"A-aku —"Cinta tertunduk. Netra basah yang tadi belum sepenuhnya mengering kini kembali tumpah ruah. Lidah tidak mampu berkata-kata dan perasaannya seakan diaduk oleh pusaran angin hingga semuanya menjadi serpihan tak berbentuk."Semudah itu seorang model profesional diperdaya?" sindir Zaki kedengaran sinis, memaksa kepala Cinta yang tadi menunduk dalam kembali ditegakkan.Meski suasana cukup mencekam, Cinta tetap berupaya menjaga kondisi hati agar tidak terpancing. Sedang Zaki kembali memasang wajah sinis."Jika pertahananmu seujung kuku, maka pikirkan saja berapa banyak pria hidung belang yang bakal leluasa memerdaya dengan brutal," tambahnya lagi dengan datar dan menekan, membawa aura dingin ikut menguar di sekitarnya.Mata sembab Cinta mendadak membola. Bulir bening yang tadinya setia membasahi mendadak berganti dengan luapan emosi yang tidak tertahan. "Jadi kau menyentuhku baru saja untuk menguji seberapa besar aku bisa bertahan?" tanyanya dengan tatapan menusuk.Zaki menyering
"Kalau apa? Ibu kenapa, Bu?" Cinta bertanya lirih. Rasa panik menjalar saat melihat wanita nomor satu di hatinya tampak kesulitan bernapas. Perlahan jemarinya naik meraba dahi sambil terus memberi dukungan."Jangan terlalu dipaksa bergerak, Bu," tambahnya dengan membelai, menggenggam lembut tangan mengeriput yang digerogoti penyakit menahun."S-sebenarnya, Ibu yang bertanggung jawab atas kematian kakakmu Gita." Lagi, wanita itu berbicara gagap. Susah payah dia mengatur napas hingga wajahnya ikut menegang.Cinta menggeleng pelan, matanya menatap wanita yang juga sedang menyorotinya dengan pandangan sayu."Ibu bicara apa? Tenang dan istirahat, ya. Jangan pikir macam-macam dulu," bujuknya agar resah hati sang ibu bisa mereda."Cinta, Sayang. Semua harus dibahas karena setelah ini, ibu hanya ingin menjalani sisa hidup dengan tenang," keluh Melly berat. Dia perlu menjelaskan sesuatu kepada Cinta tanpa harus menunggu rasa sakit mengunci jalur suara dan otaknya. "Ibu ingin ngobrol apa? Na
Cinta terisak sendu di balik jasad kaku sang ibu sebelum pihak medis datang mengurus jenazahnya. Semua kenangan masa kecil bersama wanita itu kembali terputar di benak."Cinta, Sayang. Coba, deh, puding enak buatan Ibu," ucap Bu Melly sembari mendaratkan satu suapan ke mulut mungilnya.Dia menyambut potongan kecil puding tersebut sambil memainkannya dalam kunyahan. Memberi sensasi tiada banding sebagai definisi masakan ibu paling enak di dunia. Nikmat, gurih dan pecah di mulut."Gimana? Enak, kan?" tanya wanita berambut panjang terurai itu sambil tersenyum memandangi wajah cantik turunan dirinya dengan penuh kasih sayang. Cinta mengangguk penuh semangat."Em, enak. Ini manis dan sangat nikmat, Bu," jawabnya dengan membulatkan dua bola mata membuat sang ibu kembali angkat bicara."Ibu doakan semoga perjalanan hidupmu kelak bisa semanis puding buatan Ibu ini, Nak!" ucapnya masih dengan tawa yang terbit penuh harap. "Amin." Cinta ikut mengamini ucapan atas perintah ibunya menyertai doa
