Bu Diah terlihat sumringah menyambut kedatangan Mina dan keluarganya. Wanita paruh baya itu terlihat lebih segar dan rapi dengan rambut yang disanggul. Ini tidak seperti bayangan Mina, ia membayangkan bahwa pemilik kostan ini adalah nenek-nenek tua. Ia menyambut mereka dengan senyum ramah, membukakan pintu dan mempersilakan masuk ke area kost yang terlihat terawat dengan baik.
“Selamat datang, Bu, Pak, Mbak Mina yang mana ya?” sapanya halus sambil melirik ke arah Mina dan Miranti.
“Saya Mina yang mau kost disini, kalau ini adik saya, namanya Miranti” ucap Mina sambil menengok ke arah Miranti.
Miranti membalas dengan anggukan kecil, ekspresinya tetap serius, sementara Mina tersenyum lebar, antusias melihat kost barunya.
“Silakan masuk. Saya sudah siapkan kamarnya,” lanjut Bu Diah sambil mempersilakan mereka melangkah ke dalam.
Mina dan kedua orang tuanya terlihat nyaman dengan keramahan Bu Diah, tetapi Miranti sedikit menahan diri. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di atmosfer tempat itu. Bukan karena kostannya tampak tua—justru tempat itu bersih dan rapi—tapi lebih pada aura yang ia rasakan, yang sulit dijelaskan.
“Ini kamar nomor lima di lantai satu,” kata Bu Diah, membuka pintu kamar yang akan menjadi tempat tinggal Mina. Ruangan itu sederhana tetapi cukup nyaman, dengan satu ranjang single, meja belajar kecil, lemari, dan jendela yang menghadap ke taman kecil di belakang.
Mina langsung masuk dengan mata berbinar. “Wah, bagus banget, Bu! Terima kasih ya. Aku nggak nyangka bisa dapat tempat sebagus ini dengan harga segini lho.”
Bu Diah terkekeh. “Alhamdulillah, Mbak Mina suka. Saya memang berusaha bikin penghuni nyaman. Lagipula anak-anak kost di sini kebanyakan juga sopan dan nggak banyak tingkah.”
Setelah Mina meletakkan kopernya, Bu Diah mengajak mereka melihat fasilitas lain. Ia menunjuk dapur bersama yang cukup luas dengan beberapa kompor, kulkas dan lemari tempat penghuni menyimpan bahan makanan. Lalu mereka naik ke lantai dua, di mana ada ruang mencuci dengan mesin cuci umum, serta area jemuran yang cukup lapang dan terlindung dari hujan.
“Tempat ini nyaman banget, Ayah, Ibu,” kata Mina sambil menoleh ke kedua orang tuanya. Pak Nurdin hanya tersenyum kecil, sementara Bu Nita mengangguk setuju meskipun masih ada sedikit kecemasan di wajahnya.
“Kalau Mina senang, ya Ayah juga senang,” jawab Pak Nurdin singkat.
Namun, Miranti tetap diam, hanya mengamati sekeliling. Saat melewati lorong menuju tempat jemuran, ia merasa seperti ada yang mengintip dari salah satu kamar kosong. Ia menoleh cepat, tetapi tidak melihat apa-apa. Kamar itu tertutup rapat.
Setelah selesai berkeliling, mereka kembali ke kamar Mina. Bu Diah berpamitan, meninggalkan mereka untuk membereskan barang-barang.
“Kamarnya nyaman, kok,” kata Mina lagi sambil mulai membuka kopernya. “Aku senang banget pilih kost ini. Murah, bersih, dan fasilitasnya banyak. Aku beruntung banget!”
Miranti mendekati jendela kamar, melirik ke arah taman kecil di belakang. Ia mengerutkan kening. Ada bayangan seperti seseorang berdiri di sana, tapi saat ia berkedip, bayangan itu menghilang.
“Mbak Mina,” panggil Miranti pelan, suaranya agak bergetar. “Kamu yakin tempat ini nggak... ada apa-apa?”
Mina tertawa kecil. “Ah, kamu terlalu parno, Ran. Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Ini kost, bukan rumah hantu.”
