Beranda / Pernikahan / Gagal Jadi Maduku, Dia Jadi Iparku / Apakah Surga Harus Sesakit Itu, Bah?

Share

Apakah Surga Harus Sesakit Itu, Bah?

APAKAH SURGA HARUS SESAKIT ITU, BAH?

"Tapi Sifa bukankah kau terlalu..."

"Kenapa? Kau keberatan dengan permintaanku, Mas? Kau tak lupakan tentang perjanjian khulu' itu atau perlu aku bacakan perjanjian itu di depanmu?" tantang Sifa.

Rio hanya terdiam sekarang, percuma saja dia berkata apapun rasanya tak akan memperbaiki keadaan. Dia sadar sang istri begitu karena posisi Sifa saat ini sudah marah dan murka padanya, amarah, benci, sudah menguasai hati nya. Rasanya semua penjelasan yang logis pun terasa tak masuk akal di Sifa sehingga dia memutuskan untuk diam terlebih dahulu.

"Baiklah terserahmu jika begitu," kata Rio.

Rio pun asik menulis di kertas itu. Dia memandang Sifa lagi, lalu bergantian dengan Abah dan Mulki, dia menghela nafasnya panjang. Mau tak mau dia ingin jujur saat ini dari pada harus sembunyi- sembunyi.

"Sifa, kau adalah istriku kan. Daripada aku bersembunyi-sembunyi di belakangmu atau kau tahu dari orang lain, mending aku mengatakan ini padamu langsung. Aku akan jujur sekarang, aku ingin memberikan Gendis sebuah rumah lagi, salah aku ralat bukan sebuah rumah tetapi aku ingin memberikannya sebuah rumah agar aku tak berkewajiban untuk memberinya nafkah setiap bulan," jelas Rio.

"Ini aku lakukan untuk kebaikan kita, sehingga tak ada lagi yang akan menyebabkan atau aku tak memiliki alasan untuk menghubunginya lagi. Aku berharap dengan niatan baikku ini kau bisa terima dan menalarnya sehingga tak akan ada pertengkaran di antara kita lagi. Apalagi hanya gara-gara masalah nafkah untuk Kai, nama anakku dan Gendhis. Aku memang berniat mengatas namakan Kai dalam bentuk ghibah sebagai perwujudan maafku untuknya, dan rumah untuk akan ku atas namakan dia, jadi bukan Gendhis. Bagaimana menurutmu? Apakah itu adil?" tanya Rio mencoba memberikan usul pada istrinya.

"Kenapa kau berpikir memberikan rumah? Hah? Sedangkan aku pun sebagai istrimu saja tak pernah memiliki rumah atas namaku. Begitu cintanya kah kau dengan dirinya?" sindir Sifa.

"Sifa, dengarkan aku. Aku memilih membelikan rumah karena aku berpikir ini yang terbaik dan membatasi aku sendiri untuk berhubungan dengannya. Kau tidak bisa mengontrol emosimu dan akan selalu berpikir buruk tentangku, aku tidak menyalahkanmu karena itu juga salahku. Tapi daripada kau terus berpikiran seperti itu kau, terus berburuk sangka, jadi aku memutuskan untuk memberikan suatu aset saja. Dimana jika aset itu dia kontrakkan per tahun rasanya aku sudah tak berkewajiban tapi memberinya nafkah untuk anak kami juga. Aku akan memberikannya sekali dan itu untuk selamanya. Bagaimana menurutmu?" tanya Rio.

'Tes' air mata Sifa menetes, rasanya sakit sekali hati Sifa mendengar ucapan sang suami. Dia tak rela, tak terima, tapi di satu sisi dia sangat tahu betapa kerasnya hati dan kemauan Rio. Rasanya jika dia melarangnya dan justru membiarkan dia memberikan jatah bulanan untuk Gendis tentu saja itu semakin membuka peluang lebar kesempatan Rio mengulangi kesalahan yang dulu. Pernyataan beliau ini seperti menjebak ibaratnya, maju salah mundur salah ke sampingmu akan kena.

"Bagaimana menurut Abah?" tanya Sifa meminta pertimbangan Abah nya panjang.

Kini ganti Abah Furqon menghela nafas panjang. Jujur saja dia takut salah dalam memberi pendapat, tapi dia juga tak bisa membiarkan Sifa bingung karena sang putri takut lalu  stress dan terkena baby blues. 

