Langkah kaki Mina dan Kinan semakin mendekati gedung kantor yang berdiri megah di ujung jalan. Sepanjang perjalanan, Kinan terus mencari-cari kesempatan untuk melanjutkan pembicaraan tentang kamar yang di tempati Mina. Namun, tiap kali ia mencoba membuka mulut, Mina tampak tidak terlalu tertarik.
"Tentang kamar itu, memangnya cerita seperti apa?" Mina kembali bertanya.
"Tentang seorang perempuan yang pernah tinggal disana"
Akhirnya, Kinan mencoba lagi dengan suara yang lebih tenang. “Sebenarnya Mina, soal kamar kamu itu…”
Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, gedung kantor sudah terlihat jelas di depan mereka. Beberapa rekan kerja mereka tampak sibuk masuk dan keluar melalui pintu utama, membuat suasana pagi di depan kantor cukup ramai.
“Oh, sudah sampai,” Mina memotong, dengan nada yang terdengar sedikit lega. Ia menoleh ke arah Kinan dan tersenyum kecil. “Aku duluan, ya. Ini hari pertamaku bekerja, semoga akan menjadi awal yang baik hari ini.”
Kinan menelan kembali kata-kata yang sudah siap ia ucapkan. “Oh, iya. Kalau gitu, sampai ketemu nanti ya, Min. Semangat di hari pertama!”
Mina mengangguk, lalu melangkah masuk ke gedung tanpa memikirkan lebih jauh apa yang Kinan coba sampaikan tadi. Bagi Mina, percakapan soal kamar kosannya tadi hanya basa-basi semata—tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun, Kinan tetap berdiri di tempatnya sejenak, memperhatikan Mina yang sudah menghilang di balik pintu gedung. Pikirannya dipenuhi keraguan. Cerita-cerita yang pernah ia dengar tentang kamar nomor lima kembali muncul di benaknya, terutama tentang penghuni sebelumnya.
“Harusnya tadi aku cerita,” gumam Kinan pada dirinya sendiri sebelum akhirnya melangkah masuk ke kantornya dengan berat hati.
Hari itu adalah hari pertama Mina bekerja di PT. Tidur Enak Indonesia, sebuah perusahaan yang memproduksi perlengkapan tidur premium seperti kasur, bantal, dan sprei. Dengan langkah mantap, Mina memasuki kantor dan melapor ke resepsionis, yang kemudian mengarahkan dia ke divisi tempatnya bekerja, Online Team.
Divisi tersebut terletak di lantai tiga, di sudut ruangan yang cukup tenang. Saat Mina memasuki ruangan, ia melihat ada empat orang lain yang sudah duduk di meja masing-masing.
Setelah Mina duduk di meja yang telah disiapkan untuknya, seorang pria yang sebelumnya terlihat sibuk mengetik di laptop berdiri dari kursinya. Ia melangkah mendekat, wajahnya serius tetapi tidak tampak angkuh.
“Selamat datang, Mina. Saya Raka, leader tim ini,” katanya sambil menjabat tangan Mina. Suaranya tegas tetapi terkesan sopan. “Sebelum mulai bekerja, saya akan memperkenalkan kamu ke semua orang di divisi kita.”
Mina mengangguk, mengikuti Raka yang mengisyaratkan agar ia berdiri dan berjalan bersamanya. Mereka berdua melangkah menuju sisi lain ruangan yang cukup luas, di mana ada beberapa meja tim lain.
“Ini adalah Tim Desain, yang bertanggung jawab atas semua materi visual, termasuk katalog online, iklan, dan konten media sosial,” ujar Raka sambil menunjuk ke arah sekelompok orang yang sedang sibuk di depan komputer mereka, mereka seketika menoleh dan memberikan ucapan selamat datang pada Mina. Salah satu dari mereka, seorang perempuan muda dengan headphone besar, melambaikan tangan sambil tersenyum. Mina membalas senyuman itu dengan ragu-ragu.
Raka melanjutkan, “Dan di sini adalah Tim Marketing. Mereka fokus pada strategi promosi, kampanye digital, dan kerja sama dengan partner eksternal.” Seorang pria berkemeja rapi mengangguk ke arah Mina, sementara rekan-rekannya terlihat sibuk dengan diskusi serius di layar monitor besar, mereka berhenti sejenak dan mengucapankan selamat bergabung pada Mina.
