Mark semakin gelisah saat mendengarkan suara yang mengganggu dari balik partisi. Dia segera menaikkan volume pada pemutar kaset di mobil agar tidak terganggu oleh aktivitas majikannya."Sungguh mengganggu sekali memiliki majikan seperti ini, bagaimana mungkin aku harus mendengarkan suara yang membuat otakku bingung," gumam Mark, dia berkali-kali mencoba mengatur pernapasannya yang seperti tercekat.Sementara itu di bangku belakang, Elvano dan Rubby tengah bercumbu dengan hebat. Helai-helai pakaian yang menempel pada tubuh mereka kini sudah tercerai berai. Mereka telanjang tanpa kain yang menutupi tubuh mereka."Oh... Paman, uummm!" keluh nikmat keluar dari mulut Rubby, saat Elvano dengan rakus mengulum buah dada yang ranum itu. Sesekali, lidah Elvano bermain di sana."Baby, aku yakin saat ini tubuhmu sangat sensitif. Tapi aku suka denganmu yang seperti ini, Monster kecil," ucap Elvano, melepaskan mulutnya dari bukit indah Rubby."Umm... Paman, apakah jari-jarimu begitu mahir? Aku tidak
"Vina? Dia di rumah sakit? Untuk apa dia di sini?" gumam Andre saat melihat wanita itu berlari sambil menangis.Dengan refleks, kaki Andre melangkah mengejar wanita itu, sementara Sergio berada di belakang Andre. Andre mempercepat langkah kakinya, mencoba mengimbangi Vina. Namun, wanita itu terlalu cepat."Sial, dadaku rasanya sesak." Andre mencoba mencari oksigen saat dadanya terasa kembang kempis saat menaiki anak tangga.Sementara Sergio yang tidak jauh dari Andre juga terengah-engah mencari oksigen. "Wanita yang sungguh merepotkan. Jika aku berhasil menangkapnya, jangan harap aku akan berhati lunak lagi." Sergio mengumpat, dia kemudian kembali melangkah.Kembali ke Andre, pria itu sangat penasaran kemana Vina pergi. Kenapa harus ke atap rumah sakit? Apakah dia ingin menenangkan diri? Namun, mata Andre melebar saat melihat Vina berdiri di tepi bangunan tanpa pembatas dan siap untuk terjun bebas."Oh, sial! Apa yang wanita itu pikirkan!" Andre dengan panik segera berlari ke arah Vin
Di ruangan itu, kelima orang berkumpul. Tak ada yang memulai percakapan. Semuanya terdiam. Terlihat dari wajah Sergio yang masih tak terima dengan perlakuan Elvano yang menyerangnya tiba-tiba.Sementara itu, Rubby berusaha menenangkan Vina. Memeluk sahabatnya itu dengan kehangatan dan kekuatan, agar Vina selalu kuat."Vin, tolong jangan bersedih terus, ya. Kita semua ada untukmu. Kalau kau mau, tinggallah bersamaku. Aku akan memastikan bayimu aman dan kita akan membesarkannya bersama," ucap Rubby, sambil mengelus kepala Vina yang telah bersandar di bahunya."Aku bingung, Rubby. Saat ini aku benar-benar kacau. Dalam pikiranku, aku merasa tak berharga karena hanya dijadikan mainan dan kehadiranku tak diharapkan."Andre menghela nafas berat mendengar obrolan Rubby dan Vina. Dia membuang pandangannya kepada Sergio, pria yang menjadi dalang dalam masalah ini."Gio, aku ingin bertanya dan memastikan. Apakah kau benar memang tidak menginginkan anak itu?" tegas Andre.Sergio menatap Andre den
Sergio melangkah memasuki sebuah klub malam. Apakah ini kudeta hati nurani, atau murni munafik, ia tak tahu. Hanya rasa bosan yang terus menggerogoti. Ia ingin mencari kebahagiaan, melepaskan seluruh kekecewaan di hari itu. Ia berjalan menyusuri lorong hingar-bingar, mencari muka asing yang bisa melepaskan kekesalan di hatinya.Sepatunya melangkah ke arah kursi sofa paling pojok. "Haaa...!" Sergio membuang nafas berat, menjatuhkan tubuhnya di atas sofa itu. "Bangsat, aku merasa seperti terbuang oleh sahabat-sahabatku!" Sergio memekik dengan kepala menopang kepalanya pada sandaran sofa.Suara musik techno yang mendominasi ruangan, ditambah cahaya berkedip dari sorot lampu laser, mengajak Sergio semakin terjebak dalam lentera kegelapan klub malam itu. Beban perasaan semakin hilang, digantikan amarah yang dibalut rasa menyesal.Tiba-tiba, seorang wanita menjatuhkan bokongnya di samping Sergio. "Sepertinya, kau sedang frustasi, Gio," ucap wanita itu.Sergio membuka matanya, dengan kepala
