"Keluar dari sini."Zaki mengusir Cinta dengan tegas. Ada raut frustrasi di wajahnya yang berewok."Dengan senang hati!" balas Cinta tak kalah tegas.Wanita itu sigap meraih perlengkapan kopernya dan langsung pergi tanpa ada keinginan untuk menoleh."Sial!" Lagi, Zaki mengumpat kasar.Perdebatan ini tidak membuahkan hasil sebab Cinta terlanjur mempertahankan pendirian. Sementara Zaki sendiri seolah tidak berdaya melawan sorot mata yang selama ini menurutnya naif. Namun, siapa sangka memiliki firasat yang tidak terjangkau olehnya."Pergilah! Dan aku tidak akan membiarkanmu begitu saja!" sentaknya keras.Detik berikut, Zaki pergi ke ruang kerja dan memutuskan untuk bekerja dari rumah. Katakan, dia cukup lelah menghadapi masalah yang menggunung. Beberapa email masuk dari sumber berbeda dan salah satunya dari Sekretaris Alfian. Zaki membuka dan saat akan membacanya, tiba-tiba sang ibu muncul dari balik pintu. Zaki mendongak sejenak, lalu kembali fokus ke layar laptop."Tumben anak Mama h
Tiba-tiba, dia teringat akan email yang dikirim Alfian tadi. Hingga membawa Zaki kembali fokus ke laptop demi menelaah isi pesan rahasia yang diberikan sang pengirim. [Paradise Murder.][Nama-nama tertera. Barangkali sebagai saksi kunci peristiwa naas di tebing Paradise Hotel, atau bisa menjadi tersangka.]Begitu bunyi email yang masuk. Keningnya mengerut memerhati deretan nama yang tercatat di sana. "Seperti kenal." Zaki bergumam.Ingatannya kembali ke lima tahun lalu saat dirinya bertemu klien di Paradise Hotel. Sore harinya, Zaki sengaja ke taman belakang hotel sekadar mencari angin segar setelah beberapa hari melewati aktivitas padat."Ah, lelah," celetuknya sambil merentangkan kedua tangannya seperti melakukan pergerakan aerobik. Namun, seketika fokusnya teralihkan.Tampak dari jauh, seorang youtuber cantik bersama rekan satu tim sedang melakukan siaran langsung di channel kesayangan mereka. Salah satu konten menariknya, dengan memamerkan posisi dia berada di ketinggian lahan
Niatnya kini telah mencapai satu titik aman. Cinta berhasil naik daun. Namun, satu hal yang tidak dia sadari bahwa niat awal kehadiran Abimanyu ke kota Mahardika diam-diam siap mengubah rencananya.Sementara di tempat yang berbeda, seseorang dengan penampilan jaket hitam bertopi ikut memerhatikan berita terbaru soal model muda yang lagi naik daun. Di balik layar televisi yang ditonton, sosok itu bergumam kecil."Bersiaplah menjemput bola." Seringai jahat mengukir di sudut bibir kering miliknya.Tiga bulan berlalu, nama dan wajah Cinta mulai ramah menghiasi pemberitaan media tanah air. Kesempatan kerja kian berdatangan."Luar biasa, Cinta! Minggu ini kita mendapat tawaran job mengisi acara pekan mode dunia di Dubai. Mereka sangat terkesan dengan penampilanmu di Tokyo kemarin." Abimanyu berucap saat sedang menyantap sarapan pagi bersama di kantin. "Ini kesempatan bagus," tambahnya dengan seringai paling menawan.Cinta tampak tertegun, matanya sedikit membola saat mendongak ke arah Abim
"A-aku —"Cinta tertunduk. Netra basah yang tadi belum sepenuhnya mengering kini kembali tumpah ruah. Lidah tidak mampu berkata-kata dan perasaannya seakan diaduk oleh pusaran angin hingga semuanya menjadi serpihan tak berbentuk."Semudah itu seorang model profesional diperdaya?" sindir Zaki kedengaran sinis, memaksa kepala Cinta yang tadi menunduk dalam kembali ditegakkan.Meski suasana cukup mencekam, Cinta tetap berupaya menjaga kondisi hati agar tidak terpancing. Sedang Zaki kembali memasang wajah sinis."Jika pertahananmu seujung kuku, maka pikirkan saja berapa banyak pria hidung belang yang bakal leluasa memerdaya dengan brutal," tambahnya lagi dengan datar dan menekan, membawa aura dingin ikut menguar di sekitarnya.Mata sembab Cinta mendadak membola. Bulir bening yang tadinya setia membasahi mendadak berganti dengan luapan emosi yang tidak tertahan. "Jadi kau menyentuhku baru saja untuk menguji seberapa besar aku bisa bertahan?" tanyanya dengan tatapan menusuk.Zaki menyering
