ITU NAMANYA MENDZOLIMI DIRINYA SENDIRI"Lalu apa yang harus Sifa perbuat, Bah?" gumam Sifa menatap nanar ke arah Abahnya."Nduk jodoh itu sudah ada yang mengatur dengarkan Abah, jika memang Rio mencintai wanita itu dan kembali padanya biarkan saja. Mungkin memang jodohmu dan Rio hanya sampai saat itu..." jelas Abah."Bah..." panggil Rio."Rio, sama sepertimu. Sifa juga berhak mendapatkan lelaki lain yang lebih bisa membuatnya bahagia dari pada seperti ini. Kau belum pernah menjadi tua seperti Abah, kau belum mengerti bagaimana menjadi orang tua seperti Abah, Rio. Bagaimana sakit hatinya melihat putri kita nelangsa dan sakit seperti ini. Aku yang menemani anakku, dia yang masih menjadi bayi merah sampai bisa melahirkan bayi. Kau tak berubah Rio, hidup anakku hanya kebahagiaan semu semata. Anakku tak bahagia atau anak kalian masih kecil-kecil, Kau masih pantas Sifa untuk mendapatkan lelaki yang lebih baik dan tak hanya Rio saja yang bisa melakukannya," jelas Abah Furqon."Maaf jika Abah
KARMA YANG MENYAKITKAN!"Mumpung-mumpung Abah dan Umi masih sehat, maka bisa menyarankan hal itu padamu. Untuk apa? Hanya satu yang Abah inginkan. Abah tak ingin kau menderita dan kau berhak bahagia, sayangi dirimu sendiri, perkara jodoh tak usah takut Allah pasti akan sudah menyiapkan yang terbaik untukmu. Sekali dua kali kau mengalah dalam rumah tanggamu itu memang benar dan baik dan akan menjadikanmu memperoleh ladang pahala yang begitu mudah. Tapi jika terus-terusan sabar itu menyakitimu maka kau juga masuk dalam kategori mendzolimi dirimu sendiri," sambungnya."Lalu Mbak Sifa harus bagaimana, Bah?" tanya Mulki."Mau tak mau maka Sifa harus mengikhlaskan dan lepaskan," jawab Abah Furqon. Mulki mengangguk setuju, sedangkan Sifa hanya terdiam masih meratapi nasib rumah tangganya. "Mbak sampeyan tadi diantar siapa? Bilanglah pada sopir yang mengantarmu tadi suruh pulang jangan- jangan dia masih menunggumu," ujar Mulki melirik kakaknya drai spion kaca tengah mobil.Sifa hanya mengang
UGD"Bukan begitu, Rio. Justru aku menghubungimu karena aku yakin dan aku hanya bisa percaya padamu. Aku sudah berjanji tak akan berhubungan lagi dengan Gendhis, maka tolong bantu aku menepati janjiku. Hanya kau lah sekarang yang bisa aku andalkan. Tolong Mulki, tolong kau hubungi Gendis tanyakan bagaimana keadaannya, apakah ada yang terjadi dengannya. Aku akan mengirimkan nomornya padamu, tolong pastikan dirinya baik-baik saja. Jika ada apa-apa hubungi aku, maka aku akan membantunya lewat tanganmu. Jika dia mengalami kecelakaan atau sebagainya tolong bantu dan pastikan. Percayalah padaku Mulki, hanya kau yang bisa ku andalkan saat ini, tolonglah aku! Kali ini saja," pinta Rio.Mulki terdiam sejenak, dia mempertimbangkan semua itu. Bagaimana baik buruknya permintaan Mulki itu, apakah dia mau melakukannya atau tidak. Mulki berpikir keras saat ini, satu posisi dia senang karena bisa dengan mudah mendapatkan nomor Gendhis sendiri tapi di sisi lain Gendhis itu adalah wanita yang menyakiti