"Ayo, segera! Kita harus bertemu dengan Elvano, sebelum Anderson benar-benar hancur," ajak Almero yang tampak tergesa-gesa menuju ke arah mobil."Iya, ini juga aku menyusul. Bisa sabar, nggak sih!" Soraya berjalan tergopoh-gopoh menuju Almero.Suami-istri itu segera menaiki mobil mereka. Setelah berdiskusi dan berpikir, mereka akhirnya mengalah. Jika Anderson akan mereka berikan kepada Rubby. Melihat profit perusahaan mereka yang terus turun dengan terjal membuat Almero mengambil keputusan tersebut walaupun dengan hati yang berat."Ayah, apa kau yakin kita akan disambut di kediaman Patrice?" tanya Soraya membuka pembicaraan."Tentu, kita sudah menelpon mereka tapi nomor mereka tidak dapat dihubungi. Kalau terus-terusan begini, aku benar harus gulung tikar!" jawab Almero."Lalu, apakah Emily juga akan ikut tinggal bersama kita jika Anderson dialihkan kepada Rubby?"Almero tampak berpikir, yang jadi masalahnya, apakah mereka yang akan ditendang atau menyiapkan rumah yang layak untuk Emi
"Haa... Rasanya segar sekali sehabis mandi," gumam Vina sambil berdiri di atas balkon, menikmati udara malam yang membuat dirinya begitu terlepas.Pikiran Vina kini jauh berkelana. Tiba-tiba saja, dia teringat dengan Sergio. Entahlah, dia adalah wanita yang bodoh atau sedang dibutakan oleh cinta. Bahkan sampai Sergio menghancurkan dirinya hingga berkeping-keping, dirinya masih tidak bisa membuang bayangan pria brengsek itu.Tok tok tokVina terhenyak dari lamunan saat mendengar pintu kamarnya diketuk. "Sebentar!" seru Vina, dia berlari kecil ke arah pintu. "Krek!" pintu di hadapannya pun terbuka."Nyonya, Tuan Andre meminta Anda untuk menemuinya di meja makan," ucap pelayan yang sudah berdiri di depan pintu kamar."Terima kasih, sebentar lagi aku akan ke sana," jawab Vina dengan tersenyum tipis. Pelayan itu mengangguk hormat dan kemudian pergi menjalankan tugasnya yang lain.Vina menarik nafas dalam-dalam, mencoba merasakan kedamaian yang sempat dia rasakan sebelumnya di balkon. Dia t
"Andre! Aku ingin bicara!" Sergio berteriak di depan pintu kediaman Andre.Beberapa petugas keamanan datang untuk mencoba menenangkan Sergio yang mengamuk. Setelah berpikir, Sergio tidak bisa membiarkan Vina begitu saja. Di satu sisi, gara-gara Vina, dia sering muntah dan merasa ngidam, dan menginginkan sesuatu di luar nalarnya."Tuan Sergio, Tuan sedang istirahat. Tolong, jika Anda ada keperluan, Anda bisa datang besok pagi," ucap petugas keamanan di kediaman Andre."Katakan kepada Tuanmu, aku ingin menjemput wanita yang dia bawa! Aku akan mengembalikan uangnya. Tapi berikan Vina kepadaku!" Sergio memekik.Petugas keamanan saling pandang. Mereka memeriksa ulang apakah situasi aman sebelum berbicara. Salah satu dari mereka langsung menghubungi Andre melalui telepon, memberitahu bahwa Sergio berada di pintu dan ingin bicara dengannya. Andre pun keluar untuk berbicara dengan Sergio."Kenapa kamu berteriak-teriak di depan pintu rumahku, Sergio?" tanya Andre dengan tenang, tapi matanya pe
Sergio menundukkan kepalanya, kesal dan bingung. "Aku... Aku tidak tahu, Ndre. Aku... Aku sungguh menginginkan Vina, tapi... Aku juga tidak ingin mengecewakan keluargaku, membuat mereka dipermalukan. Aku benar-benar terjepit," ujarnya dengan suara bergetar."Kadang, Gio, kita memang harus membuat keputusan yang berat dalam hidup ini. Apakah yang lebih penting bagimu sekarang, kebahagiaan Vina atau mengejar nama baik keluarga?" tanya Andre dengan serius, mencoba membantu Sergio dalam membuat keputusan. Walaupun hatinya kini tersayat, namun Andre mencoba untuk tidak egois demi persahabatan dan wanita yang dicintainya.Sergio terdiam, menatap Andre dan mencoba meraba apa yang ada dalam hatinya. Setelah berpikir beberapa saat, ia menggelengkan kepala dan berkata, "Kau benar, Ndre. Aku harus memilih kebahagiaan Vina. Aku mencintainya, dan aku tidak ingin melihatnya menderita karena pernikahan ini."Andre menghela napas lega, kemudian menepuk bahu Sergio. "Baiklah, Gio. Aku akan melepaskan