Hujan telah reda, meninggalkan aroma tanah basah dan lembap yang memenuhi udara pagi. Kontras dengan suasana di rumah Nara yang tetap muram. Ia duduk di meja makan, secangkir kopi yang sudah dingin di hadapannya. Pandangannya kosong, pikirannya sibuk memutar ulang kejadian semalam. Mulai dari kehadiran Arka, pesan misterius, saran-saran dari Dita, dan kemarahan Rama yang hampir tak terkendali. Semuanya seperti pusaran badai pasir yang menggulungnya semakin jauh tanpa arah.
“Kamu nggak tidur semalam?” suara Rama memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kemeja kerja yang rapi. Matanya tajam mengamati Nara, seperti mencoba membaca pikiran istrinya.
Nara tersentak kaget karena tidak menyadari jika Rama sudah pulang. Entah kapan. Ia sekuat tenaga menyembunyikan keheranannya.
Nara menggeleng pelan. “Nggak bisa tidur.”
Rama mendekat, duduk di seberang meja. “Aku juga.”
Nara mengangkat alis, sedikit terkejut mendengar pengakuan itu. Biasanya, Rama adalah tipe pria yang bisa menyembunyikan perasaannya dengan sempurna. Tetapi pagi ini, ada sesuatu yang berbeda. “Mencurigakan,” gumamnya dalam hati.
“Kita perlu bicara, Nara,” kata Rama akhirnya, suaranya terdengar lebih parau dan berat dari sebelumnya.
“Tentang apa?” Nara mencoba terdengar tenang dengan detak jantung yang berdetak kencang.
“Tentang Arka.” Tatapan Rama memindai wajah Nara, membaca perubahan gesturnya.
Nama itu meluncur dari bibir Rama seperti pisau yang langsung menghujam deras ke jantung Nara. Ia menatap suaminya dengan mata melebar, mencoba mencari petunjuk apakah Rama benar-benar tahu sesuatu atau hanya menebak-nebak saja.
“Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Rama menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Nara tanpa berkedip. “Aku tahu dia ada di sini semalam. Dan aku tahu ini bukan pertama kalinya, iya kan?”
Nara merasa dunia sekitarnya berhenti berputar. Waktu seperti berhenti seketika. “Kamu salah paham,” katanya cepat. “Arka hanya .…”
“Hanya apa?” potong Rama tajam. “Hanya mampir? Hanya kebetulan? Begitu, hah? Dengar, Nara, aku bukan orang bodoh.”
Nara terdiam. Ia tahu jika ia membantah, itu hanya akan memperburuk keadaan saja. Bahkan bisa lebih buruk. Tetapi bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya tanpa membuat Rama semakin curiga? Sedangkan alasan yang membenarkan bahwa ia tidak benar-benar bersalah belum ia dapatkan. “Aku nggak tahu harus bilang apa,” suaranya hampir putus. “Aku hanya … aku hanya butuh waktu, Rama. Mengertilah. Ini sungguh jauh dari apa yang kamu tuduhkan. Please …” Nara mulai terisak. Tepatnya, Nara hanya mendramatisir supaya asumsi Rama berubah.
Rama menghela napas panjang, lalu berdiri. “Aku juga butuh waktu. Tapi satu hal yang pasti, Nara, aku nggak akan diam begitu saja kalau kamu terus mempermainkan aku seperti ini.”
Tanpa menunggu jawaban, Rama bangkit dari meja makan dan pergi, meninggalkan Nara yang masih terpaku di tempatnya.
Seulas senyum aneh perlahan terbit di wajah Nara saat ia menatap punggung Rama yang semakin menjauh. Tapi entah mengapa, Nara masih memperlihatkan kesedihan dan ketakutan yang seolah-olah bercampur menjadi satu, seperti menanggung beban yang semakin sulit ia tanggung, dan … dia pun menangis.
Rama yang mendengar tangisan Nara sempat berhenti sejenak. Ia menoleh ke belakang seperti ingin menghampiri Nara. Tapi Rama hanya menghela napas berat, lalu melanjutkan langkahnya.
