"Aw ...!" Elvano meringis saat mendapatkan tendangan dari Rubby saat Istrinya itu sedang tertidur pulas dalam perjalanan menuju ke kampung Vina. "Yang jadi pemandu jalan sekarang siapa? Kalau Monster kecil ini tidur?" tanya Elvano kepada Mark. "Apakah Tuan juga tidak tahu?" "Aku tahu hanya jalur utamanya. Kalau ke perkampungan, sepertinya harus si kebo ini!" "GPS, Tuan, kita pakai saja. Mungkin bisa berguna." "Kadang sesat!" "Tapi lebih baik mencoba daripada tersesat tanpa arah, bukan?" sahut Mark sambil tersenyum simpul.Elvano terdiam sejenak. Dia kemudian berkata, "Baiklah, kita coba pakai GPS."Mereka lantas mengemudikan mobil mereka mengikuti petunjuk arah dari GPS. Setelah beberapa waktu, mereka berada di jalur hutan dan tidak ada satupun kenderaan yang lewat di jalan yang mereka lalui.Tiba-tiba, GPS mulai memberikan instruksi yang semakin tidak masuk akal. "Belok ke kanan, ke kiri, lalu ke kanan lagi," kata GPS dengan suara yang merdu namun menyeramkan. Elvano merasa ada
"Maaf, Bu, kalau boleh tahu, Siapa yang mencariku?" tanya Vina kepada sipir wanita yang sedang memanggilnya. "Ada seorang pria," jawab sipir itu. Mendengar kata "pria", Vina begitu yakin jika yang mengunjunginya kali ini adalah Sergio. Sontak wajahnya terlihat cemas dan disaat berjalan, Vina tidak henti-hentinya menggigit bibir bawahnya gelisah. "Itu pria yang ingin membebaskanmu," ucap sipir wanita itu. Dugaan Vina benar, ternyata memang Sergio yang datang menemuinya. Wajah Vina seketika berubah tanpa ekspresi. Saat melihat pria itu berjalan ke arah Vina yang masih berdiri. "Bagaimana kabarmu?" tanya Sergio. "Kelihatannya bagaimana?" jawab Vina dengan ketus. "Bersikaplah manis, Vina. Karena sekarang, aku sudah mencabut tuduhan ku terhadapmu!" Vina tertunduk, sungguh pria yang sulit ditebak. Padahal dia yang memasukan dirinya ke sel tahanan. Begitu melihat wajah pria kini sudah berdiri di hadapannya, Vina ingin sekali menampar pipi pria itu. Namun sayangnya, Vina tidak mempuny
"Vina, kuharap kali ini, kau lebih nyaman tinggal tinggal di sini. Tolong jangan bertingkah aneh atau ingin kabur dari dari sini!" ujar Sergio di ambang pintu kamar dimana Vina berada. Vina mengangguk dengan perasaan takut. "Baik—" belum sempat Vina melanjutkan kalimatnya, Sergio berlari sambil memegangi mulutnya meninggalkan Vina. Wanita itu mengernyitkan dahinya melihat reaksi yang Sergio berikan. "Haah ... Bodo! Apa yang harus aku takutkan? Selagi dia tidak menyentuhku atau membuatku seperti mainan, aku tentu akan baik-baik saja," gumam Vina mencoba meyakinkan dirinya. Setelah kepergian Sergio, Vina dengan cepat berlari ke arah pintu kamar yang masih terbuka. Dengan segera, dia mengunci pintu kamar itu dari dalam agar pria mesum seperti Sergio tidak mengganggunya. "Kurasa, ini cukup aman. Untuk saat ini, aku harus berhati-hati dengan serigala ini. Aku tidak boleh terpancing dengan siasat licik serigala liar ini," Vina bermonolog penuh dengan tekad. Setelah memastikan semuanya
Soraya sempat terkejut ketika merasakan cengkraman Almero yang begitu kuat, menekan lehernya. Ia berusaha menahan erangan sakit yang keluar dari bibirnya.Brak! Tiba-tiba pintu kamar yang tidak di kunci itu terbuka dengan lebar. "Ayah, Ibu! Berhenti! Apa yang kalian lakukan?" teriak Olivia, yang ternyata telah mendengar pertengkaran ini dan berlari masuk ke kamar mereka, wajahnya pucat pasi.Olivia kemudian mencoba melepaskan tangan Almero dari leher Soraya. Sementara itu, tangan Soraya gemetar berusaha melepaskan cengkraman leher yang sangat sakit. Akhirnya, setelah melihat Olivia, Almero melepaskan cengkramannya dan melangkah mundur dengan penuh amarah. "Cih, urus Ibumu yang tidak tahu diri itu!" pepik Almero sambil melangkah penuh emosi meninggalkan kamar itu. Soraya meraba lehernya, memperoleh napas kembali. Air mata mengalir deras di pipinya. Olivia mencoba mengusap Air mata Soraya yang berderai deras. "Bu, apa yang terjadi? Kenapa ayah begitu kasar padamu, Bu?" tanya Olivia d
