Saat membuka mata, Firyan seperti merasakan tubuhnya begitu berat dan sangat sakit. Dia mengerang ketika berusaha berdiri. Mengamati sekitar, keadaan sangat kacau. Pepohonan tumbang dan tanah seperti habis diterjang longsor. Hal yang lebih mengejutkan adalah beberapa orang yang tergeletak tak bernyawa di sana. Bahkan, beberapa di antaranya ditemukan dengan anggota tubuh yang terputus dan tertimbun tanah. Dia memijat kening, tidak tahu harus melakukan apa. Pergi pun tak bisa karena sepeda motornya sudah rusak.
Firyan membeku untuk beberapa saat, lalu mulai berteriak meminta bantuan. Akan tetapi, suaranya terbang bersama desau angin. Tidak ada yang mendengarkannya. Tak ada yang meresponnya. Firyan terseok-seok menghampiri Bagas. Akan tetapi, yang dia temukan justru membuat bola matanya hampir lepas. Sahabatnya sudah mati dalam keadaan bertelungkup di atas tubuh polos seorang gadis. Begitu juga dengan yang lainnya. Semuanya mati dengan pose mereka saat berbuat maksiat. "Tolong! Siapa pun tolong gue!" Firyan berteriak dengan suara parau. Tubuhnya bergetar karena rasa takut. Pemuda itu hendak berbalik untuk kembali menemukan jalan keluar. Akan tetapi, niatnya terhenti karena tangisan seorang perempuan. Dia berpikir, itu adalah orang lain yang selamat dan terjebak sepertinya sehingga tanpa ragu mencarinya. Sampai ke belakang vila, Firyan melihat seorang perempuan sedang duduk di bawah pohon asam. Dia menghampirinya, walaupun udara dingin meraba tengkuk. "Mbak, siapa?" tanyanya. Akan tetapi, perempuan berbaju putih tersebut tidak mengatakan apa pun selain terus menangis dengan suara yang aneh. "Mbak!" panggilnya sekali lagi dan reaksi orang itu tetap sama. Kali ini, Firyan memberanikan diri untuk menyentuh pundak wanita itu. Seketika dia merasakan dingin membungkus seluruh tubuh. Darah tiba-tiba saja membasahi pundak sang wanita hingga baju putihnya berubah merah. Bahkan, darah itu sampai menodai tangan Firyan. Firyan yang tercengang segera menarik tangannya dengan takut. Akan tetapi, saat dia melakukannya, perempuan itu berbalik dan menampakkan wajahnya. "Hah, siapa, lu orang?" Firyan terjengkang melihat wanita di depannya penuh dengan luka dan darah. Wajahnya sangat rusak. Pada saat wanita misterius itu mengulurkan tangan, Firyan lari terbirit-birit. Napasnya terputus-putus karena sangat lelah. Firyan terus berlari sampai akhirnya terjungkal dan tidak sadarkan diri di atas tumpukan mayat. Beberapa saat merasakan sakit yang tak terhingga, Firyan bangun dengan susah payah. Mengandalkan insting, dia melawan kegelapan malam. Kakinya terseret gontai menuju seberkas cahaya yang jauh dari jangkauan. Akan tetapi, makin didekati, makin jauh pula cahaya itu. "Argh!" Firyan menjerit frustrasi. "Apa ini? Kenapa gue mesti apes kayak gini?" keluhnya sambil mengacak rambut. Firyan berjalan tanpa tujuan. Sesekali terbatuk akibat debu yang mengontaminasi udara. Dia tertunduk dalam tekukan kaki. Tepat, pada saat dia kembali mengangkat kepala, sekelebat bayangan putih memenuhi bola matanya. Firyan bangkit untuk memeriksa, tetapi tidak menemukan apa-apa. Hening melarutkan pikiran, satu hal baru dia sadari. "Ck, ah! Kenapa gue balik lagi ke sini, Bjir?" Firyan kembali mengacak rambut. Tidak menyangka akan kembali ke belakang vila. Saat akan membalik badan untuk menemukan jalan utama, suara burung puter pelung menggema sangat kencang. Seolah menambah kerumitan malam yang mencekam. Firyan berusaha bersikap tidak peduli. Dengan penuh kepura-puraan, tungkainya berusaha melangkah meski udara makin dingin. "Tolong!" Seruan seorang wanita membuat jantung Firyan berdetak kencang. Firasat Firyan yang tidak enak menandakan sesuatu akan terjadi. Apesnya, setelah merasakan itu, pemuda berkumis tipis tersebut malah memutar punggung. Akibatnya, dia hampir kehilangan napas karena terkejut. Pasalnya, wanita berbaju putih tersebut menampakkan detail asli wajahnya. Seluruh kulit penuh luka perlahan mengelupas dengan sangat mengerikan. Ia mendekati Firyan hingga jarak di antata mereka tinggal beberapa inci saja, kemudian menyentuh wajah