"Alhamdulillah, prasangkaku enggak bener. Maafin aku, Bang karena sudah berpikir yang enggak-enggak," sesal Lea. Walau tidak dipungkiri masih ada kecemasan yang terpahat di raut wajahnya mengingat Firyan positif mengonsumsi alkohol.
Setelah melewati lima hari masa pemulihan dan dua hari rehabilitasi, Firyan dinyatakan sembuh. Bersama Lea dia keluar dari rumah sakit. Awalnya, Firyan berpikir penderitaannya akan berakhir. Selama beberapa hari melewati masa penuh tekanan, dia merindukan suasana rumah. Namun, angan-angannya harus pudar ketika Lea membawanya ke arah pantai, bukan ke arah yang seharusnya menjadi jalan mereka pulang. Ekspresi Firyan mulai keruh ketika Lea menuntunnya naik ke kapal nelayan. Seperti ingin protes, tetapi sedang tidak ingin berdebat. "Eh, Lea! Kita orang mau ke mana?" tanya Firyan sambil membentangkan penglihatannya ke ombak-ombak kecil yang dipantuli sinar matahari. "Ke dermaga Canti, Bang!" jawab Lea, membuat Firyan seketika menyatukan alis. "Ngapain? Memangnya mau ke mana?" tanya Firyan dengan nada bicara agak keras, seperti kesal, tetapi ditahan. "Ke Way Kalam," sahut perempuan berbibir tipis itu seraya mengelus perutnya. "Way Kalam? Elu orang itu gimana, sih? Gue itu baru sembuh, bukannya pulang malah ngajak main! Heh, Berengsek!" umpat Firyan pada akhirnya. "Maaf, Bang! Kita udah enggak bisa lagi tinggal di sini. Untuk sementara kita tinggal di Way Kalam, Bang," terang Lea. Suaranya nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk pantai. "Ckk! Elu orang kalo ngomong jangan berbelit-belit! Emang rumah kita kenapa? Heh!" "Memang Abang enggak liat keadaan sekitar?" Lea menatap heran ke arah suaminya. Jelas-jelas suasana sangat tidak biasa. "Enggak jelas banget, sih! Ditanya malah ngajak main teka-teki." Firyan mencebik kesal. Lea menatap lelaki di depannya dalam-dalam. Seperti menyadari bahwa suaminya benar-benar kosong. Sama sekali tidak melihat bekas kekacauan yang tersisa. Beberapa hari yang lalu, ketika anak gunung Krakatau erupsi, angin puting beliung datang menyapu Pulau Sebesi secara tiba-tiba tanpa terdeteksi. Dua bencana yang datang bergandengan itu tak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga menghancurkan beberapa rumah warga, tak terkecuali rumah pasangan muda tersebut sehingga semua warga yang selamat diungsikan ke berbagai tempat yang terpisah. Hal itu dilakukan untuk menghindari bencana susulan. "Ayok, naik!" Suara tim sar membuat fokus keduanya teralihkan. Firyan hanya menurut ketika Lea menggandengnya untuk menaiki kapal. Tidak ada banyak kapal di sana. Hanya ada dua buah yang dapat menampung beberapa orang. Mata Firyan berkelana di sepanjang bentangan laut biru yang bercahaya. Kurang lebih tiga jam melalui perjalanan laut dan darat, mereka sampai ke tempat yang dituju. Total sepuluh kk diberikan rumah tinggal di sekitar lereng gunung Rajabasa atau sejauh 1,5 km dari desa Way Kalam. Masing-masing rumah panggung itu sudah tersedia banyak sembako dan pakaian bersih. Firyan yang semula kesal, setelah melihat suasana yang sangat asri menjadi lebih rileks. Dia langsung merebahkan tubuhnya di kasur lantai sedangkan Lea menyiapkan makan malam. Tak perlu menunggu satu jam, Lea keluar membawa sebakul nasi. Perempuan berwajah tirus itu meletakkannya di atas tikar yang terbentang di ruang keluarga bersama dengan ikan asin dan coelan. "Wiih, dah mateng aja, nih!" Firyan yang mencium aroma wangi masakan Lea lekas bangun dan mengambil posisi duduk berhadapan dengan Lea. "Ayok, Bang, makan yang banyak!" Lea mengisi piring Firyan dengan nasi dan lauk. Awalnya, lelaki itu sangat semangat. Namun, ekspresinya berubah seketika. Nasi yang akan dia makan dengan tangan kosong tiba-tiba bergerak dan berubah bentuk. Firyan sontak melemparnya. "Yah, Bang, kok