Di sisi lain kota, Dita duduk di dalam sebuah kafe mewah, menyesap latte-nya dengan santai. Ia memandangi layar ponselnya, membaca ulang pesan-pesan yang ia kirim dan terima semalam. Semuanya berjalan sesuai rencana, pikirnya. Rama sudah terpancing, dan Nara semakin terpojok. Kini, tinggal menunggu langkah berikutnya.
“Kamu kelihatan puas,” suara seorang pria membuat Dita mendongak. Arka berdiri di depannya, mengenakan jaket kulit hitam yang sedikit lembap karena sisa basah semalam. Ia menarik kursi dan duduk di seberang meja tanpa menunggu undangan basa-basi dari Dita.
“Kenapa nggak? Semua berjalan sesuai rencana, kan?” jawab Dita sambil tersenyum tipis.
Arka mengangkat alis. “Aku nggak yakin Nara akan setuju kalau tahu kamu memanfaatkannya seperti ini.”
Dita tertawa kecil. “Setuju atau nggak, itu nggak begitu penting. Yang terpenting, dia tetap mengikuti permainan ini.”
“Dan kalau dia berhenti?” tanya Arka, nadanya menantang.
Dita menatap Arka dengan tajam. “Dia nggak akan berhenti. Dia terlalu dalam untuk mundur sekarang.”
Arka terdiam, tetapi ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya setuju. “Aku harap kamu tahu apa yang kamu lakukan, Dita. Karena kalau ini gagal, kita semua akan hancur.”
Dita tersenyum lagi, tetapi kali ini ada sesuatu yang dingin dalam senyumnya. “Percayalah, Arka. Aku selalu tahu apa yang aku lakukan.”
Di rumah Nara, Nara duduk di kamarnya, mencoba mengumpulkan pikirannya. Ia tahu ia harus mengambil langkah sebelum semuanya semakin kacau. Tetapi apa yang harus ia lakukan? Menghadapi Rama? Berbicara dengan Dita? Atau ….
Pikirannya terhenti saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenal.
"Aku tahu rahasiamu. Kalau kamu ingin semuanya tetap aman, temui aku di tempat biasa."
Nara membaca pesan itu berulang kali, mencoba memahami siapa pengirimnya. “Tempat biasa? Apa maksudnya? Dan apa yang dia tahu?” gumamnya, penuh tanda tanya.
Hatinya berdebar kencang saat ia menyadari bahwa ini bukanlah sebuah ancaman kosong belaka. Seseorang benar-benar tahu sesuatu, dan seseorang itu ingin bertemu dengannya. Tetapi siapa? Dan apa yang diinginkannya?
Dengan tangan gemetar, Nara mengetik balasan.
"Siapa ini?"
Jawabannya datang hampir seketika.
"Kamu tahu siapa aku. Jangan terlambat."
Nara merasa seluruh tubuhnya gemetar. Ia tahu ia tidak bisa mengabaikan pesan ini. Tetapi apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus memberi tahu Dita? Atau Rama?
Sebelum ia sempat memutuskan, sebuah kenangan lama muncul di benaknya. Tempat biasa. Itu adalah kode yang hanya ia dan satu orang lain yang tahu. “Mungkinkah dia?” pikir Nara keras. Tapi, hanya pertanyaan tanpa jawaban yang ia dapatkan.
Nara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu ia harus pergi, meskipun ia juga tahu ini bisa jadi hanya sebuah jebakan. Sayangnya, ia tidak punya pilihan lain. Jika seseorang benar-benar tahu rahasianya, ia harus memastikan apa yang dia ketahui dan apa yang dia inginkan.
Malam itu, Nara meninggalkan rumah dengan hati yang berat. Ia tidak tahu siapa yang menunggunya di tempat biasa. Nara hanya bisa menebak-nebak.
Di tempat lain, Dita menerima pesan di ponselnya. Sebuah foto, menunjukkan Nara sedang masuk ke sebuah gedung tua yang tampak sepi.
“Bagus,” gumam Dita sambil tersenyum. Ia tahu permainan ini baru saja naik ke level berikutnya.
Namun, senyum itu memudar saat ia menerima pesan lain, kali ini dari nomor yang tidak ia kenal.
"Kamu pikir kamu mengendalikan semuanya, tapi kamu salah. Aku akan memastikan semuanya berakhir sesuai keinginanku. Bukan keinginanmu."
