"Bang!" Suara Lea memecah lamunan Firyan. Lelaki itu segera menghampiri istrinya.
"Lea, lu orang udah sadar? Bentar!" Firyan membantu Lea untuk duduk dan memberinya minum. "Bayi kita, Bang!" Lea tersenyum simpul melihat bayinya yang cantik tidur dengan pulas. "Cewek, lah, dia. Comel macam gue!" puji Firyan merasa bangga. "Eh, lu orang kenal Anggara Kasih?" "Anggara Kasih?" Lea mengerutkan dahi, lalu menggeleng. Mengetahui hal tersebut, Firyan makin penasaran dengan sosok gadis bermata lentik yang menolong mereka semalam. Namun, dia tidak bisa menyelidikinya karena tidak memiliki informasi apa pun selain nama. Firyan bangkit tanpa sepatah kata, lalu keluar dari kamar menuju ruang depan untuk beristirahat. Keesokan pagi, Firyan dikejutkan oleh tangis bayi. Karena masih sangat mengantuk, dia menyumpal kedua telinganya dengan bantal. Berguling ke kanan dan ke kiri, berharap bisa melanjutkan istirahat. Akan tetapi, bayinya tidak mau berhenti menusuk-nusuk gendang telinganya. Firyan mencebik. Akhirnya, dia memilih untuk bangun. Dengan kesal, dia menghampiri Lea. Ternyata, wanita berhijab itu masih tertidur. Sama sekali tidak mempedulikan anaknya. "Woy, bangun!" Teriakannya tidak didengar. "Lea!" teriak Firyan sekali lagi dan reaksi Lea masih sama. Bapak muda itu dengan kesal mengangkat bayinya dan mendapati kain yang membalut bayi sudah basah. Dia berinisiatif untuk menggantinya walaupun tidak mengerti bagaimana cara yang benar. Usahanya tidak sia-sia, bayinya kembali tenang dan kembali ditidurkan di samping Lea. Firyan mendesah berat, lalu pergi ke dapur. Dia merasa lapar, tetapi setelah diperiksa, tidak ada makanan apa pun di sana. "Ah, Lea! Lu orang enggak guna, Sial!" Firyan menggebrak tembok dengan keras. Sebagai hasilnya, anaknya kembali menangis. Kali ini dengan suara yang lebih kencang. Firyan tidak ingin peduli. Dia memilih membuat mie instan dan menghabiskannya sendirian, lalu mencari angin di depan, menghisap Sampurna Mild-nya yang sebatang kara. Kedua matanya pecicilan ke sembarang arah. Dia melihat beberapa tetangga berjalan ke arah rumahnya. Spontan, dia membuang muka dan hendak beranjak masuk. Akan tetapi, mereka memanggil dengan serempak. Mau tak mau, dia harus melayani mereka. "Ada apa?" ketusnya. "Dih, galak amat! Kita mau nanya, itu ada suara bayi, memang si Lea udah lahiran?" tanya seorang wanita berusia tiga puluhan bernama Eni. "Udah!" Firyan menyahut dengan nada yang masih sama. "Alhamdulillah!" Semua orang berkata serempak. Eni memberi kode untuk menengok. Ketika mereka hendak masuk .... "Eh, pada mau ngapain? Main slonong aja di rumah orang. Putus urat malu lu orang, ya?" "Eh, Fir ... kamu, kok, kasar? Kami orang cuma mau nengokin bukan mau maling!" protes Eni. "Enak aja lu orang! Semalem Lea hampir mati gegara kalian orang enggak ada satu pun yang mau nolongin." "Jangan ngadi-ngadi, Fir. Kamu semalem enggak ada datang ke rumah kami, ya. Gimana mau bantu?" kilah Eni. Yang lainnya membenarkan perkataan Eni. Tidak ada satu pun dari mereka yang menerima permintaan tolong Firyan. "Ah, udahlah! Mendingan kalian pergi sana! Pusing pala gue!" usir Firyan, lalu bergegas masuk dan membanting pintu. Dia meninju udara karena sangat kesal, lalu bergegas menggendong bayinya yang tak kunjung diam. Kekesalannya makin menjadi kala melihat Lea terus mendengkur dan tidak mau bangun untuk mengurus bayinya. "Cup, Sayang. Jangan nangis, nanti kebonya bangun," ucap Firyan sambil melirik ke arah Lea. Satu jam kemudian .... Firyan bersandar lelah di lantai ruang tengah dengan kaki yang diluruskan ke depan. Bayinya tak kunjung diam, Lea pun tak kunjung bangun. Meski sangat lelah, dia masih berusaha menepuk-nepuk pantat putrinya meski sambil mengumpat. "Dia haus, Firyan. Butuh susu ibunya." Seseorang