"Alhamdulillah, prasangkaku enggak bener. Maafin aku, Bang karena sudah berpikir yang enggak-enggak," sesal Lea. Walau tidak dipungkiri masih ada kecemasan yang terpahat di raut wajahnya mengingat Firyan positif mengonsumsi alkohol.
Setelah melewati lima hari masa pemulihan dan dua hari rehabilitasi, Firyan dinyatakan sembuh. Bersama Lea dia keluar dari rumah sakit. Awalnya, Firyan berpikir penderitaannya akan berakhir. Selama beberapa hari melewati masa penuh tekanan, dia merindukan suasana rumah. Namun, angan-angannya harus pudar ketika Lea membawanya ke arah pantai, bukan ke arah yang seharusnya menjadi jalan mereka pulang. Ekspresi Firyan mulai keruh ketika Lea menuntunnya naik ke kapal nelayan. Seperti ingin protes, tetapi sedang tidak ingin berdebat. "Eh, Lea! Kita orang mau ke mana?" tanya Firyan sambil membentangkan penglihatannya ke ombak-ombak kecil yang dipantuli sinar matahari. "Ke dermaga Canti, Bang!" jawab Lea, membuat Firyan seketika menyatukan alis. "Ngapain? Memangnya mau ke mana?" tanya Firyan dengan nada bicara agak keras, seperti kesal, tetapi ditahan. "Ke Way Kalam," sahut perempuan berbibir tipis itu seraya mengelus perutnya. "Way Kalam? Elu orang itu gimana, sih? Gue itu baru sembuh, bukannya pulang malah ngajak main! Heh, Berengsek!" umpat Firyan pada akhirnya. "Maaf, Bang! Kita udah enggak bisa lagi tinggal di sini. Untuk sementara kita tinggal di Way Kalam, Bang," terang Lea. Suaranya nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk pantai. "Ckk! Elu orang kalo ngomong jangan berbelit-belit! Emang rumah kita kenapa? Heh!" "Memang Abang enggak liat keadaan sekitar?" Lea menatap heran ke arah suaminya. Jelas-jelas suasana sangat tidak biasa. "Enggak jelas banget, sih! Ditanya malah ngajak main teka-teki." Firyan mencebik kesal. Lea menatap lelaki di depannya dalam-dalam. Seperti menyadari bahwa suaminya benar-benar kosong. Sama sekali tidak melihat bekas kekacauan yang tersisa. Beberapa hari yang lalu, ketika anak gunung Krakatau erupsi, angin puting beliung datang menyapu Pulau Sebesi secara tiba-tiba tanpa terdeteksi. Dua bencana yang datang bergandengan itu tak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga menghancurkan beberapa rumah warga, tak terkecuali rumah pasangan muda tersebut sehingga semua warga yang selamat diungsikan ke berbagai tempat yang terpisah. Hal itu dilakukan untuk menghindari bencana susulan. "Ayok, naik!" Suara tim sar membuat fokus keduanya teralihkan. Firyan hanya menurut ketika Lea menggandengnya untuk menaiki kapal. Tidak ada banyak kapal di sana. Hanya ada dua buah yang dapat menampung beberapa orang. Mata Firyan berkelana di sepanjang bentangan laut biru yang bercahaya. Kurang lebih tiga jam melalui perjalanan laut dan darat, mereka sampai ke tempat yang dituju. Total sepuluh kk diberikan rumah tinggal di sekitar lereng gunung Rajabasa atau sejauh 1,5 km dari desa Way Kalam. Masing-masing rumah panggung itu sudah tersedia banyak sembako dan pakaian bersih. Firyan yang semula kesal, setelah melihat suasana yang sangat asri menjadi lebih rileks. Dia langsung merebahkan tubuhnya di kasur lantai sedangkan Lea menyiapkan makan malam. Tak perlu menunggu satu jam, Lea keluar membawa sebakul nasi. Perempuan berwajah tirus itu meletakkannya di atas tikar yang terbentang di ruang keluarga bersama dengan ikan asin dan coelan. "Wiih, dah mateng aja, nih!" Firyan yang mencium aroma wangi masakan Lea lekas bangun dan mengambil posisi duduk berhadapan dengan Lea. "Ayok, Bang, makan yang banyak!" Lea mengisi piring Firyan dengan nasi dan lauk. Awalnya, lelaki itu sangat semangat. Namun, ekspresinya berubah seketika. Nasi yang akan dia makan dengan tangan kosong tiba-tiba bergerak dan berubah bentuk. Firyan sontak melemparnya. "Yah, Bang, kok