Cairan kental yang tercecer di granit lembab menguras habis tenaga Firyan Erlando. Lelaki berusia dua puluh lima tahun itu menyandarkan punggungnya yang lemas di dinding. Matanya yang merah bertaut pada Neon yang tergantung tidak tenang di atas plafon.
"Firyan! Woi ... buka, Bro!" Suara laki-laki yang diiringi gedoran pintu menggelitik telinga Firyan. "Kagak dikunci!" Satu detik setelah menyahut, pintu terbuka, memperlihatkan seorang lelaki yang berusia sebaya. "Lu ngapain ngerem di sini? Ayo, Bro, lu udah ditungguin." "Lu aja, dah, sana! Gue lagi kagak selera!" omel Firyan. "Payah, lu! Baru pemanasan udah KO." "Berisik lu, Gas! Udah sana! Dia buat lu orang aja!" Firyan menyandarkan kepala sambil mengibaskan tangan. "Yakin, lu, Yan? Kalau gue panggil anaknya jangan nyesel, ya!" Firyan tersenyum miring. "Brenda!" Setelah Bagas berteriak, seorang gadis bergaun mini datang menyihir mata sayu Firyan dalam sekejap. Bulan sabit terbit di wajah tirus gadis blasteran Indo-Prancis tersebut. Firyan menelan ludah, bola matanya tak lepas dari lekuk tubuh berbalut dress burgundi yang mengekspos bagian lengan, dada, dan kaki jenjang Brenda. Bagas yang melihat ekspresi Firyan segera mencebik. "Brand, kuy! Tuh, kunyuk kagak selera katanya!" Ekspresi Bagas penuh ejekan. "Ayolah!" Brenda merespon dan menautkan tangan pada lengan Bagas. "Tunggu!" Firyan berdiri pelan, dia kembali berkata, "Gue lebih tahan lama dibanding Bagas!" Kesombongan Firyan sontak membuat mereka beralih pandang. "Sue, lu, Yan! " Firyan tertawa melihat kekesalan bernaung di wajah segar Bagas. "Kuy, gue buktiin kalo bacotan lu itu cuma sampah." Bagas menantang. "Woi, siapa takut?" jawab Firyan dengan kelopak mata yang membuka dan menutup. "Ayuk, ah, jangan pada ribut! Dah gatel, nih!" kata Brenda sambil menyundul Firyan dengan dada montoknya. Firyan yang mulai tegang pun mengangguk sedangkan Bagas tidak lagi berisik. Saat mereka mulai meninggalkan toilet, Firyan merasa terhuyung dan melihat getaran pada benda-benda di ruangan itu. "Guys, itu lampu kenapa, ya?" Firyan menunjuk lampu yang bergoyang di atas mereka. Cahayanya padam, lalu berpijar kembali dan terus seperti itu. "Enggak tahu! Kayaknya kita yang kebanyakan minum, deh." Brenda menjawab asal. "Kali digenjot setan." Firyan mulai meracau. "Lu aja kali halu! Baru disundul dikit, udah goyang otak lu!" Lagi-lagi, Bagas menimpali dengan sengit. Setelah itu, Mereka tidak lagi bersuara. Keluar dari gedung, dentuman musik mengalir ke lubang pendengaran. Firyan menelan ludah saat menatap lurus ke depan. Pesta musik yang memainkan para pasangan mesum di sana membuat bola matanya mengembang sejenak. "Bro, gue duluan!" Firyan mengangguk dan melihat sosok Bagas menghilang di kerumunan manusia yang asyik bersenggama dengan musik yang erotis. "Yan!" Ada desiran hangat ketika suara manja Brenda menyentuh telinganya. "Di sana aja, yuk!" Firyan membawa gadis itu ke belakang vila untuk menciptakan suasana romantisnya sendiri. Dalam manisnya keremangan, Firyan akhirnya mencapai lautan surga yang diharamkan. Ketika Firyan sedang asyik mengambil perannya di bawah pohon kelapa, dia mulai merasakan suasana yang ganjil. Hatinya yang mulai dilanda gelisah membuat gadis di bawahnya merasa tidak nyaman. Mata Firyan menelisik ke seluruh tempat. Pria beralis Shinchan itu tiba-tiba menyudahi adukan pisangnya yang sudah sangat panas. "Yan, kenapa, sih? Enggak