Setelah itu, Raka membawa Mina kembali ke meja tim Online Team, tempat keempat rekannya sudah menunggu.
“Seperti yang tadi saya bilang, ini adalah Mina, anggota baru kita. Dia akan bergabung sebagai customer service di tim ini. Saya harap kalian semua bisa membantunya beradaptasi,” kata Raka dengan nada penuh keyakinan.
Aisya, Novi, dan Ilham menyambut Mina dengan senyum ramah, sementara Raka menambahkan, “Mina, tugas utama kita di sini adalah memastikan semua pelanggan mendapatkan informasi dan solusi terbaik terkait produk kita. Kamu akan menangani pertanyaan, keluhan, dan konsultasi melalui platform online. Jangan ragu untuk bertanya kalau ada kesulitan.”
"Jika ada pertanyaan, kamu bisa langsung tanya saya atau bisa tanya pada rekan-rekan yang lain. Mereka pasti siap membantu, nanti untuk rules dari pekerjaan kamu, akan di jelaskan oleh Aisya ya"
“Terima kasih, Pak Raka,” jawab Mina dengan sopan.
Setelah perkenalan selesai, Raka kembali ke mejanya tetapi masih mengawasi tim dari kejauhan. Mina merasa sedikit lebih tenang karena suasana kerja di sini tampak profesional tetapi tidak kaku.
Seorang perempuan berjilbab dan berkacamata tersenyum ramah menyapanya lebih dulu. “Hai, Mina, aku Aisya. Selamat datang di tim!”
Mina membalas senyum itu, merasa sedikit lega. “Iya, terima kasih. Senang bertemu kalian.”
Kemudian, seorang pria dengan kemeja santai dan ekspresi santai berdiri dari kursinya. “Halo, aku Ilham. Selamat bergabung di divisi yang katanya paling sibuk di kantor ini,” ujarnya dengan nada bercanda.
Di sebelah Ilham, seorang perempuan muda dengan rambut diikat rapi menoleh dari layar komputer. “Hai, aku Novi. Jangan takut sama Ilham, dia memang tukang bercanda di sini. Kalau ada apa-apa, jangan ragu tanya aku, ya,” katanya dengan nada ramah.
Mina merasa suasana di tim ini cukup santai, meskipun sedikit berbeda dari apa yang ia bayangkan sebelumnya. Aisya kemudian mengajaknya duduk di meja kerjanya, yang sudah dilengkapi dengan komputer dan beberapa perlengkapan kerja.
“Jadi, tugas kamu hari ini masih ringan,” jelas Aisya. “Sebagai customer service di tim online, tugas utama kamu adalah membalas chat dan email dari pelanggan. Kita harus pastikan mereka mendapat jawaban yang cepat dan memuaskan, terutama soal produk kita. Jangan khawatir, kalau bingung, Novi atau aku bakal bantu.”
Mina mengangguk, mencoba menyerap semua informasi. Ia menyalakan komputernya dan mulai membuka platform chat yang biasa digunakan perusahaan.
Ilham, yang duduk di meja sebelah, mendekat dan berbisik pelan. “Saran aja, jangan terlalu kaku sama pelanggan. Kadang mereka cuma mau curhat soal kasurnya nggak empuk, padahal mereka beli yang paling murah. Jawab santai aja.”
Mina tertawa kecil, merasa sedikit lebih santai setelah mendengar candaan itu. Hari pertama berjalan cukup lancar. Meski masih belajar banyak, Mina merasa diterima oleh timnya.
***
Jam pulang kerja akhirnya tiba. Ilham menjadi yang pertama meninggalkan kantor dengan langkah santai sambil melambaikan tangan ke arah rekan-rekannya. Sementara itu, Mina keluar bersama Novi dan Aisya. Mereka bertiga berjalan bersisian menuju pintu keluar gedung.
Di depan gedung, Aisya menoleh ke Mina dan bertanya dengan nada ringan, “Kamu tinggal di mana, Min? Kosan atau rumah keluarga?”
Mina tersenyum kecil. “Aku kos, nggak jauh dari sini. Letaknya di gang belakang, yang dekat kuburan.”
Aisya langsung terdiam sejenak. Raut wajahnya berubah, meski ia mencoba tetap terlihat tenang. Novi, yang berjalan di sisi Mina, mengerutkan kening. “Dekat kuburan? Yang kosan lama di ujung jalan itu, ya?”
