'Astaga! Apa yang sedang… tidak, tunggu…' Vina terlihat kalang kabut sendiri di belakang tubuh Gio. Gio yang dikenal dingin dan kadang hangat tapi mempunyai kebiasaan yang di luar perkiraan. 'Bahkan aku tidak pernah memegang benda ku dengan tanganku. Lantas, kenapa dia memegang alat tempurnya seperti itu?' Lagi-lagi Vina meracau dalam hati saat melihat CEO gila sedang asyik memainkan genggaman tangannya secara naik-turun pada bambu petuk yang sudah tampak sebesar pentungan pos ronda. 'Aku segera keluar! Ini privasi! Terserah dia mau ngocok atau apa terserah!' Vina yang takut ketahuan, dengan hati-hati memutar tubuhnya. Gio, memutar kursinya. "Siapa yang memberikan izin untuk keluar? Kau pikir, aku tidak tahu kau dari tadi melihatku?" suara Gio terdengar menekan. Mendengar suara Gio, tubuh Vina mematung. Dia mengatur nafasnya dan posisi tubuh sebelum kembali memulihkan tubuhnya. Setelah merasa sudah tenang, Vina memutar tubuhnya. Deg! 'Astaga! Pria ini, aku pikir dia sudah men
"Apa kau tidak apa-apa, Monster kecil?" Elvano bertanya saat dirinya dan Rubby kini berada di ruang VVIP untuk menunggu minuman pesanan mereka datang. "Aku tidak apa-apa. Jadi, Paman tidak perlu khawatir," jawab Rubby dengan tersenyum kikuk kepada Elvano. Elvano menatap selidik setiap detail wajah dan tubuh Monster Kecilnya. "Apa kau yakin? Aku takut jika bajingan itu melukaimu," tanyanya, dengan suara yang penuh kekhawatiran. Rubby melambaikan kedua tangannya di dada. Dia memberikan senyum canggung lalu menjawab, "sungguh, aku benar tidak apa-apa, Paman. Begundal Toni tidak menyentuhku sama sekali." Tangan Elvano terulur, mengusap pipi Rubby dengan kekhawatiran yang mendalam. "Syukurlah jika kau tidak apa-apa. Aku sempat khawatir," ucapnya tulus. Rubby tertunduk dan malu. Padahal, sebelumnya, dia membuat Elvano kecewa karena ucapannya saat mereka di kamar mandi. Tapi saat ini, Elvano masih berlaku begitu manis. "Tuan, silahkan pesanannya." seorang pria pramusaji dengan rompi be
"Vina… Vina, oh… Vina! Wajahmu dengan dengan otakmu sekarang ini benar sama-sama cabul."Vina yang mendengar ucapan Gio membuat dia sedikit terganggu. Bukankah dia sendiri yang membuat Vina terlihat cabul yang mempermainkan area sensitif di seluruh tubuh Vina? Mana ada yang tahan jika terowongannya dimainkan seperti itu?"Kau… yang membuat aku seperti ini, Bangsat! Siapa juga yang tidak cabul jika perlakuanmu seperti ini? Jika ada yang tidak merasakan rangsangan, wanita itu tentu munafik!" celetuk Vina. Goi, hanya memainkan ujung tombaknya di depan lorong milik Vina. Membuat tubuh Vina merasakan geli hingga tubuhnya menggelinjang. "Vina, apakah sudah gatal? Lihat, punyamu begitu basah," ucap Gio sambil tangannya membuat bibir terowongan Vina. "Bajingan, kalau mau tusuk, tusuk saja! Tidak perlu kau mempermainkannya seperti itu!" kesal Vina di sela kenikmatan. Lagi-lagi, Gio memasukkan jarinya. Membuat Vina mencengkram dadanya sendiri. "Oh… Gio, tolong… aku sudah tidak tahan…" Vina
"Siapa yang menelponmu?" Saat sedang menikmati kemesraan berdua di ruang kafe VVIP sambil sekedar karaoke, Rubby menerima telepon dari Sang Ibu. Melihat ekspresi Rubby yang tiba-tiba sedih, membuat Elvano pun bertanya. "Um… Ibu yang menelpon, Paman. Ibu memintaku untuk pulang," jawab Rubby sedikit memelas. Elvano mengusap lembut kepala Rubby. Dia tahu kegundahan hati wanitanya itu. Setiap kali wanitanya menerima telepon dari Emily, Rubby akan bersusah hati. "Aku temani, ya! Aku juga harus mendapatkan restu dari Ibumu, 'kan?" Rubby tertunduk. Dia takut mengecewakan ibunya. Sampai detik ini pun, Rubby belum bisa membahagiakan Emily. Meraih kembali Anderson adalah impian dia untuk mengembalikan senyum Ibunya yang telah lama hilang oleh pengkhianatan ayahnya. "Tapi, Paman, bagaimana jika ibu membenciku?" tanya Rubby. "Katamu, ibumu membenciku? Apa kau tahu, alasan apa ibumu membenciku? Selama aku hidup, aku tidak pernah membuat kesalahan kepada ibumu."Ucapan Elvano membuat Rubby b