dibuang?" tanya Lea keheranan. "Elu g*bl*k! Masa gue disuruh makan begituan!" bentak Firyan. "Lha, ini kan makanan kesukaan kamu, Bang! Malah enggak mau. Ya, udah, biar aku yang makan aja. Terserah Abang mau makan apa!" Lea berkata dengan sedikit kesal. Firyan bergidik ngerimelihat Lea memakan sepiring ulat bulu hitam. Dia berlari ke luar dan memuntahkan isi perutnya. Tidak habis pikir dengan kelakuan Lea. Bisa-bisanya perempuan yang tengah hamil tujuh bulan itu memakan ulat hidup dengan sangat rakus. Apa itu bagian dari ngidam? Belum usai kesesakan yang melanda Firyan, terdengar suara Lea yang menjerit dari dalam. Lelaki jangkung itu berjalan dengan enggan ke dalam. "Lea!" Firyan terbelalak melihat istrinya tidak sadarkan diri dengan genangan darah yang keluar dari celah kakinya. Dia berlari keluar mencari pertolongan. Namun, setelah mengetuk satu per satu pintu rumah tetangga yang hanya berjumlah sembilan orang, yang dia dapatkan hanya kekesalan. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyahut. Mungkin kelelahan setelah melakukan perjalanan yang melelahkan. Petugas medis di sana pun belum datang. Firyan mendesah kesal karena tidak tahu harus melakukan apa. Dia terpaksa kembali dengan lemas dan berjalan menunduk di bawah naungan pohon-pohon besar. Sesekali menoleh ke belakang, memastikan bahwa tidak ada seseorang yang menguntitnya. Setelah sampai di kebun kopi, dia mempercepat laju kakinya. Jarak beberapa meter, rumah panggung yang ditinggalinya sudah terlihat. Namun, anehnya, pintunya dalam keadaan terbuka. "Perasaan tadi gue tutup itu pintu," gumamnya. Merasa ada yang aneh, pikiran Firyan menjadi tidak karuan. Dia berlari untuk memastikan istrinya baik-baik saja. Sesampainya di ambang pintu, dia terdiam dengan lekukan wajah penuh kejut. Lea yang ditinggalkan dengan keadaan tak berdaya, sudah tidak ada. Lantai kayu di ruangan itu pun bersih dari noda darah. "Lea! Lea!" seru Firyan. Suasana begitu hening, tetapi gemuruh yang bergulung di dada Firyan seolah tak berjeda. Calon ayah tersebut mengayuh kaki dengan panik. Di saat yang sama, terdengar suara langkah kaki orang lain di ruang dapur. Dia segera menyusul, tetapi sesampainya di sana, dia hanya menemukan sepanci air yang menyusut di atas kompor yang masih menyala. "Lea!" panggilnya, tetapi tidak ada sahutan. Firyan membalik punggung, hendak melangkah keluar setelah mematikan kompor. Akan tetapi, bunyi nyaring mengalihkannya. Dia melihat ke samping meja kompor, sebuah piring jatuh tanpa sebab. Bergegas memungut dengan gelisah, telinganya kembali dibisingkan oleh ketukan langkah seseorang. Firyan bangkit setelah menoleh ke arah pintu. Hawa dingin menyapu kulit tatkala pintu itu bergerak tertiup angin. Saat ini, pikiran lelaki itu dipenuhi kabut. Dari mana angin itu berasal? Dia mengingat rumah panggung tersebut tidak memiliki celah untuk angin berlalu lalang kecuali satu pintu luar dan jendela yang saat ini tertutup. "Lea? Kagak usah becandain gue, bego!" ucapnya dengan nada kesal. Setelah itu, pintu tertutup kencang sampai membuat Firyan melompat karena terkejut. Dia melebarkan mulut, hendak mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Namun, hal itu harus terhenti ketika tiba-tiba lantai rumah bergetar karena hentakan kaki seseorang. "Tolong ... Tolong!" Firyan mendengar teriakan seseorang yang dibarengi oleh isak tangis. Otaknya membeku seketika. Belum sempat berpikir apa pun, daun pintu di ruangan itu diketuk dengan kasar dan berulang-ulang oleh seseorang yang Firyan tidak ketahui sama sekali."Lea, becanda elu orang enggak lucu, Berengsek!" umpat Firyan."Bang! Tolong, Bang!" Seseorang di balik pintu kembali memohon bantuan diiringi ketukan yang makin nyaring.Firyan terhimpit dan tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, dia