"Apa kau sedang mencoba membunuhku secara perlahan, Zaki?" batinnya sendu dengan bola mata berkaca-kaca.Sulit menebak hati pria yang kini mendekapnya erat. Membalasnya dengan sentuhan lembut yang tidak biasa ke beberapa titik sensitif tubuhnya. Membuat seonggok daging di balik dada seakan melompat tanpa kendali."Terkutuk!" Cinta mengumpat keras dalam hati.Saat sedang berjuang menjauhi, justru pria itu datang membawa hal tak terduga yang membuatnya seolah diperhatikan dan ini jelas membuat angan melayang. "Tolong, Zaki. Aku sudah cukup tersiksa karena terabaikan. Jangan kau paksa lagi dengan menggetarkan rasa dalam hati ini." Lagi, Cinta menggerutu dalam batin. Kini raut wajah cantik natural tanpa make up itu memerah layaknya tomat."Tolong hentikan, " bisiknya lirih ke telinga Zaki.Zaki sigap melonggarkan rengkuhan. Berbalik di posisi telentang dalam posisi napas yang sedikit tersengal. Matanya jeli memandang keliling kamar rumah minimalis dengan aksen biru laut menenangkan. "R
"Ayo, sarapan. Kalau sarapanmu tidak disentuh, aku ajak pulang sekarang." Tiba-tiba Zaki bersuara, membawa Cinta kembali fokus sambil mencoba menikmati sarapannya. Namun, kehadiran seorang pria matang di depan pintu utama membuat selera makannya kembali memburuk. "P-paman Dion?" panggilnya gagap, tetapi tidak mendapat jawaban dari orang yang disebutkan namanya.Pria bertampang bersih dengan bekas calar di pipi kiri itu bergerak mendekat sambil melempar tatapan misterius."B-bukannya waktu itu, Paman --" Ucapannya tercekat. Bayangan lima tahun lalu kembali merasuki pikiran. Ya, Cinta pernah menjadi saksi pertengkaran hebat antara kedua orang tuanya dengan pria bernama Dion ini hingga lelaki itu memutuskan pergi dari rumah. Beberapa hari kemudian, pihak kepolisian datang membawa berita kematian seorang pria dengan memboyong identitasnya sebagai korban kecelakaan tunggal."Argh!" Cinta kalap. Kalau saat ini Dion tiba-tiba muncul di hadapannya, lalu mayat siapa yang ditemukan terbakar
"Terima ini!" pekik Dion kasar. Tangannya sigap melempar benda keras tersebut ke arah Zaki. Dengan cepat Zaki menghindar. Benda pecah belah tersebut melayang dan jatuh membentur lantai hingga berkecai menjadi serpihan kaca."Brengsek!"Merasa diperdaya, Dion tidak terima. Dia kembali menyerang dengan menerjangnya dan Zaki menangkis serangan tersebut hingga terjadi adu tenaga di antara mereka. "Cari mati kau, Bajingan!" teriak Dion lagi penuh amarah. Zaki yang kelihatan tenang, masih saja membuat gerakan mundur sambil menangkis serangan. Hingga di gerakan berikutnya, dia membalas dengan sebuah pukulan telak ke pelipis Dion. Membuat lelaki sebayanya itu seketika terhuyung.Zaki menyeringai. "Untuk apa menghilangkan diri selama lima tahun kalau pulang hanya menjadi pecundang besar? Apa Anda berpikir bisa semudah itu merebut kepemilikan Arsyandi Buana?" ujarnya cukup sinis, tetapi dengan nada tetap tenang. Tindakannya ini berhasil memancing Dion hingga ke puncak kemarahannya. Merasa d
"Nona Cinta!" panggil Ari santun ketika sudah berdiri di depan pintu kamar tempat Cinta beristirahat.Sementara di kamar, Cinta terlihat menangis sesenggukan. Dia memang merasa sakit hati dengan sikap paman kandung yang begitu jahat. Namun, dia sangat terpukul dengan ucapan lelaki itu soal Zaki yang berniat menikahinya hanya untuk merebut kekayaan orang tuanya. "Ibu, Ayah, Kak Gita. Andai bisa melawan, Cinta tidak ingin terus hidup dengan lelaki itu. Tapi, apa dayaku? Kalian lihat sendiri, kan, sekarang ini aku tidak punya kemampuan apa-apa selain tunduk kepadanya," keluhnya dengan isak tangis memenuhi ruangan kamar."Nona Cinta!" Sekali lagi namanya dipanggil dengan sebutan Nona. Cinta tersadar saat mendengar panggilan tersebut semakin jelas."Suara itu." Cinta menggumam sambil bangkit dari kasur. Perlahan dia bergerak menuju pintu, lalu membukanya."Paman?!" Cinta terperangah melihat Ari berdiri mematung di depannya. Serentak dia menghambur merangkul erat tubuh renta itu dengan tan
