Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Sementara itu, di lokasi Banquet Rakyat, suasana pesta menjadi aneh dan tidak biasa. Para tamu undangan terlihat masih kasak-kusuk untuk mencari tahu penyebab tidak adanya tuan rumah yang menyambut mereka di acara penting itu, meski derai tawa dan pekikan kemeriahan masih santer terdengar.“Lora, di mana Tuan Leon?” tanya Nyonya Dolores–sang ibu, seraya mendekati putrinya itu. “Entahlah, Bu. Aku juga tadi ditinggal sendiri,” kata Lora sambil mengunyah kudapan yang beraneka rasa. Mulutnya penuh dengan makanan, sampai-sampai, menjawab pertanyaan dari ibunya juga dengan susah-payah. "Lap dulu mulutmu!" Hardik ibunya yang membuat Lora terkekeh pelan. "Astaga, Lora! Kau seperti babi!" ejek Laurens sambil memutar bola matanya. Lora hanya melotot dan meneruskan aktivitas makannya tanpa mempedulikan perkataan kakak atau pun Ibunya. “Sudahlah, Bu. Mungkin Tuan Leon banyak urusan. Kita nikmati saja pesta ini,” ucap Laurens sambil mengambil dua gelas anggur yang terhidang di meja. Pria itu
“Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan-tuan?” Nyonya besar Rossie berbicara dingin, dengan ekspresi tegas untuk mengusir para tamu tak diundang. Pemilik Mansion ini segera menuju ke arah gerbang, setelah sang pengawal melaporkan situasi yang tidak diduga-duga di kediamannya. “Kami akan menggeledah Mansion ini,” ucap Inspektur Kirk secara pribadi, di hadapan sang Nyonya. “Saya Inspektur Kirk, dan saya membawa search warrant dari pengadilan,” tegasnya sambil mengulurkan dokumen resmi sebagai dasar legal tentang penggeledahan yang akan dilakukan. “Astaga! Apa yang terjadi?” Nyonya Rossie terkejut, dan tidak mengira akan mendapatkan perlakuan seperti ini. Rona wajahnya berubah. Nyonya yang semula dingin dan tegas, kali ini seakan tersinggung dengan perlakuan yang ia dapatkan. Bisa-bisanya para petugas dari ibu kota itu menggeledah kediaman seperti seorang kriminal. “Maaf, Nyonya. Kami hanya ingin mencari Abigail Rossie. Dia masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Anda, bukan?”“Anda
Sinar bulan yang awalnya memancar sempurna, kini temaram tertutup awan mendung yang tiba-tiba datang. Danau tenang kini beriak, dengan pantulan kekejian yang sedang berlangsung di daratan. Serigala berlumur darah, sedang mundur selangkah, untuk bersiap menyerang kembali mangsa yang ada di hadapannya. Pria itu, Adam Hart, tertatih menahan nyeri di koyakan lengannya. Dengan langkah limbung, Adam hampir kehabisan darah. Cairan merah itu terus mengalir deras, menimbulkan bau anyir yang menyegarkan bagi sang pemburu di sekitarnya. 'Grrrr...Serigala kembali menggeram, dengan menunjukkan gigi-giginya yang tajam. Semburat merah dengan irisan daging bertengger di antaranya, menimbulkan kehausan akan porsi yang lebih, dalam mengganjal rasa laparnya. Serigala itu bukanlah hewan yang biasa ditemui di Danau Hutan Cedar. Mungkin, ia benar-benar kelaparan, sehingga melintasi wilayah buruan hewan lain yang berada di luar kelompoknya. "Pergi! Binatang jalang!" Adam berteriak, dengan gemeletuk g
Seperti predator pada umumnya, Leon berpikir menggunakan otak reptilnya. Ia bahkan tidak menunggu hingga bala bantuan datang—para anak buahnya—dan segera berlari menuju ke arah yang ditunjukkan oleh sang ayah mertua. Sementara itu, tim pengawal Rossie—yang dipimpin oleh Clark—malah berlari ke arah sebaliknya. Mereka tidak mengetahui rahasia pondok tua milik Nenek Lucy—mantan dayang Ibunda Arren—sehingga mencari sang Nona ke arah yang salah. Pengawal-pengawal itu menyusuri pedesaan yang ada di sekitar lembah, yang masih berada dalam wilayah Rossie. Mereka tidak pernah mengira bahwa sang Nona sedang berada di area berbeda. Pertemuan Leon dengan ayah mertuanya—meski awalnya dianggap sebagai bentuk kesialan—ternyata memiliki manfaat yang besar. Leon dapat dengan mudah membawa kembali Arren tanpa harus melawan bala tentara Rossie yang tak terhitung jumlahnya. Jika dikalkulasikan, tentu anak buah Leon kalah jumlah. Namun, persoalan nyali, mereka tidak bisa dianggap sebagai orang-orang t