pucat Firyan sambil membuka mulut yang berbau busuk. "Ha!" teriak Firyan secara spontan. Pandangannya seketika menjadi gelap. Beberapa saat berlalu, sirine mobil terdengar. Sebanyak lima puluh polisi dan petugas ambulance turun ke tkp. Sejumlah mayat yang diperkirakan lebih dari seratus orang berhasil dievakuasi dan dua puluh korban selamat--termasuk Firyan telah dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan. Di alam bawah sadar, bayang-bayang wanita menyeramkan berkolase di memori Firyan. Pemuda itu mendesis memohon pengampunan sedangkan orang di ruangan itu bingung dengan apa yang terjadi. Apa yang membuat Firyan mengigau begitu berlebihan? "Bang, bangun, Bang! Kamu kenapa?" Seorang perempuan berhijab hitam menggoyang-goyang lengan Firyan dengan panik. Ia hendak memanggil dokter, tetapi Firyan tiba-tiba membuka mata. "Bang Firyan! Alhamdulillah, kamu udah sadar, Bang." Perempuan itu memandang Firyan dengan gembira. "Lea ... Lea! Gue di mana?" tanya Firyan dengan dada kembang kempis. "Tenang, Bang! Sekarang kamu udah di rumah sakit! Kamu aman!" ucap Lea sambil mengelus dada Firyan. "Lea, Bagas ...." Firyan nampak sangat gusar sedangkan Lea mengangguk sambil menangis. Ada setumpuk luka lain yang menggenang di pelupuk mata bulatnya. Namun, perempuan itu menyembunyikannya. "Lea ... jangan pulang! Temenin gue di sini," pinta Firyan yang membuat Lea makin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai satu-satunya keluarga yang Firyan miliki, Lea setuju. Dia menemani Firyan sepanjang waktu sampai pemuda itu bisa tidur dengan nyenyak. Tak lama, polisi datang. Mata Lea yang hampir terpejam menjadi segar kembali. "Selamat sore Mbak Lea! Apa Mas Firyan sudah membaik?" Pria berseragam cokelat itu bertanya ramah. "Udah sadar, Pak, tapi sepertinya mentalnya belum pulih. Pak, sebenernya apa yang dilakuin suami saya di lokasi bencana?" "Kami belum memastikan. Yang jelas, para korban di sana sedang melakukan pesta terlarang dan tidak mengetahui sinyal gunung yang akan erupsi," terang sang abdi negara. "Pesta terlarang?" Dahi Lea mengernyit. "Ya, Kami menemukan banyak ganja dan narkotika dan sebagian besar dari mereka ditemukan dalam keadaan telanjang!" jelas sang polisi. Pernyataan itu membungkam mulut Lea seketika. Itu sangat menyakiti hatinya sebagai seorang istri. Namun, dia menampik prasangka buruknya. Jika polisi mengatakan kalimat "sebagian besar" itu artinya masih ada kemungkinan bahwa suaminya tidak melakukan hal tercela tersebut. Lea menghapus air matanya. Pak polisi hendak mengatakan sesuatu. Akan tetapi, tiba-tiba, Firyan bangun dan menjerit histeris. Jarum infus yang tertanam dilepas begitu saja. Firyan menjadi agresif dan tidak terkendali. Lea lekas memanggil dokter sedangkan polisi membantu untuk mengendalikan. "Lea! Lea!" teriak Firyan. Bersama dengan itu Lea datang membawa dokter. Firyan pun pingsan setelah disuntik dengan cairan penenang. Di luar ruangan rawat inap, dokter memberikan hasil tes lab Firyan kepada polisi dan Lea. Lea memandang datar sekumpulan huruf di atas kertas dengan raut datar. Dari surat itu mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Firyan ..."Alhamdulillah, prasangkaku enggak bener. Maafin aku, Bang karena sudah berpikir yang enggak-enggak," sesal Lea. Walau tidak dipungkiri masih ada kecemasan yang terpahat di raut wajahnya mengingat Firyan positif mengonsumsi alkohol.Setelah melewati lima hari masa pemulihan dan dua hari rehabilitasi, Firyan dinyatakan sembuh. Bersama Lea dia keluar dari rumah sakit. Awalnya, Firyan berpikir penderitaannya akan berakhir. Selama beberapa hari melewati masa penuh tekanan, dia merindukan suasana rumah. Namun, angan-angannya harus pudar ketika Lea membawanya ke arah pantai, bukan ke arah yang seharusnya menjadi jalan mereka pulang. Ekspresi Firyan mulai keruh ketika Lea menuntunnya naik ke kapal nelayan. Seperti ingin protes, tetapi sedang tidak ingin berdebat."Eh, Lea! Kita orang mau ke mana?" tanya Firyan sambil membentangkan penglihatannya ke ombak-ombak kecil yang dipantuli sinar matahari."Ke dermaga Canti, Bang!" jawab Lea, membuat Firyan seketika menyatukan alis."Ngapain? Memangny
