"Aw ...!" Elvano meringis saat mendapatkan tendangan dari Rubby saat Istrinya itu sedang tertidur pulas dalam perjalanan menuju ke kampung Vina.
"Yang jadi pemandu jalan sekarang siapa? Kalau Monster kecil ini tidur?" tanya Elvano kepada Mark."Apakah Tuan juga tidak tahu?""Aku tahu hanya jalur utamanya. Kalau ke perkampungan, sepertinya harus si kebo ini!""GPS, Tuan, kita pakai saja. Mungkin bisa berguna.""Kadang sesat!""Tapi lebih baik mencoba daripada tersesat tanpa arah, bukan?" sahut Mark sambil tersenyum simpul.Elvano terdiam sejenak. Dia kemudian berkata, "Baiklah, kita coba pakai GPS."Mereka lantas mengemudikan mobil mereka mengikuti petunjuk arah dari GPS. Setelah beberapa waktu, mereka berada di jalur hutan dan tidak ada satupun kenderaan yang lewat di jalan yang mereka lalui.Tiba-tiba, GPS mulai memberikan instruksi yang semakin tidak masuk akal. "Belok ke kanan, ke kiri, lalu ke kanan lagi," kata GPS dengan suara yang merdu namun menyeramkan. Elvano merasa ada yang ganjil dengan arah yang diberikan, namun meneruskan perjalanan dengan tetap mengikuti instruksi GPS.Setelah menemukan papan penunjuk jalan yang sudah berlumut, Elvano memilih untuk mengabaikan GPS dan berhenti sejenak. "Kita mesti berhati-hati, Mark. Aku curiga ada sesuatu yang salah. Jangan-jangan kita justru tersesat dan masuk ke hutan larangan.""Bukankah larangan itu hanya mitos, Tuan?" ujar Mark, mencoba menenangkan Elvano."Entah itu Mitos dan tidak, disetiap kita ke tempat baru, sebaiknya kita harus berhati-hati!"Mereka melanjutkan perjalanan, tak lama kemudian, terdengar suara tangisan dari kejauhan. "Berhenti!" seru Elvano tiba-tiba.Mark menginjak rem dengan kuat. "Apa yang terjadi?" tanya Mark sambil menoleh ke arah Elvano."Apakah kau tidak mendengar suara jeritan?""Aku tidak mendengar apa-apa, Tuan," jawab Mark dengan kebingungan.Elvano pun keluar dari mobil untuk mencari sumber suara tangisan tersebut. Ia mulai bimbang apakah ini benar-benar suara tangisan, atau hanyalah angin yang membawa desir gema dari hutan yang misterius.Mereka menyusuri jalanan tersebut bersama menuju sumber suara, namun Elvano dan Mark tidak menemukan apa-apa. "Tuan, sepertinya itu adalah jeritan hati seekor nyamuk!" celetuk Mark.Namun suara itu terdengar lagi. Kali ini, suaranya semakin jauh. Mark dan Elvano melempar pandangan. "Ayo, kita Cari aman, mari kabur. Jangan sampai itu adalah begal!" seru Elvano. Mereka berdua memutar tubuh mereka dan melangkah menggunakan jurus kaki seribu."Tuan! Kenapa ceritanya jadi Horor begini?" Seru Mark sambil berlari."Sesuai situasi dan kondisi! Keadaan di sini memang mencekam!" jawab Elvano yang juga ikut berlari.Mereka berdua akhirnya sampai di dalam mobil dengan nafas terengah-engah. Mereka berdua mencoba mengatur nafas mereka yang memburu. Rubby yang merasa terganggu akibat keributan memaska dia untuk bangun."Paman kenapa kalian begitu berisik—""Wuaaa!" Elvano dan Mark berteriak secara bersamaan, saat melihat rambut Rubby yang menutupi wajahnya. "Bugh!" refleks karena kaget, Elvano melayangkan tinjunya pada wajah Rubby."Aduh, Paman! Apa kau gila? Hilang sudah hidungku!" Rubby meringis."Aduh, Cinta! Tolong maafkan aku, aku benar-benar tidak sengaja. Soalnya aku dan Mark mengalami kejadian aneh," ucap Elvano dengan rasa bersalah."Paman yang aneh, masa hidungku ditonjok? Ini berdarah! Tanggung jawab kalau hidungku bengkok!" kesal Rubby dengan suara yang terdengar ingin menangis.Elvano segera mencari tisu untuk menekan hidung Rubby yang