"Jadi menurutlah jika ingin selamat," tutupnya datar penuh tanda tanya.Cinta menuruti arahan Zaki walau sebenarnya di hati kecil menyangkal tindakan sepihak pria itu. "Apa yang tidak, Tuan Zaki. Bahkan hidup dan mati kupersembahkan untukmu."Malam itu, satu per satu kerabat dekat mulai bubar usai menjalani ritual doa bersama di rumah mendiang ayah dan ibunya. Cinta memilih pergi ke kamar peninggalan sang ibu untuk mengenang kembali memori kebersamaan mereka. "Ibu," panggil lirih hatinya.Beberapa pigura keluarga terpajang sempurna di dinding saat dia melempar pandangan sekeliling. Tidak ketinggalan bingkai hias di nakas terlihat seperti belum lama ditata walau permukaannya sedikit berdebu. Kasur, seprei dan segala pernik kamar tampak seperti masih baru."Waktu ayah meninggal, tak berselang lama ibu dirawat di rumah sakit. Tidak ada orang yang menempati rumah ini." Cinta menggumam sendu.Sejak itu pula, kepemilikan rumah tersebut jatuh ke tangan Zaki sebab sang ayah dengan ikhlas me
"Sebenarnya apa yang ingin kau tunjukkan padaku, wanita kecil?" batin Zaki bingung. Cinta menarik diri dari pelukan Zaki saat hatinya merasa lebih tenang. Sejenak, dia mengambil langkah mundur sambil menyapu wajah yang basah dengan telapak tangan."Terima kasih atas perhatiannya. Aku akan istirahat sekarang," ucapnya mantap sambil beranjak naik ke ranjang. Perlahan dia merebahkan badan sambil memejam mata yang terlihat kuyu. Tak butuh waktu lama, tubuh lelah itu mulai meregang dan jiwanya terbuai ke alam mimpi. "Selamat malam." Tangan Zaki bergerak melakukan sesuatu sebelum akhirnya memilih keluar dari kamar tersebut.Malam itu Cinta tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan kelam masa lalu bersama kedua orang tuanya seakan menjegal mimpinya. "Ibu ... ayah! Jangan tinggalkan Cinta! Pergi kalian semua! Jangan sakiti kakakku!" Berulang kali wanita itu menjerit, meracau, dan merengek dalam tangisan pilu hingga Zaki yang berada di kamar sebelah memilih kembali ke sana demi memantau keadaan
"Apa kau sedang mencoba membunuhku secara perlahan, Zaki?" batinnya sendu dengan bola mata berkaca-kaca.Sulit menebak hati pria yang kini mendekapnya erat. Membalasnya dengan sentuhan lembut yang tidak biasa ke beberapa titik sensitif tubuhnya. Membuat seonggok daging di balik dada seakan melompat tanpa kendali."Terkutuk!" Cinta mengumpat keras dalam hati.Saat sedang berjuang menjauhi, justru pria itu datang membawa hal tak terduga yang membuatnya seolah diperhatikan dan ini jelas membuat angan melayang. "Tolong, Zaki. Aku sudah cukup tersiksa karena terabaikan. Jangan kau paksa lagi dengan menggetarkan rasa dalam hati ini." Lagi, Cinta menggerutu dalam batin. Kini raut wajah cantik natural tanpa make up itu memerah layaknya tomat."Tolong hentikan, " bisiknya lirih ke telinga Zaki.Zaki sigap melonggarkan rengkuhan. Berbalik di posisi telentang dalam posisi napas yang sedikit tersengal. Matanya jeli memandang keliling kamar rumah minimalis dengan aksen biru laut menenangkan. "R
"Ayo, sarapan. Kalau sarapanmu tidak disentuh, aku ajak pulang sekarang." Tiba-tiba Zaki bersuara, membawa Cinta kembali fokus sambil mencoba menikmati sarapannya. Namun, kehadiran seorang pria matang di depan pintu utama membuat selera makannya kembali memburuk. "P-paman Dion?" panggilnya gagap, tetapi tidak mendapat jawaban dari orang yang disebutkan namanya.Pria bertampang bersih dengan bekas calar di pipi kiri itu bergerak mendekat sambil melempar tatapan misterius."B-bukannya waktu itu, Paman --" Ucapannya tercekat. Bayangan lima tahun lalu kembali merasuki pikiran. Ya, Cinta pernah menjadi saksi pertengkaran hebat antara kedua orang tuanya dengan pria bernama Dion ini hingga lelaki itu memutuskan pergi dari rumah. Beberapa hari kemudian, pihak kepolisian datang membawa berita kematian seorang pria dengan memboyong identitasnya sebagai korban kecelakaan tunggal."Argh!" Cinta kalap. Kalau saat ini Dion tiba-tiba muncul di hadapannya, lalu mayat siapa yang ditemukan terbakar
