Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju kediaman Anderson. Di perjalanan, Rubby dan Elvano berbicara tentang berbagai hal. Rubby merasa begitu beruntung memiliki suami seperti Elvano yang merupakan seorang CEO yang sukses dan penuh perhatian."Ingat, apapun yang aku katakan, cukup mengangguk," kata Elvano, dengan suara menekan.Rubby mengangguk, "Baik, Paman. Tapi sebenarnya, apa yang ingin Paman berikan kepada mereka? Ayolah, aku sungguh penasaran. Kalau Paman tidak beritahu, aku gantung diri di pohon toge!""Sengaja biar kamunya penasaran." "Ih ... Paman selalu begitu, ih!" Rubby cemberut, dia memalingkan wajahnya ke arah kaca mobil yang melaju. Elvano tersenyum melihat reaksi Rubby. Hingga mobil itu tiba di kediaman Anderson, mereka segera membuka pintu mobil, berjalan dengan langkah ringan menuju pintu depan. Rubby mencoba untuk tidak terlihat gugup, tetapi rasa penasaran dan kecemasan membuat jantungnya berdebar kencang saat mereka berjalan mendekati pintu rumah.Mereka berdu
"Paman aku sudah siap, ayo kita ke kampung Vina!" seru Rubby dengan perlengkapan yang membuat Elvano tercengang. Elvano menatap Istrinya itu, yang sedang menyeret sebuah koper besar membuat Elvano menggelengkan kepalanya. "Untuk apa dengan koper ini, Cinta? Apakah kamu ingin pindah rumah?" Rubby menggeleng. "Tidak, Paman, tapi ini adalah bekal selama perjalanan. Ada ikan kaleng, obat serangga, mie instan, dll, Paman!" jawabnya begitu polos. Satu alis Elvano bergerak-gerak, melihat kelakuan Istrinya itu. Tidak habis pikir bagaimana jalan pikiran Monster kecilnya. "Cinta, kalau kamu mau, kita bisa membeli bekal di reset area dan kita bisa menginap di hotel kalau kau kelelahan. Kenapa harus merepotkan diri?" ujar Elvano. Mata Rubby melotot ke arah Elvano. "Paman, aku juga membawa tenda. Karena Paman tahu, selama menuju ke kampung Vina, tidak ada hotel! Karena semuanya hutan. Aku mempersiapkan semua ini karena aku pernah berkunjung ke kampungnya, Paman!" jawab Rubby dengan semangat.
"Aw ...!" Elvano meringis saat mendapatkan tendangan dari Rubby saat Istrinya itu sedang tertidur pulas dalam perjalanan menuju ke kampung Vina. "Yang jadi pemandu jalan sekarang siapa? Kalau Monster kecil ini tidur?" tanya Elvano kepada Mark. "Apakah Tuan juga tidak tahu?" "Aku tahu hanya jalur utamanya. Kalau ke perkampungan, sepertinya harus si kebo ini!" "GPS, Tuan, kita pakai saja. Mungkin bisa berguna." "Kadang sesat!" "Tapi lebih baik mencoba daripada tersesat tanpa arah, bukan?" sahut Mark sambil tersenyum simpul.Elvano terdiam sejenak. Dia kemudian berkata, "Baiklah, kita coba pakai GPS."Mereka lantas mengemudikan mobil mereka mengikuti petunjuk arah dari GPS. Setelah beberapa waktu, mereka berada di jalur hutan dan tidak ada satupun kenderaan yang lewat di jalan yang mereka lalui.Tiba-tiba, GPS mulai memberikan instruksi yang semakin tidak masuk akal. "Belok ke kanan, ke kiri, lalu ke kanan lagi," kata GPS dengan suara yang merdu namun menyeramkan. Elvano merasa ada
"Maaf, Bu, kalau boleh tahu, Siapa yang mencariku?" tanya Vina kepada sipir wanita yang sedang memanggilnya. "Ada seorang pria," jawab sipir itu. Mendengar kata "pria", Vina begitu yakin jika yang mengunjunginya kali ini adalah Sergio. Sontak wajahnya terlihat cemas dan disaat berjalan, Vina tidak henti-hentinya menggigit bibir bawahnya gelisah. "Itu pria yang ingin membebaskanmu," ucap sipir wanita itu. Dugaan Vina benar, ternyata memang Sergio yang datang menemuinya. Wajah Vina seketika berubah tanpa ekspresi. Saat melihat pria itu berjalan ke arah Vina yang masih berdiri. "Bagaimana kabarmu?" tanya Sergio. "Kelihatannya bagaimana?" jawab Vina dengan ketus. "Bersikaplah manis, Vina. Karena sekarang, aku sudah mencabut tuduhan ku terhadapmu!" Vina tertunduk, sungguh pria yang sulit ditebak. Padahal dia yang memasukan dirinya ke sel tahanan. Begitu melihat wajah pria kini sudah berdiri di hadapannya, Vina ingin sekali menampar pipi pria itu. Namun sayangnya, Vina tidak mempuny