dibuang?" tanya Lea keheranan. "Elu g*bl*k! Masa gue disuruh makan begituan!" bentak Firyan. "Lha, ini kan makanan kesukaan kamu, Bang! Malah enggak mau. Ya, udah, biar aku yang makan aja. Terserah Abang mau makan apa!" Lea berkata dengan sedikit kesal. Firyan bergidik ngerimelihat Lea memakan sepiring ulat bulu hitam. Dia berlari ke luar dan memuntahkan isi perutnya. Tidak habis pikir dengan kelakuan Lea. Bisa-bisanya perempuan yang tengah hamil tujuh bulan itu memakan ulat hidup dengan sangat rakus. Apa itu bagian dari ngidam? Belum usai kesesakan yang melanda Firyan, terdengar suara Lea yang menjerit dari dalam. Lelaki jangkung itu berjalan dengan enggan ke dalam. "Lea!" Firyan terbelalak melihat istrinya tidak sadarkan diri dengan genangan darah yang keluar dari celah kakinya. Dia berlari keluar mencari pertolongan. Namun, setelah mengetuk satu per satu pintu rumah tetangga yang hanya berjumlah sembilan orang, yang dia dapatkan hanya kekesalan. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyahut. Mungkin kelelahan setelah melakukan perjalanan yang melelahkan. Petugas medis di sana pun belum datang. Firyan mendesah kesal karena tidak tahu harus melakukan apa. Dia terpaksa kembali dengan lemas dan berjalan menunduk di bawah naungan pohon-pohon besar. Sesekali menoleh ke belakang, memastikan bahwa tidak ada seseorang yang menguntitnya. Setelah sampai di kebun kopi, dia mempercepat laju kakinya. Jarak beberapa meter, rumah panggung yang ditinggalinya sudah terlihat. Namun, anehnya, pintunya dalam keadaan terbuka. "Perasaan tadi gue tutup itu pintu," gumamnya. Merasa ada yang aneh, pikiran Firyan menjadi tidak karuan. Dia berlari untuk memastikan istrinya baik-baik saja. Sesampainya di ambang pintu, dia terdiam dengan lekukan wajah penuh kejut. Lea yang ditinggalkan dengan keadaan tak berdaya, sudah tidak ada. Lantai kayu di ruangan itu pun bersih dari noda darah. "Lea! Lea!" seru Firyan. Suasana begitu hening, tetapi gemuruh yang bergulung di dada Firyan seolah tak berjeda. Calon ayah tersebut mengayuh kaki dengan panik. Di saat yang sama, terdengar suara langkah kaki orang lain di ruang dapur. Dia segera menyusul, tetapi sesampainya di sana, dia hanya menemukan sepanci air yang menyusut di atas kompor yang masih menyala. "Lea!" panggilnya, tetapi tidak ada sahutan. Firyan membalik punggung, hendak melangkah keluar setelah mematikan kompor. Akan tetapi, bunyi nyaring mengalihkannya. Dia melihat ke samping meja kompor, sebuah piring jatuh tanpa sebab. Bergegas memungut dengan gelisah, telinganya kembali dibisingkan oleh ketukan langkah seseorang. Firyan bangkit setelah menoleh ke arah pintu. Hawa dingin menyapu kulit tatkala pintu itu bergerak tertiup angin. Saat ini, pikiran lelaki itu dipenuhi kabut. Dari mana angin itu berasal? Dia mengingat rumah panggung tersebut tidak memiliki celah untuk angin berlalu lalang kecuali satu pintu luar dan jendela yang saat ini tertutup. "Lea? Kagak usah becandain gue, bego!" ucapnya dengan nada kesal. Setelah itu, pintu tertutup kencang sampai membuat Firyan melompat karena terkejut. Dia melebarkan mulut, hendak mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Namun, hal itu harus terhenti ketika tiba-tiba lantai rumah bergetar karena hentakan kaki seseorang. "Tolong ... Tolong!" Firyan mendengar teriakan seseorang yang dibarengi oleh isak tangis. Otaknya membeku seketika. Belum sempat berpikir apa pun, daun pintu di ruangan itu diketuk dengan kasar dan berulang-ulang oleh seseorang yang Firyan tidak ketahui sama sekali."Lea, becanda elu orang enggak lucu, Berengsek!" umpat Firyan."Bang! Tolong, Bang!" Seseorang di balik pintu kembali memohon bantuan diiringi ketukan yang makin nyaring.Firyan terhimpit dan tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, dia