"Terima ini!" pekik Dion kasar. Tangannya sigap melempar benda keras tersebut ke arah Zaki. Dengan cepat Zaki menghindar. Benda pecah belah tersebut melayang dan jatuh membentur lantai hingga berkecai menjadi serpihan kaca."Brengsek!"Merasa diperdaya, Dion tidak terima. Dia kembali menyerang dengan menerjangnya dan Zaki menangkis serangan tersebut hingga terjadi adu tenaga di antara mereka. "Cari mati kau, Bajingan!" teriak Dion lagi penuh amarah. Zaki yang kelihatan tenang, masih saja membuat gerakan mundur sambil menangkis serangan. Hingga di gerakan berikutnya, dia membalas dengan sebuah pukulan telak ke pelipis Dion. Membuat lelaki sebayanya itu seketika terhuyung.Zaki menyeringai. "Untuk apa menghilangkan diri selama lima tahun kalau pulang hanya menjadi pecundang besar? Apa Anda berpikir bisa semudah itu merebut kepemilikan Arsyandi Buana?" ujarnya cukup sinis, tetapi dengan nada tetap tenang. Tindakannya ini berhasil memancing Dion hingga ke puncak kemarahannya. Merasa d
"Lepaskan dia! Cinta tidak bersalah!"Zaki berteriak lantang. Hatinya tercabik mendapati bagian tubuh Cinta yang terbuka mulai disakiti oleh beberapa lelaki yang jelalatan memandangnya. Wanita itu terlihat masih meronta walau dalam keadaan tidak berdaya."Dia harus membayar lunas semua kesalahanmu, Zaki! Farahdina istriku, tetapi kau menidurinya seenak napsu bejatmu. Maka istrimu yang polos ini juga harus menerima akibat dari perbuatan burukmu!"Antonio bergerak mendekati Cinta. Zaki tahu betul karakter bajingan nekad itu. Tak dapat dibayangkan jika lelaki itu sampai menyakiti istrinya, sedang dia sendiri tidak mampu menyelamatkan wanita yang sering dia sakiti itu. Mengingatnya, hati Zaki tiba-tiba mencelos."Tidak! Jangan sakiti dia! Aku tidak akan memaafkan kalian, Biadap!"Dadanya bergemuruh, kini amarahnya mulai meledak seperti gunung aktif yang memuntahkan material batu dan lahar panas. Zaki sigap memainkan dua kaki dan berhasil mengelabui dua bodyguard yang mencekal tubuhnya. Hi
"Kalau bukan Dion, lalu bangsat mana yang mencoba bermain-main denganku?!" Tiba-tiba Zaki teringat sesuatu dan lekas berbalik ke kamar untuk berganti seragam kerja dengan jeans dan long sleeve. Dengan cepat dia meraih kunci mobil dan beberapa perlengkapan jalan lainnya, lalu berlari keluar menuju garasi. Buru-buru mencapai mobil, menghidupkan mesin, lalu sigap melaju ke rumah sakit tempat Ari dirawat."Semoga ada petunjuk di sana."Sesuai petunjuk dari Alfian, Zaki tiba di rumah sakit lewat jalan tikus dan gegas mendatangi Ari di ruang rawat inap. Namun, yang dicari justru tidak terlihat batang hidungnya."Ke mana dia?" Zaki bercelinguk kanan dan kiri saat tidak menemukan siapa-siapa, baik di ruang utama maupun toilet."Apa Ari hanya pura-pura terluka, lalu sengaja mengelabui Cinta? Atau dia memang telah dibawa kabur oleh seseorang dari sini?"Zaki meneliti brankar yang kosong, mencoba mencari petunjuk dari sana. Dan benar, ada secarik kertas yang terselip di bawah bantal. Zaki mera