tiba-tiba saja datang memberi tahu. Firyan sedikit terperanjat. "Kasih? Anggara Kasih?" Firyan melebarkan matanya yang sayu. "Taruh dia di dada ibunya!" seru gadis itu. "Gimana caranya? Tu orang tidur enggak bangun-bangun. Nanti anak gue jatoh kek mana?" "Selagi ada aku, semuanya pasti aman," Kasih meyakinkan Firyan dan anehnya laki-laki itu tidak membantah. Dia bergegas mengangkat tubuhnya yang lesu dan membiarkan anaknya menyusu. Hanya semudah itu, bayinya tidak lagi berisik. Firyan melihat istrinya sekilas. Ada sesal di hatinya. Tak seharusnya dia kesal. Lea sudah berani bertaruh nyawa untuk melahirkan anaknya juga tidak mengeluh apa pun kepadanya. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang janggal ada pada Lea. "Istrimu terlalu banyak menyerap energi negatif," ucap Anggara seolah memahami jalan pikiran Firyan. "Maksudnya?" "Orang hamil itu sangat wangi. Banyak makhluk halus yang menginginkannya," jelas Kasih. "Jadi, keadaan Lea yang sekarang akibat dari itukah?" Pertanyaan Firyan diangguki oleh Kasih. Saat itu juga Firyan nampak frustrasi. "Jangan khawatir. Dia akan segera sembuh." Anggara Kasih tersenyum simpul pada Firyan. "Selepas sembahyang, kamu bacakan Al-fatihah dan Al-baqoroh ke badannya," lanjut Kasih. Firyan terdiam selama beberapa saat. Ketika dia akan berbicara, Anggara Kasih sudah pergi. "Lah, ke mana tu cewek? Anjir, kek jelangkung aja! Aduh, Lea ... bikin susah aja, sih, lu orang! Dah tau gue enggak pernah sholat, apalagi ngaji. Baca doa ng*t*t aja gue terbata-bata, Njir!" Firyan pusing tujuh keliling. Sampai adzan maghrib berkumandang, dia masih mondar-mandir. Beberapa kali melihat Lea hatinya menjadi bimbang. Dia memijit pelipis, berpikir jika Lea terus seperti itu dia akan sangat repot mengurus segalanya. Dia tidak ingin menjadi pecundang, maka dari itu dia memutuskan untuk mengambil wudhu dan sembahyang dengan gerakan dan bacaan yang masih diingat. Sesuai dengan arahan Kasih, dia akan membacakan doa. Setelah mendapatkan posisi duduk yang nyaman, ada sesuatu yang dia rasakan di tangan kanannya seperti energi yang tidak biasa. Anehnya lagi, surat yang bahkan tidak hafal, dia mampu membacanya dengan lancar dan fasih tanpa melihat buku. Ajaibnya, setelah beberapa saat, Lea mulai bangun meski lesu. "Bang ... kamu sholat?" Setelah melirik bayinya yang sedang tidur, tiba-tiba pertanyaan itu keluar begitu saja. Firyan pun hanya bergeming. Tak berminat untuk menanggapi. "Tumben banget, Bang!" Lea yang masih penasaran pun melanjutkan. "Mau lu orang apa, sih? Orang enggak sholat, lu marah-marah. Ngomel sampe mulut bisa keinjek. Giliran sholat dibilang tumben. Seolah-olah gue ini orang kek kafir banget." "Lah, kan memang kafir. Kafiryan Erlando maksudnya," ledek Lea. "Sialan! Udah ... Udah enggak usah banyak bacot! Diem lu sini, gue ke dapur dulu bikin makanan," Firyan berkata kesal, membuat Lea sedikit tergelak. "Dasar betina sialan! Bukannya terima kasih, kek. Support, kek malah bertingkah kek orang pemegang kunci surga," Firyan mengumpat sambil mengambil satu bungkus mie dan telor dari kardus. "Ngomong-ngomong, tadi keren bener, ya. Tiba-tiba aja gue bisa baca ayat Alquran. Aneh. Jadi inget sama tu cewek. Sebenernya siapa, sih itu cewek? Anggara Kasih, orangnya juga aneh. Kek ini mie. Mie goreng, tapi direbus. Hadeuh, pusing gue!" gumamnya.Selama empat puluh hari, terhitung dari hari pertama Lea sembuh, Firyan tidak lagi bertemu dengan Anggara Kasih. Hubungan dengan tetangga pun mulai membaik. Mereka menamai bayi mereka "Mora Erlando", tanpa mengadakan acara syukuran.Selama sebulan lebih, mereka meninggalkan rumah mereka di pulau Sebesi. Belum ada informasi apa pun terkait keadaan di sana. Mereka mengandalkan bantuan pemerintah untuk makan sehari-hari.Di malam yang mulai larut, Firyan duduk di tangga luar. Kali ini tidak ada kenikmatan yang menemani kegundahannya. Sendiri menyesap sepi dengan rasa yang entah. Pikirannya melayang ke tempat yang tidak bisa dijangkau."Mumet amat idup gue, weh!" keluhnya. Dia berteriak kecil dan masuk ke kamar."Lea! Stt ... Lea!" Firyan mengguncang pelan bahu Lea. Tahu jika istrinya belum tidur."Apa, sih, Bang?" Lea menjawab enggan."Lu nifas cuma 25 hari, bagilah hak gue! Pala gue pusing, nih!" Firyan mengutarakan keinginannya untuk yang kesekian kali."Besok ajalah, Bang! Ngantuk aku
