"Bang, jangan keluar apa pun yang terjadi! Kalo enggak, kita bisa habis!" Kasih mengunci pandangan Firyan. Lelaki itu mengangguk patuh dan bersembunyi di tempat yang diarahkan oleh Kasih."Maaf, Nyai. Saya melihat Nyai membawa laki-laki asing ke sini. Nyai tahu konsekuensinya?" Seorang laki-laki penjaga desa bertanya langsung ke intinya. Akhir kalimatnya berhasil membuat Firyan dilanda gelisah."Ngawur! Sampean itu berhalusinasi. Kalo tidak percaya, periksa saja," sahut Kasih. Kali ini, Firyan benar-benar takut. Berbagai macam kalimat kekhawatiran bergulung di otaknya.Di dalam ruangan kecil yang tersembunyi tersebut, Firyan tidak bisa melihat atau memantau apa yang sedang berlangsung. Dia hanya bisa merasakan setiap gerakan demi gerakan yang terjadi. Laki-laki itu berusaha keras agar keberadaannya tidak diketahui.Sejenak setelah berbagai suara mengiang di telinga. Keheningan tercipta selama beberapa saat. Firyan tidak lagi mendengar apa pun selain deritan pintu dan langkah kaki yang
Lama larut dalam tanda tanya, Firyan akhirnya memutuskan untuk keluar mencari makanan untuk istrinya. Persetan dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Itu urusan belakangan. Yang terpenting saat ini adalah urusan perut anak dan istrinya. "Gue mau keluar, cari makan buat elu!" Pamit Firyan pada Lea yang tengah menyusui Mora di dalam kamar. Wanita itu tak henti-hentinya meneteskan air mata. "Carilah, Bang! Biar kamu tahu apa yang kurasain selama tiga hari itu," jawab Lea dengan nada yang lemah tanpa ingin menoleh ke suaminya. Firyan menghalau rasa kesalnya. Dia berjalan pincang ke luar rumah, mencari pinjaman ke sana ke mari, tetapi tidak mendapatkan hasil. Pekerjaan pun tidak ada. Sejauh usahanya, dia hanya mampu menggerutu pada angin laut. Semua orang di sana memandang dirinya sebelah mata. Tak satu pun yang mau mengulurkan tangan meski itu atas nama istri dan anaknya. Firyan menjerit putus asa. Benar apa yang dikatakan Lea. Tidak semudah itu mencari makanan di luar. Namun,
Puas menjerit, Firyan langsung berlari ke kamar. Menghampiri Mora untuk meredakan perasaannya. Bayi itu masih tertidur. Laki-laki itu meringkuk di samping putrinya. Entah harus memulai dari mana mengatur napasnya yang masih tersengal, dia mesti dikejutkan oleh ketukan pintu secara berulang-ulang.Firyan menutup telinganya rapat-rapat. Akan tetapi, suara gedoran itu terus saja mengusiknya. Makin dibiarkan makin nyaring. Lelaki tersebut mendekap Mora supaya tidak terbangun."Bang, buka! Cepetan!" Kali ini suara gedoran diiringi dengan suara wanita yang sangat familiar. Firyan ragu-ragu membuka pintu."Ngapain aja, sih, Bang? Buka pintu, kok, lama bener. Pegel aku, Bang. Capek!" Firyan diberondong dengan omelan. Kepulangan Lea secara tidak sengaja telah membunuh rasa takut dan tremor Firyan. Perempuan itu melesat masuk secepat kilat, meninggalkan suaminya yang tercengang."Shit! Sejak kapan Lea bisa ngomel-ngomel gitu?" gumam Firyan seraya menutup pintu dengan perasaan merinding.Firyan
"Udah berani sama suami, hah?" Firyan meremas dagu Lea."Kenapa aku harus takut sama suami zolim sepertimu, Bang!" Lea berhasil melepas tangan besar suaminya dengan kekuatan kecil yang dia miliki."Zolim elu bilang?" Firyan tampak tercengang."Sebutan apa yang pantes untuk suami yang ngebiarin istrinya ngerjain urusan rumah tangga dan ngurus anak sendirian dengan kondisi enggak makan berhari-hari?"Penjelasan Lea dengan suara yang lembut menampar kesadaran Firyan begitu dalam. Pria itu tak mampu lagi berkata-kata. Apa yang terjadi waktu itu ternyata sangat melukai hati Lea. Jelas Firyan merasa sangat bersalah. Akan tetapi, dia tidak ingin mengakui.Lea langsung beranjak menuju kamar. Firyan dengan cepat menyusulnya. Lelaki itu kemudian menyahuti pertanyaan Lea yang sebenarnya sudah tidak diinginkan oleh Lea. "Asal elu orang tahu aja Lea, gue juga kelaparan. Gue enggak makan selama berhari-hari. Selama elu pergi-pergian gue juga enggak diem aja di rumah." Pandangan Firyan kemudian bera
