"Lea, becanda elu orang enggak lucu, Berengsek!" umpat Firyan.
"Bang! Tolong, Bang!" Seseorang di balik pintu kembali memohon bantuan diiringi ketukan yang makin nyaring. Firyan terhimpit dan tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, dia melangkah perlahan dengan kaki yang terlihat bergetar. Deritan pintu mulai terdengar. Sialnya tidak ada siapa pun. Suara bising yang mengganggunya lenyap seketika. "Eue, kambing bener tu istri sialan!" Firyan mengubah ekspresinya. Bagaimana bisa Lea mengerjainya di saat-saat dia membutuhkan istirahat dan dukungan mental? Sepasang kakinya yang jenjang terrayun gusar ke arah kamar. Kali ini, dia tidak akan menahan diri jika sampai menemukan Lea di sana. Hanya butuh beberapa detik, pintu tersebut terpental dalam satu kali tendangan. Namun, lagi-lagi kamar itu kosong. "Ke mana itu orang? Pusing gue, weh! Argh!" Ketika Firyan mendesah berulang kali, dia merasakan sentuhan seseorang di bahunya yang lebar. Sentuhan yang begitu lembut, tetapi dinginnya menusuk sampai ke tulang. Lelaki tinggi itu memutar bola matanya seraya mengembuskan napas kasar. Setelah itu, dia membalik punggung. Wajah Firyan berubah keruh. Kemarahannya menguap entah ke mana. Di depan matanya, Lea berdiri dengan wajah penuh kesakitan. Bagian bawah tubuhnya bersimbah darah. Perempuan itu sedikit membungkuk sambil memegangi perutnya yang besar. Sekali lagi merintih meminta belas kasih. "Lea!" Tanpa berpikir panjang, Firyan menggendong istrinya keluar. Dia tidak berniat meminta bantuan para tetangganya. Desa adalah tujuannya. Namun, karena panik, jalan yang diambil sama sekali tidak benar. Dia malah masuk ke hutan lebih dalam melalui medan yang melelahkan serta suasana yang membuat trauma kembali menyerangnya. Tepat, di sisi air terjun, Firyan tersungkur karena ketakutan. Laki-laki itu tidak hanya dicekoki rasa trauma. Namun, lebih dari itu, sesosok bayangan putih terus mengintainya. Seringai sosok berwajah rusak tersebut tak lepas dari perut buncit Lea. Perempuan malang itu tergeletak tak berdaya di tanah. Rintihannya makin intens. "Bang, sakit ...." Lirihan Lea nyaris tidak dapat didengar. "Lea ... Lea .... Ada setan!" ujar Firyan dengan suara menggigil. Lea menggulir bola matanya. Dari arah samping, dia melihat sosok kuntilanak terbang mendekati mereka. Awalnya tanpa suara, tetapi makin dekat, kuntilanak itu memamerkan suara yang mengerikan. Lea yang terkesiap membaca ayat kursi dengan terbata-bata. Bersama dengan itu, rasa sakit yang menderanya tidak bisa ditahan lagi. Kontraksi yang sesungguhnya telah tiba. Lea mengejan sambil meneruskan bacaan semampunya. Puncaknya, jeritnya lepas bersama tangisan bayi. Beberapa detik setelahnya, Lea kehilangan kesadaran. Firyan membuka mata dan memutuskan untuk melawan rasa takutnya. Dia panik melihat keadaan Lea, tetapi hatinya segera menghangat saat melihat bayinya yang cantik. Firyan mengambil batu tajam yang berada di sekitarnya, lalu menggunakannya untuk memotong tali pusat. "Lea, bangun!" seru Firyan. Seberapa keras dia berusaha, istrinya tetap menutup mata. "Argh ... sialan!" Lelaki berdarah Jawa-Lampung tersebut menghempas tangannya ke udara. Kini, dia harus memikirkan cara untuk kembali ke rumah. Dia tidak mampu menggendong keduanya tanpa alat bantu. Namun demikian, bertahan di tempat seperti itu juga tidak memungkinkan. Lea membutuhkan pertolongan dengan cepat. Firyan terlihat sangat frustrasi dengan situasi seperti itu. Bayinya yang terus menangis memaksanya untuk mengambil tindakan dengan cepat. Akhirnya, dia bangun bersama bayinya dengan sebuah keputusan. "Lea, elu orang tunggu di sini! Gue mesti minta pertolongan," gumam