asik banget, deh!" Firyan bergeming tanpa melihat Brenda yang sudah duduk bertekuk wajah. "Firyan!" Brenda berteriak manja. Alih-alih Firyan sadar dari lamunannya, dia justru terburu-buru memakai celana dan berjalan dengan tatapan yang tidak lepas dari pohon asam besar yang tidak berhenti bergerak. "Huh, gede bentuk doang. Baru dipanasin semenit udah lembek!" Umpatan Brenda mengiringi langkah Firyan yang tergesa-gesa menuju ke samping vila, di area taman. "Ini orang pada mabuk ganja apa mabuk lendir, sih?" Mata merah Firyan mengedar sambil berjalan menghampiri Bagas yang sedang asyik beratraksi di atas tubuh gadis berkulit putih. "Bro, buruan cabut! Kagak beres, nih, tempat!" Firyan yang setengah sadar menepuk punggung Bagas ala kadarnya. "Apaan, seh? Rese' banget, orang lagi asyik juga." Tangan Bagas mengibas ke udara. "Gue seriusan!" Firyan meyakinkan. "Bodo, ah! Lu aja, sana!" Tak ingin membuang waktu dengan berdebat dengan orang yang sedang mabuk, Firyan akhirnya membawa langkah kakinya yang berat menuju tempat di mana sepeda motornya terparkir. Selama sepuluh menit terseok-seok, akhirnya dia sampai di halaman depan vila. Sebelah tangannya merogoh saku jeans dengan susah payah. Kunci ninja keluar dari saku belakang setelah beberapa kali tangannya meleset. "Apa'an, nih?" Firyan Erlando merentangkan jemarinya yang baru saja menyentuh setang sepeda motor. "Gawat! Ini, mah, bukan gue yang mabok." Wajah Firyan terlihat panik. Semua material yang berpindah dari tempatnya membuat dia menyadari bahwa yang menempel di telapak tangannya adalah tanda petaka dan dia melihat itu ada di sejauh penglihatannya. Udara makin panas. Firyan memutuskan untuk cepat-cepat memacu sepeda motornya. Tidak ada yang berkelebat di kepalanya selain pergi dari sana sejauh mungkin. Akan tetapi, nasib baik belum berpihak penuh kepadanya. Kabut tebal di udara menghalangi pandangan. Firyan tidak bisa menambah kecepatan tunggangannya. Dalam hitungan detik, dia terguling bersama sepeda motornya. Suasana tiba-tiba menjadi sangat riuh dan gelap. "Argh!" Firyan terseret ke dalam runtuhan lampu pijar. "Tolong!" Suaranya yang lirih nyaris hilang ditelan dentuman misterius.Saat membuka mata, Firyan seperti merasakan tubuhnya begitu berat dan sangat sakit. Dia mengerang ketika berusaha berdiri. Mengamati sekitar, keadaan sangat kacau. Pepohonan tumbang dan tanah seperti habis diterjang longsor. Hal yang lebih mengejutkan adalah beberapa orang yang tergeletak tak bernyawa di sana. Bahkan, beberapa di antaranya ditemukan dengan anggota tubuh yang terputus dan tertimbun tanah. Dia memijat kening, tidak tahu harus melakukan apa. Pergi pun tak bisa karena sepeda motornya sudah rusak. Firyan membeku untuk beberapa saat, lalu mulai berteriak meminta bantuan. Akan tetapi, suaranya terbang bersama desau angin. Tidak ada yang mendengarkannya. Tak ada yang meresponnya. Firyan terseok-seok menghampiri Bagas. Akan tetapi, yang dia temukan justru membuat bola matanya hampir lepas. Sahabatnya sudah mati dalam keadaan bertelungkup di atas tubuh polos seorang gadis. Begitu juga dengan yang lainnya. Semuanya mati dengan pose mereka saat berbuat maksiat."Tolong! Siapa pu