melangkah perlahan dengan kaki yang terlihat bergetar. Deritan pintu mulai terdengar. Sialnya tidak ada siapa pun. Suara bising yang mengganggunya lenyap seketika."Eue, kambing bener tu istri sialan!" Firyan mengubah ekspresinya.Bagaimana bisa Lea mengerjainya di saat-saat dia membutuhkan istirahat dan dukungan mental? Sepasang kakinya yang jenjang terrayun gusar ke arah kamar. Kali ini, dia tidak akan menahan diri jika sampai menemukan Lea di sana. Hanya butuh beberapa detik, pintu tersebut terpental dalam satu kali tendangan. Namun, lagi-lagi kamar itu kosong."Ke mana itu orang? Pusing gue, weh! Argh!"Ketika Firyan mendesah berulang kali, dia merasakan sentuhan seseorang di bahunya yang lebar. Sentuhan yang begitu lembut, tetapi dinginnya menusuk
"Bang!" Suara Lea memecah lamunan Firyan. Lelaki itu segera menghampiri istrinya."Lea, lu orang udah sadar? Bentar!" Firyan membantu Lea untuk duduk dan memberinya minum."Bayi kita, Bang!" Lea tersenyum simpul melihat bayinya yang cantik tidur dengan pulas."Cewek, lah, dia. Comel macam gue!" puji Firyan merasa bangga."Eh, lu orang kenal Anggara Kasih?""Anggara Kasih?" Lea mengerutkan dahi, lalu menggeleng.Mengetahui hal tersebut, Firyan makin penasaran dengan sosok gadis bermata lentik yang menolong mereka semalam. Namun, dia tidak bisa menyelidikinya karena tidak memiliki informasi apa pun selain nama. Firyan bangkit tanpa sepatah kata, lalu keluar dari kamar menuju ruang depan untuk beristirahat.Keesokan pagi, Firyan dikejutkan oleh tangis bayi. Karena masih sangat mengantuk, dia menyumpal kedua telinganya dengan bantal. Berguling ke kanan dan ke kiri, berharap bisa melanjutkan istirahat. Akan tetapi, bayinya tidak mau berhenti menusuk-nusuk gendang telinganya.Firyan mencebi
Selama empat puluh hari, terhitung dari hari pertama Lea sembuh, Firyan tidak lagi bertemu dengan Anggara Kasih. Hubungan dengan tetangga pun mulai membaik. Mereka menamai bayi mereka "Mora Erlando", tanpa mengadakan acara syukuran.Selama sebulan lebih, mereka meninggalkan rumah mereka di pulau Sebesi. Belum ada informasi apa pun terkait keadaan di sana. Mereka mengandalkan bantuan pemerintah untuk makan sehari-hari.Di malam yang mulai larut, Firyan duduk di tangga luar. Kali ini tidak ada kenikmatan yang menemani kegundahannya. Sendiri menyesap sepi dengan rasa yang entah. Pikirannya melayang ke tempat yang tidak bisa dijangkau."Mumet amat idup gue, weh!" keluhnya. Dia berteriak kecil dan masuk ke kamar."Lea! Stt ... Lea!" Firyan mengguncang pelan bahu Lea. Tahu jika istrinya belum tidur."Apa, sih, Bang?" Lea menjawab enggan."Lu nifas cuma 25 hari, bagilah hak gue! Pala gue pusing, nih!" Firyan mengutarakan keinginannya untuk yang kesekian kali."Besok ajalah, Bang! Ngantuk aku
"Apa, sih, Bang?" Lea menoleh ke belakang, kemudian dia mencebik."Ini cuma boneka, Bang!" Lea mengambil boneka kayu yang tergantung di dinding dekat pintu kamar mereka. Ekspresi Firyan kemudian menjadi lebih tenang.Sementara Lea pergi ke dapur untuk mengambil minuman, Firyan berkeliling rumah. Tidak ada yang berubah. Bahkan, tidak terbuang barang-barang yang masih selamat. Termasuk boneka kayu yang menakutinya. Pemerintah membangunkan rumahnya seperti semula, yakni rumah biasa yang terdiri dari empat ruangan yang berukuran sedang.Firyan berusaha keras melawan segala sesuatu yang menyerang pikirannya. Tak berapa lama, Lea datang dengan segelas air. Lelaki itu segera mengambil dan meminumnya hingga tandas, lalu segera beristirahat di ruang tengah. Lea yang merasa bersalah tidak berani menegurnya untuk tidur di kamar bersama-sama.Tengah malam, atmosfer mulai berubah. Lea dan Mora sudah terlelap. Suasana yang hening membuat Firyan yang tidak benar-benar tertidur menggelinjang gelisah.
