arka."Hai, Nara," suaranya berat, serak, dan dalam, menggema lembut di tengah gemuruh hujan yang membasahi malam. Tubuhnya basah kuyup, tetesan air hujan mengalir pelan di sepanjang rahangnya yang tajam. Tatapannya tepat menghunjam langsung ke
“Stop, Reno!” pinta Nara di tengah kepanikannya.Tapi Reno tidak sedikitpun menggubrisnya. Matanya memancarkan gairah liar yang tak dapat dibendung. Dia seperti seekor singa yang kelaparan, buas dan tak terkontrol. Underwear Nara telah direnggutnya dengan mudah. Nafas Reno semakin berat, dadanya naik turun tak beraturan. Kini dia memposisikan dirinya di antara kedua kaki Nara yang jenjang.Nara menggigit bibir bawahnya. Hatinya berperang hebat, antara ketakutan dan keinginan yang saling bertabrakan. Kedua tangannya mencengkeram sudut belakang sofa dengan kuat, mencoba mencari pijakan di tengah kekacauan yang melanda batinnya.Reno menatap tubuh Nara dengan intens, seakan ingin menghafal setiap lekuk yang terpampang jelas di hadapannya. Matanya gelap, penuh obsesi. Perlahan, dia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke leher Nara. Kehangatan nafasnya menyapu kulit halus Wanita itu, membuat bulu kuduknya meremang.“Reno, kau emang gila. Kalau suamiku tahu, bisa mati kita berdua.”Tetapii, s
Nara menatap sosok yang berdiri di bawah cahaya lampu jalan itu dengan jantung berdegup kencang. Ia mengeratkan genggaman pada kunci mobilnya, bersiap jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi."Siapa kau?" suaranya tegas, meski ada sedikit getaran di dalamnya.Sosok itu melangkah maju, membuat bayangannya semakin jelas. Dan ketika wajah itu tampak di bawah cahaya, napas Nara tercekat."Aku tidak menyangka kau akan pulang selarut ini, Nara," suara itu akrab, tetapi ada nada dingin yang membuatnya menggigil."Arka?" Mata Nara membulat, tubuhnya menegang.Pria itu berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, matanya menatap lurus padanya. Sorot matanya tajam, seakan sedang menghakiminya."Kau dari mana?" tanyanya dengan nada rendah, nyaris seperti bisikan, tetapi penuh tekanan.Nara berusaha menjaga ekspresinya tetap datar. "Bukan urusanmu."Arka tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya. "Bukan urusanku? Kau yakin?"Nara mendengus. "Sejak kapan aku harus melapor
Nara duduk di dalam mobil, jari-jarinya menggenggam setir dengan erat. Ia menatap ke luar jendela, memperhatikan bayangan gedung tua tempat ia berjanji bertemu dengan seseorang. Hatinya berdebar kencang. Apakah ini keputusan yang tepat?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk: "Aku sudah di dalam. Masuklah. Jangan coba-coba membawa orang lain."Menelan ludah, Nara menarik napas dalam sebelum keluar dari mobil dan melangkah ke dalam gedung. Cahaya lampu redup membuat suasana terasa lebih menekan. Setiap langkahnya bergema di lorong sempit itu.Di sebuah ruangan kecil, seseorang duduk dengan tenang, menunggunya. Wajah itu tersamar oleh bayangan, Ada sedikit rasa was-was dalam hati Nara. Tetapi ketika ia melangkah lebih dekat, ia merasa lega setelah melihat orang itu dengan jelas."Kamu sudah datang," ujar orang itu dengan nada tenang.Nara mengangguk, menatapnya tanpa keraguan. "Aku ingin tahu semuanya. Jangan ada yang disembunyikan dariku."Orang itu menyeringai, matanya menelusuri waja
Lampu redup di dalam gedung tua itu memunculkan bayangan panjang yang seolah merayap di dinding. Nara menatap lekat sosok di depannya, berusaha lebih cepat memahami siapa dia. Sosok itu melangkah lebih dekat, memperlihatkan wajah yang tidak asing bagi Nara.… Reno, pria yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya, seseorang yang seharusnya tidak lagi muncul di kehidupannya."Reno?!" Nara berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam suara detak jantungnya sendiri. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Reno menatapnya tajam, senyum tipis terbentuk di bibirnya, "Aku tahu lebih banyak dari yang kamu pikirkan, Nara. Tentang Arka, tentang Dita, dan tentang rahasiamu. Ha-ha-ha."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Nara menahan napas, tubuhnya terasa membeku. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara yang hampir tidak keluar.Reno mengeluarkan ponsel dari sakunya dan memperlihatkan sebuah video. Dalam video itu, terlihat Nara dan Arka bertemu di tempat yang tampak seperti kafe kecil. Percakapan