Firyan dengan ekspresi yang sedih. Bagaimana pun juga, dia menyayangi Lea. Firyan mulai menyeret langkahnya dengan berat. Namun, belum mencapai lima langkah, pemandangan di depannya membuatnya tubuhnya seketika membeku. Sosok yang dia sebut sebagai setan sudah menunggunya. Mata Firyan terbelalak ketika setan berambut panjang itu melayang sambil tertawa. Rasa takut yang dahsyat membuat mulutnya terkunci. Beberapa saat aksi mencengangkan itu terjadi, lelembut menghilang. Firyan dapat mengatur kembali detak jantungnya yang tidak karuan. Beberapa saat ketika dia merasa suasana sudah aman, dari belakang punggungnya, makhluk itu mengulurkan tangannya yang penuh nanah ke bayi yang berada dalam dekapan Firyan. Karena terkejut, Firyan pun akhirnya pingsan. *** "Di mana ini?" Firyan yang mulai sadar, mengusap mata agar lebih terang penglihatannya. Dia bergegas bangun dan menyadari bahwa kini dia tidak lagi berada di hutan melainkan di dalam rumah. Seketika itu dia langsung teringat dengan istri dan anaknya. Firyan pergi ke kamar karena mendengar suara tangis bayi yang keras. Di sana dia melihat bayinya tengah digendong oleh seorang gadis yang tidak dia kenal sedangkan Lea masih terbaring lemah di kasur dengan mata yang masih menutup. Gadis itu memakai kebaya pendek. Rambutnya yang disanggul mempertegas lehernya yang jenjang. "Hei! Sapa lu orang?" Firyan berteriak sambil berjalan ke arah gadis itu. Gadis cantik tanpa riasan wajah tersebut menengok dan memperlihatkan senyuman yang sangat manis. Ia memberi kode agar Firyan tidak berteriak. Selanjutnya, ia bernyanyi langgam Jawa. Firyan tidak bisa apa-apa. Suara gadis itu teramat merdu sehingga bukan hanya bayinya saja yang menjadi tenang, tetapi juga jiwa Firyan yang tengah tidak stabil. Setelah tertidur, Firyan melihat gadis itu meletakkan jabang bayi di samping Lea, lalu berjalan menghampirinya. "Namaku Anggara Kasih," ujar sang gadis sambil mengulurkan tangannya yang lembut. Kecantikan Anggara Kasih berhasil membuat Firyan tercengang. "Halo! Ada yang salah, ya?" Gadis itu bertanya. Kali ini Firyan segera sadar dan langsung menjabat tangan Anggara Kasih yang masih tergantung di udara. "Gue Firyan!" "Aku tahu, kok!" sahut Anggara. "Elu orang tahu gue? Kok bisa? Elu sapa, sih ... Saudara Lea, ya?" Firyan mengerutkan dahi. Gadis yang terlihat masih sangat muda itu menggeleng. Dia memajukan wajahnya satu inci lebih dekat dengan Firyan. "Suatu saat nanti kamu akan tahu. Yang jelas, kamu bisa panggil aku kapan pun kamu mau," terang Anggara membuat Firyan makin bingung. "Oh, iya ... Tadi aku ngeliat kamu sama Lea pingsan dan bayimu hampir dibawa ... Em aku enggak tahu itu manusia apa bukan karena dia langsung kabur pas ngeliat aku. Lain kali, hati-hati kalo jalan di tempat yang seperti itu," Anggara melanjutkan. "Makasih, lah, dah mau nolong kami orang." "Sama-sama! Oh, ya ... Aku pamit, ya! Udah malam, enggak bisa lama-lama." Tanpa menunggu jawaban dari Firyan, gadis molek berkulit putih itu melenggang. Firyan kembali larut dalam tanda tanya. Siapa sebenarnya gadis bernama Anggara Kasih itu? Pasalnya, dia sama sekali belum pernah melihatnya. Akan tetapi, gadis itu seolah-olah sudah lama mengenalnya. "Et, dah! Kenapa dia bisa tahu si Lea juga? Tahu juga kalo tempat ini tempat tinggal kami. Siapa dia orang tu?""Bang!" Suara Lea memecah lamunan Firyan. Lelaki itu segera menghampiri istrinya."Lea, lu orang udah sadar? Bentar!" Firyan membantu Lea untuk duduk dan memberinya minum."Bayi kita, Bang!" Lea tersenyum simpul melihat bayinya yang cantik tidur dengan pulas."Cewek, lah, dia. Comel macam gue!" puji Firyan merasa bangga."Eh, lu orang