Pak Nurdin dan Bu Nita saling bertukar pandang. Meskipun mereka tidak ingin menakut-nakuti Mina, kekhawatiran kecil mulai tumbuh di hati mereka, terutama karena sikap Miranti yang semakin murung.
Sore itu, mereka meninggalkan Mina di kost, berharap anak sulung mereka baik-baik saja. Tetapi, di kepala Miranti, ada satu pertanyaan yang belum bisa ia abaikan: Apakah Mina benar-benar aman di sini? ***
Malam semakin larut, Mina akhirnya selesai membereskan barang-barangnya. Ia merasakan kering di tenggorokannya. Mina melangkah ke dapur dengan sendal rumah yang sedikit berbunyi saat menyentuh lantai keramik. Ia membuka lemari dapur untuk mengambil gelas, lalu mengisi air dari dispenser. Setelah minum seteguk, matanya melirik sebuah rak kecil di sudut dapur. Popmie rasa ayam bawang yang ia bawa dari rumah masih tertata di sana, dan perutnya mulai berbunyi pelan.
Ia memutuskan menyeduhnya. Sementara air panas mengalir ke dalam gelas Popmie, suara langkah pelan terdengar mendekat. Mina menoleh dan mendapati seorang perempuan berdiri di ambang pintu dapur. Perempuan itu tersenyum ramah, mengenakan piyama bermotif bunga, rambutnya dikuncir sederhana.
"Eh, lagi bikin mie, ya?" tanya perempuan itu.
"Iya," jawab Mina sambil membalas senyum. "Kamu siapa? Aku baru pindah ke sini tadi sore."
Perempuan itu melangkah masuk, mendekati Mina. "Aku Kinan, penghuni kamar nomor 9. Kamu yang baru pindah ke kamar 5, kan? Aku lihat waktu kamu bawa barang tadi siang."
Mina mengangguk. "Iya, aku Mina. Kerja di bagian administrasi kantor PT. Tidur Enak Indonesia. Kantornya tidak jauh kok sama kost ini."
"Oh, aku juga kerja di sana, tapi di divisi gudang, bagian purchasing," ujar Kinan. Ia menyandarkan tubuh ke meja dapur, tampak santai. "Kost ini enak, kok. Tenang, cuma kadang ada beberapa hal yang... ya, gitu deh."
Mina mengerutkan kening, meletakkan tutup Popmie ke atas gelasnya agar matang sempurna. "Maksud kamu gimana?"
Kinan tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Nggak apa-apa. Mungkin aku cuma kebanyakan nonton film horor." Ia tertawa kecil, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Mina tidak terlalu menggubris, dan suasana kembali nyaman. Setelah mie siap, ia mengaduk pelan dan duduk di kursi dapur. Kinan mengambil satu mug kopi dari rak dan menuang air panas untuk dirinya sendiri.
Namun, saat mereka berbincang, suara pelan seperti ketukan terdengar dari arah jendela dapur. Kinan menoleh cepat, tetapi Mina tidak menyadarinya. "Kamu dengar itu?" tanya Kinan, wajahnya tampak sedikit tegang.
"Dengar apa?" Mina menatapnya bingung sambil menyeruput kuah mie. "Aku nggak dengar apa-apa."
Kinan diam sejenak, matanya kembali melirik ke arah jendela. "Nggak, nggak apa-apa. Mungkin cuma pohon kena angin."
Mina tersenyum santai. "Ohh gitu ya"
Kinan hanya tersenyum samar, tapi sorot matanya berubah—seperti ada sesuatu yang membuatnya tidak tenang.
Kinan tiba-tiba berdiri, wajahnya terlihat sedikit tegang. Ia melirik ke arah jendela sekali lagi, lalu cepat-cepat meletakkan mugnya di atas meja. "Eh, aku ke kamar dulu, ya," katanya singkat, suaranya terdengar sedikit gemetar.
"Loh, buru-buru banget? Baru juga ngobrol," sahut Mina santai sambil menyeruput kuah mie yang masih panas.
Kinan tersenyum tipis, lebih seperti berusaha menutupi kegelisahan. "Iya, ada yang mesti aku urus di kamar. Nanti kita ngobrol lagi, ya." Ia melangkah cepat keluar dari dapur, meninggalkan Mina yang masih asyik menikmati makanannya.