berdarah. "Cinta, maafkan aku. Aku tidak sengaja. Aku kira kau hantu," ucap Elvano dengan nada memelas."Paman kira aku hantu? Paman pikir aku mau jadi hantu?" balas Rubby dengan nada kesal."Maaf, Cinta. Aku hanya terkejut. Kau tahu kan, kita baru saja mendengar suara tangisan di hutan. Mungkin ada sesuatu yang mengikuti kita," jelas Elvano."Suara tangisan? Apa Paman bercanda? Apa Paman mau membuatku takut?" tanya Rubby dengan skeptis."Tentu Tidak, Sayang. Aku serius. Tanya saja Mark. Dia juga mendengarnya," ujar Elvano sambil menoleh ke Mark.Mark mengangguk-angguk dengan cepat. "Iya, Nyonya Rubby. Kami benar-benar mendengar suara tangisan. Suaranya sangat merdu tapi juga menyeramkan," kata Mark dengan mimik ketakutan."Merdu tapi menyeramkan? Apa kalian berdua sedang halusinasi?" sindir Rubby."Cintaku yang imut, Kami tidak halusinasi. Kami yakin ada sesuatu yang aneh di hutan ini. Mungkin ada hantu atau makhluk gaib yang ingin mengganggu kita," kata Elvano dengan serius."Kalau begitu, kenapa kalian tidak segera pergi dari sini? Kenapa kalian masih berhenti di sini?" tanya Rubby dengan logika."Karena kami tidak tahu jalan keluar, Cinta. GPS kami rusak. GPS memberikan arah yang salah," jawab Elvano."GPS rusak? Apa kalian tidak punya peta atau kompas?" tanya Rubby lagi."Jika kami punya hal tersebut dan juga Dora, tentu kami tidak akan tersesat dan dibawa sesat oleh GPS ini," kata Elvano."Ya ampun, kalian berdua itu bodoh sekali! Kenapa harus bertanya kepad Dora? Kenapa kalian bertanya pada orang-orang di sekitar sini? Mungkin ada yang bisa memberi tahu jalan keluar," usul Rubby."Orang-orang di sekitar sini? Cinta, kita berada di tengah hutan! Di mana ada orang-orang di sini?" kata Elvano dengan heran."Tidak mungkin tidak ada orang-orang di sini, Paman. Kita kan mau ke kampung Vina. Pasti ada rumah-rumah penduduk di sekitar sini," kata Rubby dengan yakin."Kampung Vina? Cinta, kita sudah melewati kampung Vina sejak tadi! Kita sudah masuk ke wilayah hutan larangan!" kata Elvano dengan panik."Hutan larangan? Apa maksudmu hutan larangan?" tanya Rubby dengan bingung."Hutan larangan adalah hutan yang dilarang untuk dimasuki oleh siapa pun. Konon katanya, hutan ini berisi banyak makhluk gaib yang suka mengganggu orang-orang yang masuk ke sana. Ada juga cerita bahwa hutan ini adalah tempat tinggal dari seorang dukun sakti yang bisa mengutuk orang-orang yang melintasinya," cerita Elvano dengan ngeri."Ah, itu semua hanya dongeng belaka, Paman. Jangan percaya begitu saja. Kita harus mencari jalan keluar dari sini secepat mungkin," kata Rubby dengan berani."Tapi bagaimana caranya, Cinta? Kita tidak punya petunjuk arah sama sekali," kata Elvano dengan putus asa."Tuan, mungkin kita bisa mencoba menggunakan GPS lagi. Mungkin dia sudah normal lagi," usul Mark dengan harap-harap cemas."Baiklah, kita coba lagi," kata Elvano sambil menyalakan GPS-nya.Mereka semua menunggu dengan tegang apa yang akan dikatakan oleh GPS. Setelah beberapa detik, GPS mulai berbicara lagi."Anda telah sampai di tujuan Anda," kata GPS dengan suara yang sama seperti sebelumnya.Brak!Dengan kesal, Elvano membating Ponsel yang terdapat GPS. "Dasar sesat! Kita sudah di tengah hutan! Mana perkampungan?" geram Elvano."Mungkin GPS ini terusik oleh dukun di hutan ini, Paman!" bisik Mark pelan sambil melihat sekeliling dengan wajah ketakutan."Cukup, jangan membuat cerita yang lebih ngeri lagi. Kita harus berpikir jernih untuk mencari jalan keluar dari sini," kata Elvano berusaha menguatkan diri."Ayo