Cinta terisak sendu di balik jasad kaku sang ibu sebelum pihak medis datang mengurus jenazahnya. Semua kenangan masa kecil bersama wanita itu kembali terputar di benak."Cinta, Sayang. Coba, deh, puding enak buatan Ibu," ucap Bu Melly sembari mendaratkan satu suapan ke mulut mungilnya.Dia menyambut potongan kecil puding tersebut sambil memainkannya dalam kunyahan. Memberi sensasi tiada banding sebagai definisi masakan ibu paling enak di dunia. Nikmat, gurih dan pecah di mulut."Gimana? Enak, kan?" tanya wanita berambut panjang terurai itu sambil tersenyum memandangi wajah cantik turunan dirinya dengan penuh kasih sayang. Cinta mengangguk penuh semangat."Em, enak. Ini manis dan sangat nikmat, Bu," jawabnya dengan membulatkan dua bola mata membuat sang ibu kembali angkat bicara."Ibu doakan semoga perjalanan hidupmu kelak bisa semanis puding buatan Ibu ini, Nak!" ucapnya masih dengan tawa yang terbit penuh harap. "Amin." Cinta ikut mengamini ucapan atas perintah ibunya menyertai doa
"Jadi menurutlah jika ingin selamat," tutupnya datar penuh tanda tanya.Cinta menuruti arahan Zaki walau sebenarnya di hati kecil menyangkal tindakan sepihak pria itu. "Apa yang tidak, Tuan Zaki. Bahkan hidup dan mati kupersembahkan untukmu."Malam itu, satu per satu kerabat dekat mulai bubar usai menjalani ritual doa bersama di rumah mendiang ayah dan ibunya. Cinta memilih pergi ke kamar peninggalan sang ibu untuk mengenang kembali memori kebersamaan mereka. "Ibu," panggil lirih hatinya.Beberapa pigura keluarga terpajang sempurna di dinding saat dia melempar pandangan sekeliling. Tidak ketinggalan bingkai hias di nakas terlihat seperti belum lama ditata walau permukaannya sedikit berdebu. Kasur, seprei dan segala pernik kamar tampak seperti masih baru."Waktu ayah meninggal, tak berselang lama ibu dirawat di rumah sakit. Tidak ada orang yang menempati rumah ini." Cinta menggumam sendu.Sejak itu pula, kepemilikan rumah tersebut jatuh ke tangan Zaki sebab sang ayah dengan ikhlas me
"Sebenarnya apa yang ingin kau tunjukkan padaku, wanita kecil?" batin Zaki bingung. Cinta menarik diri dari pelukan Zaki saat hatinya merasa lebih tenang. Sejenak, dia mengambil langkah mundur sambil menyapu wajah yang basah dengan telapak tangan."Terima kasih atas perhatiannya. Aku akan istirahat sekarang," ucapnya mantap sambil beranjak naik ke ranjang. Perlahan dia merebahkan badan sambil memejam mata yang terlihat kuyu. Tak butuh waktu lama, tubuh lelah itu mulai meregang dan jiwanya terbuai ke alam mimpi. "Selamat malam." Tangan Zaki bergerak melakukan sesuatu sebelum akhirnya memilih keluar dari kamar tersebut.Malam itu Cinta tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan kelam masa lalu bersama kedua orang tuanya seakan menjegal mimpinya. "Ibu ... ayah! Jangan tinggalkan Cinta! Pergi kalian semua! Jangan sakiti kakakku!" Berulang kali wanita itu menjerit, meracau, dan merengek dalam tangisan pilu hingga Zaki yang berada di kamar sebelah memilih kembali ke sana demi memantau keadaan
"Apa kau sedang mencoba membunuhku secara perlahan, Zaki?" batinnya sendu dengan bola mata berkaca-kaca.Sulit menebak hati pria yang kini mendekapnya erat. Membalasnya dengan sentuhan lembut yang tidak biasa ke beberapa titik sensitif tubuhnya. Membuat seonggok daging di balik dada seakan melompat tanpa kendali."Terkutuk!" Cinta mengumpat keras dalam hati.Saat sedang berjuang menjauhi, justru pria itu datang membawa hal tak terduga yang membuatnya seolah diperhatikan dan ini jelas membuat angan melayang. "Tolong, Zaki. Aku sudah cukup tersiksa karena terabaikan. Jangan kau paksa lagi dengan menggetarkan rasa dalam hati ini." Lagi, Cinta menggerutu dalam batin. Kini raut wajah cantik natural tanpa make up itu memerah layaknya tomat."Tolong hentikan, " bisiknya lirih ke telinga Zaki.Zaki sigap melonggarkan rengkuhan. Berbalik di posisi telentang dalam posisi napas yang sedikit tersengal. Matanya jeli memandang keliling kamar rumah minimalis dengan aksen biru laut menenangkan. "R
