"Kakek, terima kasih karena sudah mengizinkan kami bermalam di sini. Jika ada kesempatan, kami akan kembali membalas kebaikan Kakek," ucap Elvano.Mereka yang sudah bersih dan segar berpamitan kepada Kakek Marco. Karena pekerjaan Elvano juga sudah menumpuk, maka dari itu, mereka harus segera tiba di perkampungan dan mencari keberadaan Vina dengan segera."Apa kalian yakin aku tidak perlu mengantar kalian ke perkampungan?" Kakek Marco bertanya.Elvano menggeleng, dia pun menjawab dengan sopan, "Tidak perlu, Kek. Kami sudah merepotkan Kakek. Kakek sudah memberitahukan letaknya saja, kami sudah sangat senang.""Mmm... Baiklah, kalian berhati-hatilah. Semoga kalian tiba dan pulang dengan selamat.""Terima kasih, Kek." Elvano menyalami tangan Kakek Marco. Di telapak tangannya, dia menyelipkan beberapa lembar uang kertas yang akan diberikan kepada pria sepuh itu. "Kami pamit, Kek," ucap Elvano.Pria sepuh itu mengernyitkan dahinya ketika Elvano memberikan uang. "Aku tidak menerima ini—""Ti
Di balik barisan bukit yang menghijau, terhampar sebuah perkampungan yang asri, menawan hati. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah, bunga-bunga liar, dan daun-daunan di hutan lebat di sekitarnya, mengisi udara dengan keharuman yang menenangkan."Whoaa... Indahnya...!" Rubby begitu kagum melihat pemandangan yang disajikan di depan mata.Ketika Rubby menurunkan kaca jendela mobil saat mobil yang dikendarai oleh Mark kini melintasi Jalanan yang berbatu kecil dan sempit, membelah perkampungan yang menjadi urat nadi kehidupan, dikelilingi oleh pepohonan yang rindang, hamparan sawah, dan kebun yang dipenuhi dengan tanaman sehat dan buah segar.Para penduduk lokal begitu ramah dan memiliki mata yang berseri-seri seolah-olah mereka bahagia bekerja sepenuh hati untuk menyuburkan lingkungan mereka yang indah ini."Hai... Bu, selamat pagi! Selamat beraktivitas!" seru Rubby sambil melambaikan tangannya dengan senyum yang lebar menyapa para penduduk yang sedang melakukan rutinitas pagi.Elv
"Gio, ku mohon, bisakah kau mendengarku? Tidak apa-apa yang aku minta darimu. Aku hanya ingin bebaskan aku dan biarkan aku pergi untuk membesarkan anak dalam kandungku ini. Kumohon, jangan gugurkan," ucap Vina lirih, dia melarutkan keheningan di dalam mobil.Gio yang sedang menyetir tampak berwajah beku. Tidak ada sedikit ekspresi di wajah itu ketika mobil itu melaju menuju rumah sakit untuk proses aborsi yang akan Gio lakukan pada kandungan Vina."Aku tahu kamu benci aku sekarang, Gio. Aku tahu ini semua salahku dan aku minta maaf sejuta kali, tapi aku sangat ingin menjalani hidupku. Aku ingin memberi kesempatan bayi ini untuk hidup," sambung Vina, matanya berkaca-kaca. Dia berharap kata-katanya bisa merasuk ke dalam hati Gio.Gio memainkan jari-jari tangannya di atas kemudi, tatapannya tetap fokus ke jalan di depannya. Untuk beberapa saat, mobil itu hanya diisi dengan suara angin dan mesin."Sudah aku katakan, kamu tidak berhak melakukan negosiasi denganku. Apa kau pikir dengan keha
Mark semakin gelisah saat mendengarkan suara yang mengganggu dari balik partisi. Dia segera menaikkan volume pada pemutar kaset di mobil agar tidak terganggu oleh aktivitas majikannya."Sungguh mengganggu sekali memiliki majikan seperti ini, bagaimana mungkin aku harus mendengarkan suara yang membuat otakku bingung," gumam Mark, dia berkali-kali mencoba mengatur pernapasannya yang seperti tercekat.Sementara itu di bangku belakang, Elvano dan Rubby tengah bercumbu dengan hebat. Helai-helai pakaian yang menempel pada tubuh mereka kini sudah tercerai berai. Mereka telanjang tanpa kain yang menutupi tubuh mereka."Oh... Paman, uummm!" keluh nikmat keluar dari mulut Rubby, saat Elvano dengan rakus mengulum buah dada yang ranum itu. Sesekali, lidah Elvano bermain di sana."Baby, aku yakin saat ini tubuhmu sangat sensitif. Tapi aku suka denganmu yang seperti ini, Monster kecil," ucap Elvano, melepaskan mulutnya dari bukit indah Rubby."Umm... Paman, apakah jari-jarimu begitu mahir? Aku tidak