"Lea, becanda elu orang enggak lucu, Berengsek!" umpat Firyan."Bang! Tolong, Bang!" Seseorang di balik pintu kembali memohon bantuan diiringi ketukan yang makin nyaring.Firyan terhimpit dan tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, dia melangkah perlahan dengan kaki yang terlihat bergetar. Deritan pintu mulai terdengar. Sialnya tidak ada siapa pun. Suara bising yang mengganggunya lenyap seketika."Eue, kambing bener tu istri sialan!" Firyan mengubah ekspresinya.Bagaimana bisa Lea mengerjainya di saat-saat dia membutuhkan istirahat dan dukungan mental? Sepasang kakinya yang jenjang terrayun gusar ke arah kamar. Kali ini, dia tidak akan menahan diri jika sampai menemukan Lea di sana. Hanya butuh beberapa detik, pintu tersebut terpental dalam satu kali tendangan. Namun, lagi-lagi kamar itu kosong."Ke mana itu orang? Pusing gue, weh! Argh!"Ketika Firyan mendesah berulang kali, dia merasakan sentuhan seseorang di bahunya yang lebar. Sentuhan yang begitu lembut, tetapi dinginnya menusuk
"Bang!" Suara Lea memecah lamunan Firyan. Lelaki itu segera menghampiri istrinya."Lea, lu orang udah sadar? Bentar!" Firyan membantu Lea untuk duduk dan memberinya minum."Bayi kita, Bang!" Lea tersenyum simpul melihat bayinya yang cantik tidur dengan pulas."Cewek, lah, dia. Comel macam gue!" puji Firyan merasa bangga."Eh, lu orang kenal Anggara Kasih?""Anggara Kasih?" Lea mengerutkan dahi, lalu menggeleng.Mengetahui hal tersebut, Firyan makin penasaran dengan sosok gadis bermata lentik yang menolong mereka semalam. Namun, dia tidak bisa menyelidikinya karena tidak memiliki informasi apa pun selain nama. Firyan bangkit tanpa sepatah kata, lalu keluar dari kamar menuju ruang depan untuk beristirahat.Keesokan pagi, Firyan dikejutkan oleh tangis bayi. Karena masih sangat mengantuk, dia menyumpal kedua telinganya dengan bantal. Berguling ke kanan dan ke kiri, berharap bisa melanjutkan istirahat. Akan tetapi, bayinya tidak mau berhenti menusuk-nusuk gendang telinganya.Firyan mencebi
Selama empat puluh hari, terhitung dari hari pertama Lea sembuh, Firyan tidak lagi bertemu dengan Anggara Kasih. Hubungan dengan tetangga pun mulai membaik. Mereka menamai bayi mereka "Mora Erlando", tanpa mengadakan acara syukuran.Selama sebulan lebih, mereka meninggalkan rumah mereka di pulau Sebesi. Belum ada informasi apa pun terkait keadaan di sana. Mereka mengandalkan bantuan pemerintah untuk makan sehari-hari.Di malam yang mulai larut, Firyan duduk di tangga luar. Kali ini tidak ada kenikmatan yang menemani kegundahannya. Sendiri menyesap sepi dengan rasa yang entah. Pikirannya melayang ke tempat yang tidak bisa dijangkau."Mumet amat idup gue, weh!" keluhnya. Dia berteriak kecil dan masuk ke kamar."Lea! Stt ... Lea!" Firyan mengguncang pelan bahu Lea. Tahu jika istrinya belum tidur."Apa, sih, Bang?" Lea menjawab enggan."Lu nifas cuma 25 hari, bagilah hak gue! Pala gue pusing, nih!" Firyan mengutarakan keinginannya untuk yang kesekian kali."Besok ajalah, Bang! Ngantuk aku
"Apa, sih, Bang?" Lea menoleh ke belakang, kemudian dia mencebik."Ini cuma boneka, Bang!" Lea mengambil boneka kayu yang tergantung di dinding dekat pintu kamar mereka. Ekspresi Firyan kemudian menjadi lebih tenang.Sementara Lea pergi ke dapur untuk mengambil minuman, Firyan berkeliling rumah. Tidak ada yang berubah. Bahkan, tidak terbuang barang-barang yang masih selamat. Termasuk boneka kayu yang menakutinya. Pemerintah membangunkan rumahnya seperti semula, yakni rumah biasa yang terdiri dari empat ruangan yang berukuran sedang.Firyan berusaha keras melawan segala sesuatu yang menyerang pikirannya. Tak berapa lama, Lea datang dengan segelas air. Lelaki itu segera mengambil dan meminumnya hingga tandas, lalu segera beristirahat di ruang tengah. Lea yang merasa bersalah tidak berani menegurnya untuk tidur di kamar bersama-sama.Tengah malam, atmosfer mulai berubah. Lea dan Mora sudah terlelap. Suasana yang hening membuat Firyan yang tidak benar-benar tertidur menggelinjang gelisah.