Dita menatap layar ponselnya dengan ekspresi tegang. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa permainan ini mungkin tidak sepenuhnya berada di tangannya.
Di dalam gedung tua itu, Nara melangkah dengan hati-hati. Lampu remang-remang dan aroma lembap membuat suasana semakin mencekam. Ia menahan napas saat mendengar langkah kaki mendekat.
"Kamu datang," suara itu membuatnya membeku. Ia menoleh, dan melihat sosok tengah berdiri menjulang di balik bayangan gelap, yang hanya terlihat kaki jenjang dengan celana bahan panjang, tanpa bisa ia lihat rupa dari laki-laki itu.
"Apa yang kamu inginkan?" tanyanya, suaranya bergetar.
Sosok itu melangkah mendekat, sehingga wajahnya terlihat lebih jelas di bawah cahaya lampu. Nara merasa darahnya berhenti mengalir saat ia menyadari siapa orang itu.
"Kita perlu bicara, Nara. Tentang dosa-dosamu."
Lampu redup di dalam gedung tua itu memunculkan bayangan panjang yang seolah merayap di dinding. Nara menatap lekat sosok di depannya, berusaha lebih cepat memahami siapa dia. Sosok itu melangkah lebih dekat, memperlihatkan wajah yang tidak asing bagi Nara.… Reno, pria yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya, seseorang yang seharusnya tidak lagi muncul di kehidupannya."Reno?!" Nara berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam suara detak jantungnya sendiri. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Reno menatapnya tajam, senyum tipis terbentuk di bibirnya, "Aku tahu lebih banyak dari yang kamu pikirkan, Nara. Tentang Arka, tentang Dita, dan tentang rahasiamu. Ha-ha-ha."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Nara menahan napas, tubuhnya terasa membeku. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara yang hampir tidak keluar.Reno mengeluarkan ponsel dari sakunya dan memperlihatkan sebuah video. Dalam video itu, terlihat Nara dan Arka bertemu di tempat yang tampak seperti kafe kecil. Percakapan
Nara duduk di dalam mobil, jari-jarinya menggenggam setir dengan erat. Ia menatap ke luar jendela, memperhatikan bayangan gedung tua tempat ia berjanji bertemu dengan seseorang. Hatinya berdebar kencang. Apakah ini keputusan yang tepat?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk: "Aku sudah di dalam. Masuklah. Jangan coba-coba membawa orang lain."Menelan ludah, Nara menarik napas dalam sebelum keluar dari mobil dan melangkah ke dalam gedung. Cahaya lampu redup membuat suasana terasa lebih menekan. Setiap langkahnya bergema di lorong sempit itu.Di sebuah ruangan kecil, seseorang duduk dengan tenang, menunggunya. Wajah itu tersamar oleh bayangan, Ada sedikit rasa was-was dalam hati Nara. Tetapi ketika ia melangkah lebih dekat, ia merasa lega setelah melihat orang itu dengan jelas."Kamu sudah datang," ujar orang itu dengan nada tenang.Nara mengangguk, menatapnya tanpa keraguan. "Aku ingin tahu semuanya. Jangan ada yang disembunyikan dariku."Orang itu menyeringai, matanya menelusuri waja
Nara menatap sosok yang berdiri di bawah cahaya lampu jalan itu dengan jantung berdegup kencang. Ia mengeratkan genggaman pada kunci mobilnya, bersiap jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi."Siapa kau?" suaranya tegas, meski ada sedikit getaran di dalamnya.Sosok itu melangkah maju, membuat bayangannya semakin jelas. Dan ketika wajah itu tampak di bawah cahaya, napas Nara tercekat."Aku tidak menyangka kau akan pulang selarut ini, Nara," suara itu akrab, tetapi ada nada dingin yang membuatnya menggigil."Arka?" Mata Nara membulat, tubuhnya menegang.Pria itu berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, matanya menatap lurus padanya. Sorot matanya tajam, seakan sedang menghakiminya."Kau dari mana?" tanyanya dengan nada rendah, nyaris seperti bisikan, tetapi penuh tekanan.Nara berusaha menjaga ekspresinya tetap datar. "Bukan urusanmu."Arka tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya. "Bukan urusanku? Kau yakin?"Nara mendengus. "Sejak kapan aku harus melapor
