SANDWICH GENERATION"Nah ambillah, Nak!" kata Abah Usman sesaat setelah kembali sambil membawa kertas di tangannya yang dia masukkan ke dalam sebuah amplop kain berwarna merah cantik."Tolong berikan ini kepada Abahmu ya, Nak. Katakan ini dariku," perintah Abah Usman. Mulki pun menganggukkan kepalanya. Dia berbasa-basi sebentar dan berpamitan untuk pulang, setelah itu Umi Nisa langsung mengajak Gendis untuk membuat makanan berbuka puasa mereka. Hal itu dilakukan Umi Nisa agar Gendis tak selalu terpikirkan oleh Mulki saja, karena dia tahu gadis itu benar-benar sedih sekarang."Nak, mari kita memasak makanan untuk buka," ajak Umi Nisa. Gendhis hanya menggaanggukkan kepalanya dengan patuh kemudian berjalan mengikuti Umi Maryam."Gendis kau tahu tidak perjalanan rumah tangga itu adalah ibadah yang paling berat dan dilakukan oleh manusia seumur hidupnya. Jika bisa, hendaknya dia menikah sekali seumur hidup," jelas Umi Nisa."Iya, Umi. Gendis tahu, tapi banyak anak muda sekarang di negara
BERJUANG UNTUK MENDAPATKAN RESTU"Siapakah lelaki itu?""Gendhis tak tahu harus memulainya dari mana, Bu. Gendhis bingung antara takut atau bersyukur, musibah atau berkah," ujar Gendhis pada Ibunya."Loh kenapa? Kau takut kenapa memangnya? Ndu, jawab Mama. Kau memang di jodohkan dengan siapa oleh Abah Usman? Kalau kau memang tak suka, membuatmu tak nyaman, dan takut maka kau bisa menolaknya juga. Kalau memang kau tidak berani, biar mama saja yang menolak untukmu," kata Mama Gendhis, Ririn. Jujur saja, Mama Gendhis dia takut Abah Usman menjodohkan dengan lelaki sembarangan."Tidak, Ma. Bukan masalah itu," sergah Gendhis."Lalu apa? Abah Usman melakukan apa padamu? Apa yang menjadi masalahmu?" tanya Ririn."Mulki, Ma," jawab Gendhis."Hah? Apa maksudmu?" sahut Ririn."Ya, memang Mulki. Memang dia ternyata orang itu. Mulki adalah orang yang tidak pernah Gendhis pikirkan sebelumnya," jelas Gendhis."Siapa? Apa maksudmu, Nduk? Mulki lelaki mana?" tanya Ririn yang bingung sendiri."Mulki, M
Pulang Ke Indonesia![Mulki, jika kau mencari wanita seperti ibumu atau kakak perempuanmu mungkin aku jauh dari itu. Kalau Ibumu mencari wanita yang lemah lembut, penyayang, pengasih, bahkan tidak mempunyai masa lalu kelam, sungguh sulit dan posisiku terancam][Tolong hadapi aku dengan baik dan beritahu apapun, jangan biarkan aku berjuang sendiri untuk meluluhkan dan mendapatkan restu yang bahkan aku pun tidak pernah belajar soal itu][Aku tahu Gendis untuk memperjuangkan rezeki orang tua itu adalah tugasku sendiri bukan tugas calon istri sepertimu. Aku tahu kalau aku ingin bersamamu aku harus meyakinkan orang tuaku. Gendhis, aku belum bisa ke rumahmu, sebelum aku meyakinkan orang tuaku dulu. Karena aku ingin bertanggung jawab dalam mengambil keputusan dan tak akan melemparkan tanggung jawab ini kepadamu, Gendis][Gendis aku akan perjuangkanmu dan menempatkanmu di nomor pertama saat kau menjadi istriku. Apapun itu dalam hidupku dan kau akan menjad
SIAPA DIA?"Assalamualaikum," sapa Mulki."Pakde! Pakde!" teriak anak kecil di pangkuan Sifa, anak berusia satu tahun itu dengan bahasanya yang masih cadel menyapa Mulki."Assalamualaikum Humairah! Benar-benar Humairah, pipinya bersemu kemerahan. Cantik sekali," puji Mulki."Masuklah, Le," perintah Sifa."Iyo, Mbak. Sedang apa kau anak cantik? Kau sudah minum susu ya? Ah, pintarnya keponakan Pakde," kata Mulki sambil menaruh barang bawaannya di bagasi. Mulki ipun mencium tangan kakaknya. Sifa mengelus kepala adiknya dengan penuh rasa kasih sayang. Meskipun sudah besar, tetap saja Sifa memperlakukannya seperti anak kecil."Sudah menunggu lama, Mbak?" tanya Mulki. "Tidak kok, baru setengah jam kami sampai. Saat kau mengatakan hampir landing, Mas Rio mengontrol mu lewat jam kedatangan pesawat. Kami tadi berhenti di rumah makan yang memang dekat bandara," jelas Sifa."Syukurlah kalau begitu. Kau tak terl