"Aku liat istri kamu sama pria asing ngelakuin hal yang enggak senonoh," ucapnya. Firyan mengepalkan tangan, telinganya memerah mendengar sepenggal kalimat yang tak pernah dia inginkan."Kasih ... gimana elu orang bisa ngomong kek gitu?""Aku bisa ngomong karena aku ngeliat pake mata kepalaku sendiri. Aku enggak sengaja lewat depan kafe baru yang ada di ujung itu," jawab Kasih. Firyan menoleh, lalu mengambil posisi berhadapan dengan gadis cantik itu. Dia bergumam, "Jadi itu tempat baru?""Yakin?" Firyan memastikan."Aku tahu itu enggak mudah, tapi kamu bisa cek sendiri tiap kali istri kamu pergi karena sepertinya dia udah terbiasa," jawab Kasih."Gue anter pulang, ya. Ga baik cewek keluar gelap-gelap sendirian." Firyan menggandeng tangan Kasih dan mengantarnya pulang sampai ke tugu perbatasan. Kasih pun hanya menurut tanpa berkata apa-apa.Firyan yang patah hati berjalan tanpa tujuan setelah mengantar Kasih. Berulang kali jejak merah di tubuh istrinya mengapung di kepala. Makin mencob
Firyan melempar tubuh Bagas yang sudah babak belur itu ke tembok. Pandangannya yang penuh kebencian beralih ke lelaki yang menjadi satu-satunya orang yang berani menganggunya."Berani banget lu muncul depan gue, Bangke!?" Firyan meremas kerah gamis yang dipakai lelaki berpawakan kurus tersebut. Tangan dan seluruh tubuhnya bergetar karena guncangan emosi."Tenangkan dirimu, Firyan!" Lelaki tua itu berkata dengan sangat tenang. Tentunya membuat rahang bapak muda tersebut makin mengeras."Gimana bisa? Bertahun-tahun gue nahan diri, ngelepas dajal kaya lu orang buat hidup. Tiba-tiba muncul dan mau jadi pahlawan buat pengkhianat itu, hah?" Firyan menekan keras kata "pengkhianat" dan tanpa basa-basi meluapkan semua amarahnya kepada pria malang itu. Namun demikian, lelaki tua itu tetap bersikap tenang. Bahkan, membiarkan Firyan memukulinya sampai berdarah-darah."Yan, sadar! Dia bisa mati!" Bagas yang sekarat berusaha menghentikan tindakan brutal sang sahabat."Diem lu orang, An*ing!"Firyan
Firyan menarik kerah baju yang tidak dia kenali, lalu melemparnya ke arah Lea. Perempuan itu membeku. Bahkan, tak bergerak sama sekali."Jangan salah sangka. Saya tukang service panggilan," elak seorang lelaki yang baru saja Firyan tarik keluar dari lemari."Iya, Bang. Aku panggil dia buat benerin lemari. Aku kerepotan dan udah capek. Abang pun lama pulang. Ya, jadi aku panggil dia," Lea menjawab tatapan tajam Firyan yang diarahkan kepadanya. Firyan tak mengucap sepatah kata pun. Semua orang tampak merasa takut ketika Firyan mulai mengangkat tangannya."Duduk di depan. Istirahat, gue bikinin minum. Gue juga lagi haus." Firyan mendaratkan tangannya ke pundak lelaki yang berpenampilan kasual itu. Lea segera membuang napas. Siratan wajahnya tidak dapat diterka.Firyan membawa langkahnya menuju dapur. Gemericik air putih yang dia tuang meriuhkan isi kepalanya yang ingin meledak, lalu serta merta membawanya bersama ke ruang tamu. Lelaki itu menatap istrinya penuh makna, kemudian duduk di a
"Mora ...." Sebuah nama terurai lirih dari bibir yang begitu kering. Tidak ada satu manusia pun yang menyahut kecuali kicauan burung dan air yang tergulung angin.Firyan mendudukkan tubuhnya yang berlumur pasir dengan penuh kepayahan. Matanya yang masih berkabut berkelana ke sepanjang pesisir. Butiran halus pasir yang bertabur acak di wajahnya tersapu oleh lelehan air mata. Dalam sekejap wajah pucatnya menjadi merah. Sesuatu yang hanya berjarak tiga langkah darinya itulah yang menjadi penyebab.Firyan menggerakkan tubuh, tangannya yang masih terluka terulur ke sosok yang terkulai di depannya. Dengan gemetar, Firyan membawanya ke dalam pelukan. Air matanya berjatuhan. Jiwanya yang dirundung luka mulai bergejolak. Firyan berteriak hebat dan memukuli dirinya sendiri."Mora!""Bangun, woy! Bangun, Sayang! Mereka udah enggak kejar kita orang."Seberapa keras Firyan berbicara, tak sekalipun Mora merespon. Sebuah kondisi yang membuat dia segera menyadari bahwa bayi mungil yang sudah dingin i