Mina hanya mengangkat bahu, merasa Kinan agak aneh, tapi tidak terlalu memikirkannya. Suasana dapur kembali sunyi. Ia melanjutkan makan dengan tenang, menyeruput mie hangat sambil memainkan sendoknya.
“Hmm, ini mie udah enak, tapi kayaknya kuahnya kurang asin, kebanyakan air nih kayanya” gumam Mina sambil mengaduk mie dengan sendok. Ia berdiri, melangkah ke rak bumbu untuk mencari garam, tiba-tiba tanpa disadari, sosok perempuan berbaju putih dengan rambut panjang muncul di belakangnya, berdiri diam di sudut dapur.
Setelah Kinan meninggalkan dapur, Mina duduk kembali di kursinya, menyeruput kuah mie perlahan. Suasana di dapur mulai berubah. Lampu dapur berkedip pelan sekali, hampir tidak kentara. Angin dingin perlahan masuk dari jendela yang entah sejak kapan sedikit terbuka. Tapi Mina, yang asyik menikmati mie hangatnya, sama sekali tidak menyadarinya.Saat Mina kembali ke meja, ia tidak melihat sosok itu sama sekali. Hantu itu bergerak lebih dekat, rambutnya perlahan menjuntai hampir menyentuh bahu Mina. Tapi Mina hanya duduk kembali dan menyeruput kuah mie lagi. “Ah, ini baru pas. Sempurna,” katanya puas.Hantu itu mengerang pelan, mencoba menarik perhatian Mina. Suara seperti desiran angin terdengar di telinga, tapi Mina hanya mengusap telinganya. “Aduh, dingin banget anginnya sampai masuk ke telinga"Ketika Mina selesai makan dan membawa gelas mie-nya ke tempat cuci piring, hantu itu memutuskan untuk mencoba cara lain. Gelas piring di rak perlahan-lahan bergeser sendiri, mengeluarkan suara
Mina sedang berdiri di depan cermin di kamarnya, memasang peniti di kerudungnya yang berwarna krem. Pagi itu terasa biasa saja. Matahari pagi yang hangat masuk melalui celah jendela, memberikan suasana yang sejuk. Namun, suasana hening pagi mendadak pecah oleh suara berisik dari luar.Ada suara langkah kaki yang tergesa-gesa di lorong, diselingi gumaman panik beberapa orang. Mina, yang awalnya hanya melirik ke arah pintu, mulai merasa penasaran. Ia merapikan kerudungnya dengan cepat, lalu membuka pintu kamarnya.Di luar, ia melihat sekumpulan orang berdiri di depan kamarnya. Beberapa perempuan yang sepertinya penghuni kost terlihat berbicara satu sama lain dengan wajah khawatir. Di tengah kerumunan, ada tiga lelaki yang tampak sibuk membopong tubuh Bu Diah.Mina mengerutkan kening, bingung. “Ada apa ini?” tanyanya sambil melangkah keluar.Seorang perempuan berkacamata dengan rambut sebahu menoleh ke arah Mina. “Bu Diah pingsan. Kami nemuin dia pagi-pagi begini di depan kamar kamu.”“P
Langkah kaki Mina dan Kinan semakin mendekati gedung kantor yang berdiri megah di ujung jalan. Sepanjang perjalanan, Kinan terus mencari-cari kesempatan untuk melanjutkan pembicaraan tentang kamar yang di tempati Mina. Namun, tiap kali ia mencoba membuka mulut, Mina tampak tidak terlalu tertarik."Tentang kamar itu, memangnya cerita seperti apa?" Mina kembali bertanya."Tentang seorang perempuan yang pernah tinggal disana"Akhirnya, Kinan mencoba lagi dengan suara yang lebih tenang. “Sebenarnya Mina, soal kamar kamu itu…”Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, gedung kantor sudah terlihat jelas di depan mereka. Beberapa rekan kerja mereka tampak sibuk masuk dan keluar melalui pintu utama, membuat suasana pagi di depan kantor cukup ramai.“Oh, sudah sampai,” Mina memotong, dengan nada yang terdengar sedikit lega. Ia menoleh ke arah Kinan dan tersenyum kecil. “Aku duluan, ya. Ini hari pertamaku bekerja, semoga akan menjadi awal yang baik hari ini.”Kinan menelan kembali kata-kata yang sud