"Vina, kuharap kali ini, kau lebih nyaman tinggal tinggal di sini. Tolong jangan bertingkah aneh atau ingin kabur dari dari sini!" ujar Sergio di ambang pintu kamar dimana Vina berada. Vina mengangguk dengan perasaan takut. "Baik—" belum sempat Vina melanjutkan kalimatnya, Sergio berlari sambil memegangi mulutnya meninggalkan Vina. Wanita itu mengernyitkan dahinya melihat reaksi yang Sergio berikan. "Haah ... Bodo! Apa yang harus aku takutkan? Selagi dia tidak menyentuhku atau membuatku seperti mainan, aku tentu akan baik-baik saja," gumam Vina mencoba meyakinkan dirinya. Setelah kepergian Sergio, Vina dengan cepat berlari ke arah pintu kamar yang masih terbuka. Dengan segera, dia mengunci pintu kamar itu dari dalam agar pria mesum seperti Sergio tidak mengganggunya. "Kurasa, ini cukup aman. Untuk saat ini, aku harus berhati-hati dengan serigala ini. Aku tidak boleh terpancing dengan siasat licik serigala liar ini," Vina bermonolog penuh dengan tekad. Setelah memastikan semuanya
Soraya sempat terkejut ketika merasakan cengkraman Almero yang begitu kuat, menekan lehernya. Ia berusaha menahan erangan sakit yang keluar dari bibirnya.Brak! Tiba-tiba pintu kamar yang tidak di kunci itu terbuka dengan lebar. "Ayah, Ibu! Berhenti! Apa yang kalian lakukan?" teriak Olivia, yang ternyata telah mendengar pertengkaran ini dan berlari masuk ke kamar mereka, wajahnya pucat pasi.Olivia kemudian mencoba melepaskan tangan Almero dari leher Soraya. Sementara itu, tangan Soraya gemetar berusaha melepaskan cengkraman leher yang sangat sakit. Akhirnya, setelah melihat Olivia, Almero melepaskan cengkramannya dan melangkah mundur dengan penuh amarah. "Cih, urus Ibumu yang tidak tahu diri itu!" pepik Almero sambil melangkah penuh emosi meninggalkan kamar itu. Soraya meraba lehernya, memperoleh napas kembali. Air mata mengalir deras di pipinya. Olivia mencoba mengusap Air mata Soraya yang berderai deras. "Bu, apa yang terjadi? Kenapa ayah begitu kasar padamu, Bu?" tanya Olivia d
Saat mentari mulai bercumbu dengan setangkai pucuk daun dan burung-burung menyanyikan melodi-melodi lembut di pagi hari, Elvano pun terjaga dari hilir mimpi."Aww... Badanku terasa remuk. Baru kali ini aku tidur berasa tidur di atas permukaan batu." Elvano mengeram, saat sebuah kelelahan yang begitu berat seperti memikul beban Ultraman kini mendera tubuhnya saat terbangun di atas pembaringan kayu, yang berperan sebagai pondasi percintaan semalam.Niat mengangkat tangannya yang terasa kesemutan, Elvano urungkan ketika melihat bidadari hutan larangan itu kini terbaring lemah di dalam pelukannya.Elvano tersenyum tipis. "Ya Tuhan, aku tidak percaya ada bidadari secantik ini berada di sampingku," gumamnya pelan. Namun, tak lama senyumnya menghilang, digantikan oleh sebuah kekhawatiran yang mendalam. "Astaga! Bidadari ini tubuhnya bentol-bentol akibat gigitan nyamuk." Elvano mengamati ruam-ruam di tubuh istrinya itu.Tok! Tok!Ketukan pintu kayu mengagetkan Elvano saat dia sedang menempelk
"Kakek, terima kasih karena sudah mengizinkan kami bermalam di sini. Jika ada kesempatan, kami akan kembali membalas kebaikan Kakek," ucap Elvano.Mereka yang sudah bersih dan segar berpamitan kepada Kakek Marco. Karena pekerjaan Elvano juga sudah menumpuk, maka dari itu, mereka harus segera tiba di perkampungan dan mencari keberadaan Vina dengan segera."Apa kalian yakin aku tidak perlu mengantar kalian ke perkampungan?" Kakek Marco bertanya.Elvano menggeleng, dia pun menjawab dengan sopan, "Tidak perlu, Kek. Kami sudah merepotkan Kakek. Kakek sudah memberitahukan letaknya saja, kami sudah sangat senang.""Mmm... Baiklah, kalian berhati-hatilah. Semoga kalian tiba dan pulang dengan selamat.""Terima kasih, Kek." Elvano menyalami tangan Kakek Marco. Di telapak tangannya, dia menyelipkan beberapa lembar uang kertas yang akan diberikan kepada pria sepuh itu. "Kami pamit, Kek," ucap Elvano.Pria sepuh itu mengernyitkan dahinya ketika Elvano memberikan uang. "Aku tidak menerima ini—""Ti