kenal Anggara Kasih?""Anggara Kasih?" Lea mengerutkan dahi, lalu menggeleng.Mengetahui hal tersebut, Firyan makin penasaran dengan sosok gadis bermata lentik yang menolong mereka semalam. Namun, dia tidak bisa menyelidikinya karena tidak memiliki informasi apa pun selain nama. Firyan bangkit tanpa sepatah kata, lalu keluar dari kamar menuju ruang depan untuk beristirahat.Keesokan pagi, Firyan dikejutkan oleh tangis bayi. Karena masih sangat mengantuk, dia menyumpal kedua telinganya dengan bantal. Berguling ke kanan dan ke kiri, berharap bisa melanjutkan istirahat. Akan tetapi, bayinya tidak mau berhenti menusuk-nusuk gendang telinganya.Firyan mencebi
Selama empat puluh hari, terhitung dari hari pertama Lea sembuh, Firyan tidak lagi bertemu dengan Anggara Kasih. Hubungan dengan tetangga pun mulai membaik. Mereka menamai bayi mereka "Mora Erlando", tanpa mengadakan acara syukuran.Selama sebulan lebih, mereka meninggalkan rumah mereka di pulau Sebesi. Belum ada informasi apa pun terkait keadaan di sana. Mereka mengandalkan bantuan pemerintah untuk makan sehari-hari.Di malam yang mulai larut, Firyan duduk di tangga luar. Kali ini tidak ada kenikmatan yang menemani kegundahannya. Sendiri menyesap sepi dengan rasa yang entah. Pikirannya melayang ke tempat yang tidak bisa dijangkau."Mumet amat idup gue, weh!" keluhnya. Dia berteriak kecil dan masuk ke kamar."Lea! Stt ... Lea!" Firyan mengguncang pelan bahu Lea. Tahu jika istrinya belum tidur."Apa, sih, Bang?" Lea menjawab enggan."Lu nifas cuma 25 hari, bagilah hak gue! Pala gue pusing, nih!" Firyan mengutarakan keinginannya untuk yang kesekian kali."Besok ajalah, Bang! Ngantuk aku
"Apa, sih, Bang?" Lea menoleh ke belakang, kemudian dia mencebik."Ini cuma boneka, Bang!" Lea mengambil boneka kayu yang tergantung di dinding dekat pintu kamar mereka. Ekspresi Firyan kemudian menjadi lebih tenang.Sementara Lea pergi ke dapur untuk mengambil minuman, Firyan berkeliling rumah. Tidak ada yang berubah. Bahkan, tidak terbuang barang-barang yang masih selamat. Termasuk boneka kayu yang menakutinya. Pemerintah membangunkan rumahnya seperti semula, yakni rumah biasa yang terdiri dari empat ruangan yang berukuran sedang.Firyan berusaha keras melawan segala sesuatu yang menyerang pikirannya. Tak berapa lama, Lea datang dengan segelas air. Lelaki itu segera mengambil dan meminumnya hingga tandas, lalu segera beristirahat di ruang tengah. Lea yang merasa bersalah tidak berani menegurnya untuk tidur di kamar bersama-sama.Tengah malam, atmosfer mulai berubah. Lea dan Mora sudah terlelap. Suasana yang hening membuat Firyan yang tidak benar-benar tertidur menggelinjang gelisah.
Mora mengalami kejang-kejang. Firyan mengambil Mora dari Lea dan dengan cepat dia lari ke klinik terdekat. Dokter di sana pun bertindak sangat cepat. Firyan terduduk di bangku tunggu. Napasnya yang terengah-engah segera dia kendalikan. Saat mereda, barulah dia menyadari bahwa Lea tidak ada bersamanya.Firyan terlalu panik sehingga keberadaan istrinya tidak begitu dipedulikan. Beberapa lama kemudian, Lea datang diantar tetangga menggunakan sepeda motor. Wajah perempuan itu sama paniknya. Matanya memerah dan sedikit basah serta bengkak. Mungkin di sepanjang jalan tangisnya tidak berhenti."Bang, Mora gimana?" tanya Lea. Tepat setelah itu, dokter keluar dari ruangan."Dok, anak kami gimana?" tanya Firyan tidak sabaran."Alhamdulillah sudah enggak apa-apa, tapi anak Bapak harus dirawat. Paru-parunya belum berkembang sempurna. Apa anak Bapak lahir prematur?" tanya dokter laki-laki tersebut."Iya, Dok. Tolong, sembuhin anak kami. Enggak papa kalau memang harus dirawat," Lea menjawab cepat.