"Alhamdulillah, prasangkaku enggak bener. Maafin aku, Bang karena sudah berpikir yang enggak-enggak," sesal Lea. Walau tidak dipungkiri masih ada kecemasan yang terpahat di raut wajahnya mengingat Firyan positif mengonsumsi alkohol.Setelah melewati lima hari masa pemulihan dan dua hari rehabilitasi, Firyan dinyatakan sembuh. Bersama Lea dia keluar dari rumah sakit. Awalnya, Firyan berpikir penderitaannya akan berakhir. Selama beberapa hari melewati masa penuh tekanan, dia merindukan suasana rumah. Namun, angan-angannya harus pudar ketika Lea membawanya ke arah pantai, bukan ke arah yang seharusnya menjadi jalan mereka pulang. Ekspresi Firyan mulai keruh ketika Lea menuntunnya naik ke kapal nelayan. Seperti ingin protes, tetapi sedang tidak ingin berdebat."Eh, Lea! Kita orang mau ke mana?" tanya Firyan sambil membentangkan penglihatannya ke ombak-ombak kecil yang dipantuli sinar matahari."Ke dermaga Canti, Bang!" jawab Lea, membuat Firyan seketika menyatukan alis."Ngapain? Memangny
"Lea, becanda elu orang enggak lucu, Berengsek!" umpat Firyan."Bang! Tolong, Bang!" Seseorang di balik pintu kembali memohon bantuan diiringi ketukan yang makin nyaring.Firyan terhimpit dan tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, dia melangkah perlahan dengan kaki yang terlihat bergetar. Deritan pintu mulai terdengar. Sialnya tidak ada siapa pun. Suara bising yang mengganggunya lenyap seketika."Eue, kambing bener tu istri sialan!" Firyan mengubah ekspresinya.Bagaimana bisa Lea mengerjainya di saat-saat dia membutuhkan istirahat dan dukungan mental? Sepasang kakinya yang jenjang terrayun gusar ke arah kamar. Kali ini, dia tidak akan menahan diri jika sampai menemukan Lea di sana. Hanya butuh beberapa detik, pintu tersebut terpental dalam satu kali tendangan. Namun, lagi-lagi kamar itu kosong."Ke mana itu orang? Pusing gue, weh! Argh!"Ketika Firyan mendesah berulang kali, dia merasakan sentuhan seseorang di bahunya yang lebar. Sentuhan yang begitu lembut, tetapi dinginnya menusuk
"Bang!" Suara Lea memecah lamunan Firyan. Lelaki itu segera menghampiri istrinya."Lea, lu orang udah sadar? Bentar!" Firyan membantu Lea untuk duduk dan memberinya minum."Bayi kita, Bang!" Lea tersenyum simpul melihat bayinya yang cantik tidur dengan pulas."Cewek, lah, dia. Comel macam gue!" puji Firyan merasa bangga."Eh, lu orang kenal Anggara Kasih?""Anggara Kasih?" Lea mengerutkan dahi, lalu menggeleng.Mengetahui hal tersebut, Firyan makin penasaran dengan sosok gadis bermata lentik yang menolong mereka semalam. Namun, dia tidak bisa menyelidikinya karena tidak memiliki informasi apa pun selain nama. Firyan bangkit tanpa sepatah kata, lalu keluar dari kamar menuju ruang depan untuk beristirahat.Keesokan pagi, Firyan dikejutkan oleh tangis bayi. Karena masih sangat mengantuk, dia menyumpal kedua telinganya dengan bantal. Berguling ke kanan dan ke kiri, berharap bisa melanjutkan istirahat. Akan tetapi, bayinya tidak mau berhenti menusuk-nusuk gendang telinganya.Firyan mencebi
Selama empat puluh hari, terhitung dari hari pertama Lea sembuh, Firyan tidak lagi bertemu dengan Anggara Kasih. Hubungan dengan tetangga pun mulai membaik. Mereka menamai bayi mereka "Mora Erlando", tanpa mengadakan acara syukuran.Selama sebulan lebih, mereka meninggalkan rumah mereka di pulau Sebesi. Belum ada informasi apa pun terkait keadaan di sana. Mereka mengandalkan bantuan pemerintah untuk makan sehari-hari.Di malam yang mulai larut, Firyan duduk di tangga luar. Kali ini tidak ada kenikmatan yang menemani kegundahannya. Sendiri menyesap sepi dengan rasa yang entah. Pikirannya melayang ke tempat yang tidak bisa dijangkau."Mumet amat idup gue, weh!" keluhnya. Dia berteriak kecil dan masuk ke kamar."Lea! Stt ... Lea!" Firyan mengguncang pelan bahu Lea. Tahu jika istrinya belum tidur."Apa, sih, Bang?" Lea menjawab enggan."Lu nifas cuma 25 hari, bagilah hak gue! Pala gue pusing, nih!" Firyan mengutarakan keinginannya untuk yang kesekian kali."Besok ajalah, Bang! Ngantuk aku