"Apa, sih, Bang?" Lea menoleh ke belakang, kemudian dia mencebik."Ini cuma boneka, Bang!" Lea mengambil boneka kayu yang tergantung di dinding dekat pintu kamar mereka. Ekspresi Firyan kemudian menjadi lebih tenang.Sementara Lea pergi ke dapur untuk mengambil minuman, Firyan berkeliling rumah. Tidak ada yang berubah. Bahkan, tidak terbuang barang-barang yang masih selamat. Termasuk boneka kayu yang menakutinya. Pemerintah membangunkan rumahnya seperti semula, yakni rumah biasa yang terdiri dari empat ruangan yang berukuran sedang.Firyan berusaha keras melawan segala sesuatu yang menyerang pikirannya. Tak berapa lama, Lea datang dengan segelas air. Lelaki itu segera mengambil dan meminumnya hingga tandas, lalu segera beristirahat di ruang tengah. Lea yang merasa bersalah tidak berani menegurnya untuk tidur di kamar bersama-sama.Tengah malam, atmosfer mulai berubah. Lea dan Mora sudah terlelap. Suasana yang hening membuat Firyan yang tidak benar-benar tertidur menggelinjang gelisah.
Mora mengalami kejang-kejang. Firyan mengambil Mora dari Lea dan dengan cepat dia lari ke klinik terdekat. Dokter di sana pun bertindak sangat cepat. Firyan terduduk di bangku tunggu. Napasnya yang terengah-engah segera dia kendalikan. Saat mereda, barulah dia menyadari bahwa Lea tidak ada bersamanya.Firyan terlalu panik sehingga keberadaan istrinya tidak begitu dipedulikan. Beberapa lama kemudian, Lea datang diantar tetangga menggunakan sepeda motor. Wajah perempuan itu sama paniknya. Matanya memerah dan sedikit basah serta bengkak. Mungkin di sepanjang jalan tangisnya tidak berhenti."Bang, Mora gimana?" tanya Lea. Tepat setelah itu, dokter keluar dari ruangan."Dok, anak kami gimana?" tanya Firyan tidak sabaran."Alhamdulillah sudah enggak apa-apa, tapi anak Bapak harus dirawat. Paru-parunya belum berkembang sempurna. Apa anak Bapak lahir prematur?" tanya dokter laki-laki tersebut."Iya, Dok. Tolong, sembuhin anak kami. Enggak papa kalau memang harus dirawat," Lea menjawab cepat.
Firyan menggosok matanya, lalu mendekap seseorang yang mengganggu tidurnya. Membiarkan dirinya dikuasai dalam keremangan. Laki-laki bergelar "bapak" itu tampak sangat menikmati alur pada setiap detik yang berlangsung di pejaman mata."Makasih, elu selalu kasih gue kebahagiaan ini. Elu terbaik, Kasih!" Firyan berbisik di telinga lawan mainnya. Lagi-lagi Kasih datang membawa surganya pada Firyan."Aku cuma bisa kasih itu ke kamu. Maaf, kalo aku enggak bisa membantu masalah ekonomimu." Gadis itu menimpali."Enggak. Harusnya gue yang minta maaf. Elu amanah dari kakek, tapi gua enggak bisa jaga elu.""Aku boleh minta sesuatu enggak?" tanya Kasih."Apa?""Besok, kan hari selasa. Bawain aku mawar sama melati, aku pengen mandi kembang, tapi kamu yang mandiin, ya," ungkap Kasih."Ya, mau banget, tapi di mana? Tau sendiri, kan?" Firyan mengungkapkan kebimbangannya."Tenang, enggak di sini, kok. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," ujar Kasih. Firyan mengangguk setuju.Pagi hari, seperti biasa,