Saat Mina tiba di depan pintu gerbang kosan, ia terkejut melihat Kinan sudah berdiri di sana, bersandar santai sambil mengetik sesuatu di ponselnya.“Kinan? Kok udah sampai duluan?” tanya Mina sambil tersenyum sembari menghampiri Kinan.Kinan mendongak dan tersenyum balik. “Eh Mina, iya nih, tadi aku buru-buru pulang, soalnya capek banget. Eh, kebetulan kita ketemu di sini.”Mina membuka gerbang kosan, mengisyaratkan Kinan untuk masuk bersamanya. “Ayo, masuk. Hari ini seru banget di kantor!” katanya dengan nada penuh semangat.“Oh ya? Gimana hari pertamamu?” tanya Kinan sambil mengikuti Mina masuk ke lorong kosan yang mulai gelap karena matahari hampir terbenam.Mina bercerita panjang lebar, menjelaskan bagaimana ia diperkenalkan oleh leader timnya, Raka, dan bagaimana ia bertemu dengan rekan-rekan kerja lainnya. Ia berbicara dengan antusias, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena merasa diterima dengan baik di tempat kerjanya.Kinan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekal
Setelah Pika meninggalkan kamarnya dengan amarah tertahan, Bu Diah terdiam, menatap cangkir teh di depannya. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba mengangkatnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya, seperti film yang diputar ulang berulang kali.Bu Diah duduk di sudut tempat tidurnya, kedua tangannya memegang kepala. Hatinya terasa berat, dan pikirannya berputar-putar, kembali ke kejadian tadi malam. Ia menggigil saat mengingat sosok itu, tentunya ia mengetahui siapa sosok hantu perempuan yang bertubuh kurus dengan rambut panjang menjuntai, wajah rusak seperti tanah kering yang retak-retak, dan cairan hitam yang menetes dari mulutnya yang terus menganga.Kenapa? Dia selama ini tidak pernah keluar dari kamar nomor lima. Enam tahun berlalu, keberadaannya selalu seperti rahasia yang terkunci rapat di dalam kamar itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia keluar.“Mina…” bisik Bu Diah dengan suara serak.Di mana Mina saat itu? Apakah dia di d
Bu Diah semakin bingung. “Cahaya? Cahaya apa?”Hantu itu mendongak, memperlihatkan wajah rusaknya yang penuh retakan. “Cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang membakar. Bahkan aku tidak bisa mendekat. Mereka tidak menginginkan aku di sana.”“Mereka?” tanya Bu Diah dengan suara lirih. “Siapa mereka? Apa yang kau lihat?”Sosok itu tertawa lagi, lebih keras kali ini, tetapi tawa itu segera berubah menjadi suara isak yang mengerikan. “Mereka… mereka yang melindunginya. Mereka yang membuatku pergi!!!!!”“Apa yang Mina lakukan?” desak Bu Diah, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. “Kenapa dia baik-baik saja? Tidak mungkin ada yang tinggal di kamar itu tanpa merasakan apa-apa!”Sosok itu menatap Bu Diah dengan pandangan kosong yang tiba-tiba terlihat seperti penuh kebencian. “Dia… dilindungi!!!”“Dilindungi oleh siapa?”“Sesuatu yang lebih kuat dariku. Lebih kuat dari apa pun di tempat ini. Lebih kuat… bahkan daripada kegelapan yang kau coba sembunyikan selama ini!!”Bu Diah terdiam, tubuhnya