kita keluar saja dari mobil, coba kita cari tanda petunjuk atau mungkin kita akan bertemu dengan penduduk yang baik hati!" usul Rubby semangat.Mereka bertiga pun turun dari mobil dan mulai menyusuri hutan yang rimbun. Elvano terus menggenggam tangan Rubby erat-erat, takut kehilangan istri tercintanya. Rubby terus berdoa dalam hati agar mereka bisa lekas keluar dari hutan larangan.Tak lama kemudian, mereka melihat lampu yang tersembul dari balik pohon-pohon yang rindang. "Paman, lihat! Ada lampu di sana!" seru Rubby dengan wajah ceria."Maaf, Bu, kalau boleh tahu, Siapa yang mencariku?" tanya Vina kepada sipir wanita yang sedang memanggilnya. "Ada seorang pria," jawab sipir itu. Mendengar kata "pria", Vina begitu yakin jika yang mengunjunginya kali ini adalah Sergio. Sontak wajahnya terlihat cemas dan disaat berjalan, Vina tidak henti-hentinya menggigit bibir bawahnya gelisah. "Itu pria yang ingin membebaskanmu," ucap sipir wanita itu. Dugaan Vina benar, ternyata memang Sergio yang datang menemuinya. Wajah Vina seketika berubah tanpa ekspresi. Saat melihat pria itu berjalan ke arah Vina yang masih berdiri. "Bagaimana kabarmu?" tanya Sergio. "Kelihatannya bagaimana?" jawab Vina dengan ketus. "Bersikaplah manis, Vina. Karena sekarang, aku sudah mencabut tuduhan ku terhadapmu!" Vina tertunduk, sungguh pria yang sulit ditebak. Padahal dia yang memasukan dirinya ke sel tahanan. Begitu melihat wajah pria kini sudah berdiri di hadapannya, Vina ingin sekali menampar pipi pria itu. Namun sayangnya, Vina tidak mempuny
"Vina, kuharap kali ini, kau lebih nyaman tinggal tinggal di sini. Tolong jangan bertingkah aneh atau ingin kabur dari dari sini!" ujar Sergio di ambang pintu kamar dimana Vina berada. Vina mengangguk dengan perasaan takut. "Baik—" belum sempat Vina melanjutkan kalimatnya, Sergio berlari sambil memegangi mulutnya meninggalkan Vina. Wanita itu mengernyitkan dahinya melihat reaksi yang Sergio berikan. "Haah ... Bodo! Apa yang harus aku takutkan? Selagi dia tidak menyentuhku atau membuatku seperti mainan, aku tentu akan baik-baik saja," gumam Vina mencoba meyakinkan dirinya. Setelah kepergian Sergio, Vina dengan cepat berlari ke arah pintu kamar yang masih terbuka. Dengan segera, dia mengunci pintu kamar itu dari dalam agar pria mesum seperti Sergio tidak mengganggunya. "Kurasa, ini cukup aman. Untuk saat ini, aku harus berhati-hati dengan serigala ini. Aku tidak boleh terpancing dengan siasat licik serigala liar ini," Vina bermonolog penuh dengan tekad. Setelah memastikan semuanya
Soraya sempat terkejut ketika merasakan cengkraman Almero yang begitu kuat, menekan lehernya. Ia berusaha menahan erangan sakit yang keluar dari bibirnya.Brak! Tiba-tiba pintu kamar yang tidak di kunci itu terbuka dengan lebar. "Ayah, Ibu! Berhenti! Apa yang kalian lakukan?" teriak Olivia, yang ternyata telah mendengar pertengkaran ini dan berlari masuk ke kamar mereka, wajahnya pucat pasi.Olivia kemudian mencoba melepaskan tangan Almero dari leher Soraya. Sementara itu, tangan Soraya gemetar berusaha melepaskan cengkraman leher yang sangat sakit. Akhirnya, setelah melihat Olivia, Almero melepaskan cengkramannya dan melangkah mundur dengan penuh amarah. "Cih, urus Ibumu yang tidak tahu diri itu!" pepik Almero sambil melangkah penuh emosi meninggalkan kamar itu. Soraya meraba lehernya, memperoleh napas kembali. Air mata mengalir deras di pipinya. Olivia mencoba mengusap Air mata Soraya yang berderai deras. "Bu, apa yang terjadi? Kenapa ayah begitu kasar padamu, Bu?" tanya Olivia d