Tidak terjadi percakapan apa pun di antara Zaki dan Alfian selama dua jam jarak tempuh. Sebab cukup banyak yang pria itu pikirkan di dalam kepalanya. Sementara sekretaris Alfian cukup paham dengan situasi dan aturan main yang ditetapkan Zaki soal adab membuka topik bahasan, 'dilarang berbicara sebelum ditanya', kecuali urusan mendesak.Menjelang sore saat awan mendung menutupi cahaya semesta, Zaki dan rombongan baru tiba di halaman Paradise Hotel. Dia turun dari mobil sambil berdiri dengan punggung tegap menghadap gedung megah tersebut. "Kenapa memilih Taman Moana untuk pertemuan hari ini?" tanyanya datar saat kacamata hitam berhasil dia tempel di permukaan hidung yang bangir, memberi kesan misterius di wajahnya yang rada berewok.Alfian yang sudah berdiri dengan posisi menghadapnya dari arah samping, tampak sedikit menunduk, lalu menjawab mantap, "Klien sendiri yang memintanya, Pak."Zaki masih terpana. Kakinya seperti ragu melangkah, entah apa yang membuatnya sedikit resah saat it
"Paman?!"Cinta tertegun melihat kelihaian Ari. Lelaki tua itu seperti memiliki sisi lain yang tidak pernah diketahui oleh siapapun termasuk dirinya."Ya, Nona. Ada apa?" Ari menjawab sambil berbalik menatap lekat wajah Cinta yang tampak kebingungan tanpa memperlihatkan ekspresi apa pun selain bingung dengan panggilan mendadak yang baru saja dilakukan oleh Cinta."Kenapa Paman lewat di sini?" tanyanya dengan kening mengerut tajam. "Ini jalur khusus presdir, bukan?" ulang pertanyaan Cinta yang masih bingung melihat Ari dengan lihai memasuki area khusus owner."Oh, itu. Bukan apa-apa, Nona. Dulu tempat ini kerap kami lalui bersama Tuan Dikara untuk pertemuan khusus bersama Nyonya Tang dan setelah itu, dia memberiku hak untuk melewatinya hanya untuk informasi darurat."Cinta semakin dibuat bingung."Oh, ya? Nyonya Tang? Paman punya kenalan sekelas Nyonya Tang?" Pria tua di depannya yang selama puluhan tahun tinggal bersama keluarganya itu mengangguk. Hari ini, dia seperti membuktikan s
"Beraninya kau datang ke tempat ini? Siapa yang mengizinkanmu, hm?" Dua orang itu sama-sama terjebak amarah hingga tak ada yang mau mengalah. Bahkan Zaki yang terkenal paling profesional dalam urusan apa pun, kini terlihat seperti sedang labil."Katakan, siapa yang ingin kau temui di tempat seperti ini?" desaknya pula."Sahabat karib ayahku!""Ayahmu tidak memiliki teman dekat selain aku, Cinta!" bentak Zaki kasar. Hal ini memicu tanggapan dari Nyonya Leny, wanita berambut pirang."Sorry, Tuan Zaki. Sungguh, kami tidak bermaksud menyinggung siapapun," ucapnya menengahi. "Kami hanya berbicara sesuai bukti di tangan," tambahnya lagi. Namun, Zaki yang masih dalam amarah besar memaksa keluar dari agenda pertemuan."Maaf, Nyonya Leny. Aku akan kembali setelah semuanya kondusif.""Baik, Tuan Zaki. Kami sangat berharap Anda kembali hadir ke tempat ini, agar proyek Edelweis segera bebas."Zaki memutuskan untuk menyerah mandat kepada Alfian untuk melanjutkan agenda pertemuan. Sambil mencekal
Cinta melirik pria yang kini terlelap di samping. Air mata perlahan mulai deras dan semakin tidak terbendung seiring kelopak mata yang memberat. Dalam hatinya meneriaki kata, "Tolong jangan sakiti aku dengan cara begini ...."Hingga akhirnya dia terlelap, pun kalimat itu masih terucap dalam bentuk racauan.Pagi harinya, Cinta menggeliat meraih ponsel di nakas yang berbunyi nyaring. Kelopak matanya terasa sangat berat, tetapi jemarinya terpaksa menekan tombol hijau saat menyadari itu panggilan dari Sekretaris Alfian."Hallo." [Hallo. Selamat pagi, Bu Cinta. Pak Zaki meminta saya menjemput Anda dan sekarang sedang menunggu di luar hotel Kelana.]"Em, Pagi ...."[Hallo, Bu Cinta. Apa Anda baik-baik saja?]"Em, Ya ... apa?! Memangnya Zaki kemana?"[Pak Zaki ada urusan mendadak hingga dia terpaksa berangkat sebelum fajar.]Cinta segera menutup ponsel. Kelopak mata yang berat, kalimat racau antara tidur dan jaga, semuanya lenyap begitu saja. Dengan cepat dia melompat turun dari ranjang dan