Hujan telah reda, meninggalkan aroma tanah basah dan lembap yang memenuhi udara pagi. Kontras dengan suasana di rumah Nara yang tetap muram. Ia duduk di meja makan, secangkir kopi yang sudah dingin di hadapannya. Pandangannya kosong, pikirannya sibuk memutar ulang kejadian semalam. Mulai dari kehadiran Arka, pesan misterius, saran-saran dari Dita, dan kemarahan Rama yang hampir tak terkendali. Semuanya seperti pusaran badai pasir yang menggulungnya semakin jauh tanpa arah.“Kamu nggak tidur semalam?” suara Rama memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kemeja kerja yang rapi. Matanya tajam mengamati Nara, seperti mencoba membaca pikiran istrinya.Nara tersentak kaget karena tidak menyadari jika Rama sudah pulang. Entah kapan. Ia sekuat tenaga menyembunyikan keheranannya.Nara menggeleng pelan. “Nggak bisa tidur.”Rama mendekat, duduk di seberang meja. “Aku juga.”Nara mengangkat alis, sedikit terkejut mendengar pengakuan itu. Biasanya, Rama adalah tipe pria yang
Hujan deras mengguyur kota malam itu, membungkus suasana dalam keheningan yang penuh misteri. Nara duduk di ruang tamu rumahnya, memandangi ponsel yang tergeletak di meja. Layarnya yang retak benar-benar menjadi simbol dari hatinya yang sekarang sedang hancur berkeping-keping. Dalam pikirannya, pertengkaran dengan Rama masih terulang seperti film yang buruk, diputar berulang-ulang tanpa berkesudahan. Sejak pertengkaran itu, Rama seolah menghilang, tak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya.Ketukan di pintu membuat Nara tersentak. Ia bangkit dengan ragu, bertanya-tanya siapa yang datang di tengah malam seperti ini. Hatinya diliputi tanda tanya, "Apakah Rama pulang?" Saat pintu terbuka, sosok pria yang berdiri di sana membuat darahnya membeku. Arka."Hai, Nara," suaranya berat, serak, dan dalam, menggema lembut di tengah gemuruh hujan yang membasahi malam. Tubuhnya basah kuyup, tetesan air hujan mengalir pelan di sepanjang rahangnya yang tajam. Tatapannya tepat menghunjam langsung ke
Ternyata yang muncul bukan Rama. Di depan pintu telah berdiri Dita, sahabatnya yang beberapa hari ini baru pulang dari luar negeri. Sahabat sedari masa SMA dulu. Nara memandang sosok itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega karena ternyata yang mengetuk pintu bukanlah Rama, Meski perasaan yang gak keruan bercampur dengan kegelisahan masih menguasai hatinya. Dita tersenyum tipis, membawa aura tenang yang anehnya menenangkan sekaligus mengintimidasi. Ia tampak seperti seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang seharusnya."Dita? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Nara, mencoba menyembunyikan kegugupannya di balik nada terkejut."Maaf jika aku membuatmu terkejut, Nara. Aku tahu ini mendadak," jawab Dita lembut, matanya tajam menatap Nara, "Tapi aku harus membicarakan semua ini ke kamu. Ada hal penting yang perlu kamu tahu."Nara terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan, memberi isyarat agar Dita masuk ke kamarnya. Ia melirik ponsel yang masih tergeletak di lantai dengan layar
Nara berdiri di depan cermin besar di kamar tidurnya. Gaun satin hitam yang membalut tubuhnya mempertegas keanggunan sekaligus aura sensualnya. Dengan tangan terampil, ia menyisir rambut panjangnya, menyiapkan diri untuk menghabiskan malam yang dijanjikan penuh petualangan. Akan tetapi, sorot matanya tak memandang pantulan dirinya di cermin. Ia hanya terpaku pada layar ponsel di atas meja rias yang baru saja menampilkan sebuah pesan singkat dari Arka:“Sudah siap, sayang? Aku di lobi.”Dehaman kecil keluar dari bibirnya, setengah menikmati getaran-getaran dan bayangan-bayabgan sensasi yang mendebarkan dari situasi ini, Hati Nara serasa dikepung oleh ketegangan tak kasat mata."Arka, aku sungguh merindukan semua sentuhanmu. Dan aku tidak sabar malam ini kita akan kembali bertemu," gumam Nara dengan hati berdebar kencang saat membaca pesan yang baru saja Arka kirimkan.Untuk sesaat, gairah liarnya tak bisa lagi ia padamkan, Nara bahkan bisa membayangkan setiap sentuhan memabukkan yang s