“Stop, Reno!” pinta Nara di tengah kepanikannya.Tapi Reno tidak sedikitpun menggubrisnya. Matanya memancarkan gairah liar yang tak dapat dibendung. Dia seperti seekor singa yang kelaparan, buas dan tak terkontrol. Underwear Nara telah direnggutnya dengan mudah. Nafas Reno semakin berat, dadanya naik turun tak beraturan. Kini dia memposisikan dirinya di antara kedua kaki Nara yang jenjang.Nara menggigit bibir bawahnya. Hatinya berperang hebat, antara ketakutan dan keinginan yang saling bertabrakan. Kedua tangannya mencengkeram sudut belakang sofa dengan kuat, mencoba mencari pijakan di tengah kekacauan yang melanda batinnya.Reno menatap tubuh Nara dengan intens, seakan ingin menghafal setiap lekuk yang terpampang jelas di hadapannya. Matanya gelap, penuh obsesi. Perlahan, dia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke leher Nara. Kehangatan nafasnya menyapu kulit halus Wanita itu, membuat bulu kuduknya meremang.“Reno, kau emang gila. Kalau suamiku tahu, bisa mati kita berdua.”Tetapii, s
Arka berdiri di balik pohon besar, pandangannya tak lepas dari sosok Reno yang menjauh. Senyum licik terukir di wajahnya. “Jadi kau masih belum bisa melepaskannya, Reno?” gumam Arka dengan suara pelan. “Bagus. Ini akan menjadi lebih mudah bagiku.”Sementara di tempat lain, Dita berjalan mondar-mandir di dalam ruangan, ponselnya digenggam erat di satu tangan, sementara tangan lainnya mengepal-ngepal. Wajahnya merah padam, rahangnya mengeras, dan matanya menyala penuh amarah."Keterlaluan! Hanya mengurus hal sepele begini saja kalian gak becus! Percuma kalian aku bayar!" suaranya melengking, memenuhi ruangan.Ia menekan ponselnya lebih erat ke telinga, napasnya memburu. "Aku gak mau dengar alasan! Pokoknya ini harus beres hari ini juga, titik!" katanya tajam.Kakinya menghentak lantai dengan kasar, seolah bisa menyalurkan kemarahan yang meledak-ledak di dadanya. Matanya melirik sekilas ke meja, seolah ingin membanting sesuatu, tapi ia menahan diri. Tangannya gemetar, dan semakin lama,
Nara dengan penuh keraguan meraih ponsel itu, lama ia tertegun. Sementara Arka menyandarkan sisi tubuhnya ke dinding dan menyulut rokoknya. “Ayo angkatlah, Nara. Siapa tahu Reno-mu itu sedang kangen sama kamu,” sindir Arka, menghembuskan asap rokoknya ke langit-langit ruangan. senyumnya seperti mengejek tapi penuh perhatian.Nara tidak segera mengangkat panggilan dari Reno. Ponsel itu pun berhenti berdering. Mendadak, ada sesuatu terbersit di benak Nara. Dengan langkah mantap, ia mendekat ke arah Arka yang masih berdiri dengan sikap santainya.Tanpa peringatan, Nara melingkarkan lengannya di leher Arka, tubuhnya rapat menyatu. Matanya menatap lekat, penuh gairah yang tak biasa. “Nara...?” Arka merasa kaget dan tertegun, merasa kejadian yang di depan matanya sama sekali di luar gugaannya. Arka pun tak sempat melanjutkan kata-katanya saat bibir Nara sudah menyergap bibirnya.Tidak ada kelembutan di sana. Tidak seperti biasanya. Ciuman Nara liar, seakan ingin menghancurkan segala batas y