Mora mengalami kejang-kejang. Firyan mengambil Mora dari Lea dan dengan cepat dia lari ke klinik terdekat. Dokter di sana pun bertindak sangat cepat. Firyan terduduk di bangku tunggu. Napasnya yang terengah-engah segera dia kendalikan. Saat mereda, barulah dia menyadari bahwa Lea tidak ada bersamanya.Firyan terlalu panik sehingga keberadaan istrinya tidak begitu dipedulikan. Beberapa lama kemudian, Lea datang diantar tetangga menggunakan sepeda motor. Wajah perempuan itu sama paniknya. Matanya memerah dan sedikit basah serta bengkak. Mungkin di sepanjang jalan tangisnya tidak berhenti."Bang, Mora gimana?" tanya Lea. Tepat setelah itu, dokter keluar dari ruangan."Dok, anak kami gimana?" tanya Firyan tidak sabaran."Alhamdulillah sudah enggak apa-apa, tapi anak Bapak harus dirawat. Paru-parunya belum berkembang sempurna. Apa anak Bapak lahir prematur?" tanya dokter laki-laki tersebut."Iya, Dok. Tolong, sembuhin anak kami. Enggak papa kalau memang harus dirawat," Lea menjawab cepat.
Firyan menggosok matanya, lalu mendekap seseorang yang mengganggu tidurnya. Membiarkan dirinya dikuasai dalam keremangan. Laki-laki bergelar "bapak" itu tampak sangat menikmati alur pada setiap detik yang berlangsung di pejaman mata."Makasih, elu selalu kasih gue kebahagiaan ini. Elu terbaik, Kasih!" Firyan berbisik di telinga lawan mainnya. Lagi-lagi Kasih datang membawa surganya pada Firyan."Aku cuma bisa kasih itu ke kamu. Maaf, kalo aku enggak bisa membantu masalah ekonomimu." Gadis itu menimpali."Enggak. Harusnya gue yang minta maaf. Elu amanah dari kakek, tapi gua enggak bisa jaga elu.""Aku boleh minta sesuatu enggak?" tanya Kasih."Apa?""Besok, kan hari selasa. Bawain aku mawar sama melati, aku pengen mandi kembang, tapi kamu yang mandiin, ya," ungkap Kasih."Ya, mau banget, tapi di mana? Tau sendiri, kan?" Firyan mengungkapkan kebimbangannya."Tenang, enggak di sini, kok. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," ujar Kasih. Firyan mengangguk setuju.Pagi hari, seperti biasa,
"Bang, jangan keluar apa pun yang terjadi! Kalo enggak, kita bisa habis!" Kasih mengunci pandangan Firyan. Lelaki itu mengangguk patuh dan bersembunyi di tempat yang diarahkan oleh Kasih."Maaf, Nyai. Saya melihat Nyai membawa laki-laki asing ke sini. Nyai tahu konsekuensinya?" Seorang laki-laki penjaga desa bertanya langsung ke intinya. Akhir kalimatnya berhasil membuat Firyan dilanda gelisah."Ngawur! Sampean itu berhalusinasi. Kalo tidak percaya, periksa saja," sahut Kasih. Kali ini, Firyan benar-benar takut. Berbagai macam kalimat kekhawatiran bergulung di otaknya.Di dalam ruangan kecil yang tersembunyi tersebut, Firyan tidak bisa melihat atau memantau apa yang sedang berlangsung. Dia hanya bisa merasakan setiap gerakan demi gerakan yang terjadi. Laki-laki itu berusaha keras agar keberadaannya tidak diketahui.Sejenak setelah berbagai suara mengiang di telinga. Keheningan tercipta selama beberapa saat. Firyan tidak lagi mendengar apa pun selain deritan pintu dan langkah kaki yang