Saat mentari mulai bercumbu dengan setangkai pucuk daun dan burung-burung menyanyikan melodi-melodi lembut di pagi hari, Elvano pun terjaga dari hilir mimpi."Aww... Badanku terasa remuk. Baru kali ini aku tidur berasa tidur di atas permukaan batu." Elvano mengeram, saat sebuah kelelahan yang begitu berat seperti memikul beban Ultraman kini mendera tubuhnya saat terbangun di atas pembaringan kayu, yang berperan sebagai pondasi percintaan semalam.Niat mengangkat tangannya yang terasa kesemutan, Elvano urungkan ketika melihat bidadari hutan larangan itu kini terbaring lemah di dalam pelukannya.Elvano tersenyum tipis. "Ya Tuhan, aku tidak percaya ada bidadari secantik ini berada di sampingku," gumamnya pelan. Namun, tak lama senyumnya menghilang, digantikan oleh sebuah kekhawatiran yang mendalam. "Astaga! Bidadari ini tubuhnya bentol-bentol akibat gigitan nyamuk." Elvano mengamati ruam-ruam di tubuh istrinya itu.Tok! Tok!Ketukan pintu kayu mengagetkan Elvano saat dia sedang menempelk
"Kakek, terima kasih karena sudah mengizinkan kami bermalam di sini. Jika ada kesempatan, kami akan kembali membalas kebaikan Kakek," ucap Elvano.Mereka yang sudah bersih dan segar berpamitan kepada Kakek Marco. Karena pekerjaan Elvano juga sudah menumpuk, maka dari itu, mereka harus segera tiba di perkampungan dan mencari keberadaan Vina dengan segera."Apa kalian yakin aku tidak perlu mengantar kalian ke perkampungan?" Kakek Marco bertanya.Elvano menggeleng, dia pun menjawab dengan sopan, "Tidak perlu, Kek. Kami sudah merepotkan Kakek. Kakek sudah memberitahukan letaknya saja, kami sudah sangat senang.""Mmm... Baiklah, kalian berhati-hatilah. Semoga kalian tiba dan pulang dengan selamat.""Terima kasih, Kek." Elvano menyalami tangan Kakek Marco. Di telapak tangannya, dia menyelipkan beberapa lembar uang kertas yang akan diberikan kepada pria sepuh itu. "Kami pamit, Kek," ucap Elvano.Pria sepuh itu mengernyitkan dahinya ketika Elvano memberikan uang. "Aku tidak menerima ini—""Ti
Di balik barisan bukit yang menghijau, terhampar sebuah perkampungan yang asri, menawan hati. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah, bunga-bunga liar, dan daun-daunan di hutan lebat di sekitarnya, mengisi udara dengan keharuman yang menenangkan."Whoaa... Indahnya...!" Rubby begitu kagum melihat pemandangan yang disajikan di depan mata.Ketika Rubby menurunkan kaca jendela mobil saat mobil yang dikendarai oleh Mark kini melintasi Jalanan yang berbatu kecil dan sempit, membelah perkampungan yang menjadi urat nadi kehidupan, dikelilingi oleh pepohonan yang rindang, hamparan sawah, dan kebun yang dipenuhi dengan tanaman sehat dan buah segar.Para penduduk lokal begitu ramah dan memiliki mata yang berseri-seri seolah-olah mereka bahagia bekerja sepenuh hati untuk menyuburkan lingkungan mereka yang indah ini."Hai... Bu, selamat pagi! Selamat beraktivitas!" seru Rubby sambil melambaikan tangannya dengan senyum yang lebar menyapa para penduduk yang sedang melakukan rutinitas pagi.Elv