"Tolong!" teriak Cinta sebelum mulutnya benar-benar tersekap dan semua pandangan seketika menjadi gelap."Putri Agus Dikara."Terdengar suara sangar seseorang bertopeng yang tampak sudah menyekap jalur pernapasan Cinta hingga tak sadarkan diri. "Akhirnya kita bertemu lagi," desisnya kemudian dalam suasana sekitar yang gelap dan sepi, lalu diam-diam menyeret tubuh lemah itu pergi dari sana. Pergerakan cepat tersebut tidak membuahkan curiga bagi siapapun yang melewati tempat itu. *Tengah malamnya, Zaki tampak masih berkutat dengan laptop di kursi teras lantai dua sebab suhu ruangan di dalam rumahnya mendadak panas membakar. Barangkali pemicunya dari perasaan yang tiba-tiba tidak tenang, tetapi dia memaksakan diri untuk tetap memantau perkembangan bisnis properti yang dia geluti. "Huh!" Zaki mendengkus sambil menutup kasar layar laptop lalu memilih bangkit bersandar di dinding teras demi menatap langit malam tanpa bintang. Satu jam yang lalu, dia pulang dan mendapati Cinta tidak b
Cinta segera beranjak kembali ke kamar. Dia masih terpuruk dengan keterangan yang baru saja didapatkan dari Ari. Lelaki tua berfisik sehat dan kuat itu seolah membuka sisi lain dari ayah dan ibunya yang selama ini tidak dia ketahui. "Padahal ibu tidak pernah bercerita hal buruk mengenai hubungannya dengan ayah."Hal paling mendasar yang dipegangnya saat itu, sang ibu cukup bahagia di ujung kepergiannya. Wanita renta tersebut pergi dengan menitipkan pesan terakhirnya agar dia dan Zaki saling melindungi."Keluarga Arsyandi Buana yang lain telah mengorbankan nyawa kakakmu Gita demi membayar kematian saudara kandung Zaki. Ibu juga tak punya pilihan untuk tidak menyerahkanmu kepada keluarga itu, Nak. Sebab cuma Zaki yang bisa melindungimu dari orang-orang jahat itu."Cinta masih mencerna maksud dari perkataan mendiang sang ibu."Orang-orang itu? Siapa mereka? Apa ibu diancam oleh banyak pihak?"Di sela memikirkan cara untuk mencari kebenaran, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara berisik di
"Ah, barangkali cuma terbawa cerita Helena saja," pikirnya.Tidak ingin berpikiran buruk tentang hal ini, Cinta terus saja memasuki rumah mendiang sang ayah sambil bersenandung kecil. Senandung yang biasa didengungkan oleh mendiang ayah, ibu dan juga sang kakak."Nona Cinta, apa kamu ingin menikmati sesuatu untuk minum petang ini?" tanya Ari saat dirinya hendak memasuki kamar di lantai atas. Lagi, panggilan Ari berhasil membuatnya nyaris terperanjat. Diam-diam Cinta istighfar dalam hati. Ada apa dengan dirinya saat ini? Kenapa berhadapan dengan Ari saja rasanya seperti menghadapi seorang penjahat yang sedang mengancam?"Apa saja, boleh. Asal Paman yang bikin." Cinta membalas sambil melempar senyum manis seperti biasa. Meski hatinya cukup berkecamuk, namun dia tetap menunjukkan sikap biasa saja di depan pria tua yang masih awet itu."Oh, ya. Sediakan seperlunya saja, biar nanti aku yang buatkan kopi petang untuk kita berdua. Paman pasti penasaran dengan air tanganku juga, kan?"Cinta
Zaki diam-diam pulang lebih dulu karena tidak ingin berdebat panjang dengan Cinta sebab pikirannya sedang kacau. Kini, dia sedang berada di ruang kerjanya dan tidak ingin diganggu oleh siapapun. Dalam setiap detiknya, dia masih saja mengeluh sambil terus memantau kamera."Bahkan dia merusak agenda pekerjaanku."Zaki menyesalkan pertemuan tiba-tiba dengan Cinta saat sedikit lagi dia akan mengetahui dalang di balik gagalnya proyek Edelweis. Diyakininya bahwa Nyonya Leny Tang selaku mitra kala menyimpan bukti mengenai hal tersebut."Tapi kenapa?"Sayangnya, pertemuan itu harus terhenti di longue. Sementara agenda selanjutnya ke Taman Moana harus gagal sebab belum apa-apa, acaranya sudah dikacau oleh Cinta."Ada apa dengan dia? Dia pergi ke longue itu untuk bertemu dengan karib ayahnya?"Zaki menghela napas berat. "Siapa lagi karib ayahnya selain aku? Mana mungkin dia sengaja mengikutiku."Rencana Zaki untuk menuntaskan masalah proyek Edelweis, malah berbuntut kepada penudingan terhadap
