"Apa, sih, Bang?" Lea menoleh ke belakang, kemudian dia mencebik."Ini cuma boneka, Bang!" Lea mengambil boneka kayu yang tergantung di dinding dekat pintu kamar mereka. Ekspresi Firyan kemudian menjadi lebih tenang.Sementara Lea pergi ke dapur untuk mengambil minuman, Firyan berkeliling rumah. Tidak ada yang berubah. Bahkan, tidak terbuang barang-barang yang masih selamat. Termasuk boneka kayu yang menakutinya. Pemerintah membangunkan rumahnya seperti semula, yakni rumah biasa yang terdiri dari empat ruangan yang berukuran sedang.Firyan berusaha keras melawan segala sesuatu yang menyerang pikirannya. Tak berapa lama, Lea datang dengan segelas air. Lelaki itu segera mengambil dan meminumnya hingga tandas, lalu segera beristirahat di ruang tengah. Lea yang merasa bersalah tidak berani menegurnya untuk tidur di kamar bersama-sama.Tengah malam, atmosfer mulai berubah. Lea dan Mora sudah terlelap. Suasana yang hening membuat Firyan yang tidak benar-benar tertidur menggelinjang gelisah.
Mora mengalami kejang-kejang. Firyan mengambil Mora dari Lea dan dengan cepat dia lari ke klinik terdekat. Dokter di sana pun bertindak sangat cepat. Firyan terduduk di bangku tunggu. Napasnya yang terengah-engah segera dia kendalikan. Saat mereda, barulah dia menyadari bahwa Lea tidak ada bersamanya.Firyan terlalu panik sehingga keberadaan istrinya tidak begitu dipedulikan. Beberapa lama kemudian, Lea datang diantar tetangga menggunakan sepeda motor. Wajah perempuan itu sama paniknya. Matanya memerah dan sedikit basah serta bengkak. Mungkin di sepanjang jalan tangisnya tidak berhenti."Bang, Mora gimana?" tanya Lea. Tepat setelah itu, dokter keluar dari ruangan."Dok, anak kami gimana?" tanya Firyan tidak sabaran."Alhamdulillah sudah enggak apa-apa, tapi anak Bapak harus dirawat. Paru-parunya belum berkembang sempurna. Apa anak Bapak lahir prematur?" tanya dokter laki-laki tersebut."Iya, Dok. Tolong, sembuhin anak kami. Enggak papa kalau memang harus dirawat," Lea menjawab cepat.
Firyan menggosok matanya, lalu mendekap seseorang yang mengganggu tidurnya. Membiarkan dirinya dikuasai dalam keremangan. Laki-laki bergelar "bapak" itu tampak sangat menikmati alur pada setiap detik yang berlangsung di pejaman mata."Makasih, elu selalu kasih gue kebahagiaan ini. Elu terbaik, Kasih!" Firyan berbisik di telinga lawan mainnya. Lagi-lagi Kasih datang membawa surganya pada Firyan."Aku cuma bisa kasih itu ke kamu. Maaf, kalo aku enggak bisa membantu masalah ekonomimu." Gadis itu menimpali."Enggak. Harusnya gue yang minta maaf. Elu amanah dari kakek, tapi gua enggak bisa jaga elu.""Aku boleh minta sesuatu enggak?" tanya Kasih."Apa?""Besok, kan hari selasa. Bawain aku mawar sama melati, aku pengen mandi kembang, tapi kamu yang mandiin, ya," ungkap Kasih."Ya, mau banget, tapi di mana? Tau sendiri, kan?" Firyan mengungkapkan kebimbangannya."Tenang, enggak di sini, kok. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," ujar Kasih. Firyan mengangguk setuju.Pagi hari, seperti biasa,
"Bang, jangan keluar apa pun yang terjadi! Kalo enggak, kita bisa habis!" Kasih mengunci pandangan Firyan. Lelaki itu mengangguk patuh dan bersembunyi di tempat yang diarahkan oleh Kasih."Maaf, Nyai. Saya melihat Nyai membawa laki-laki asing ke sini. Nyai tahu konsekuensinya?" Seorang laki-laki penjaga desa bertanya langsung ke intinya. Akhir kalimatnya berhasil membuat Firyan dilanda gelisah."Ngawur! Sampean itu berhalusinasi. Kalo tidak percaya, periksa saja," sahut Kasih. Kali ini, Firyan benar-benar takut. Berbagai macam kalimat kekhawatiran bergulung di otaknya.Di dalam ruangan kecil yang tersembunyi tersebut, Firyan tidak bisa melihat atau memantau apa yang sedang berlangsung. Dia hanya bisa merasakan setiap gerakan demi gerakan yang terjadi. Laki-laki itu berusaha keras agar keberadaannya tidak diketahui.Sejenak setelah berbagai suara mengiang di telinga. Keheningan tercipta selama beberapa saat. Firyan tidak lagi mendengar apa pun selain deritan pintu dan langkah kaki yang