Lama larut dalam tanda tanya, Firyan akhirnya memutuskan untuk keluar mencari makanan untuk istrinya. Persetan dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Itu urusan belakangan. Yang terpenting saat ini adalah urusan perut anak dan istrinya. "Gue mau keluar, cari makan buat elu!" Pamit Firyan pada Lea yang tengah menyusui Mora di dalam kamar. Wanita itu tak henti-hentinya meneteskan air mata. "Carilah, Bang! Biar kamu tahu apa yang kurasain selama tiga hari itu," jawab Lea dengan nada yang lemah tanpa ingin menoleh ke suaminya. Firyan menghalau rasa kesalnya. Dia berjalan pincang ke luar rumah, mencari pinjaman ke sana ke mari, tetapi tidak mendapatkan hasil. Pekerjaan pun tidak ada. Sejauh usahanya, dia hanya mampu menggerutu pada angin laut. Semua orang di sana memandang dirinya sebelah mata. Tak satu pun yang mau mengulurkan tangan meski itu atas nama istri dan anaknya. Firyan menjerit putus asa. Benar apa yang dikatakan Lea. Tidak semudah itu mencari makanan di luar. Namun,
Setelah Lea sepakat, Firyan pun membawa Lea ke rumah. Sebelumnya, Lea tidak pernah berpikir akan bekerja dengan tokoh publik yang sangat terkenal. Setiap detail interior di rumah itu menyihir Lea dalam pandangan pertama."Ini rumahku. Kamu cuma bekerja buat urus semua keperluanku. Ini kamar kamu," ucap Firyan seraya menekan knop pintu. Lagi-lagi, Lea tersihir melihat kamar yang akan di tempatinya begitu besar dan lengkap dengan apa yang dia butuhkan."Makasih, Pak. Jadi, mulai hari ini, aku bisa kerja?" Lea menunduk."Aku udah panggil dokter. Dia akan rawat lukamu yang berdarah itu. Kamu kerja kalo lukamu udah membaik," jawab Firyan. Lea hanya mengangguk sebelum Firyan pergi berbaring di kamarnya.Di lain waktu, Nadia kembali dengan mata yang sedikit bengkak. Dia berjalan ke kamarnya melintasi kamar yang ditempati oleh Lea. Jantungnya berdebar kencang mendapati seorang dokter berada di kamar yang setahunya itu kosong. Setelah mengintip, dia melihat Lea dengan rasa tidak percaya. Dia p
"Lea ... Lea ... Lea!" Firyan berteriak. Kelopak matanya terangkat seiring dengan denyutan hebat di dada.Erangan kecil keluar dari mulutnya. Seonggok mayat yang berlayar di mata membuatnya sadar tentang apa yang telah terjadi. Dengan segenap tenaga, dia mengangkat tubuhnya yang penuh luka, lalu menelantangkan tubuh Daniel menggunakan kakinya.Kedua mata lelaki itu melotot. Daniel benar-benar sudah menjadi mayat. Firyan segera menyeret kakinya, melewati sekumpulan mayat yang berhamburan di setiap ruang dan enyah dari hunian mewah tersebut.Tujuannya adalah rumah sakit. Akan tetapi, belum jauh dia melangkah, penglihatannya perlahan meredup sampai akhirnya hanya kegelapan yang dia lihat dan tubuh yang begitu lemah. Meski demikian, dia masih sempat mendengar seseorang meneriaki namanya."Melvin!""Nadi ...." Firyan menjawab lemah, tetapi tak mampu membuka kelopak matanya. Hanya isak tangis Nadia yang bisa dia dengar."Melvin, jangan ngomong apa-apa. Kita ke rumah sakit dulu," ucap Nadia
"Melvin! Melvin!" Nadia menggedor pintu kamar Melvin dengan panik, wajahnya pucat pasi.Melvin membuka pintu dengan tatapan marah. Namun, tatapan itu berubah drastis saat Nadia menyodorkan ponselnya. Video call dari nomor tak dikenal menampilkan sosok Lea yang tergeletak di lantai, tubuhnya penuh darah.Nadia berkata dengan bibir gemetar, "Melvin, cepat lihat! Ini ....""Lea?!" Firyan berteriak.Firyan merebut ponsel Nadia dan menatap layar dengan mata membulat. Amarah yang sebelumnya ditujukan pada Nadia