APAKAH KAU BAJINGAN ITU?"Apa yang terjadi pada gadis itu? Ternyata benar apa yang di katakan Rio, lelaki itu benar-benar memiliki insting yang tajam dengannya. Apakah aku harus ke sana? Apa alasanku pada semua orang di rumah?" batin Mulki dalam hati."Bah, Mulki pamit dulu ya. Mulki pinjam mobil boleh?" tanya Mulki sambil berpamitan."Mau ke mana, Le?" tanya Abah Furqon, hal yang sebenarnya biasa di tanyakan bapak pada anak namun mampu membuat Mulki bingung."Ah, ini Bah. Mulki mau ke rumah sakit," jawab Mulki."Loh siapa yang sakit? Temanmu?" cerca Abah Furqon yang penasaran karena tiba-tiba Mulki hendak pergi mendadak."Em, anu, Bah. Iya wes dia temen Mulki," jawab Mulki bingung.Abah Furqon hanya tersenyum geli melihat tingkah anaknya seperti itu. Anak lelaki nya seperti menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Abah Furqon mengira Mulki memang dekat dengan wanita namun belum siap mengenalkan pada keluarga, lalu wanita itu sedang sakit di rumah sakit. Itu sebab nya dari tadi Mulki tak
SALAH PAHAM"Keluarga Anak Kai?" tanya Dokter. "Ya, Dok." jawab Mulki."Apakah ini yang di sebut luka dan karma?" batin Gendhis dalam hati."Pak, Bu, kondisi Kai sangat kritis sekarang. Kami sudah memberinya anti bisa, kita akan melihat reaksinya beberapa jam ke depan. Tapi untuk perawatan lebih lanjut kami ingin anak Kai, di pindah ke perawatan ruang intensif. Kita tak tahu ular apa yang menggigit atau mematuk anak Ibu dan Bapak, tapi bisa kami pastikan itu lumayan berbahaya," jelas Dokter itu.Mulki menyimak semua pembicaraan sang dokter, tangan Gendhis tiba- tiba menyentuh tangan Mulki. Entah mengapa refleks Mulki menggenggamnya, seperti memberikan sumber kekuatan untuk Gendhis. Mendengar penyataan dokter tersebut air mata Gendhis menetes, memang apa yang di katakan dokter itu benar. Di Kawasan permukiman, ular terkadang muncul di rumah penduduk, hal itu terjadi karena habitat ular semakin berkurang, alhasil sebagian ular merambah pemukiman."Apakah sebagai Dokter, Dokter ini tak
DEKATI IBUNYA BARU BONUS ANAKNYA!"Bu ini...""Apa kau bajingann itu?" tanya Ririn dengan tegas. Mulki menggelengkan kepalanya dengan cepat."Panjenengan salah paham, Bu," jawab Mulki."Apa maksudmu?" selidik Ririn.Mulki menghela nafasnya panjang dia memang tak menyalahkan jika Ibu Gendis salah paham padanya dan mengira dia lelaki bajingann yang menghamili putrinya. Karena ini pertama kali mereka bertemu, sebelumnya Mulki sendiri tak pernah terlihat dan tak pernah berkunjung ke rumah Gendis. Apalagi sebagai orang tua Mulki sangat paham jika mungkin Ibu Gendhis sangat marah mendapati kenyataan bahwa anaknya memiliki anak tanpa menikah. Jadi dia masih berusaha dengan lembut menjelaskan kepada sang ibu yang memang dari awal sudah terkesan galak."Perkenalkan sebelumnya, Bu. Nama saya Mulki, ini adalah kali pertama saya ketemu dengan panjenengan. Jadi saya bukanlah lelaki yang Ibu cari itu," jawab Mulki."Jika memang begitu, lalu apa hubunganmu dengan Gendis? Mengapa kau bisa ke sini dan
IZIN PERGI"Mumpung-mumpung saya masih bisa menjaga, Gendhis. Biarkan saya yang menjaganya sebelum Ibu kemari lagi, karena nanti sore sedikit saya tidak bisa ada di sini, Bu. Saya harus menyelesaikan beberapa pekerjaan saya, juga," jelas Mulki lembut dan santun.Ririn menatap ke arah lelaki itu sepersekian detik dia melihat Mulki dengan semua kesopan dan santunan Mulki dan segala kelemah- kelembutannya membuat Ibu Gendhis akhirnya luluh juga. Karena jika di pikir lagi apa yang di katakan Mulki benar, dia belum memiliki persiapan menginap di rumah sakit."Baiklah, apa kau tak akan kerepotan nantinya?" tanya ibu Gendhis penuh selidik."Tidak Bu, saya tidak merasa terbebani, juga tidak merasa direpotkan kkok, Bu. Justru yang menjadi pertanyaan saya, apakah Ibu nanti ada yang mengantarkan pulang? Saya gojek kan bagaimana?" usul Mulki."Tenang saja, masih ada para tetangga di depan sana," jawab Mama Gendhis."Nah mending sekarang Ibu pulang dulu. Nanti urusan bisnis insyaallah akan saya ta