Lama larut dalam tanda tanya, Firyan akhirnya memutuskan untuk keluar mencari makanan untuk istrinya. Persetan dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Itu urusan belakangan. Yang terpenting saat ini adalah urusan perut anak dan istrinya. "Gue mau keluar, cari makan buat elu!" Pamit Firyan pada Lea yang tengah menyusui Mora di dalam kamar. Wanita itu tak henti-hentinya meneteskan air mata. "Carilah, Bang! Biar kamu tahu apa yang kurasain selama tiga hari itu," jawab Lea dengan nada yang lemah tanpa ingin menoleh ke suaminya. Firyan menghalau rasa kesalnya. Dia berjalan pincang ke luar rumah, mencari pinjaman ke sana ke mari, tetapi tidak mendapatkan hasil. Pekerjaan pun tidak ada. Sejauh usahanya, dia hanya mampu menggerutu pada angin laut. Semua orang di sana memandang dirinya sebelah mata. Tak satu pun yang mau mengulurkan tangan meski itu atas nama istri dan anaknya. Firyan menjerit putus asa. Benar apa yang dikatakan Lea. Tidak semudah itu mencari makanan di luar. Namun,
Puas menjerit, Firyan langsung berlari ke kamar. Menghampiri Mora untuk meredakan perasaannya. Bayi itu masih tertidur. Laki-laki itu meringkuk di samping putrinya. Entah harus memulai dari mana mengatur napasnya yang masih tersengal, dia mesti dikejutkan oleh ketukan pintu secara berulang-ulang.Firyan menutup telinganya rapat-rapat. Akan tetapi, suara gedoran itu terus saja mengusiknya. Makin dibiarkan makin nyaring. Lelaki tersebut mendekap Mora supaya tidak terbangun."Bang, buka! Cepetan!" Kali ini suara gedoran diiringi dengan suara wanita yang sangat familiar. Firyan ragu-ragu membuka pintu."Ngapain aja, sih, Bang? Buka pintu, kok, lama bener. Pegel aku, Bang. Capek!" Firyan diberondong dengan omelan. Kepulangan Lea secara tidak sengaja telah membunuh rasa takut dan tremor Firyan. Perempuan itu melesat masuk secepat kilat, meninggalkan suaminya yang tercengang."Shit! Sejak kapan Lea bisa ngomel-ngomel gitu?" gumam Firyan seraya menutup pintu dengan perasaan merinding.Firyan
"Udah berani sama suami, hah?" Firyan meremas dagu Lea."Kenapa aku harus takut sama suami zolim sepertimu, Bang!" Lea berhasil melepas tangan besar suaminya dengan kekuatan kecil yang dia miliki."Zolim elu bilang?" Firyan tampak tercengang."Sebutan apa yang pantes untuk suami yang ngebiarin istrinya ngerjain urusan rumah tangga dan ngurus anak sendirian dengan kondisi enggak makan berhari-hari?"Penjelasan Lea dengan suara yang lembut menampar kesadaran Firyan begitu dalam. Pria itu tak mampu lagi berkata-kata. Apa yang terjadi waktu itu ternyata sangat melukai hati Lea. Jelas Firyan merasa sangat bersalah. Akan tetapi, dia tidak ingin mengakui.Lea langsung beranjak menuju kamar. Firyan dengan cepat menyusulnya. Lelaki itu kemudian menyahuti pertanyaan Lea yang sebenarnya sudah tidak diinginkan oleh Lea. "Asal elu orang tahu aja Lea, gue juga kelaparan. Gue enggak makan selama berhari-hari. Selama elu pergi-pergian gue juga enggak diem aja di rumah." Pandangan Firyan kemudian bera
"Aku liat istri kamu sama pria asing ngelakuin hal yang enggak senonoh," ucapnya. Firyan mengepalkan tangan, telinganya memerah mendengar sepenggal kalimat yang tak pernah dia inginkan."Kasih ... gimana elu orang bisa ngomong kek gitu?""Aku bisa ngomong karena aku ngeliat pake mata kepalaku sendiri. Aku enggak sengaja lewat depan kafe baru yang ada di ujung itu," jawab Kasih. Firyan menoleh, lalu mengambil posisi berhadapan dengan gadis cantik itu. Dia bergumam, "Jadi itu tempat baru?""Yakin?" Firyan memastikan."Aku tahu itu enggak mudah, tapi kamu bisa cek sendiri tiap kali istri kamu pergi karena sepertinya dia udah terbiasa," jawab Kasih."Gue anter pulang, ya. Ga baik cewek keluar gelap-gelap sendirian." Firyan menggandeng tangan Kasih dan mengantarnya pulang sampai ke tugu perbatasan. Kasih pun hanya menurut tanpa berkata apa-apa.Firyan yang patah hati berjalan tanpa tujuan setelah mengantar Kasih. Berulang kali jejak merah di tubuh istrinya mengapung di kepala. Makin mencob