seketika sirna, digantikan oleh kepanikan yang luar biasa. Tanpa pikir panjang, dia berlari menuju garasi, meraih kunci motor, dan melaju keluar rumah dengan kecepatan tinggi.Firyan mengendarai motornya dengan ugal-ugalan, menerobos lampu merah dan membelah keramaian lalu lintas. Setiap kendaraan yang menghalangi jalannya menjadi sasaran kemarahannya. Dia tidak peduli pada keselamatan dirinya maupun orang lain, yang ada di benaknya hanyalah menyelamatkan Lea."Lu harus bertahan! Gue
Firyan menatap wajah Lea yang pucat pasi. Tiba-tiba saja dia teringat dengan kisah indah mereka di masa lalu. Hatinya menjadi sangat lemah, tetapi dia segera menyadari dan menepis perasaannya."Andai aja lu orang enggak khianatin gue. Semua udah berakhir, Lea. Gue benci sama lu orang!" gumam Firyan, lantas dia meninggalkan Lea yang masih tidak sadarkan diri di brankar rumah sakit.Karena sebuah panggilan darurat yang menginformasikan bahwa Nadia disekap oleh orang-orangnya Daniel, Firyan berjalan terburu-buru. Kubu Daniel dan kubu Melvin memiliki kekuatan fisik yang seimbang, tetapi kekuasaan Daniel tidak dapat dibandingkan dengan Melvin, walaupun Daniel memiliki kecerdasan dalam meretas. Hanya keberuntungan yang membuat salah satu di antara keduanya menang.Setapak demi setapak, Firyan sampai di gudang terbengkalai di tengah hutan seorang diri. Dibukanya pintu kayu berdebu di depannya menggunakan kaki. Dia melihat sinar mentari menembus celah-celah atap gudang yang bocor, menciptakan
Setelah puas mempermalukan Bagas, Firyan pun menepati ucapannya untuk memberikan paket wedding gratis untuknya. Pihak hotel membuat dekorasi dengan konsep bintang dengan warna gold yang mewah.Hidangan lezat dari berbagai negara tersaji di atas meja, lengkap dengan sampanye bermerek Cristal, anggur tua seperti Burgundy, koktail eksklusif yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan bangsawan, juga minuman non alkohol seperti teh hitam Assam dan teh putih Cina berkualitas tinggi yang tersaji di teko dan cangkir porselen yang indah.Semua orang-orang Bagas melongo dan melupakan rasa sakit hati mereka dalam sekejap mata. Senyuman pun merekah dari bibir Bagas dan calon istrinya. Terlebih ketika melihat souvenir yang disediakan merupakan emas batangan terbaik seberat lima gram.Semua orang terlihat sangat puas. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang diam-diam membungkus camilan dan mengambil souvenir lebih banyak. Tindakan yang cukup membuat pihak hotel terkejut, tetapi Firyan sama sekali tidak m
Firyan memungut dompet yang tidak sengaja jatuh dari handbag Lea ketika Bagas membawanya pergi, lalu bergegas kembali ke rumah."Melvin, kamu seharian ini dari mana? Aku cari kamu ke mana-mana. Nomor kamu juga enggak bisa dihubungi," Nadia memberondongnya begitu sampai di ambang pintu."Kamu enggak papa, kan?" Nadia menyentuh lengan Firyan secara reflek, tetapi Firyan menepisnya dan meneruskan langkah acuh tak acuh."Melvin! Melvin!" teriak Nadia.Firyan berjalan ke kamar, merebahkan tubuhnya di kursi santai. Dari luar teriakan Nadia masih terdengar. Firyan menyumpal telinganya dengan headset. Gadis itu benar-benar menjengkelkan. Sikapnya yang dingin ternyata tak cukup untuk membuat gadis itu lepas darinya."Melvin, baiklah. Aku enggak akan paksa kamu lagi. Aku minta maaf. Aku selalu ada di sini kalo kamu butuh apa-apa. Aku janji enggak bakal ngelibatin orang lain lagi," ujar Nadia. Setelah itu, yang terdengar hanya ketukan sepatu yang makin mengecil.Firyan membuang napas. Matanya te