Malam itu, saat dimana Bu Diah di datangi sosok hantu di kamarnya yang merupakan salah satu penghuni kamar Mina.Mina memutuskan untuk tidur lebih awal, namun sebelum tidur tentunya ia menuntaskan terlebih dahulu kegiatan rutinnya. Setelah membersihkan diri dan selesai melaksanakan sholat isya, ia mengambil Al-Qur'an kecil dari meja samping tempat tidur dan duduk bersila di atas sajadahnya. Kamar nomor lima tampak sunyi, hanya diterangi lampu kuning redup yang menciptakan suasana hangat.Mina membuka halaman Al-Qur'an dan mulai mengulang hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci dengan lembut. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir seperti air, memenuhi ruangan dengan getaran yang terasa menenangkan. Ia tenggelam dalam kekhusyukan, memejamkan mata untuk merenungi makna setiap ayat yang ia baca.Namun, sesuatu di kamar itu berubah. Udara yang sebelumnya hangat mulai terasa dingin, seperti angin dingin yang menyelinap dari celah jendela. Tetapi Mina tidak menyadarinya. Ia terus membaca, tida
Malam itu, kosan yang biasanya sunyi mendadak berubah menjadi lautan kekacauan. Jeritan dari lantai atas menggema, memecah keheningan malam. Penghuni kosan satu per satu keluar dari kamar mereka, berlari ke arah sumber suara.Di lantai atas, Yuna dan Saras, penghuni kamar bersebelahan, terlihat dalam keadaan yang tidak biasa. Saras tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar hebat, sementara Yuna berdiri di sampingnya dengan mata melotot, napasnya tersengal. Tubuh Yuna bergerak liar, seolah sedang berusaha menahan sesuatu yang ingin keluar.Pak Yanto, pria paruh baya yang selalu membantu menjaga kosan, sudah ada di tempat, membaca doa-doa dengan suara lantang. Tangannya terangkat, memegang bahu Saras yang tubuhnya dingin seperti es.“Bismillahirrahmanirrahim…” Pak Yanto mengulang-ulang doa dengan khusyuk, wajahnya berpeluh karena usaha yang berat.Saras perlahan tenang, meski wajahnya masih pucat. Ketika tubuhnya akhirnya lemas, penghuni lain segera membantu mengangkatnya dan membawanya ke
Hari ini kantor PT. Tidur Enak Indonesia dipenuhi oleh kesibukan yang luar biasa. Tim customer service, termasuk Mina, terus berpacu dengan waktu melayani klien dan pelanggan yang tak henti-hentinya menghubungi mereka sejak pagi. Peluncuran produk kasur terbaru membawa banyak permintaan yang harus ditangani, dari permintaan pemesanan hingga follow-up data.Saat matahari mulai tenggelam, ruangan kantor perlahan-lahan menjadi lebih hening. Beberapa meja sudah mulai kosong setelah tim lain pulang, tetapi Mina dan rekan-rekannya, Raka, Novi, Ilham, dan Aisya tetap bertahan, fokus menyelesaikan pekerjaan mereka.Jarum jam menunjukkan hampir pukul 10 malam. Suasana kantor semakin sepi. Lampu-lampu di luar ruangan sudah mulai dimatikan oleh satpam, menyisakan penerangan temaram dari ruangan mereka. Mina duduk di mejanya, mengetik cepat sambil sesekali mengusap wajahnya yang mulai lelah.Namun tiba-tiba, kring... kring… kring...Suara telepon di meja tengah berdering keras, memecah kesunyian.