SEBUAH SURAT DARI TARIMMulki pun menganggukkan kepalanya. Abah Furqon melihat mobil sudah memasuki gerbang pesantren rumahnya, Mulki melihat beberapa santri sedang berlarian pesantren yang dibangun Abahnya. Pesantren itu memang maju sangat pesat, mengingat Abahnya benar-benar sangat konsentrasi membangun pesantren itu dan tak main-main. Semua uang yang didapatkannya selalu dimasukkan untuk mengelola dan membesarkan pesantren. Banyak anak yatim piatu di sana, mereka sekolah dan mondok secara gratis.Tapi ada juga banyak anak-anak orang kaya yang di sana. Mereka selalu melebihkan biaya sekolah anak-anaknya sekaligus untuk infak. Itulah yang dijadikan subsidi silang untuk membiayai biaya operasional pesantren. Mulki pun turun dengan mencangklong ranselnya dan berniat mengambil koper itu."Taruh lah sana, Dek! Nanti aku akan bantu ambilkan. Kau pasti lelah," ujar Rio saat melihat Mulki sibuk menurunkan kopernya."Tidak usah, Mas. Aku bisa sendiri," s
KECEWANYA SEORANG AYAH"Astaghfirullahaladzim, Abah Usman kan memiliki sebuah surat yang harus aku sampaikan kepada Abah. Aku harus segera menyampaikannya," ujar Mulki.Dia pun meraih baju koko panjang yang dikenakannya saat dia pulang dari Tarim tadi dan segera menemukan surat itu dan pergi keluar mencari Abahnya. Mulki celingukan, di ruang tamu sudah tak terlihat sosok Abahnya. Kemudian dia berteriak sambil berjalan ke dapur."Bah! Bah," teriak Mulki. "Kau mencari Abah, Le? Jam segini pasti dia juga ada di pesantren. Dia hanya pulang sebentar demi menemui mu tadi. Kenapa memangnya?" tanya Umi."Oh sudah berangkat ya, Mi," gumam Mulki melihat Uminya menggoreng mendoan untuk mereka berbuka."Sudah, Le. Baru saja berangkat. Kenapa to? Kau tidurlah sana," perintah Umi Laila."Iya, Mi. Nanti kalau Abah sudah pulang tolong bangunkan Mulki ya, Mi. Mulki akan tidur sebentar agar tidak pusing," pamitnya."Ada apa to, memangnya? Dari tadi kok ndak di jawab pertanyaan Umi," ucap Umi Laila sam
KONTROL DIRIMU, LE!"Bah, kenapa Abah diam saja? Sepertinya Abah menyimpan sesuatu yang Umi tidak tahu ya," tebaknya."Abah, Abah sudah tahu ya siapa calon wanita itu? Apakah Abah mengenal wanita itu? Apakah dia salah satu santri Abah Usman?" tanya Umi Laila yang antusias sekali.Bukan tanpa alasan Umi Laila sangat gembira, mengingat dia benar-benar ingin melihat anak lelakinya menikah. Selain faktor usia Mulki yang sudah mapan, dia juga sudah lelah melihat Mulki jadi bahan gunjingan. Apalagi sebenarnya banyak pinangan yang datang ingin mejodohkan putrinya dengan Mulki, namun lagi Mulki menolak. Sekarang tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba putranya ingin menikah, apalagi dengan pilihan Abah Usman guru besar Tarim tempah suami dan anaknya menimba Ilmu."Bah," panggil Umi Laila lagi melihat suaminya yang diam. Lagi apa Furqon pun pasrah dan hanya bisa menganggukkan kepalanya."Wah bagus dong, Bah," pekik Umi Lailalangsung antusias."Bagus bagaimana?" tanya Abah Furqon."Ya bagus kala
PERDEBATAN!Mulki menundukkan kepalanya, ketika nada suara Abahnya meningkat tanda bahwa dia tak marah. Hal yang sangat jarang terjadi."Maaf, Bah," gumam Mulki."Ada yang ingin aku bicarakan padamu, tapi sebelumnya Abah ingin salat istikharah dulu. Abah ingin mengadu semuanya kepada gusti Allah sebelum kita berbicara sesuatu hal yang serius. Abah tak mau salah jalan," ujar Abah Furqon."Bah," panggil Mulki lirih."Maaf ya Jika mungkin pilihan Mulki kali ini akan sedikit mengecewakan Abah, Umi, dan Mbak Sifa," ucapnya."Le, diamlah dulu. Abah belum ingin membahasnya dulu, Le. Abah masih intropeksi semuanya, Abah masih ingin mencari sebab musabab semua ini, kenapa bisa dan apa rahasia di balik takdirnya. Hikmah yang akan kita apat nanti," ucap Abah Furqon mengangkat tangannya tanda tak ingin melanjutkan diskusi ini."Tapi, Bah...""Sudah, kita lanjutkan nanti saja yo, Le," perintahnya lagi.Mulki pun menganggukkan kepalanya pasrah. Dia tahu jika Abahnya begitu serius mendalami agama