Di tempat lain.Dita sedang berdiri di depan jendela besar apartemennya, menatap rinai hujan yang jatuh deras mengguyur di luar. Tangannya memegang gelas anggur merah, tapi bibirnya tak sedikit pun menyentuh tepian gelasnya. Pikirannya penuh dengan berbagai skenario tentang Nara, tentang rencana-rencana yang sudah ia disusun rapi. Semuanya seharusnya berjalan sempurna.Terdengar ketukan di pintu.Tanpa menoleh, Dita tahu siapa yang datang. Suara ketukan yang ragu-ragu, nyaris tak terdengar. Arka. Ia menghela napas panjang sebelum mengucapkan, “Masuk.”Pintu terbuka perlahan. Arka melangkah masuk dengan wajah tertunduk. Tubuhnya basah kuyup, rambutnya meneteskan air ke lantai marmer putih. Pakaiannya kusut, dan ada semburat kegelisahan di matanya. Sejenak, ia hanya berdiri di ambang pintu, seakan sedang Menyusun dan menimbang kata-kata yang akan diucapkannya kepada Dita."Aku... aku perlu bicara, Dita"Dita tetap diam, pandangannya masih terpaku pada jendela. “Kenapa tidak langsung sa
Pintu terbuka perlahan, engselnya berderit pelan, memecah keheningan di dalam apartemen. Dita menahan napas, tubuhnya tegang. Namun, saat pintu terbuka sepenuhnya, tak ada siapa pun di sana. Koridor apartemen tampak kosong, hanya suara hujan yang samar terdengar dari luar jendela di ujung lorong.Dita melangkah maju, menatap ke kanan dan kiri. Sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Ia menghela napas, mencoba meredam detak jantungnya yang masih berdetak kencang. Tapi rasa waspada tak kunjung hilang. Seseorang baru saja berdiri di depan pintunya. Seseorang yang tahu terlalu banyak.Saat hendak kembali ke dalam, matanya menangkap sesuatu yang aneh di lantai depan pintu. Sebuah amplop cokelat kusam tergeletak di sana. Tak ada nama atau alamat. Hanya amplop lusuh yang tampak terburu-buru dilemparkan.Dita memungut amplop itu, merasakan bobotnya yang ringan. Ia melangkah masuk dan menutup pintu dengan cepat, mengunci rapat-rapat seolah ketakutan sesuatu akan menyelinap masuk.Jari-jarinya gem
Tubuh Nara membeku di ambang pintu.Dua orang pria berdiri di depannya. Salah satunya tampak mengenakan seragam hitam sederhana, jelas seorang staf hotel—mendorong sebuah kursi roda perlahan.Dan di atas kursi roda itu...Nara menelan ludah. Matanya membelalak, napas tercekat di tenggorokan.Rama.Suaminya sendiri, duduk limbung di kursi roda, tubuhnya terkulai dengan kepala tertuinduk. Kemejanya kusut, beberapa kancing terbuka, dan wajahnya merah padam karena alkohol."Apa yang terjadi…?" gumam Nara, setengah tidak percaya.“Maaf, Ibu. Tadi beliau berada di bar dan… tampaknya terlalu banyak minum. Beliau sempat berpesan kepada bartender untuk diantar ke kamar ini kalau sudah tidak sanggup berdiri,” ucap staf hotel itu, sopan, sedikit tergesa.Tanpa pikir panjang, Nara membuka pintu lebar-lebar. “Cepat bawa masuk, Pak”Mereka mendorong kursi roda perlahan melewati ambang pintu.Nara menyingkirkan tas dan sepatu yang berserakan di lantai, lalu membantu staf bar itu memindahkan Rama ke
Tujuannya adalah ke bar hotel.Tempat ia pernah duduk seorang diri bertahun-tahun lalu… saat konflik dalam hidupnya tak bisa ia lawan dengan logika.Dan malam ini, ia kembali kesana.Lift naik perlahan.Di dalam kotak sempit itu, Rama menyandarkan punggungnya ke dinding baja, menunduk."Aku pengecut, ya?" batinnya lirih."Aku tidak sanggup berhadapan dengan Nara?"Angka terus berganti di panel: 10... 14... 19..."Tapi di bar… setidaknya aku bisa diam. Mungkin ada satu gelas yang bisa bikin semua ini berhenti sebentar."Denting lift terdengar.Pintu terbuka pelan.22.Udara berbeda menyambutnya. Lampu remang, suara musik jazz dari kejauhan, aroma alkohol dan kayu tua.Langkah Rama pelan saat menyusuri lorong.Ia tidak lagi memikirkan alasan atau kata maaf.Ia hanya ingin duduk.Dan lupa.Bar hotel tampak sepi.Seorang bartender tengah membersihkan gelas di sudut meja panjang.Beberapa kursi kosong berjejer di depan cermin besar yang memantulkan pantulan kelam wajah Rama sendiri.Ia men