melangkah perlahan dengan kaki yang terlihat bergetar. Deritan pintu mulai terdengar. Sialnya tidak ada siapa pun. Suara bising yang mengganggunya lenyap seketika."Eue, kambing bener tu istri sialan!" Firyan mengubah ekspresinya.Bagaimana bisa Lea mengerjainya di saat-saat dia membutuhkan istirahat dan dukungan mental? Sepasang kakinya yang jenjang terrayun gusar ke arah kamar. Kali ini, dia tidak akan menahan diri jika sampai menemukan Lea di sana. Hanya butuh beberapa detik, pintu tersebut terpental dalam satu kali tendangan. Namun, lagi-lagi kamar itu kosong."Ke mana itu orang? Pusing gue, weh! Argh!"Ketika Firyan mendesah berulang kali, dia merasakan sentuhan seseorang di bahunya yang lebar. Sentuhan yang begitu lembut, tetapi dinginnya menusuk
"Bang!" Suara Lea memecah lamunan Firyan. Lelaki itu segera menghampiri istrinya."Lea, lu orang udah sadar? Bentar!" Firyan membantu Lea untuk duduk dan memberinya minum."Bayi kita, Bang!" Lea tersenyum simpul melihat bayinya yang cantik tidur dengan pulas."Cewek, lah, dia. Comel macam gue!" puji Firyan merasa bangga."Eh, lu orang kenal Anggara Kasih?""Anggara Kasih?" Lea mengerutkan dahi, lalu menggeleng.Mengetahui hal tersebut, Firyan makin penasaran dengan sosok gadis bermata lentik yang menolong mereka semalam. Namun, dia tidak bisa menyelidikinya karena tidak memiliki informasi apa pun selain nama. Firyan bangkit tanpa sepatah kata, lalu keluar dari kamar menuju ruang depan untuk beristirahat.Keesokan pagi, Firyan dikejutkan oleh tangis bayi. Karena masih sangat mengantuk, dia menyumpal kedua telinganya dengan bantal. Berguling ke kanan dan ke kiri, berharap bisa melanjutkan istirahat. Akan tetapi, bayinya tidak mau berhenti menusuk-nusuk gendang telinganya.Firyan mencebi
Selama empat puluh hari, terhitung dari hari pertama Lea sembuh, Firyan tidak lagi bertemu dengan Anggara Kasih. Hubungan dengan tetangga pun mulai membaik. Mereka menamai bayi mereka "Mora Erlando", tanpa mengadakan acara syukuran.Selama sebulan lebih, mereka meninggalkan rumah mereka di pulau Sebesi. Belum ada informasi apa pun terkait keadaan di sana. Mereka mengandalkan bantuan pemerintah untuk makan sehari-hari.Di malam yang mulai larut, Firyan duduk di tangga luar. Kali ini tidak ada kenikmatan yang menemani kegundahannya. Sendiri menyesap sepi dengan rasa yang entah. Pikirannya melayang ke tempat yang tidak bisa dijangkau."Mumet amat idup gue, weh!" keluhnya. Dia berteriak kecil dan masuk ke kamar."Lea! Stt ... Lea!" Firyan mengguncang pelan bahu Lea. Tahu jika istrinya belum tidur."Apa, sih, Bang?" Lea menjawab enggan."Lu nifas cuma 25 hari, bagilah hak gue! Pala gue pusing, nih!" Firyan mengutarakan keinginannya untuk yang kesekian kali."Besok ajalah, Bang! Ngantuk aku
"Apa, sih, Bang?" Lea menoleh ke belakang, kemudian dia mencebik."Ini cuma boneka, Bang!" Lea mengambil boneka kayu yang tergantung di dinding dekat pintu kamar mereka. Ekspresi Firyan kemudian menjadi lebih tenang.Sementara Lea pergi ke dapur untuk mengambil minuman, Firyan berkeliling rumah. Tidak ada yang berubah. Bahkan, tidak terbuang barang-barang yang masih selamat. Termasuk boneka kayu yang menakutinya. Pemerintah membangunkan rumahnya seperti semula, yakni rumah biasa yang terdiri dari empat ruangan yang berukuran sedang.Firyan berusaha keras melawan segala sesuatu yang menyerang pikirannya. Tak berapa lama, Lea datang dengan segelas air. Lelaki itu segera mengambil dan meminumnya hingga tandas, lalu segera beristirahat di ruang tengah. Lea yang merasa bersalah tidak berani menegurnya untuk tidur di kamar bersama-sama.Tengah malam, atmosfer mulai berubah. Lea dan Mora sudah terlelap. Suasana yang hening membuat Firyan yang tidak benar-benar tertidur menggelinjang gelisah.