"Kalau apa? Ibu kenapa, Bu?" Cinta bertanya lirih. Rasa panik menjalar saat melihat wanita nomor satu di hatinya tampak kesulitan bernapas. Perlahan jemarinya naik meraba dahi sambil terus memberi dukungan."Jangan terlalu dipaksa bergerak, Bu," tambahnya dengan membelai, menggenggam lembut tangan mengeriput yang digerogoti penyakit menahun."S-sebenarnya, Ibu yang bertanggung jawab atas kematian kakakmu Gita." Lagi, wanita itu berbicara gagap. Susah payah dia mengatur napas hingga wajahnya ikut menegang.Cinta menggeleng pelan, matanya menatap wanita yang juga sedang menyorotinya dengan pandangan sayu."Ibu bicara apa? Tenang dan istirahat, ya. Jangan pikir macam-macam dulu," bujuknya agar resah hati sang ibu bisa mereda."Cinta, Sayang. Semua harus dibahas karena setelah ini, ibu hanya ingin menjalani sisa hidup dengan tenang," keluh Melly berat. Dia perlu menjelaskan sesuatu kepada Cinta tanpa harus menunggu rasa sakit mengunci jalur suara dan otaknya. "Ibu ingin ngobrol apa? Na
Cinta terisak sendu di balik jasad kaku sang ibu sebelum pihak medis datang mengurus jenazahnya. Semua kenangan masa kecil bersama wanita itu kembali terputar di benak."Cinta, Sayang. Coba, deh, puding enak buatan Ibu," ucap Bu Melly sembari mendaratkan satu suapan ke mulut mungilnya.Dia menyambut potongan kecil puding tersebut sambil memainkannya dalam kunyahan. Memberi sensasi tiada banding sebagai definisi masakan ibu paling enak di dunia. Nikmat, gurih dan pecah di mulut."Gimana? Enak, kan?" tanya wanita berambut panjang terurai itu sambil tersenyum memandangi wajah cantik turunan dirinya dengan penuh kasih sayang. Cinta mengangguk penuh semangat."Em, enak. Ini manis dan sangat nikmat, Bu," jawabnya dengan membulatkan dua bola mata membuat sang ibu kembali angkat bicara."Ibu doakan semoga perjalanan hidupmu kelak bisa semanis puding buatan Ibu ini, Nak!" ucapnya masih dengan tawa yang terbit penuh harap. "Amin." Cinta ikut mengamini ucapan atas perintah ibunya menyertai doa
"Jadi menurutlah jika ingin selamat," tutupnya datar penuh tanda tanya.Cinta menuruti arahan Zaki walau sebenarnya di hati kecil menyangkal tindakan sepihak pria itu. "Apa yang tidak, Tuan Zaki. Bahkan hidup dan mati kupersembahkan untukmu."Malam itu, satu per satu kerabat dekat mulai bubar usai menjalani ritual doa bersama di rumah mendiang ayah dan ibunya. Cinta memilih pergi ke kamar peninggalan sang ibu untuk mengenang kembali memori kebersamaan mereka. "Ibu," panggil lirih hatinya.Beberapa pigura keluarga terpajang sempurna di dinding saat dia melempar pandangan sekeliling. Tidak ketinggalan bingkai hias di nakas terlihat seperti belum lama ditata walau permukaannya sedikit berdebu. Kasur, seprei dan segala pernik kamar tampak seperti masih baru."Waktu ayah meninggal, tak berselang lama ibu dirawat di rumah sakit. Tidak ada orang yang menempati rumah ini." Cinta menggumam sendu.Sejak itu pula, kepemilikan rumah tersebut jatuh ke tangan Zaki sebab sang ayah dengan ikhlas me
"Sebenarnya apa yang ingin kau tunjukkan padaku, wanita kecil?" batin Zaki bingung. Cinta menarik diri dari pelukan Zaki saat hatinya merasa lebih tenang. Sejenak, dia mengambil langkah mundur sambil menyapu wajah yang basah dengan telapak tangan."Terima kasih atas perhatiannya. Aku akan istirahat sekarang," ucapnya mantap sambil beranjak naik ke ranjang. Perlahan dia merebahkan badan sambil memejam mata yang terlihat kuyu. Tak butuh waktu lama, tubuh lelah itu mulai meregang dan jiwanya terbuai ke alam mimpi. "Selamat malam." Tangan Zaki bergerak melakukan sesuatu sebelum akhirnya memilih keluar dari kamar tersebut.Malam itu Cinta tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan kelam masa lalu bersama kedua orang tuanya seakan menjegal mimpinya. "Ibu ... ayah! Jangan tinggalkan Cinta! Pergi kalian semua! Jangan sakiti kakakku!" Berulang kali wanita itu menjerit, meracau, dan merengek dalam tangisan pilu hingga Zaki yang berada di kamar sebelah memilih kembali ke sana demi memantau keadaan