Setelah tertidur dalam waktu yang cukup lama sejak cairan anestesi masuk ke tubuh Firyan, akhirnya dia bisa mendapatkan kembali kesadarannya. Di bawah perawatan Ramon, Firyan telah pulih."Air ...." Firyan berkata dengan suara yang berat."Baik." Ramon berjalan cepat mengambil segelas minum dan membiarkan Firyan menenggaknya perlahan. Firyan kemudian memegangi lehernya dan meringik kesakitan."Enggak perlu cemas. Itu akan sembuh perlahan-lahan," ucap Ramon."Kasih gue kaca!" Firyan meminta yang segera dilaksanakan oleh Ramon."Gimana sama Melvin?" Firyan menyentuh setiap sudut wajahnya."Enggak bisa bertahan. Mayatnya terserah kamu," jawab Ramon. Firyan terdiam dan sibuk dengan ponselnya."Gue udah transfer dan pesen tiket. Cepet pergi dan jangan pernah muncul lagi," tekan Firyan."Baik. Saya akan segera pergi setelah menghubungi Nadia."Tak lama setelah Ramon beranjak, Nadia datang dengan wajah gembira. Namun, Firyan menatapnya dengan sangat dingin. Bahkan, membuang wajah ketika gadi
"Setelah racun ini masuk ke dalam tubuhmu, semua yang kamu miliki akan menjadi milik saya," gumam Daniel seraya memandang botol kaca kecil berwarna gelap.Sudut bibir Firyan terangkat. Dia mungkin belum berhasil mendapatkan apa yang dia cari, tetapi dia akan menciptakan alur yang tak terduga dalam perencanaan yang Daniel buat. Firyan bergegas kembali ke raganya setelah menyelesaikan apa yang seharusnya dia selesaikan kepada Daniel, kemudian menyempatkan diri untuk tidur sejenak.Hanya waktu yang begitu singkat untuk Firyan mengumpulkan energi, matahari bergegas menyapa sejak pertama kali mata Firyan terbuka. Pria itu bangkit dan bergegas menjadi takdir lain untuk seorang mafia licik berwajah polos seperti Daniel.Firyan menguntit salah seorang kaki tangan Daniel di sebuah kawasan elit di pusat kota. Anak buah Daniel mengenakan pakaian kurir dari sebuah perusahaan makanan terkemuka. Ia bertemu dengan seorang gadis berhijab putih yang sangat cantik. Mereka melakukan transaksi jual beli
"Ini ...." Firyan menyodorkan bunga pesanan Kasih. Gadis itu tersenyum sumringah dan bergegas menyiapkan ritual mandi kembang.Seperti sebelumnya, Firyan lah yang akan menyiram gadis cantik itu. Kali ini, ritual tersebut dilakukan di mansion Firyan tinggal. Gadis itu datang ke hadapan Firyan dengan tubuh yang dibalut kain. Rambut panjang yang tergerai di bahu kecilnya menjadi pesona yang menjerat bola mata Firyan.Kasih menggoda Firyan dengan senyum simpulnya, lalu duduk di samping bak dengan hati-hati dan membiarkan Firyan membasuh kepalanya sampai waktu yang ditentukan. Ketika semuanya berakhir, penampilan Kasih menjadi lebih segar dan cantik. Akan tetapi, Firyan merasakan sesuatu yang membuatnya tampak tidak nyaman."Kamu kenapa?" tanya Kasih yang segera menyadari ekspresi aneh Firyan."Ah, enggak papa. Cuma ngerasa malem ini dingin aja," jawab Firyan."Gitu, ya? Kalo gitu, ayo kita bikin hangat malam ini." Kasih yang belum berganti pakaian memangkas jarak di antara mereka, kemudia