PERGILAH! "Terima kasih nanti saja. Apa maksudmu? Apa maksudmu dengan semua perbuatanmu ini, Mulki?" tanya Gendhis. "Apakah perlu kau membahasnya saat seperti ini? Bukankah yang terpenting sekarang adalah Kai," sindir Mulki. "Maaf Mulki, aku harus membahasnya. Aku tak ingin adaa salah paham lagi antara kita semua," sanggah Gendhis. "Aku hanya ingin berbuat baik saja padamu Apakah itu salah?" tanya Mulki. "Jangan begini padaku, Mulki. Tolong, aku sangat berhutang budi padamu, tapi sekarang pulanglah. Aku bisa mengatasi semua nya sendiri," usir Gendhis. "Tidak. Aku akan tetap di sini, menjagamu dan Kai!" tegas Mulki. "Mulki, pergilah. Aku mohon," pinta Gendhis. "Apa? Kenapa? Mengapa alasannya kamu mencegah aku berbuat baik kepada sesama manusia. Apalagi kau di sini sangat jelas membutuhkan aku. Bukankah berbuat baik kepada sesama itu dianjurkan dan..." "Mulki! Aku hanya tidak ingin terlalu larut
ANAK PEREMPUANKU DAN SEJUTA MASA LALUNYA!"Kenapa? Kenapa aku yang harus bertanggung jawab atas kebahagiaan Kakak kandungku? Bukankah selama ini kau yang mengecewakan Kakak kandungku, Mas?" ledek Mulki."Mas Rio, Mas Rio. Kau ini aneh dan lucu sekali, kau itu jangan mencari kambing hitam atas rasa cemburumu. Kenapa? Kau masih tak terima kalah dariku? Dari tadi semua ucapan dan pembicaraanmu itu selalu berputar-putar arah! Pembicara kamu sungguh tak jelas seperti itu, kau di sini yang salah tapi kau tak mau mengakui kesalahan," ujar Mulki lirih. Dia tak enak juga jika mama Gendhis mendengarnya.Rio terdiam, dia hanya mengusap wajahnya dengan kasar. Tak lama kemudian Bu Ririn datang dari belakang, sudah tak mengenakan mukena lagi. Hanya mengenakan gamis panjang dan jilbabnya. Tak lama Gendhis menyusul di belakang sang Ibu sambil membawa nampan minuman dan meletakkannya di hadapan Rio."Maaf ya lama," kata Mama Gendis."Oh tidak apa apa, Tante. Kebetulan saya juga baru datang," sahut Mu
KENAPA HARUS AKU YANG BERTANGGUNG JAWAB?Mendengar ucapan Rio itu Gendis terdiam, dia tak mengira Rio akan menilainya seperti itu. Dia cukup kaget meskipun apa yang dikatakan Rio adalah kebenaran. Dia tak mengira serendah itu harga dirinya di hadapan Rio."Apakah sebegitu hina aku di hadapanmu, Mas?" Tanya Gendis dengan mata berkaca-kaca.Rio terdiam diam memandang ke arah wanita yang begitu dia cintai itu, kemudian dia menyadari kesalahannya. Mata cantik itu dulu pasti akan nyalang ketika dia melakukan kesalhan, langsung mendebat tanpa ampun namun sekarang semua sudah berbeda."Dia berubah," batin Rio dalam hati, justru berubahnya Gendhis membuat lelaki itu sedikit ketakutan.Rio meneguk ludahnya dengan kasar dan merutuki kebodohannya sendiri. Ya, karena emosinya tadi dan tak bisa menahannya, sampai dia mengucapkan sesuatu yang mungkin menyakiti hati Gendis. Rio pun melirik Gendhis lagi, wanita itu masih diam. Alih-alih marah justru Gendhis terlihat menyeka air matanya yang mulai
