"Udah berani sama suami, hah?" Firyan meremas dagu Lea."Kenapa aku harus takut sama suami zolim sepertimu, Bang!" Lea berhasil melepas tangan besar suaminya dengan kekuatan kecil yang dia miliki."Zolim elu bilang?" Firyan tampak tercengang."Sebutan apa yang pantes untuk suami yang ngebiarin istrinya ngerjain urusan rumah tangga dan ngurus anak sendirian dengan kondisi enggak makan berhari-hari?"Penjelasan Lea dengan suara yang lembut menampar kesadaran Firyan begitu dalam. Pria itu tak mampu lagi berkata-kata. Apa yang terjadi waktu itu ternyata sangat melukai hati Lea. Jelas Firyan merasa sangat bersalah. Akan tetapi, dia tidak ingin mengakui.Lea langsung beranjak menuju kamar. Firyan dengan cepat menyusulnya. Lelaki itu kemudian menyahuti pertanyaan Lea yang sebenarnya sudah tidak diinginkan oleh Lea. "Asal elu orang tahu aja Lea, gue juga kelaparan. Gue enggak makan selama berhari-hari. Selama elu pergi-pergian gue juga enggak diem aja di rumah." Pandangan Firyan kemudian bera
"Aku liat istri kamu sama pria asing ngelakuin hal yang enggak senonoh," ucapnya. Firyan mengepalkan tangan, telinganya memerah mendengar sepenggal kalimat yang tak pernah dia inginkan."Kasih ... gimana elu orang bisa ngomong kek gitu?""Aku bisa ngomong karena aku ngeliat pake mata kepalaku sendiri. Aku enggak sengaja lewat depan kafe baru yang ada di ujung itu," jawab Kasih. Firyan menoleh, lalu mengambil posisi berhadapan dengan gadis cantik itu. Dia bergumam, "Jadi itu tempat baru?""Yakin?" Firyan memastikan."Aku tahu itu enggak mudah, tapi kamu bisa cek sendiri tiap kali istri kamu pergi karena sepertinya dia udah terbiasa," jawab Kasih."Gue anter pulang, ya. Ga baik cewek keluar gelap-gelap sendirian." Firyan menggandeng tangan Kasih dan mengantarnya pulang sampai ke tugu perbatasan. Kasih pun hanya menurut tanpa berkata apa-apa.Firyan yang patah hati berjalan tanpa tujuan setelah mengantar Kasih. Berulang kali jejak merah di tubuh istrinya mengapung di kepala. Makin mencob
Firyan melempar tubuh Bagas yang sudah babak belur itu ke tembok. Pandangannya yang penuh kebencian beralih ke lelaki yang menjadi satu-satunya orang yang berani menganggunya."Berani banget lu muncul depan gue, Bangke!?" Firyan meremas kerah gamis yang dipakai lelaki berpawakan kurus tersebut. Tangan dan seluruh tubuhnya bergetar karena guncangan emosi."Tenangkan dirimu, Firyan!" Lelaki tua itu berkata dengan sangat tenang. Tentunya membuat rahang bapak muda tersebut makin mengeras."Gimana bisa? Bertahun-tahun gue nahan diri, ngelepas dajal kaya lu orang buat hidup. Tiba-tiba muncul dan mau jadi pahlawan buat pengkhianat itu, hah?" Firyan menekan keras kata "pengkhianat" dan tanpa basa-basi meluapkan semua amarahnya kepada pria malang itu. Namun demikian, lelaki tua itu tetap bersikap tenang. Bahkan, membiarkan Firyan memukulinya sampai berdarah-darah."Yan, sadar! Dia bisa mati!" Bagas yang sekarat berusaha menghentikan tindakan brutal sang sahabat."Diem lu orang, An*ing!"Firyan
Firyan menarik kerah baju yang tidak dia kenali, lalu melemparnya ke arah Lea. Perempuan itu membeku. Bahkan, tak bergerak sama sekali."Jangan salah sangka. Saya tukang service panggilan," elak seorang lelaki yang baru saja Firyan tarik keluar dari lemari."Iya, Bang. Aku panggil dia buat benerin lemari. Aku kerepotan dan udah capek. Abang pun lama pulang. Ya, jadi aku panggil dia," Lea menjawab tatapan tajam Firyan yang diarahkan kepadanya. Firyan tak mengucap sepatah kata pun. Semua orang tampak merasa takut ketika Firyan mulai mengangkat tangannya."Duduk di depan. Istirahat, gue bikinin minum. Gue juga lagi haus." Firyan mendaratkan tangannya ke pundak lelaki yang berpenampilan kasual itu. Lea segera membuang napas. Siratan wajahnya tidak dapat diterka.Firyan membawa langkahnya menuju dapur. Gemericik air putih yang dia tuang meriuhkan isi kepalanya yang ingin meledak, lalu serta merta membawanya bersama ke ruang tamu. Lelaki itu menatap istrinya penuh makna, kemudian duduk di a