"Gio, ku mohon, bisakah kau mendengarku? Tidak apa-apa yang aku minta darimu. Aku hanya ingin bebaskan aku dan biarkan aku pergi untuk membesarkan anak dalam kandungku ini. Kumohon, jangan gugurkan," ucap Vina lirih, dia melarutkan keheningan di dalam mobil.Gio yang sedang menyetir tampak berwajah beku. Tidak ada sedikit ekspresi di wajah itu ketika mobil itu melaju menuju rumah sakit untuk proses aborsi yang akan Gio lakukan pada kandungan Vina."Aku tahu kamu benci aku sekarang, Gio. Aku tahu ini semua salahku dan aku minta maaf sejuta kali, tapi aku sangat ingin menjalani hidupku. Aku ingin memberi kesempatan bayi ini untuk hidup," sambung Vina, matanya berkaca-kaca. Dia berharap kata-katanya bisa merasuk ke dalam hati Gio.Gio memainkan jari-jari tangannya di atas kemudi, tatapannya tetap fokus ke jalan di depannya. Untuk beberapa saat, mobil itu hanya diisi dengan suara angin dan mesin."Sudah aku katakan, kamu tidak berhak melakukan negosiasi denganku. Apa kau pikir dengan keha
Mark semakin gelisah saat mendengarkan suara yang mengganggu dari balik partisi. Dia segera menaikkan volume pada pemutar kaset di mobil agar tidak terganggu oleh aktivitas majikannya."Sungguh mengganggu sekali memiliki majikan seperti ini, bagaimana mungkin aku harus mendengarkan suara yang membuat otakku bingung," gumam Mark, dia berkali-kali mencoba mengatur pernapasannya yang seperti tercekat.Sementara itu di bangku belakang, Elvano dan Rubby tengah bercumbu dengan hebat. Helai-helai pakaian yang menempel pada tubuh mereka kini sudah tercerai berai. Mereka telanjang tanpa kain yang menutupi tubuh mereka."Oh... Paman, uummm!" keluh nikmat keluar dari mulut Rubby, saat Elvano dengan rakus mengulum buah dada yang ranum itu. Sesekali, lidah Elvano bermain di sana."Baby, aku yakin saat ini tubuhmu sangat sensitif. Tapi aku suka denganmu yang seperti ini, Monster kecil," ucap Elvano, melepaskan mulutnya dari bukit indah Rubby."Umm... Paman, apakah jari-jarimu begitu mahir? Aku tidak
Di ballroom hotel, Rubby, Elvano, Vina dan Sergio. Dua pasangan suami istri itu sedang menunggu dengan antusias. Mereka membawa anak-anak mereka, Amora dan Vincent, di gendongan mereka. Mereka ingin melihat Lisa dan Andre yang akan menikah tidak sabar melihat penampilan ratu dan raja untuk hari ini.Elvano, memeluk tubuh istrinya dari belakang. "Monster kecil, kita pernah melewati banyak halangan. Mulai dari sebuah ikatan kontrak hingga berjanji untuk bersama selamanya. Maaf, jika selama ini aku belum bisa membahagiakanmu," bisak Elvano ketika dia melihat dekorasi pernikahan Andre dan Lisa yang tampak begitu mewah. Rubby menggendong Amora yang sedang tertidur pun menjawab, "Kita sudah berkomitmen, Paman. Pernikahan yang kita lakukan di dekat pantai juga cukup manis dan berkesan untukku. Dan sekarang, aku bahagia memilikimu, Paman. Semoga kebahagiaan kita terus terjaga hingga akhir hayat kita." Elvano mengecup lembut pipi Monster Kecilnya. "Terima kasih, Monster Kecil. Karena sudah m
Pagi itu, matahari bersinar terang di langit biru. Di ballroom hotel, dekorasi pernikahan sudah siap. Bunga-bunga putih dan merah muda menghiasi meja dan kursi tamu. Di panggung, ada pelaminan yang megah dengan tirai-tirai putih dan lampu-lampu berkilau. Di sana, Andre dan Lisa akan mengucapkan janji suci mereka sebagai suami istri.Di ruang rias, Lisa duduk di kursi roda dengan gaun pengantin putih yang indah. Rambutnya yang pendek dihiasi dengan mahkota bunga. Wajahnya yang pucat tampak berseri-seri dengan senyum bahagia. Hari ini, ia akan menikah dengan Andre, dokter yang telah menemaninya selama ia menderita kanker otak. Andre adalah cinta pertama dan terakhirnya. Ia tidak peduli jika hidupnya tidak akan lama lagi. Yang penting, ia bisa merasakan cinta sejati dari Andre.Lisa menatap wajahnya di pantulan cermin dengan senyuman yang selalu terbit dibibirnya. "Hari ini adalah hari yang paling aku tunggu-tunggu. Aku akan menikah dengan Andre, pria yang paling aku cintai di dunia ini.