Saat mentari mulai bercumbu dengan setangkai pucuk daun dan burung-burung menyanyikan melodi-melodi lembut di pagi hari, Elvano pun terjaga dari hilir mimpi."Aww... Badanku terasa remuk. Baru kali ini aku tidur berasa tidur di atas permukaan batu." Elvano mengeram, saat sebuah kelelahan yang begitu berat seperti memikul beban Ultraman kini mendera tubuhnya saat terbangun di atas pembaringan kayu, yang berperan sebagai pondasi percintaan semalam.Niat mengangkat tangannya yang terasa kesemutan, Elvano urungkan ketika melihat bidadari hutan larangan itu kini terbaring lemah di dalam pelukannya.Elvano tersenyum tipis. "Ya Tuhan, aku tidak percaya ada bidadari secantik ini berada di sampingku," gumamnya pelan. Namun, tak lama senyumnya menghilang, digantikan oleh sebuah kekhawatiran yang mendalam. "Astaga! Bidadari ini tubuhnya bentol-bentol akibat gigitan nyamuk." Elvano mengamati ruam-ruam di tubuh istrinya itu.Tok! Tok!Ketukan pintu kayu mengagetkan Elvano saat dia sedang menempelk
"Kakek, terima kasih karena sudah mengizinkan kami bermalam di sini. Jika ada kesempatan, kami akan kembali membalas kebaikan Kakek," ucap Elvano.Mereka yang sudah bersih dan segar berpamitan kepada Kakek Marco. Karena pekerjaan Elvano juga sudah menumpuk, maka dari itu, mereka harus segera tiba di perkampungan dan mencari keberadaan Vina dengan segera."Apa kalian yakin aku tidak perlu mengantar kalian ke perkampungan?" Kakek Marco bertanya.Elvano menggeleng, dia pun menjawab dengan sopan, "Tidak perlu, Kek. Kami sudah merepotkan Kakek. Kakek sudah memberitahukan letaknya saja, kami sudah sangat senang.""Mmm... Baiklah, kalian berhati-hatilah. Semoga kalian tiba dan pulang dengan selamat.""Terima kasih, Kek." Elvano menyalami tangan Kakek Marco. Di telapak tangannya, dia menyelipkan beberapa lembar uang kertas yang akan diberikan kepada pria sepuh itu. "Kami pamit, Kek," ucap Elvano.Pria sepuh itu mengernyitkan dahinya ketika Elvano memberikan uang. "Aku tidak menerima ini—""Ti
Di balik barisan bukit yang menghijau, terhampar sebuah perkampungan yang asri, menawan hati. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah, bunga-bunga liar, dan daun-daunan di hutan lebat di sekitarnya, mengisi udara dengan keharuman yang menenangkan."Whoaa... Indahnya...!" Rubby begitu kagum melihat pemandangan yang disajikan di depan mata.Ketika Rubby menurunkan kaca jendela mobil saat mobil yang dikendarai oleh Mark kini melintasi Jalanan yang berbatu kecil dan sempit, membelah perkampungan yang menjadi urat nadi kehidupan, dikelilingi oleh pepohonan yang rindang, hamparan sawah, dan kebun yang dipenuhi dengan tanaman sehat dan buah segar.Para penduduk lokal begitu ramah dan memiliki mata yang berseri-seri seolah-olah mereka bahagia bekerja sepenuh hati untuk menyuburkan lingkungan mereka yang indah ini."Hai... Bu, selamat pagi! Selamat beraktivitas!" seru Rubby sambil melambaikan tangannya dengan senyum yang lebar menyapa para penduduk yang sedang melakukan rutinitas pagi.Elv
"Gio, ku mohon, bisakah kau mendengarku? Tidak apa-apa yang aku minta darimu. Aku hanya ingin bebaskan aku dan biarkan aku pergi untuk membesarkan anak dalam kandungku ini. Kumohon, jangan gugurkan," ucap Vina lirih, dia melarutkan keheningan di dalam mobil.Gio yang sedang menyetir tampak berwajah beku. Tidak ada sedikit ekspresi di wajah itu ketika mobil itu melaju menuju rumah sakit untuk proses aborsi yang akan Gio lakukan pada kandungan Vina."Aku tahu kamu benci aku sekarang, Gio. Aku tahu ini semua salahku dan aku minta maaf sejuta kali, tapi aku sangat ingin menjalani hidupku. Aku ingin memberi kesempatan bayi ini untuk hidup," sambung Vina, matanya berkaca-kaca. Dia berharap kata-katanya bisa merasuk ke dalam hati Gio.Gio memainkan jari-jari tangannya di atas kemudi, tatapannya tetap fokus ke jalan di depannya. Untuk beberapa saat, mobil itu hanya diisi dengan suara angin dan mesin."Sudah aku katakan, kamu tidak berhak melakukan negosiasi denganku. Apa kau pikir dengan keha