"Hei, monster kecil. Kau tampak begitu tegang, padahal punyaku belum tegang," Elvano mencoba mencairkan suasana di dalam mobil yang sedang melaju. Rubby menoleh ke arah Elvano. Dia mencubit perut Elvano yang sedang menyetir dengan kesal. Selalu saja Elvano bercanda disaat Rubby sedang memikirkan bagaimana dirinya menghadapi Ibunya jika bertemu. "Paman… ih, kamu tuh, nyebelin. Kok ada manusia seperti Paman? Aku sedang takut bertemu dengan Ibu," ujarnya kesal. Elvano tersenyum, diam menggenggam tangan Rubby. Memberikan dukungan dari genggamannya itu. "Kita akan melewati ini berdua. Jangan cemas. Bukankah aku ada untuk dirimu?" ucap Elvano. Rubby tersenyum, walaupun tidak ada cinta di antara mereka berdua, setidaknya, Elvano selalu ada disetiap kali Rubby membutuhkannya. Hal itu membuat Rubby bersyukur. Elvano melepaskan genggaman tangannya saat ponselnya bergetar. Elvano meraih ponselnya yang terselip di saku celana. Saat melihat layar ponsel itu, wajahnya seketika berubah. Rubby m
[Sudah aku katakan, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi! Kenapa kau selalu mengganggu waktuku, hah!] Elvano menjawab, suaranya terdengar agak kesal.Elvano menggenggam setir mobilnya dengan kesal. Ponselnya terus berdering, mengganggu konsentrasinya dalam mengemudi. Dia mencoba mengabaikan, tetapi panggilan tersebut tampaknya tidak berhenti. Akhirnya, dengan rasa kesal, Elvano meraih ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut.[Elvano, tolong...,] suara lemah Anna terdengar di seberang telepon, membuat Elvano seketika panik.[Anna? Apa yang terjadi?] Elvano bertanya, merasa khawatir mendengar suara Anna yang begitu lemah.[Aku... aku terpeleset di kamar hotel. Kaki ku terkilir,]jawab Anna dengan suara yang penuh rasa sakit.Mendengar itu, Elvano langsung bergegas. Meski Anna adalah mantan pacarnya, sebagai manusia biasa, dia tentu tidak tega mengabaikan Anna begitu saja. [Tunggu sebentar, Anna. Aku akan segera datang,] kata Elvano, sambil menginjak pedal gas mobilnya lebih dal
"Rubby, lihat wajah Ibu!"Suara lembut namun penuh ketegasan itu membuat Rubby semakin tidak berani mengangkat wajahnya. Apalagi, menatap ke dalam wajah Ibunya yang kini memberikan ekspresi yang begitu datar saat Rubby duduk berhadapan dengan sang Ibu. "Rubby!" panggil Emily membentak. Rubby terperanjat kaget. Dia sontak mengangkat wajahnya. "I---iya, Bu," jawabnya kikuk. "Katakan, sebenarnya, kamu dan Elvano ada hubungan apa? Ibu mendengar desas-desus itu. Ibu tidak akan marah selain kamu mau jujur. Apakah memang benar jika kamu adalah simpanan Elvano?" Rubby terlihat meragu. Di satu sisi, dia tidak mungkin terus menyimpan hubungannya dengan Elvano. Dengan rasa khawatir disertai ketakutan, Rubby memberanikan diri mengungkapkan apa yang telah dia lakukan. "Umm… Ibu, aku dan Elvano sudah menikah—"Plak! Sebuah tamparan Rubby dapatkan dari sang Ibu. Wajah Rubby tertunduk. Dia tahu tentu ibunya sangat kecewa. Dari itu, Rubby tidak melawan maupun ingin berdebat. "Kau tahu Elvano itu
"Siapa wanita yang mengangkat telepon tadi?" Rubby berpikir dengan penuh tanya. Rubby gelisah, pikiran dan hati seperti tidak sinkron saat mendengar suara wanita. Rubby semakin risau, langkahnya mondar-mandir di ruang tamu rumah ibunya dengan ponsel yang dia tepuk-tepuk di dagu. "Tolong, Rubby! Itu mungkin Sekretaris Paman." pikirnya. "Arrrggghhh! Tidak bisa begini. Olahraga dan mandi? Itu adalah hal yang diluar jangkauan otakku!" kesal Rubby frustasi dengan pikiran negatifnya kepada Elvano. Emily menatap tingkah laku Rubby dengan mengernyitkan dahi. "Itu Anak kenapa lagi? Kenapa seperti perahu kora-kora di Dufan, mondar-mandir seperti orang bingung," gumam Emily yang kemudian melangkah ke arah Rubby.Emily menepuk pundak Rubby. Rubby yang tersentak, membuat dia menoleh. "Ibu, kau mengagetkanku." "Ibu melihat kau gelisah. Sana makan dulu!" ajak Emily. "Iya, tapi aku belum lapar, Bu." "Apa karena masakan Ibu tidak semewah yang Elvano berikan?" Rubby mendengus sambil memutar bola