"Bang, jangan keluar apa pun yang terjadi! Kalo enggak, kita bisa habis!" Kasih mengunci pandangan Firyan. Lelaki itu mengangguk patuh dan bersembunyi di tempat yang diarahkan oleh Kasih."Maaf, Nyai. Saya melihat Nyai membawa laki-laki asing ke sini. Nyai tahu konsekuensinya?" Seorang laki-laki penjaga desa bertanya langsung ke intinya. Akhir kalimatnya berhasil membuat Firyan dilanda gelisah."Ngawur! Sampean itu berhalusinasi. Kalo tidak percaya, periksa saja," sahut Kasih. Kali ini, Firyan benar-benar takut. Berbagai macam kalimat kekhawatiran bergulung di otaknya.Di dalam ruangan kecil yang tersembunyi tersebut, Firyan tidak bisa melihat atau memantau apa yang sedang berlangsung. Dia hanya bisa merasakan setiap gerakan demi gerakan yang terjadi. Laki-laki itu berusaha keras agar keberadaannya tidak diketahui.Sejenak setelah berbagai suara mengiang di telinga. Keheningan tercipta selama beberapa saat. Firyan tidak lagi mendengar apa pun selain deritan pintu dan langkah kaki yang
Lama larut dalam tanda tanya, Firyan akhirnya memutuskan untuk keluar mencari makanan untuk istrinya. Persetan dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Itu urusan belakangan. Yang terpenting saat ini adalah urusan perut anak dan istrinya. "Gue mau keluar, cari makan buat elu!" Pamit Firyan pada Lea yang tengah menyusui Mora di dalam kamar. Wanita itu tak henti-hentinya meneteskan air mata. "Carilah, Bang! Biar kamu tahu apa yang kurasain selama tiga hari itu," jawab Lea dengan nada yang lemah tanpa ingin menoleh ke suaminya. Firyan menghalau rasa kesalnya. Dia berjalan pincang ke luar rumah, mencari pinjaman ke sana ke mari, tetapi tidak mendapatkan hasil. Pekerjaan pun tidak ada. Sejauh usahanya, dia hanya mampu menggerutu pada angin laut. Semua orang di sana memandang dirinya sebelah mata. Tak satu pun yang mau mengulurkan tangan meski itu atas nama istri dan anaknya. Firyan menjerit putus asa. Benar apa yang dikatakan Lea. Tidak semudah itu mencari makanan di luar. Namun,
Puas menjerit, Firyan langsung berlari ke kamar. Menghampiri Mora untuk meredakan perasaannya. Bayi itu masih tertidur. Laki-laki itu meringkuk di samping putrinya. Entah harus memulai dari mana mengatur napasnya yang masih tersengal, dia mesti dikejutkan oleh ketukan pintu secara berulang-ulang.Firyan menutup telinganya rapat-rapat. Akan tetapi, suara gedoran itu terus saja mengusiknya. Makin dibiarkan makin nyaring. Lelaki tersebut mendekap Mora supaya tidak terbangun."Bang, buka! Cepetan!" Kali ini suara gedoran diiringi dengan suara wanita yang sangat familiar. Firyan ragu-ragu membuka pintu."Ngapain aja, sih, Bang? Buka pintu, kok, lama bener. Pegel aku, Bang. Capek!" Firyan diberondong dengan omelan. Kepulangan Lea secara tidak sengaja telah membunuh rasa takut dan tremor Firyan. Perempuan itu melesat masuk secepat kilat, meninggalkan suaminya yang tercengang."Shit! Sejak kapan Lea bisa ngomel-ngomel gitu?" gumam Firyan seraya menutup pintu dengan perasaan merinding.Firyan
"Udah berani sama suami, hah?" Firyan meremas dagu Lea."Kenapa aku harus takut sama suami zolim sepertimu, Bang!" Lea berhasil melepas tangan besar suaminya dengan kekuatan kecil yang dia miliki."Zolim elu bilang?" Firyan tampak tercengang."Sebutan apa yang pantes untuk suami yang ngebiarin istrinya ngerjain urusan rumah tangga dan ngurus anak sendirian dengan kondisi enggak makan berhari-hari?"Penjelasan Lea dengan suara yang lembut menampar kesadaran Firyan begitu dalam. Pria itu tak mampu lagi berkata-kata. Apa yang terjadi waktu itu ternyata sangat melukai hati Lea. Jelas Firyan merasa sangat bersalah. Akan tetapi, dia tidak ingin mengakui.Lea langsung beranjak menuju kamar. Firyan dengan cepat menyusulnya. Lelaki itu kemudian menyahuti pertanyaan Lea yang sebenarnya sudah tidak diinginkan oleh Lea. "Asal elu orang tahu aja Lea, gue juga kelaparan. Gue enggak makan selama berhari-hari. Selama elu pergi-pergian gue juga enggak diem aja di rumah." Pandangan Firyan kemudian bera