SEHINA ITUKAH AKU DI HADAPANMU, MAS?"Lalu kenapa kau menikah dengan Mulki?" cerca Rio."Aku tidak menikah dengan Mulki!" tegas Gendhis."Gendhis," panggil Mulki lirih, semua menoleh ke arah Mulki. Dengan cepat Gendhis memberikan kode pada lelaki itu, Mulki paham dan diam. Memang kalau di pikir lagi ucapan Gendhis benar, mereka belum menikah tak ada yang salah. "Halah omong kosong!" bentak Mulki."Demi Allah aku tidak menikah dengannya sekarang," sahut Gendhis dengan cepat"Tapi Mulki kan melamarmu," sanggah Rio. Gendhis menghela nafas panjang, sepersekian detik otaknya harus di paksa berpikir secepat mungkin agar dia bisa berkilah namun tak berbohong hanya dengan penyusunan kosakata."Tadinya memang begitu, tetapi aku telah membatalkannya," jawab Gendhis."Membatalkannya? Benarkah? Kau tak berbohong kan? Mengapa kau membatalkannya?" tanya Rio menatap ke arah Mulki dan Gendhis bergantian."Benar Mulki?" selidik Rio. Mulki diam tak menjawab namun dia menganggukkan kepalanya perl
AKU TIDAK MENIKAH DENGAN MULKI!"Allah itu maha pengampun, mungkin doa istrimu, doa mertuamu, atau doa orang tuamu yang dikabulkan Gusti Allah. Bersyukurlah atas itu, jangan sampai kau memiliki pemikiran POLIGAMI lagi!" bentaknya."Lantas kenapa kau berulah lagi? Kenapa kau datang ke sini marah-marah tak jelas seperti ini?" tanya Gendhis."Tak jelas katamu? Hah? Tak jelas? Hahaha!" teriak Rio dengan menatap nyala ke arah Gendis.Entah setan mana yang sedang menyambetnya, dia tiba-tiba maju dan mencengkram dagu Gendis dengan keras, sampai kuku itu sedikit menusuk ke pipi Gendhis. Wanita itu pun meringis kesakitan."Lepaskan!" perintah Mulki. "Tak usah ikut campur!" bentak Rio tanpa menoleh Gendis.Gendhis memberikan kode kedipan mata, membuat Mulki diam. Meski sangat ketakutan, Gendhis berusaha kuat. Jujur saja sekarang dadanya berdetak sangat kencang sekali, dia tak mengira Rio berani sekasar ini. Rio yang pendiam tiba-tiba berubah menjadi arogant bahkan kasar dan cenderung frontal
KETIKA KAU GAGAL JADI MADU KAU MEMBALAS INGIN MENJADI IPARKU!"Bagaimanapun juga dia anakku, Gendis! Tapi konyolnya aku tidak tahu! Aku berhak tahu!" sanggah Rio."Kata siapa? HAH?" bentak Gendhis."Apa maksudmu berkata seperti itu, Gendhis. Bagaimana pun juga aku adalah ayah Kai! Kau tahu itu kan? Sekarang kenapa kau berbicara seolah-olah aku orang asing bagimu dan Kai?" sahut Rio.Tangan Gendhis langsung mengepal, sungguh sakit hatinya sekarang. Marah dan tak terima bergolak menjadi satu dalam hatinya. Dia tak terima kepada sikap Rio, datang tak di undang melukai Mulki, dan sekarang mengatakan bahwa dia memiliki hak atas anaknya. Sedangkan dulu lelaki di hadapannya ini tak bisa memutuskan memberikan kejelasan akta pada putranya. Bahkan dia kembali pada Sifa, istrinya."Sepertinya kau lupa, Mas. Baiklah, aku akan jelaskan," kata Gendhis sambil tersenyum kecut, nada suaranya sudah bergetar menahan tangis dan amarah yang berkumpul menjadi satu."A...apa maksudmu?" tanya Rio dengan nad