Rubby merasa gelisah dan tidak sabar untuk mengetahui siapa wanita yang mengangkat teleponnya tadi. Meskipun Emily memintanya untuk tidak keluar dari rumah, rasa penasarannya terus membayangi pikirannya dan membuatnya nekat pergi ke apartemen. Sesampainya di apartemen, Rubby merasa kecewa karena tidak menemukan Elvano di sana. Apartemen itu sepi dan tak berpenghuni, membuatnya semakin gelisah dan tidak sabar untuk mengetahui siapa wanita yang mengangkat teleponnya.Rubby memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur king size di kamar tidur, mencoba meredakan kecemasannya. Dia terus memikirkan siapa wanita itu dan mengapa Elvano tidak memberitahunya sebelumnya."Aaaa, paman brengsek! Mengapa kau membuatku gelisah seperti ini? Siapa wanita yang menemanimu berolahraga, hah? Akan ku cakar wajah wanita itu!" kesal Rubby yang dilanda rasa penasaran dan gelisahnya. Rubby berharap Elvano segera pulang dan dapat memberikan penjelasan. Rubby ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dan men
"Kau ini ganas sekali, Monster kecil. Gigimu seperti piranha. Lihat lenganku, sampai penuh dengan cetakan gigimu yang tajam itu!" Rubby menggaruk kepala. Ya, mana dia tahu kalau yang dia gigit adalah lengan Elvano. Yang Rubby tahu, dia sedang melakukan pesta pantai dan bakar-bakar ayam. Elvano meraih dagu Rubby. "Hei," panggilnya. Bibir Rubby mengerucut saat menatap wajah Elvano. Bola mata kacang almond yang sendu itu, membuat Elvano ingin sekali mencumbui wanita yang berada di depannya itu. "Apa?" tanya Rubby jutek. "Maafkan aku," ucap Elvano dengan pandangan serius menatap ke dalam manik mata Rubby. Rubby membuang wajahnya. Dia masih kesal dan jelas masih sangat marah dengan Elvano yang menurunkannya di jalan tengah hutan seperti itu. Iya, walaupun tidak ada rasa cinta, setidaknya punya rasa empati. Karena Elvano itu manusia! Bukannya siluman babi yang hatinya sudah dimakan oleh roh kegelapan. Bukankah, Tuhan menciptakan otak untuk berpikir? Lantas kenapa Elvano tega menurunka
"Paman, aku takut," ucap Rubby saat berada di kabin pesawat menuju ke Negara A. Elvano mengenakan kacamata hitam di duduk di kabin VVIP berhadapan dengan Rubby. Di depannya, ada sebuah meja kaca Elegan dengan berbagai minuman dan cemilan di atas meja itu. Elvano yang sedang melihat-lihat IPadnya, segera meletakkan benda tersebut dan menatap ke arah Rubby. "Tumben monster kecilku menjadi penakut?" Rubby menggigit bibir bawahnya gelisah. "Um… aku takut jika Ibumu tidak menyukaiku," ucap Rubby, dia mencoba mengungkapkan isi hatinya. "Ayo, kesini." Elvano menepuk-nepuk pahanya. Rubby yang duduk berhadapan dengan Elvano, tersekat meja pun, segera berdiri dan duduk di pangkuan Elvano. Elvano dengan kasih sayangnya memeluk tubuh Rubby. "Kau tidak perlu takut. Bukankah, tadi kita sudah membelikan hadiah untuk ibuku? Jadi jangan terlalu khawatir, oke?" Walaupun Elvano sudah mencoba menyakinkannya, namun Rubby masih saja gelisah. Perasaannya begitu tidak nyaman dengan pertemuan yang menda
Olivia mencari-cari keberadaan Rubby di kampus, namun tetap tidak menemukannya. Ia mulai gelisah dan merasa curiga. Akhirnya, ia memutuskan untuk menuju ke ruang perkuliahan Rubby untuk mencari keberadaan Kakak tirinya itu. Karena sudah hampir dua pekan Olivia tidak melihat Rubby di kampus. "Heh, kau cari siapa?" Olivia tersentak ketika Vina menegur Olivia dari belakang, saat ia tengah mengintip ke dalam ruang perkuliahan Rubby. "Cih, pengemis beasiswa, bisa tidak kau tidak muncul seperti jin botol, hah! Orang miskin sepertimu apa bisa beli jantung kalau aku terkena serangan jantung, hah!" ujar Olivia. Vina melipat kedua tangannya di dada. Pandangan penuh selidik kepada Adik tirinya Rubby. "Wanita kura-kura ninja, lagian kamu kenapa mengendap-endap di depan ruangan fakultas orang lain? Kau kan baru semester satu!" "Aku mencari si jalang temanmu yang suka menjual tubuhnya itu, dimana dia?" sinis Olivia dengan memasang wajah angkuh. Vina memberikan paras sinis saat sahabatnya itu d