Mina menutup pintu kamarnya dengan perlahan, bersiap menuju pintu depan untuk mengambil makanan yang dipesannya secara online. Malam itu terasa berbeda, jauh lebih sunyi dari biasanya. Udara di lorong lantai satu terasa dingin dan sedikit lembap, tetapi Mina tetap melangkah santai, meski perasaannya sedikit terusik oleh keheningan yang tidak wajar.Saat berjalan melewati deretan kamar, Mina melihat pintu kamar Tara di nomor tiga terbuka sedikit. Dari dalam, Tara muncul dengan cepat, membawa bantal dan selimut di tangannya. Wajahnya terlihat panik, tetapi ketika ia melihat Mina di ujung lorong, ekspresinya berubah sejenak, seolah merasa lega.“Eh, Tara, mau ke mana malam-malam bawa bantal segala?” tanya Mina, menghentikan langkahnya.Tara tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. “Oh, Min… Kamu bikin aku kaget.” Ia tertawa kecil, tetapi ada nada gugup di suaranya.Mina menyipitkan mata, merasa ada yang aneh. “Kamu mau nginep di mana? Kenapa bawa-bawa bantal segala?”Tara menarik na
Setelah menghabiskan semangkuk mie instan, Mina merasa jauh lebih baik. Perutnya yang semula melilit karena lapar kini tenang, meski rasa kram akibat datang bulan masih menyisakan nyeri di perut bawahnya. Ia kembali ke kamar dan duduk di atas kasur, bersandar pada dinding dengan pandangan menerawang.Pikirannya melayang ke kejadian subuh tadi. Udara kamar yang terasa sesak, hawa panas yang tidak wajar, dan perasaan seperti ada banyak "kehadiran" di sekitarnya. Tidak ada hal aneh yang benar-benar ia lihat, tetapi semuanya terasa... salah.Mina menghela napas panjang, lalu memandang keluar jendela. Tidak ada pemandangan disana, hanya lahan kosong yang tidak begitu luas, taman kecil yang ia tahu bahwa di balik sana adalah tempat peristirahatan terakhir bagi orang-orang yang telah wafat. Pemandangan itu terasa begitu biasa, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa gelisah.Di tengah lamunannya, ponselnya yang tergeletak di meja samping bergetar. Nada deringnya memenuhi ruangan. Mina melirik lay
Mina terbangun dengan kepala yang sedikit berat. Cahaya matahari sudah masuk melalui celah tirai kamar, membuatnya sadar bahwa pagi sudah jauh berjalan. Ketika ia melirik ke jam dinding, jarumnya menunjuk pukul tujuh lebih beberapa menit.Dengan langkah pelan, ia beranjak dari tempat tidur, tetapi rasa sakit di perutnya membuatnya terhenti sejenak. Mina memegangi perutnya, wajahnya meringis karena kram datang bulan yang belum juga mereda.“Aku butuh makan,” gumamnya, berusaha mengumpulkan tenaga.Setelah merapikan diri seadanya, ia berjalan keluar dari kamar menuju dapur di ujung lorong. Langkahnya lambat, sesekali ia berhenti untuk menahan nyeri di perutnya.Ketika tiba di dapur, ia mendapati Zuen, Tara, Iren, Mika, dan Kinan sudah berkumpul di sana. Mereka duduk di kursi meja makan yang ada di dapur, masing-masing memegang secangkir kopi atau teh, sambil menyantap lontong dan gorengan yang terhidang di meja yang seperti baru dia angkat dari wajan. Suara mereka rendah, tetapi jelas t
Mina terbangun pukul tiga dini hari, tubuhnya terasa sedikit berat, dan ada nyeri menusuk di perutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memahami apa yang membuatnya terjaga. Ketika rasa nyeri itu semakin jelas, ia tersadar.“Ah, sepertinya aku datang bulan,” gumamnya pelan.Dengan langkah pelan, ia berjalan ke kamar mandi di sudut kamarnya. Cahaya remang dari lampu kamar mandi menerangi wajah Mina yang sedikit pucat. Setelah memastikan semuanya bersih dan rapi, ia kembali ke kamarnya, mengganti pakaian, dan mengenakan pembalut.Ketika selesai, ia melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul empat pagi. Biasanya pada waktu seperti ini, ia bersiap untuk sholat Subuh. Namun, malam ini berbeda.Mina duduk di kasurnya, matanya memandang Al-Qur'an kecil yang tersimpan di meja samping. Dengan hati yang lapang, ia membatin, “Aku tetap bisa berdzikir dan berdoa.”Namun, ia tidak tahu, sesuatu di kamarnya sudah mulai bergerak.Mina duduk bersila di atas kasurnya, tubuhnya masih terasa