"Ayo, sarapan. Kalau sarapanmu tidak disentuh, aku ajak pulang sekarang." Tiba-tiba Zaki bersuara, membawa Cinta kembali fokus sambil mencoba menikmati sarapannya. Namun, kehadiran seorang pria matang di depan pintu utama membuat selera makannya kembali memburuk. "P-paman Dion?" panggilnya gagap, tetapi tidak mendapat jawaban dari orang yang disebutkan namanya.Pria bertampang bersih dengan bekas calar di pipi kiri itu bergerak mendekat sambil melempar tatapan misterius."B-bukannya waktu itu, Paman --" Ucapannya tercekat. Bayangan lima tahun lalu kembali merasuki pikiran. Ya, Cinta pernah menjadi saksi pertengkaran hebat antara kedua orang tuanya dengan pria bernama Dion ini hingga lelaki itu memutuskan pergi dari rumah. Beberapa hari kemudian, pihak kepolisian datang membawa berita kematian seorang pria dengan memboyong identitasnya sebagai korban kecelakaan tunggal."Argh!" Cinta kalap. Kalau saat ini Dion tiba-tiba muncul di hadapannya, lalu mayat siapa yang ditemukan terbakar
"Terima ini!" pekik Dion kasar. Tangannya sigap melempar benda keras tersebut ke arah Zaki. Dengan cepat Zaki menghindar. Benda pecah belah tersebut melayang dan jatuh membentur lantai hingga berkecai menjadi serpihan kaca."Brengsek!"Merasa diperdaya, Dion tidak terima. Dia kembali menyerang dengan menerjangnya dan Zaki menangkis serangan tersebut hingga terjadi adu tenaga di antara mereka. "Cari mati kau, Bajingan!" teriak Dion lagi penuh amarah. Zaki yang kelihatan tenang, masih saja membuat gerakan mundur sambil menangkis serangan. Hingga di gerakan berikutnya, dia membalas dengan sebuah pukulan telak ke pelipis Dion. Membuat lelaki sebayanya itu seketika terhuyung.Zaki menyeringai. "Untuk apa menghilangkan diri selama lima tahun kalau pulang hanya menjadi pecundang besar? Apa Anda berpikir bisa semudah itu merebut kepemilikan Arsyandi Buana?" ujarnya cukup sinis, tetapi dengan nada tetap tenang. Tindakannya ini berhasil memancing Dion hingga ke puncak kemarahannya. Merasa d
"Nona Cinta!" panggil Ari santun ketika sudah berdiri di depan pintu kamar tempat Cinta beristirahat.Sementara di kamar, Cinta terlihat menangis sesenggukan. Dia memang merasa sakit hati dengan sikap paman kandung yang begitu jahat. Namun, dia sangat terpukul dengan ucapan lelaki itu soal Zaki yang berniat menikahinya hanya untuk merebut kekayaan orang tuanya. "Ibu, Ayah, Kak Gita. Andai bisa melawan, Cinta tidak ingin terus hidup dengan lelaki itu. Tapi, apa dayaku? Kalian lihat sendiri, kan, sekarang ini aku tidak punya kemampuan apa-apa selain tunduk kepadanya," keluhnya dengan isak tangis memenuhi ruangan kamar."Nona Cinta!" Sekali lagi namanya dipanggil dengan sebutan Nona. Cinta tersadar saat mendengar panggilan tersebut semakin jelas."Suara itu." Cinta menggumam sambil bangkit dari kasur. Perlahan dia bergerak menuju pintu, lalu membukanya."Paman?!" Cinta terperangah melihat Ari berdiri mematung di depannya. Serentak dia menghambur merangkul erat tubuh renta itu dengan tan
Tidak terjadi percakapan apa pun di antara Zaki dan Alfian selama dua jam jarak tempuh. Sebab cukup banyak yang pria itu pikirkan di dalam kepalanya. Sementara sekretaris Alfian cukup paham dengan situasi dan aturan main yang ditetapkan Zaki soal adab membuka topik bahasan, 'dilarang berbicara sebelum ditanya', kecuali urusan mendesak.Menjelang sore saat awan mendung menutupi cahaya semesta, Zaki dan rombongan baru tiba di halaman Paradise Hotel. Dia turun dari mobil sambil berdiri dengan punggung tegap menghadap gedung megah tersebut. "Kenapa memilih Taman Moana untuk pertemuan hari ini?" tanyanya datar saat kacamata hitam berhasil dia tempel di permukaan hidung yang bangir, memberi kesan misterius di wajahnya yang rada berewok.Alfian yang sudah berdiri dengan posisi menghadapnya dari arah samping, tampak sedikit menunduk, lalu menjawab mantap, "Klien sendiri yang memintanya, Pak."Zaki masih terpana. Kakinya seperti ragu melangkah, entah apa yang membuatnya sedikit resah saat it