"Hei, monster kecil. Kau tampak begitu tegang, padahal punyaku belum tegang," Elvano mencoba mencairkan suasana di dalam mobil yang sedang melaju. Rubby menoleh ke arah Elvano. Dia mencubit perut Elvano yang sedang menyetir dengan kesal. Selalu saja Elvano bercanda disaat Rubby sedang memikirkan bagaimana dirinya menghadapi Ibunya jika bertemu. "Paman… ih, kamu tuh, nyebelin. Kok ada manusia seperti Paman? Aku sedang takut bertemu dengan Ibu," ujarnya kesal. Elvano tersenyum, diam menggenggam tangan Rubby. Memberikan dukungan dari genggamannya itu. "Kita akan melewati ini berdua. Jangan cemas. Bukankah aku ada untuk dirimu?" ucap Elvano. Rubby tersenyum, walaupun tidak ada cinta di antara mereka berdua, setidaknya, Elvano selalu ada disetiap kali Rubby membutuhkannya. Hal itu membuat Rubby bersyukur. Elvano melepaskan genggaman tangannya saat ponselnya bergetar. Elvano meraih ponselnya yang terselip di saku celana. Saat melihat layar ponsel itu, wajahnya seketika berubah. Rubby m
[Sudah aku katakan, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi! Kenapa kau selalu mengganggu waktuku, hah!] Elvano menjawab, suaranya terdengar agak kesal.Elvano menggenggam setir mobilnya dengan kesal. Ponselnya terus berdering, mengganggu konsentrasinya dalam mengemudi. Dia mencoba mengabaikan, tetapi panggilan tersebut tampaknya tidak berhenti. Akhirnya, dengan rasa kesal, Elvano meraih ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut.[Elvano, tolong...,] suara lemah Anna terdengar di seberang telepon, membuat Elvano seketika panik.[Anna? Apa yang terjadi?] Elvano bertanya, merasa khawatir mendengar suara Anna yang begitu lemah.[Aku... aku terpeleset di kamar hotel. Kaki ku terkilir,]jawab Anna dengan suara yang penuh rasa sakit.Mendengar itu, Elvano langsung bergegas. Meski Anna adalah mantan pacarnya, sebagai manusia biasa, dia tentu tidak tega mengabaikan Anna begitu saja. [Tunggu sebentar, Anna. Aku akan segera datang,] kata Elvano, sambil menginjak pedal gas mobilnya lebih dal
"Rubby, lihat wajah Ibu!"Suara lembut namun penuh ketegasan itu membuat Rubby semakin tidak berani mengangkat wajahnya. Apalagi, menatap ke dalam wajah Ibunya yang kini memberikan ekspresi yang begitu datar saat Rubby duduk berhadapan dengan sang Ibu. "Rubby!" panggil Emily membentak. Rubby terperanjat kaget. Dia sontak mengangkat wajahnya. "I---iya, Bu," jawabnya kikuk. "Katakan, sebenarnya, kamu dan Elvano ada hubungan apa? Ibu mendengar desas-desus itu. Ibu tidak akan marah selain kamu mau jujur. Apakah memang benar jika kamu adalah simpanan Elvano?" Rubby terlihat meragu. Di satu sisi, dia tidak mungkin terus menyimpan hubungannya dengan Elvano. Dengan rasa khawatir disertai ketakutan, Rubby memberanikan diri mengungkapkan apa yang telah dia lakukan. "Umm… Ibu, aku dan Elvano sudah menikah—"Plak! Sebuah tamparan Rubby dapatkan dari sang Ibu. Wajah Rubby tertunduk. Dia tahu tentu ibunya sangat kecewa. Dari itu, Rubby tidak melawan maupun ingin berdebat. "Kau tahu Elvano itu
"Siapa wanita yang mengangkat telepon tadi?" Rubby berpikir dengan penuh tanya. Rubby gelisah, pikiran dan hati seperti tidak sinkron saat mendengar suara wanita. Rubby semakin risau, langkahnya mondar-mandir di ruang tamu rumah ibunya dengan ponsel yang dia tepuk-tepuk di dagu. "Tolong, Rubby! Itu mungkin Sekretaris Paman." pikirnya. "Arrrggghhh! Tidak bisa begini. Olahraga dan mandi? Itu adalah hal yang diluar jangkauan otakku!" kesal Rubby frustasi dengan pikiran negatifnya kepada Elvano. Emily menatap tingkah laku Rubby dengan mengernyitkan dahi. "Itu Anak kenapa lagi? Kenapa seperti perahu kora-kora di Dufan, mondar-mandir seperti orang bingung," gumam Emily yang kemudian melangkah ke arah Rubby.Emily menepuk pundak Rubby. Rubby yang tersentak, membuat dia menoleh. "Ibu, kau mengagetkanku." "Ibu melihat kau gelisah. Sana makan dulu!" ajak Emily. "Iya, tapi aku belum lapar, Bu." "Apa karena masakan Ibu tidak semewah yang Elvano berikan?" Rubby mendengus sambil memutar bola