Cinta melirik pria yang kini terlelap di samping. Air mata perlahan mulai deras dan semakin tidak terbendung seiring kelopak mata yang memberat. Dalam hatinya meneriaki kata, "Tolong jangan sakiti aku dengan cara begini ...."Hingga akhirnya dia terlelap, pun kalimat itu masih terucap dalam bentuk racauan.Pagi harinya, Cinta menggeliat meraih ponsel di nakas yang berbunyi nyaring. Kelopak matanya terasa sangat berat, tetapi jemarinya terpaksa menekan tombol hijau saat menyadari itu panggilan dari Sekretaris Alfian."Hallo." [Hallo. Selamat pagi, Bu Cinta. Pak Zaki meminta saya menjemput Anda dan sekarang sedang menunggu di luar hotel Kelana.]"Em, Pagi ...."[Hallo, Bu Cinta. Apa Anda baik-baik saja?]"Em, Ya ... apa?! Memangnya Zaki kemana?"[Pak Zaki ada urusan mendadak hingga dia terpaksa berangkat sebelum fajar.]Cinta segera menutup ponsel. Kelopak mata yang berat, kalimat racau antara tidur dan jaga, semuanya lenyap begitu saja. Dengan cepat dia melompat turun dari ranjang dan
"Beraninya kau datang ke tempat ini? Siapa yang mengizinkanmu, hm?" Dua orang itu sama-sama terjebak amarah hingga tak ada yang mau mengalah. Bahkan Zaki yang terkenal paling profesional dalam urusan apa pun, kini terlihat seperti sedang labil."Katakan, siapa yang ingin kau temui di tempat seperti ini?" desaknya pula."Sahabat karib ayahku!""Ayahmu tidak memiliki teman dekat selain aku, Cinta!" bentak Zaki kasar. Hal ini memicu tanggapan dari Nyonya Leny, wanita berambut pirang."Sorry, Tuan Zaki. Sungguh, kami tidak bermaksud menyinggung siapapun," ucapnya menengahi. "Kami hanya berbicara sesuai bukti di tangan," tambahnya lagi. Namun, Zaki yang masih dalam amarah besar memaksa keluar dari agenda pertemuan."Maaf, Nyonya Leny. Aku akan kembali setelah semuanya kondusif.""Baik, Tuan Zaki. Kami sangat berharap Anda kembali hadir ke tempat ini, agar proyek Edelweis segera bebas."Zaki memutuskan untuk menyerah mandat kepada Alfian untuk melanjutkan agenda pertemuan. Sambil mencekal
"Paman?!"Cinta tertegun melihat kelihaian Ari. Lelaki tua itu seperti memiliki sisi lain yang tidak pernah diketahui oleh siapapun termasuk dirinya."Ya, Nona. Ada apa?" Ari menjawab sambil berbalik menatap lekat wajah Cinta yang tampak kebingungan tanpa memperlihatkan ekspresi apa pun selain bingung dengan panggilan mendadak yang baru saja dilakukan oleh Cinta."Kenapa Paman lewat di sini?" tanyanya dengan kening mengerut tajam. "Ini jalur khusus presdir, bukan?" ulang pertanyaan Cinta yang masih bingung melihat Ari dengan lihai memasuki area khusus owner."Oh, itu. Bukan apa-apa, Nona. Dulu tempat ini kerap kami lalui bersama Tuan Dikara untuk pertemuan khusus bersama Nyonya Tang dan setelah itu, dia memberiku hak untuk melewatinya hanya untuk informasi darurat."Cinta semakin dibuat bingung."Oh, ya? Nyonya Tang? Paman punya kenalan sekelas Nyonya Tang?" Pria tua di depannya yang selama puluhan tahun tinggal bersama keluarganya itu mengangguk. Hari ini, dia seperti membuktikan s