Rubby dan Vina berjalan masuk ke gedung pernikahan yang megah dan mewah. Mereka adalah sahabat dari Lisa, mempelai wanita yang akan menikah besok dengan Andre. Mereka datang untuk membantu mengurus persiapan acara, seperti dekorasi, catering, dan undangan."Wow, lihat itu!" Vina menunjuk ke langit-langit yang dipenuhi dengan balon berwarna-warni. "Ini pasti ide Lisa. Dia suka sekali balon.""Ya, dia memang anak kecil yang besar." Rubby tertawa. "Tapi aku suka dekorasinya. Simpel tapi manis. Seperti Lisa dan Andre.""Mereka memang pasangan yang serasi. Aku senang mereka akhirnya menemukan jodoh masing-masing." Vina menghela napas. "Aku harap mereka bahagia selamanya.""Amin." Rubby mengangguk. "Eh, tapi kita juga harus bahagia, lho. Kita punya suami yang sayang dan anak-anak yang lucu.""Iya, iya. Kita juga beruntung." Vina mengakui. "Tapi kadang aku kangen masa-masa kita masih single dan bebas.""Ha, ha. Kau masih ingat malam terakhir kita sebelum menikah?" Rubby mengingatkan. "Kita b
"Aku pasti bisa!" Seru Andre mencoba menyemangati dirinya sendiri. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum menekan bel rumah Lisa. Dia merasa gugup dan deg-degan, karena hari ini Andre akan menemui orang tua Lisa untuk meminta restu pernikahan mereka. Setelah lamaran yang Andre lakukan beberapa hari yang lalu, Andre memutuskan untuk menemui orang tua Lisa menyampaikan perihal pernikahan yang akan dilangsungkan. Setelah mendapatkan izin, akhirnya Lisa hanya menjalani rawat jalan. Beberapa saat kemudian, pintu rumah terbuka, dan Andre disambut oleh seorang wanita paruh baya yang ramah. Dia adalah ibu Lisa. "Andre, selamat datang. Kami sudah menunggumu," kata ibu Lisa. Wanita paruh baya itu memeluk Andre erat. "Ayo, Nak. Masuk! Ayah Lisa sudah menunggu." wanita tersebut mengajak Andre masuk ke dalam rumah setelah melepaskan pelukannya. "Terima kasih, Bu. Maaf jika saya mengganggu," kata Andre sopan."Tidak mengganggu sama sekali. Ayo, masuk. Suamiku dan Lisa sudah menunggu di ruang
"Paman, apakah Andre dan Lisa akan bahagia? Atau ... Ada di antara satu yang akan menghilang di antara mereka?" tanya Rubby. Saat ini, Rubby dan Elvano sudah kembali ke kediaman setelah merayakan acara lamaran Andre dan Lisa. Rubby, mengelus-ngelus jakung suaminya itu dengan manja. Elvano yang sedang memainkan helaian rambut istrinya itu pun menjawab, "kita do'akan mereka yang terbaik. Semoga, saat Lisa menikah dengan Andre, penyakit Lisa diangkat oleh Tuhan." Rubby mengangguk, dia membenamkan wajahnya di dada Elvano. "Paman, apakah cintamu tetap utuh untukku?" tanya Rubby. Elvano medekap tubuh monster kecilnya semakin erat ke dalam pelukan. "Satu saja aku belum bisa membahagiakannya, bagaimana bisa cintaku dapat terbagi?"Rubby merasakan getaran baik dari tubuh Elvano dan mengabaikan gejolak dalam hatinya. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Elvano dengan mata sayu. "Terima kasih, paman. Aku merasa sangat beruntung memiliki paman sepertimu."Elvano tersenyum, menepuk ringan pipi
"Yey! Selamat untuk kalian berdua!"Setelah Andre selesai melamar Lisa, para sahabatnya yang merupakan bagian dari rencana keluar dari persembunyian mereka. Mereka merasa senang dan gembira seperti Andre karena rencana tersebut sukses dilakukan. Sergio, Elvano, Vina, dan Rubby bergabung dengan Andre dan Lisa. "Wah, bro, selamat, ya! Semoga acara ke depannya lancar seperti jalan tol bebas hambatan!" ucap Elvano sambil mengulurkan tangannya ke arah Andre. Andre tersenyum bahagia, dia tidak menyangka jika momen tersebut terlaksana juga. Andre pun menyambut uluran tangan Elvano. "Thanks, ya! Tanpa kalian acara lamaran ini mungkin tidak akan berjalan dengan lancar," ucap Andre. Sergio menepuk-nepuk pundak Andre dengan gembira. "Jadi, kita sudah tidak akan berebutan wanita lagi ya, Ndre. Semoga bahagia!" ucap Sergio dengan semangat. Andre mengalihkan pandangannya ke arah Sergio. "Thanks bro. Aku merasa bersyukur memiliki kalian," jawab Andre. Sergio dan Elvano pun memeluk tubuh Andre.