Firyan menggosok matanya, lalu mendekap seseorang yang mengganggu tidurnya. Membiarkan dirinya dikuasai dalam keremangan. Laki-laki bergelar "bapak" itu tampak sangat menikmati alur pada setiap detik yang berlangsung di pejaman mata."Makasih, elu selalu kasih gue kebahagiaan ini. Elu terbaik, Kasih!" Firyan berbisik di telinga lawan mainnya. Lagi-lagi Kasih datang membawa surganya pada Firyan."Aku cuma bisa kasih itu ke kamu. Maaf, kalo aku enggak bisa membantu masalah ekonomimu." Gadis itu menimpali."Enggak. Harusnya gue yang minta maaf. Elu amanah dari kakek, tapi gua enggak bisa jaga elu.""Aku boleh minta sesuatu enggak?" tanya Kasih."Apa?""Besok, kan hari selasa. Bawain aku mawar sama melati, aku pengen mandi kembang, tapi kamu yang mandiin, ya," ungkap Kasih."Ya, mau banget, tapi di mana? Tau sendiri, kan?" Firyan mengungkapkan kebimbangannya."Tenang, enggak di sini, kok. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," ujar Kasih. Firyan mengangguk setuju.Pagi hari, seperti biasa,
"Bang, jangan keluar apa pun yang terjadi! Kalo enggak, kita bisa habis!" Kasih mengunci pandangan Firyan. Lelaki itu mengangguk patuh dan bersembunyi di tempat yang diarahkan oleh Kasih."Maaf, Nyai. Saya melihat Nyai membawa laki-laki asing ke sini. Nyai tahu konsekuensinya?" Seorang laki-laki penjaga desa bertanya langsung ke intinya. Akhir kalimatnya berhasil membuat Firyan dilanda gelisah."Ngawur! Sampean itu berhalusinasi. Kalo tidak percaya, periksa saja," sahut Kasih. Kali ini, Firyan benar-benar takut. Berbagai macam kalimat kekhawatiran bergulung di otaknya.Di dalam ruangan kecil yang tersembunyi tersebut, Firyan tidak bisa melihat atau memantau apa yang sedang berlangsung. Dia hanya bisa merasakan setiap gerakan demi gerakan yang terjadi. Laki-laki itu berusaha keras agar keberadaannya tidak diketahui.Sejenak setelah berbagai suara mengiang di telinga. Keheningan tercipta selama beberapa saat. Firyan tidak lagi mendengar apa pun selain deritan pintu dan langkah kaki yang
Lama larut dalam tanda tanya, Firyan akhirnya memutuskan untuk keluar mencari makanan untuk istrinya. Persetan dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Itu urusan belakangan. Yang terpenting saat ini adalah urusan perut anak dan istrinya. "Gue mau keluar, cari makan buat elu!" Pamit Firyan pada Lea yang tengah menyusui Mora di dalam kamar. Wanita itu tak henti-hentinya meneteskan air mata. "Carilah, Bang! Biar kamu tahu apa yang kurasain selama tiga hari itu," jawab Lea dengan nada yang lemah tanpa ingin menoleh ke suaminya. Firyan menghalau rasa kesalnya. Dia berjalan pincang ke luar rumah, mencari pinjaman ke sana ke mari, tetapi tidak mendapatkan hasil. Pekerjaan pun tidak ada. Sejauh usahanya, dia hanya mampu menggerutu pada angin laut. Semua orang di sana memandang dirinya sebelah mata. Tak satu pun yang mau mengulurkan tangan meski itu atas nama istri dan anaknya. Firyan menjerit putus asa. Benar apa yang dikatakan Lea. Tidak semudah itu mencari makanan di luar. Namun,
Puas menjerit, Firyan langsung berlari ke kamar. Menghampiri Mora untuk meredakan perasaannya. Bayi itu masih tertidur. Laki-laki itu meringkuk di samping putrinya. Entah harus memulai dari mana mengatur napasnya yang masih tersengal, dia mesti dikejutkan oleh ketukan pintu secara berulang-ulang.Firyan menutup telinganya rapat-rapat. Akan tetapi, suara gedoran itu terus saja mengusiknya. Makin dibiarkan makin nyaring. Lelaki tersebut mendekap Mora supaya tidak terbangun."Bang, buka! Cepetan!" Kali ini suara gedoran diiringi dengan suara wanita yang sangat familiar. Firyan ragu-ragu membuka pintu."Ngapain aja, sih, Bang? Buka pintu, kok, lama bener. Pegel aku, Bang. Capek!" Firyan diberondong dengan omelan. Kepulangan Lea secara tidak sengaja telah membunuh rasa takut dan tremor Firyan. Perempuan itu melesat masuk secepat kilat, meninggalkan suaminya yang tercengang."Shit! Sejak kapan Lea bisa ngomel-ngomel gitu?" gumam Firyan seraya menutup pintu dengan perasaan merinding.Firyan