"Tidak mungkin! Ibuku seorang budak! Dia tidak memiliki siapa-siapa!" Leon berteriak, tidak menerima pernyataan tanpa dasar dari seseorang yang baru saja dikenalnya. "Nak…"Nenek Lucy memahami, mengapa sulit sekali menjelaskan hal ini. Lesea memang bukan putri kandungnya. Dia hanyalah anak adopsi. "Ibumu adalah korban perang di Prusia. Tuan besar membawanya ke wilayah ini ketika lepas dinas di sana. Dia—""Tidak! Kau berdusta!"Terlihat kobaran amarah dalam sorot mata Leon, yang menolak segala informasi baru tentang ibunya. Wilayah ini, memang benar, seharusnya tidak pernah ia singgahi. Luka lama Leon terbuka kembali. Ia kini merasakan sesak yang menjalari dada, tanpa disadari. "Hah… Hah…" Kepala Leon berputar-putar. Ia mencoba menepis kenangan masa lalu yang tiba-tiba menyeruak. Kenangan tentang sang ibu, memang tidak pernah menyenangkan hatinya. Leon hanya akan semakin terluka, ketika mengetahui berita tentang mendiang ibunya. "Tenanglah, Tuan…" Nenek Lucy meraih air mineral y
Arren tidak bisa berteriak, dan hanya menatap Leon lekat, dengan tatapan sendu yang mendalam. Tatapan Arren itu seakan berarti, ia begitu menantikan kedatangan Leon, meski awalnya hanya sebatas angan.Bulir air terlihat menggenang di antara kedua matanya. Entah mengapa, gadis itu begitu lega karena Leon akhirnya menampakkan dirinya. Tapi, perasaan aneh apa ini?Ada semacam kerinduan yang tiba-tiba menyeruak, namun terhalang oleh harga diri yang tetap ada di dalam hatinya. Bukankah Arren sudah melarikan diri dari jeratan pria itu? Lantas, mengapa sekarang ia begitu bahagia ketika kembali bertemu? Ah… apakah, perasaan cinta dan benci memang harus membingungkan seperti ini? Arren belum bisa mengartikan kontradiksi perasaannya ini. Namun, satu hal yang pasti, Ia begitu bahagia, jika memang harus ditakdirkan untuk mati, hari ini. ***Leon menyapu pandangan, mencoba menelaah situasi yang sedang terjadi di tempat ini. Ia tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Tidak ada senjata, tidak
Malam yang kelam sedikit lagi berganti pagi. Semburat merah perlahan mulai menampakkan diri. Abigail telah selesai berkemas dan siap untuk pergi dari pondok terkutuk ini. Langkahnya yang tak sabar, segera bergema di seluruh ruangan. "Kita pergi sekarang!""Tunggu!"Leon mematung, memandangi sang istri yang sendirian dan tampak rapuh itu. Meski terbebas dari ikatan, namun tentu saja Arren masih belum bisa bergerak bebas. Ranjau terkutuk itu menahan segalanya. "Arren… bertahanlah!""Leon…"Perpisahan kembali menghadang pasangan ini. Keduanya sadar bahwa mereka tidak memiliki pilihan. Baik Leon maupun Arren, keduanya tertawan oleh keadaan, tanpa bisa melawan. "Biarkan aku berpamitan sebentar."Leon mendekat ke arah Arren, sambil mengucap kata perpisahan. Tidak ada yang ingin mati terpanggang di sana. Jadi, Leon hanya bisa mendekat sekitar satu meter dari posisinya semula. "Tunggulah aku. Ini tidak akan lama."Arren mengangguk perlahan, setelah mendengar penuturan Leon. Gadis itu tent
"Hei!"Leon menatap nyalang musuh yang ada di hadapannya. Pria itu! Dengan jenggot tebal yang menyerupai seorang tuna wisma, namun perawakannya tinggi besar hampir setinggi dirinya. "Siapa kau!" teriak Leon yang sedang dalam posisi siaga, siap menyerang jika pria itu tiba-tiba melayangkan kapaknya. Namun, pria itu hanya terengah-engah tanpa menjawab segala pertanyaan dari Leon. Pandangannya lekat pada sosok Abigail yang tengah meregang nyawa, bersimbah darah di hadapannya. Abigail—wanita jahat itu—bahkan tewas dalam posisi terperangah. Bola matanya hampir melompat ke luar, seakan tidak pernah memperkirakan kejadian nahas yang menimpanya ini. Semua sudah terlambat. Kejadiannya begitu cepat. Saat ini, Abigail telah tewas. "Akhirnya…" desis pria itu lega. Klang! Ia membuang kapak dengan semburat darah itu begitu saja, di sekitar mayat sang buruan yang teronggok seperti sampah di atas aspal jalan. "Tuntas dendamku, padamu. Pergilah ke neraka!" teriaknya dengan nada tajam dan napa