DIA ANAKKU! DAN MENINGGAL AKU TAK TAHU!"Semi ustadz?" tanya Rio mengerutkan keningnya."BADJINGAN KAU!" Pekik Rio dalam hatinya.Semakin ke sini dia makin curiga bahwa lelaki itu adalah Mulki. Namun sekali lagi Rio tak ingin tergesa-gesa dulu menyimpulkan. Dia harus mengatur strategi dan taktik agar tak salah jalan. Meskipun dia tak bisa bersama Gendis tetapi jika gadis itu bersama Mulki pun hatinya juga tak rela, menurutnya lebih baik Gendis bersama orang yang tak dia kenal. Dia harus mengumpulkan bukti kuat sebelum mengatakan semua kebenaran ini pada sifa."Mohon maaf Bu Apakah lelaki itu sedikit tinggi mungkin lebih tinggi dari aku dia hobi sekali memakai baju semi Koko begitu kaos tapi bentuknya Koko sedikit putih tetapi tidak terlalu putih juga dan memiliki suara yang sangat kalem sekali benarkah seperti itu tanya Rio mulai menggambarkan ciri-ciri Mulki"Iyo, Mas.""Sik sebentar, Bu. Saya boleh memastikan tidak? Sepertinya yang lelaki itu temanku juga," kata Rio."Ah saya lamat
BADJINGAN KAU!"Apa kau bilang?" tanya Gendis pun mendengus kesal."Entah mengapa tiba-tiba perasaan tak suka mencuat begitu saja, dia tak menyangka jika orang-orang alim yang identik paham dengan agama justru akan melakukan poligami ya meskipun itu tidak disalahkan tapi naluriahnya sebagai seorang wanita tak ingin diduakan."Aku sudah memberikan kesempatan kepada Umi bahwa aku rela dijodohkan dengan siapapun selama wanita itu tahu latar belakangku dan tak ada kebohongan. Dia tahu penyakitku dan dia bisa menerimaku," jelas Mulki."Gendis, kau juga wanita kan? Kau mengerti maksudku. Kau pikir siapa yang mau menikah denganku saat kondisiku seperti ini?" sambungnya."Kau memanfaatkan itu?" tanya Gendhis."Hahaha, bahasamu terlalu jahat. Apalagi aku tidak memanfaatkannya, kau salah, Gendhis. Sebagai orang yang paham tentang agama, aku hanya ingin tak gagal dalam melakukan dan menjalani rumah tangga. Dalam membina sebuah hubungan keluarga aku menginginkan menikah itu langgeng, satu selaman
BERI AKU WAKTU TIGA BULAN!"Jangan pernah memaksa orang tuamu merestuinya. Kalau memang mereka tak ingin anaknya menikah denganku maka aku ikhlas, ini semua bukan salah mereka tapi salahku. Kebodohanku di masa lalu dan sisi egoku," jelas Gendhis."Aku tak masalah jika kau membatalkan. Membatalkan pinangan ini," ujarnya.Mulki terdiam, dia menatap Gendhis dengan tatapan tak percaya. Ya, wanita memanglah begitu, selalu mengedepankan egonya dari pada logikanya. Namun dia tak menduga Gendhis akan langsung menyerah seperti ini. Padahal saat bersama Rio sosok wanita di hadapannya bisa memperjuangkan cinta yang salah."Apa kau berpikir begitu?" tanya Mulki."Ya," jawab Gendhis dengan tegas."Jujur saja ini agak mengecewakan aku," kata Mulki. Gendhis menatap Mulki dengan tatapan bingung dan penuh tanya."Kenapa?" "Ya, bagaimana mungkin dengan mudah kau mengatakan membatalkan lamaran ini? Padahal ini bukan permainan. P
ASSALAMUALAIKUM MANISKU!"Assalamualaikum," sapa Mulki sambil menenteng dua kresek berisi martabak manis dan asin."Waalaikumsalam," sahut Gendhis,"Masuklah, Mulki," perintah Gendhis."Masya Allah manis," kata Mulki."Hah?" sahutnya."Kau manis sekali, manisku," puji Mulki yang otomatis langsung membuat wahag Gendhis merona."Halah aku bisa saja," cebiknya.Gendhis memakai gamis hitam, semenjak ke Tarim dan kondisi berduka Gendhis lebih senang memakai semua pakaian hitam. Termasuk cincin, permata hitam. Antara tanda duka atau tanda yang mencerminkan dirinya sekarang. Meski begitu itu tak mengurangi kecantikan dan aura elegan yang dia tampilkan."Kau sekarang menyukai warna hitam? Itu nampak sangat elegan sekali. Dari pada Gendhis yang biasanya," sambungnya."Kenapa memangnya? Bukankah artinya duka?" jawab Gendhis."Warna hitam memiliki makna simbol yang berbeda bagi setiap orang. Ket