"Mora ...." Sebuah nama terurai lirih dari bibir yang begitu kering. Tidak ada satu manusia pun yang menyahut kecuali kicauan burung dan air yang tergulung angin.Firyan mendudukkan tubuhnya yang berlumur pasir dengan penuh kepayahan. Matanya yang masih berkabut berkelana ke sepanjang pesisir. Butiran halus pasir yang bertabur acak di wajahnya tersapu oleh lelehan air mata. Dalam sekejap wajah pucatnya menjadi merah. Sesuatu yang hanya berjarak tiga langkah darinya itulah yang menjadi penyebab.Firyan menggerakkan tubuh, tangannya yang masih terluka terulur ke sosok yang terkulai di depannya. Dengan gemetar, Firyan membawanya ke dalam pelukan. Air matanya berjatuhan. Jiwanya yang dirundung luka mulai bergejolak. Firyan berteriak hebat dan memukuli dirinya sendiri."Mora!""Bangun, woy! Bangun, Sayang! Mereka udah enggak kejar kita orang."Seberapa keras Firyan berbicara, tak sekalipun Mora merespon. Sebuah kondisi yang membuat dia segera menyadari bahwa bayi mungil yang sudah dingin i
Cairan kental yang tercecer di granit lembab menguras habis tenaga Firyan Erlando. Lelaki berusia dua puluh lima tahun itu menyandarkan punggungnya yang lemas di dinding. Matanya yang merah bertaut pada Neon yang tergantung tidak tenang di atas plafon."Firyan! Woi ... buka, Bro!" Suara laki-laki yang diiringi gedoran pintu menggelitik telinga Firyan."Kagak dikunci!" Satu detik setelah menyahut, pintu terbuka, memperlihatkan seorang lelaki yang berusia sebaya."Lu ngapain ngerem di sini? Ayo, Bro, lu udah ditungguin.""Lu aja, dah, sana! Gue lagi kagak selera!" omel Firyan."Payah, lu! Baru pemanasan udah KO.""Berisik lu, Gas! Udah sana! Dia buat lu orang aja!" Firyan menyandarkan kepala sambil mengibaskan tangan."Yakin, lu, Yan? Kalau gue panggil anaknya jangan nyesel, ya!" Firyan tersenyum miring."Brenda!" Setelah Bagas berteriak, seorang gadis bergaun mini datang menyihir mata sayu Firyan dalam sekejap. Bulan sabit terbit di wajah tirus gadis blasteran Indo-Prancis tersebut. Fi
Saat membuka mata, Firyan seperti merasakan tubuhnya begitu berat dan sangat sakit. Dia mengerang ketika berusaha berdiri. Mengamati sekitar, keadaan sangat kacau. Pepohonan tumbang dan tanah seperti habis diterjang longsor. Hal yang lebih mengejutkan adalah beberapa orang yang tergeletak tak bernyawa di sana. Bahkan, beberapa di antaranya ditemukan dengan anggota tubuh yang terputus dan tertimbun tanah. Dia memijat kening, tidak tahu harus melakukan apa. Pergi pun tak bisa karena sepeda motornya sudah rusak. Firyan membeku untuk beberapa saat, lalu mulai berteriak meminta bantuan. Akan tetapi, suaranya terbang bersama desau angin. Tidak ada yang mendengarkannya. Tak ada yang meresponnya. Firyan terseok-seok menghampiri Bagas. Akan tetapi, yang dia temukan justru membuat bola matanya hampir lepas. Sahabatnya sudah mati dalam keadaan bertelungkup di atas tubuh polos seorang gadis. Begitu juga dengan yang lainnya. Semuanya mati dengan pose mereka saat berbuat maksiat."Tolong! Siapa pu
"Alhamdulillah, prasangkaku enggak bener. Maafin aku, Bang karena sudah berpikir yang enggak-enggak," sesal Lea. Walau tidak dipungkiri masih ada kecemasan yang terpahat di raut wajahnya mengingat Firyan positif mengonsumsi alkohol.Setelah melewati lima hari masa pemulihan dan dua hari rehabilitasi, Firyan dinyatakan sembuh. Bersama Lea dia keluar dari rumah sakit. Awalnya, Firyan berpikir penderitaannya akan berakhir. Selama beberapa hari melewati masa penuh tekanan, dia merindukan suasana rumah. Namun, angan-angannya harus pudar ketika Lea membawanya ke arah pantai, bukan ke arah yang seharusnya menjadi jalan mereka pulang. Ekspresi Firyan mulai keruh ketika Lea menuntunnya naik ke kapal nelayan. Seperti ingin protes, tetapi sedang tidak ingin berdebat."Eh, Lea! Kita orang mau ke mana?" tanya Firyan sambil membentangkan penglihatannya ke ombak-ombak kecil yang dipantuli sinar matahari."Ke dermaga Canti, Bang!" jawab Lea, membuat Firyan seketika menyatukan alis."Ngapain? Memangny