Udara malam menyusup masuk dari celah jaket Reno yang belum ia rapatkan sepenuhnya. Lampu-lampu jalan menari di visor helmnya, sementara motornya melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang sepi. Tapi pikirannya sama sekali tak tenang.Pertanyaan demi pertanyaan menumpuk di kepalanya, seperti kabut pekat yang menolak tersingkap."Siapa mereka tadi?""Apakah ini semua berkaitan dengan Dita… atau bahkan seseorang yang lebih punya pengaruh di balik semua ini?"Reno menggeleng pelan, mencoba menepis kekalutan itu. Tapi semakin ia menepis, semakin kuat firasatnya bahwa ini bukan hanya soal peringatan biasa.Apalagi saat bayangan mobil Kijang gelap yang menabraknya beberapa hari lalu adalah mobil yanmg sama dengan mobil yang ia kejar tadi. Dan kini, ia yakin, mobil itu tidak muncul secara kebetulan. Ada maksud tertentu. Ada mata yang terus mengawasinya, menunggu momen lengahnya."Sial… ini bukan main-main lagi," gumamnya.Baru saja ia hendak mengalihkan perhatian ke jalan, pa
Begitu suara pintu tertutup dan langkah Rama menjauh di lorong hotel, Soraya membuka matanya perlahan.Ia tak langsung bangkit. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang dihiasi bayangan samar dari lampu temaram. Nafasnya tertahan dalam dada, seolah sedang menimbang sesuatu yang terlalu berat untuk ditelan, tapi terlalu dalam untuk dimuntahkan.Detik demi detik berlalu, dan kesunyian kamar menjadi semakin menyesakkan. Rasa perih yang tak terlihat merayap dari dadanya ke tenggorokan. Mata itu—mata yang tadi tampak kosong—kini mulai berair. Tapi air itu bukan tangis sedih… melainkan bara. Bara cemburu yang membakar lambat-lambat.Rama pergi.Pergi karena wanita itu.Pergi... untuk Nara.“Bangsat...” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi nada itu mengandung muatan penuh luka.Ia menggulingkan tubuhnya pelan, memunggungi sisi ranjang yang dingin karena hanya separuhnya yang digunakan. Ia memejamkan mata sejenak, seakan berharap perasaan itu mereda. Tapi tidak. Perasaan itu justr
Jalanan gelap itu berakhir di pelataran luas sebuah Bangunan gudang tua dengan container container kosong teronggok di sana-sini. Cahaya dari lampu motor Reno menyapu permukaan aspal kasar yang retak. Kijang hitam yang ia kejar kini berhenti di ujung halaman, di depan salah satu bangunan tak berplakat.Reno memperlambat laju motornya, jantungnya berdetak keras. Naluri petarungnya mulai menyala.Saat ia bersiap turun dari motor, terdengar suara pintu mobil dibanting.Satu persatu, sosok-sosok gelap bermunculan dari balik bayangan gudang. Lima orang. Enam. Mungkin lebih. Mereka menyebar dengan langkah lambat namun pasti, seperti kawanan serigala yang mengendus mangsa. Beberapa di antara mereka menggenggam pentungan besi. Ada juga yang memegang samurai, kilatan baja menari di bawah sinar bulan.Reno berdiri di samping motornya, matanya menyapu wajah-wajah mereka. Tidak ada yang dikenalnya. Tapi dari sikap mereka, ia bisa menebak, mereka bukan sekadar penjaga gudang.Salah satu dari mere