Mora mengalami kejang-kejang. Firyan mengambil Mora dari Lea dan dengan cepat dia lari ke klinik terdekat. Dokter di sana pun bertindak sangat cepat. Firyan terduduk di bangku tunggu. Napasnya yang terengah-engah segera dia kendalikan. Saat mereda, barulah dia menyadari bahwa Lea tidak ada bersamanya.Firyan terlalu panik sehingga keberadaan istrinya tidak begitu dipedulikan. Beberapa lama kemudian, Lea datang diantar tetangga menggunakan sepeda motor. Wajah perempuan itu sama paniknya. Matanya memerah dan sedikit basah serta bengkak. Mungkin di sepanjang jalan tangisnya tidak berhenti."Bang, Mora gimana?" tanya Lea. Tepat setelah itu, dokter keluar dari ruangan."Dok, anak kami gimana?" tanya Firyan tidak sabaran."Alhamdulillah sudah enggak apa-apa, tapi anak Bapak harus dirawat. Paru-parunya belum berkembang sempurna. Apa anak Bapak lahir prematur?" tanya dokter laki-laki tersebut."Iya, Dok. Tolong, sembuhin anak kami. Enggak papa kalau memang harus dirawat," Lea menjawab cepat.
Firyan menggosok matanya, lalu mendekap seseorang yang mengganggu tidurnya. Membiarkan dirinya dikuasai dalam keremangan. Laki-laki bergelar "bapak" itu tampak sangat menikmati alur pada setiap detik yang berlangsung di pejaman mata."Makasih, elu selalu kasih gue kebahagiaan ini. Elu terbaik, Kasih!" Firyan berbisik di telinga lawan mainnya. Lagi-lagi Kasih datang membawa surganya pada Firyan."Aku cuma bisa kasih itu ke kamu. Maaf, kalo aku enggak bisa membantu masalah ekonomimu." Gadis itu menimpali."Enggak. Harusnya gue yang minta maaf. Elu amanah dari kakek, tapi gua enggak bisa jaga elu.""Aku boleh minta sesuatu enggak?" tanya Kasih."Apa?""Besok, kan hari selasa. Bawain aku mawar sama melati, aku pengen mandi kembang, tapi kamu yang mandiin, ya," ungkap Kasih."Ya, mau banget, tapi di mana? Tau sendiri, kan?" Firyan mengungkapkan kebimbangannya."Tenang, enggak di sini, kok. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," ujar Kasih. Firyan mengangguk setuju.Pagi hari, seperti biasa,
"Bang, jangan keluar apa pun yang terjadi! Kalo enggak, kita bisa habis!" Kasih mengunci pandangan Firyan. Lelaki itu mengangguk patuh dan bersembunyi di tempat yang diarahkan oleh Kasih."Maaf, Nyai. Saya melihat Nyai membawa laki-laki asing ke sini. Nyai tahu konsekuensinya?" Seorang laki-laki penjaga desa bertanya langsung ke intinya. Akhir kalimatnya berhasil membuat Firyan dilanda gelisah."Ngawur! Sampean itu berhalusinasi. Kalo tidak percaya, periksa saja," sahut Kasih. Kali ini, Firyan benar-benar takut. Berbagai macam kalimat kekhawatiran bergulung di otaknya.Di dalam ruangan kecil yang tersembunyi tersebut, Firyan tidak bisa melihat atau memantau apa yang sedang berlangsung. Dia hanya bisa merasakan setiap gerakan demi gerakan yang terjadi. Laki-laki itu berusaha keras agar keberadaannya tidak diketahui.Sejenak setelah berbagai suara mengiang di telinga. Keheningan tercipta selama beberapa saat. Firyan tidak lagi mendengar apa pun selain deritan pintu dan langkah kaki yang
Lama larut dalam tanda tanya, Firyan akhirnya memutuskan untuk keluar mencari makanan untuk istrinya. Persetan dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Itu urusan belakangan. Yang terpenting saat ini adalah urusan perut anak dan istrinya. "Gue mau keluar, cari makan buat elu!" Pamit Firyan pada Lea yang tengah menyusui Mora di dalam kamar. Wanita itu tak henti-hentinya meneteskan air mata. "Carilah, Bang! Biar kamu tahu apa yang kurasain selama tiga hari itu," jawab Lea dengan nada yang lemah tanpa ingin menoleh ke suaminya. Firyan menghalau rasa kesalnya. Dia berjalan pincang ke luar rumah, mencari pinjaman ke sana ke mari, tetapi tidak mendapatkan hasil. Pekerjaan pun tidak ada. Sejauh usahanya, dia hanya mampu menggerutu pada angin laut. Semua orang di sana memandang dirinya sebelah mata. Tak satu pun yang mau mengulurkan tangan meski itu atas nama istri dan anaknya. Firyan menjerit putus asa. Benar apa yang dikatakan Lea. Tidak semudah itu mencari makanan di luar. Namun,