"Vina? Dia di rumah sakit? Untuk apa dia di sini?" gumam Andre saat melihat wanita itu berlari sambil menangis.Dengan refleks, kaki Andre melangkah mengejar wanita itu, sementara Sergio berada di belakang Andre. Andre mempercepat langkah kakinya, mencoba mengimbangi Vina. Namun, wanita itu terlalu cepat."Sial, dadaku rasanya sesak." Andre mencoba mencari oksigen saat dadanya terasa kembang kempis saat menaiki anak tangga.Sementara Sergio yang tidak jauh dari Andre juga terengah-engah mencari oksigen. "Wanita yang sungguh merepotkan. Jika aku berhasil menangkapnya, jangan harap aku akan berhati lunak lagi." Sergio mengumpat, dia kemudian kembali melangkah.Kembali ke Andre, pria itu sangat penasaran kemana Vina pergi. Kenapa harus ke atap rumah sakit? Apakah dia ingin menenangkan diri? Namun, mata Andre melebar saat melihat Vina berdiri di tepi bangunan tanpa pembatas dan siap untuk terjun bebas."Oh, sial! Apa yang wanita itu pikirkan!" Andre dengan panik segera berlari ke arah Vin
Di ruangan itu, kelima orang berkumpul. Tak ada yang memulai percakapan. Semuanya terdiam. Terlihat dari wajah Sergio yang masih tak terima dengan perlakuan Elvano yang menyerangnya tiba-tiba.Sementara itu, Rubby berusaha menenangkan Vina. Memeluk sahabatnya itu dengan kehangatan dan kekuatan, agar Vina selalu kuat."Vin, tolong jangan bersedih terus, ya. Kita semua ada untukmu. Kalau kau mau, tinggallah bersamaku. Aku akan memastikan bayimu aman dan kita akan membesarkannya bersama," ucap Rubby, sambil mengelus kepala Vina yang telah bersandar di bahunya."Aku bingung, Rubby. Saat ini aku benar-benar kacau. Dalam pikiranku, aku merasa tak berharga karena hanya dijadikan mainan dan kehadiranku tak diharapkan."Andre menghela nafas berat mendengar obrolan Rubby dan Vina. Dia membuang pandangannya kepada Sergio, pria yang menjadi dalang dalam masalah ini."Gio, aku ingin bertanya dan memastikan. Apakah kau benar memang tidak menginginkan anak itu?" tegas Andre.Sergio menatap Andre den
Sergio melangkah memasuki sebuah klub malam. Apakah ini kudeta hati nurani, atau murni munafik, ia tak tahu. Hanya rasa bosan yang terus menggerogoti. Ia ingin mencari kebahagiaan, melepaskan seluruh kekecewaan di hari itu. Ia berjalan menyusuri lorong hingar-bingar, mencari muka asing yang bisa melepaskan kekesalan di hatinya.Sepatunya melangkah ke arah kursi sofa paling pojok. "Haaa...!" Sergio membuang nafas berat, menjatuhkan tubuhnya di atas sofa itu. "Bangsat, aku merasa seperti terbuang oleh sahabat-sahabatku!" Sergio memekik dengan kepala menopang kepalanya pada sandaran sofa.Suara musik techno yang mendominasi ruangan, ditambah cahaya berkedip dari sorot lampu laser, mengajak Sergio semakin terjebak dalam lentera kegelapan klub malam itu. Beban perasaan semakin hilang, digantikan amarah yang dibalut rasa menyesal.Tiba-tiba, seorang wanita menjatuhkan bokongnya di samping Sergio. "Sepertinya, kau sedang frustasi, Gio," ucap wanita itu.Sergio membuka matanya, dengan kepala
"Ayo, segera! Kita harus bertemu dengan Elvano, sebelum Anderson benar-benar hancur," ajak Almero yang tampak tergesa-gesa menuju ke arah mobil."Iya, ini juga aku menyusul. Bisa sabar, nggak sih!" Soraya berjalan tergopoh-gopoh menuju Almero.Suami-istri itu segera menaiki mobil mereka. Setelah berdiskusi dan berpikir, mereka akhirnya mengalah. Jika Anderson akan mereka berikan kepada Rubby. Melihat profit perusahaan mereka yang terus turun dengan terjal membuat Almero mengambil keputusan tersebut walaupun dengan hati yang berat."Ayah, apa kau yakin kita akan disambut di kediaman Patrice?" tanya Soraya membuka pembicaraan."Tentu, kita sudah menelpon mereka tapi nomor mereka tidak dapat dihubungi. Kalau terus-terusan begini, aku benar harus gulung tikar!" jawab Almero."Lalu, apakah Emily juga akan ikut tinggal bersama kita jika Anderson dialihkan kepada Rubby?"Almero tampak berpikir, yang jadi masalahnya, apakah mereka yang akan ditendang atau menyiapkan rumah yang layak untuk Emi