"Apa, sih, Bang?" Lea menoleh ke belakang, kemudian dia mencebik."Ini cuma boneka, Bang!" Lea mengambil boneka kayu yang tergantung di dinding dekat pintu kamar mereka. Ekspresi Firyan kemudian menjadi lebih tenang.Sementara Lea pergi ke dapur untuk mengambil minuman, Firyan berkeliling rumah. Tidak ada yang berubah. Bahkan, tidak terbuang barang-barang yang masih selamat. Termasuk boneka kayu yang menakutinya. Pemerintah membangunkan rumahnya seperti semula, yakni rumah biasa yang terdiri dari empat ruangan yang berukuran sedang.Firyan berusaha keras melawan segala sesuatu yang menyerang pikirannya. Tak berapa lama, Lea datang dengan segelas air. Lelaki itu segera mengambil dan meminumnya hingga tandas, lalu segera beristirahat di ruang tengah. Lea yang merasa bersalah tidak berani menegurnya untuk tidur di kamar bersama-sama.Tengah malam, atmosfer mulai berubah. Lea dan Mora sudah terlelap. Suasana yang hening membuat Firyan yang tidak benar-benar tertidur menggelinjang gelisah.
Mora mengalami kejang-kejang. Firyan mengambil Mora dari Lea dan dengan cepat dia lari ke klinik terdekat. Dokter di sana pun bertindak sangat cepat. Firyan terduduk di bangku tunggu. Napasnya yang terengah-engah segera dia kendalikan. Saat mereda, barulah dia menyadari bahwa Lea tidak ada bersamanya.Firyan terlalu panik sehingga keberadaan istrinya tidak begitu dipedulikan. Beberapa lama kemudian, Lea datang diantar tetangga menggunakan sepeda motor. Wajah perempuan itu sama paniknya. Matanya memerah dan sedikit basah serta bengkak. Mungkin di sepanjang jalan tangisnya tidak berhenti."Bang, Mora gimana?" tanya Lea. Tepat setelah itu, dokter keluar dari ruangan."Dok, anak kami gimana?" tanya Firyan tidak sabaran."Alhamdulillah sudah enggak apa-apa, tapi anak Bapak harus dirawat. Paru-parunya belum berkembang sempurna. Apa anak Bapak lahir prematur?" tanya dokter laki-laki tersebut."Iya, Dok. Tolong, sembuhin anak kami. Enggak papa kalau memang harus dirawat," Lea menjawab cepat.
Firyan menggosok matanya, lalu mendekap seseorang yang mengganggu tidurnya. Membiarkan dirinya dikuasai dalam keremangan. Laki-laki bergelar "bapak" itu tampak sangat menikmati alur pada setiap detik yang berlangsung di pejaman mata."Makasih, elu selalu kasih gue kebahagiaan ini. Elu terbaik, Kasih!" Firyan berbisik di telinga lawan mainnya. Lagi-lagi Kasih datang membawa surganya pada Firyan."Aku cuma bisa kasih itu ke kamu. Maaf, kalo aku enggak bisa membantu masalah ekonomimu." Gadis itu menimpali."Enggak. Harusnya gue yang minta maaf. Elu amanah dari kakek, tapi gua enggak bisa jaga elu.""Aku boleh minta sesuatu enggak?" tanya Kasih."Apa?""Besok, kan hari selasa. Bawain aku mawar sama melati, aku pengen mandi kembang, tapi kamu yang mandiin, ya," ungkap Kasih."Ya, mau banget, tapi di mana? Tau sendiri, kan?" Firyan mengungkapkan kebimbangannya."Tenang, enggak di sini, kok. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," ujar Kasih. Firyan mengangguk setuju.Pagi hari, seperti biasa,