Vina, Rubby, Sergio, dan Elvano berjalan menuju taman yang akan mereka dekorasi untuk acara lamaran Andre dan Lisa. Mereka membawa berbagai peralatan seperti balon, lilin, bunga, dan spanduk bertuliskan "Will You Marry Me?"."Ayo, cepat-cepat! Kita harus selesai sebelum Andre dan Lisa datang. Ini adalah hari yang sangat penting bagi mereka," ucap Vina sambil menggenggam erat sejumlah balon warna-warni. Rubby menimpali dengan senyum ceria, "Tentu saja, Vina. Kita akan membuat taman ini menjadi tempat yang tak terlupakan bagi keduanya."Sergio membuka kotak berisi lilin-lilin indah. "Kita perlu menyusunnya dengan rapi. Lilin-lilin ini akan memberikan sentuhan romantis saat malam tiba," kata Sergio seraya meletakkan lilin-lilin di meja yang telah mereka siapkan.Elvano menggantungkan spanduk dengan hati-hati. "Semua harus terlihat sempurna. Andre dan Lisa pasti akan terkejut dan bahagia melihat usaha kita," ujarnya penuh semangat.Saat mereka sibuk merapikan dekorasi, Vina menyelipkan p
"Andre!" Lisa berteriak saat melihat kekasihnya itu menampar pipi Gina. Andre sudah cukup sabar menghadapi sikap Gina selama ini. Seumur hidup, baru kali ini Andre mendaratkan tangannya kepada wanita. Dada Andre tampak naik turun, sedangkan Gina, tertunduk memegangi pipinya yang terasa perih. Gina tidak menyangka jika dirinya akan mendapatkan tamparan dari Andre. "Gina, selagi aku masih punya kesabaran, tolong tinggalkan ruangan ini," ujar Andre. Gina mengangkat wajahnya, menatap Andre dengan mata berkaca-kaca. "Paman, kau lebih memilih wanita kanker itu daripada aku, hah?! Selama kita berhubungan, kau tidak sekasar ini! Kenapa kau menamparku?!" ujar Gina di sela tangisnya. Lisa, wanita yang terkena kanker otak itu pun mencoba untuk bangun, dia mengusap punggung Andre, pria yang kini sedang dilanda amarah. "Ndre, kuasai dirimu," bisik Lisa lemah. Andre memijat pelipisnya sebelum menjawab, "Gina, hubungan kita sudah berakhir." Andre pun berlutut di hadapan Gina. Hal tersebut me
Dua bulan kemudian..."Apakah Kamu sekarang merasa lebih baik?" tanya Andre ketika pria itu menemani Lisa di taman belakang rumah sakit. Setelah mengambil keputusan yang berat, akhirnya Lisa diterbangkan ke Jakarta. Setelah menjalani perawatan intensif dan mencari dokter kanker yang bagus, kondisi Lisa pelan-pelan membaik. Walaupun kini kepala wanita itu telah botak akibat kemo. Namun, kecantikannya masih bisa terpancar dari wajahnya yang pucat. Lisa tersenyum lebar, "Terima kasih, Andre. Aku memang merasa lebih baik sekarang."Andre mengambil tempat di samping Lisa dan mengamati wajahnya. Meskipun terlihat lelah, Lisa tetap terlihat cantik dengan alis mata yang rapi dan senyum manis di bibirnya."Apa kabar yang lain?" tanya Lisa sambil menatap Andre.Andre mengedarkan pandangannya ke sekitar taman, "Semua orang baik-baik saja." "Syukurlah jika mereka semua baik-baik saja." "Kamu jangan terlalu lama-lama di luar, ya. Nanti kalau kamu kena angin dan sakit lagi bagaimana?" ucap Andr