"Abah akan membahas dari segi agama tanpa mau menyangkut pautnya dengan masalahmu dan Sifa dulu. Nafkah anak zina itu menjadi tanggungjawab ibu nya, bukan lelaki yang menghamili ibunya. Maraknya kasus perzinahan telah menimbulkan dampak negatif yang luar biasa. Lahirnya anak-anak tanpa seorang ayah, tentunya menjadi beban berat tersendiri kelak bagi si anak tersebut. Sebelum masuk ke inti persoalan yang ditanyakan, maka hal yang harus dipahami adalah mengenai kedudukan status hukum anak zina dalam fiqh.  Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada ayah biologisnya tetapi dinasabkan kepada ibunya. Di samping itu ayah biologisnya tidak berkewajiban memberi nafkah dan warisan," jelas Abah Furqon meskipun ini kenyataan yang baik tapi apa Furqon sudah berjanji dia akan selalu mengatakan yang benar sebagai kebenaran dan yang salah sebagai suatu kesalahan. Lagi apa Furqon agama itu harus jelas putih harus dikatakan putih hitam harus dikatakan sebagai hitam tak boleh ada abu-abu diantara mereka.

"Namun menurut mayoritas fuqaha, meskipun dianggap tidak memiliki pertalian darah, sang ayah biologis tetap diharamkan untuk menikahinya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.Menurut mayoritas fuqaha, haram bagi lelaki menikahi anak perempuannya yang dihasilkan dari perzinahan, saudara perempuannya, anak perempuan dari anak laki-lakinya, anak perempuan dari anak perempuannya, anak perempuan saudara laki-lakinya, dan saudara perempuannya. Sedang menurut Imam Malik dan Imam Syafii dalam pendapat yang masyhur di kalangan mazhabnya, boleh bagi laki-laki tersebut menikahi anak perempuannya karena ia adalah ajnabiyyah (tidak memiliki hubungan darah), tidak dinasabkan kepadanya secara syar’i, tidak berlaku di antara keduanya hukum kewarisan, dan ia tidak bebas dari laki-laki yang menjadi ayah biologisnya ketika sang yang memilikinya sebagai budak, dan tidak ada keharusan bagi sang ayah untuk member nafkah kepadanya. Karenanya, ia tidak haram bagi ayah biologisnya (untuk menikahinya) sebagaimana perempuan-perempuan lain. Namun menurut sebagian ulama dari kalangan madzhab maliki seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian perempuan hamil dan melahirkan seorang anak perempuan, maka si lelaki tersebut tidak boleh menikahi anak perempuan tersebut. Ketidak bolehan menikahinya adalah karena di antara keduanya dianggap ada pertalian darah (nasab)." sambungnya.

Menurut mayoritas ulama anak zina tidak di nasabkan kepada lelaki pezina (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz, 7, h. 130) Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa anak tersebut dianggap tidak memiliki pertalian darah dengan ayah biologisnya, sehingga tanggungjawab sepenuhnya berada dipundak sang ibu, termasuk di dalamnya adalah memberi nafkah. Bahkan menurut Imam Malik, dan Imam Syafii yang masyhur di kalangan mazhabnya, anak tersebut boleh dinikahi ayah biologisnya karena dianggap tidak memiliki pertalian darah dengannya. 

"Memang dalam pandangan sebagai orang awam keterangan yang Abah kemukakan tersebut sungguh tidak adil. Sama-sama melakukan zina tetapi yang harus menanggung semuanya adalah pihak perempuan. Makanya kadang kalau memang di rasa mampu bertanggung jawab ayah terhadap anak. Tapi yang jelas jika memang Rio ingin memberikan tanggung jawabnya sebagai seorang bapak melalui nafkah, Abah rasa jika kamu memang ikhlas maka itu akan menjadi ladang pahala buatmu. Bukankah begitu?" tanya Abah Furqon.

Sifa menangis mendengar jawaban Abahnya yang memang terasa menyakitkan baginya. Sebagai istri, Sifa yang tersakiti, Sifa juga yang harus legowo.

"APAKAH SURGA HARUS SESAKIT INI, BAH? MAS?BERSAMBUNG

Season 1 Selir Kesayangan Suamiku

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status