Malam itu, kosan yang biasanya sunyi mendadak berubah menjadi lautan kekacauan. Jeritan dari lantai atas menggema, memecah keheningan malam. Penghuni kosan satu per satu keluar dari kamar mereka, berlari ke arah sumber suara.Di lantai atas, Yuna dan Saras, penghuni kamar bersebelahan, terlihat dalam keadaan yang tidak biasa. Saras tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar hebat, sementara Yuna berdiri di sampingnya dengan mata melotot, napasnya tersengal. Tubuh Yuna bergerak liar, seolah sedang berusaha menahan sesuatu yang ingin keluar.Pak Yanto, pria paruh baya yang selalu membantu menjaga kosan, sudah ada di tempat, membaca doa-doa dengan suara lantang. Tangannya terangkat, memegang bahu Saras yang tubuhnya dingin seperti es.“Bismillahirrahmanirrahim…” Pak Yanto mengulang-ulang doa dengan khusyuk, wajahnya berpeluh karena usaha yang berat.Saras perlahan tenang, meski wajahnya masih pucat. Ketika tubuhnya akhirnya lemas, penghuni lain segera membantu mengangkatnya dan membawanya ke
Malam itu, saat dimana Bu Diah di datangi sosok hantu di kamarnya yang merupakan salah satu penghuni kamar Mina.Mina memutuskan untuk tidur lebih awal, namun sebelum tidur tentunya ia menuntaskan terlebih dahulu kegiatan rutinnya. Setelah membersihkan diri dan selesai melaksanakan sholat isya, ia mengambil Al-Qur'an kecil dari meja samping tempat tidur dan duduk bersila di atas sajadahnya. Kamar nomor lima tampak sunyi, hanya diterangi lampu kuning redup yang menciptakan suasana hangat.Mina membuka halaman Al-Qur'an dan mulai mengulang hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci dengan lembut. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir seperti air, memenuhi ruangan dengan getaran yang terasa menenangkan. Ia tenggelam dalam kekhusyukan, memejamkan mata untuk merenungi makna setiap ayat yang ia baca.Namun, sesuatu di kamar itu berubah. Udara yang sebelumnya hangat mulai terasa dingin, seperti angin dingin yang menyelinap dari celah jendela. Tetapi Mina tidak menyadarinya. Ia terus membaca, tida
Bu Diah semakin bingung. “Cahaya? Cahaya apa?”Hantu itu mendongak, memperlihatkan wajah rusaknya yang penuh retakan. “Cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang membakar. Bahkan aku tidak bisa mendekat. Mereka tidak menginginkan aku di sana.”“Mereka?” tanya Bu Diah dengan suara lirih. “Siapa mereka? Apa yang kau lihat?”Sosok itu tertawa lagi, lebih keras kali ini, tetapi tawa itu segera berubah menjadi suara isak yang mengerikan. “Mereka… mereka yang melindunginya. Mereka yang membuatku pergi!!!!!”“Apa yang Mina lakukan?” desak Bu Diah, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. “Kenapa dia baik-baik saja? Tidak mungkin ada yang tinggal di kamar itu tanpa merasakan apa-apa!”Sosok itu menatap Bu Diah dengan pandangan kosong yang tiba-tiba terlihat seperti penuh kebencian. “Dia… dilindungi!!!”“Dilindungi oleh siapa?”“Sesuatu yang lebih kuat dariku. Lebih kuat dari apa pun di tempat ini. Lebih kuat… bahkan daripada kegelapan yang kau coba sembunyikan selama ini!!”Bu Diah terdiam, tubuhnya
Setelah Pika meninggalkan kamarnya dengan amarah tertahan, Bu Diah terdiam, menatap cangkir teh di depannya. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba mengangkatnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya, seperti film yang diputar ulang berulang kali.Bu Diah duduk di sudut tempat tidurnya, kedua tangannya memegang kepala. Hatinya terasa berat, dan pikirannya berputar-putar, kembali ke kejadian tadi malam. Ia menggigil saat mengingat sosok itu, tentunya ia mengetahui siapa sosok hantu perempuan yang bertubuh kurus dengan rambut panjang menjuntai, wajah rusak seperti tanah kering yang retak-retak, dan cairan hitam yang menetes dari mulutnya yang terus menganga.Kenapa? Dia selama ini tidak pernah keluar dari kamar nomor lima. Enam tahun berlalu, keberadaannya selalu seperti rahasia yang terkunci rapat di dalam kamar itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia keluar.“Mina…” bisik Bu Diah dengan suara serak.Di mana Mina saat itu? Apakah dia di d