Mora mengalami kejang-kejang. Firyan mengambil Mora dari Lea dan dengan cepat dia lari ke klinik terdekat. Dokter di sana pun bertindak sangat cepat. Firyan terduduk di bangku tunggu. Napasnya yang terengah-engah segera dia kendalikan. Saat mereda, barulah dia menyadari bahwa Lea tidak ada bersamanya.Firyan terlalu panik sehingga keberadaan istrinya tidak begitu dipedulikan. Beberapa lama kemudian, Lea datang diantar tetangga menggunakan sepeda motor. Wajah perempuan itu sama paniknya. Matanya memerah dan sedikit basah serta bengkak. Mungkin di sepanjang jalan tangisnya tidak berhenti."Bang, Mora gimana?" tanya Lea. Tepat setelah itu, dokter keluar dari ruangan."Dok, anak kami gimana?" tanya Firyan tidak sabaran."Alhamdulillah sudah enggak apa-apa, tapi anak Bapak harus dirawat. Paru-parunya belum berkembang sempurna. Apa anak Bapak lahir prematur?" tanya dokter laki-laki tersebut."Iya, Dok. Tolong, sembuhin anak kami. Enggak papa kalau memang harus dirawat," Lea menjawab cepat.
Firyan menggosok matanya, lalu mendekap seseorang yang mengganggu tidurnya. Membiarkan dirinya dikuasai dalam keremangan. Laki-laki bergelar "bapak" itu tampak sangat menikmati alur pada setiap detik yang berlangsung di pejaman mata."Makasih, elu selalu kasih gue kebahagiaan ini. Elu terbaik, Kasih!" Firyan berbisik di telinga lawan mainnya. Lagi-lagi Kasih datang membawa surganya pada Firyan."Aku cuma bisa kasih itu ke kamu. Maaf, kalo aku enggak bisa membantu masalah ekonomimu." Gadis itu menimpali."Enggak. Harusnya gue yang minta maaf. Elu amanah dari kakek, tapi gua enggak bisa jaga elu.""Aku boleh minta sesuatu enggak?" tanya Kasih."Apa?""Besok, kan hari selasa. Bawain aku mawar sama melati, aku pengen mandi kembang, tapi kamu yang mandiin, ya," ungkap Kasih."Ya, mau banget, tapi di mana? Tau sendiri, kan?" Firyan mengungkapkan kebimbangannya."Tenang, enggak di sini, kok. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," ujar Kasih. Firyan mengangguk setuju.Pagi hari, seperti biasa,
"Bang, jangan keluar apa pun yang terjadi! Kalo enggak, kita bisa habis!" Kasih mengunci pandangan Firyan. Lelaki itu mengangguk patuh dan bersembunyi di tempat yang diarahkan oleh Kasih."Maaf, Nyai. Saya melihat Nyai membawa laki-laki asing ke sini. Nyai tahu konsekuensinya?" Seorang laki-laki penjaga desa bertanya langsung ke intinya. Akhir kalimatnya berhasil membuat Firyan dilanda gelisah."Ngawur! Sampean itu berhalusinasi. Kalo tidak percaya, periksa saja," sahut Kasih. Kali ini, Firyan benar-benar takut. Berbagai macam kalimat kekhawatiran bergulung di otaknya.Di dalam ruangan kecil yang tersembunyi tersebut, Firyan tidak bisa melihat atau memantau apa yang sedang berlangsung. Dia hanya bisa merasakan setiap gerakan demi gerakan yang terjadi. Laki-laki itu berusaha keras agar keberadaannya tidak diketahui.Sejenak setelah berbagai suara mengiang di telinga. Keheningan tercipta selama beberapa saat. Firyan tidak lagi mendengar apa pun selain deritan pintu dan langkah kaki yang