Hening.Sunyi itu seperti menjalari seluruh dinding kamar, meresap ke pori-pori malam dan menyesakkan dada.Nara membuka matanya perlahan. Cahaya lampu redup dari sisi tempat tidur membuat pandangannya tak langsung fous, tapi kesadarannya berangsur kembali ketika jemarinya menyentuh sisi ranjang yang dingin. Kosong. Tidak ada siapa pun di sana.Ia bangkit, duduk perlahan dengan selimut melorot ke pangkuannya. Sejenak matanya menelusuri seisi ruangan, mencari sosok Reno. Tapi yang ditemukannya hanya keheningan dan denting samar jam dinding digital yang menunjukkan pukul 02.16."Nggak mungkin dia pulang tanpa bilang apa-apa," gumamnya pelan, lebih untuk dirinya sendiri. Suaranya terdengar lelah, berat, dan sarat kebingungan.Nara menatap ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Tidak ada catatan. Tidak ada ponsel. Tidak ada jejak keberadaan Reno. Hanya kehangatan samar di bantal sebelah, menyisakan pertanda bahwa Reno memang sempat bersamanya—tapi entah sejak kapan ia pergi.Ia mengh
Reno melangkah dengan cepat ke arah Arka, tubuhnya tegang menahan emosi yang sudah mengendap terlalu lama. Langkah-langkahnya menggema di atas aspal basah, seperti dentang palu penghakiman yang tak bisa dihindari. Arka menoleh sesaat—dan hanya sesaat—lalu kembali menatap ke depan, seolah enggan mengakui keberadaan Reno di hadapannya.“Kau masih juga mengganggunya, hah?” suara Reno parau namun dingin, mengiris malam yang hening. “Nara sudah lama melupakanmu, Arka. Dan kau… kau masih saja berkeliaran seperti bayangan masa lalu yang busuk.”Arka tak menjawab. Tatapannya kosong, matanya tampak lelah… atau barangkali hancur dari dalam. Ia seperti seseorang yang kehilangan arah—bukan hanya dari Nara, tapi juga dari dirinya sendiri.Reno melangkah lebih dekat. Tanpa aba-aba, tangan kanannya mendorong dada Arka dengan kasar. Tubuh Arka terhuyung ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangan. Jika bukan karena mobil di belakangnya, mungkin ia sudah jatuh ke tanah. Tapi tetap saja—tak ada reaksi.
Soraya berjalan perlahan menuju jendela kamar, tubuhnya masih terbalut selimut tipis yang tadi sempat ia tarik cepat saat menerima telepon dari Dita. Di belakangnya, Rama telah tertidur pulas di atas ranjang king size—napasnya teratur, pundaknya terangkat turun dalam ritme yang menandakan kelelahan yang dalam. Soraya sempat menatapnya beberapa detik sebelum kembali fokus pada suara di seberang telepon."Jadi, apa maksudmu Nara ada di hotel ini juga?" tanya Soraya dengan nada pelan namun waspada.Dita terdengar menarik napas panjang dari seberang sambungan. "Aku belum bisa memastikan seratus persen, Tapi berdasarkan pergerakan GPS yang sempat terlacak dari ponsel Arka sebelum sinyalnya menghilang, aku cukup yakin Nara berada di gedung yang sama dengan kalian."Soraya menahan diri untuk tidak mengeluarkan sumpah serapah. Ia menoleh sejenak ke arah Rama yang masih tertidur, lalu kembali memfokuskan suaranya. "Tenang saja, tidak akan ada masalah yang berarti. Rama sudah berada di sini, be
Arka melirik sekilas ponselnya yang bergetar di lantai. Nomor tak dikenal. Atau mungkin nomor yang ia tahu, tapi terlalu enggan untuk dilihat sekarang.Ia tidak mengangkatnya. Ia hanya menatap layar yang terus bergetar sebelum akhirnya diam dengan sendirinya.Seperti dirinya.Arka lalu merebahkan diri ke lantai, menatap kosong ke atas.Dan untuk pertama kalinya sejak semua kekacauan ini dimulai, ia benar-benar merasa… kalah.Kamar hotel itu remang, lampu gantung redup menggelantung di tengah langit-langit, menciptakan bayangan lembut di dinding. Tirai tebal menutup seluruh jendela, membuat dunia luar terasa begitu jauh dari apa yang sedang terjadi di dalam ruangan. Aroma parfum mahal melayang tipis, bercampur dengan desahan lembut AC yang bekerja tanpa suara.Rama berbaring di atas ranjang king-size, tubuhnya masih lengkap berpakaian, tapi pikirannya sudah melayang entah ke mana. Matanya menatap kosong ke langit-langit, sementara di hadapannya, Soraya bergerak dengan penuh kelenturan