“Iya, bener banget,” jawab Mina dengan santai. “Sebenarnya agak menyeramkan juga, tapi murah dan dekat kantor. Jadi ya, aku ambil aja.”
Aisya tersenyum tipis, tetapi ada keraguan dalam sorot matanya. “Oh, iya-iya. Kosan itu, aku tahu kan aku penduduk asli sini. Tapi cukup nyaman, kan?” tanyanya dengan hati-hati.
“Nyaman kok,” jawab Mina cepat. “Nggak ada masalah sama sekali. Bahkan lebih tenang daripada yang aku kira.”
Aisya lega setelah melihat antusiasme Mina, itu membuktikan bahwa memang sudah tidak terjadi apa-apa disana.
Novi mengalihkan pembicaraan. “Baguslah kalau kamu betah. Aku dulu juga pernah ngekos sebelum nikah, jadi ngerti banget pentingnya cari tempat yang tenang.”
Mina tersenyum. “Iya, semoga aja aku bisa lama di situ.”
Obrolan ringan mereka berlanjut hingga mencapai jalan utama. Di sana, mereka bertiga harus berpisah untuk menuju ke arah masing-masing. Sebelum pergi, Aisya menepuk bahu Mina ringan.
“Hati-hati ya, Min. Sampai ketemu besok,” ucap Aisya dengan senyum lembut, meskipun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Siap ! Kalian juga, hati-hati ya"
Mina melangkah pulang dengan perasaan lega karena hari pertamanya di kantor berjalan lancar. Namun, di belakangnya, Aisya dan Novi berjalan bersama, dengan Aisya masih terdiam.
“Kenapa tadi kamu kayaknya mau ngomong sesuatu soal kosannya Mina?” tanya Novi tiba-tiba, memecah keheningan.
Aisya menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Mungkin nggak penting juga buat dibahas.”
Namun dalam hati, Aisya tahu persis apa yang ia sembunyikan: cerita lama tentang tragedi di kosan itu, sebuah rahasia yang tidak pernah benar-benar hilang dari ingatannya.
Saat Mina tiba di depan pintu gerbang kosan, ia terkejut melihat Kinan sudah berdiri di sana, bersandar santai sambil mengetik sesuatu di ponselnya.“Kinan? Kok udah sampai duluan?” tanya Mina sambil tersenyum sembari menghampiri Kinan.Kinan mendongak dan tersenyum balik. “Eh Mina, iya nih, tadi aku buru-buru pulang, soalnya capek banget. Eh, kebetulan kita ketemu di sini.”Mina membuka gerbang kosan, mengisyaratkan Kinan untuk masuk bersamanya. “Ayo, masuk. Hari ini seru banget di kantor!” katanya dengan nada penuh semangat.“Oh ya? Gimana hari pertamamu?” tanya Kinan sambil mengikuti Mina masuk ke lorong kosan yang mulai gelap karena matahari hampir terbenam.Mina bercerita panjang lebar, menjelaskan bagaimana ia diperkenalkan oleh leader timnya, Raka, dan bagaimana ia bertemu dengan rekan-rekan kerja lainnya. Ia berbicara dengan antusias, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena merasa diterima dengan baik di tempat kerjanya.Kinan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekal
Setelah Pika meninggalkan kamarnya dengan amarah tertahan, Bu Diah terdiam, menatap cangkir teh di depannya. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba mengangkatnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya, seperti film yang diputar ulang berulang kali.Bu Diah duduk di sudut tempat tidurnya, kedua tangannya memegang kepala. Hatinya terasa berat, dan pikirannya berputar-putar, kembali ke kejadian tadi malam. Ia menggigil saat mengingat sosok itu, tentunya ia mengetahui siapa sosok hantu perempuan yang bertubuh kurus dengan rambut panjang menjuntai, wajah rusak seperti tanah kering yang retak-retak, dan cairan hitam yang menetes dari mulutnya yang terus menganga.Kenapa? Dia selama ini tidak pernah keluar dari kamar nomor lima. Enam tahun berlalu, keberadaannya selalu seperti rahasia yang terkunci rapat di dalam kamar itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia keluar.“Mina…” bisik Bu Diah dengan suara serak.Di mana Mina saat itu? Apakah dia di d
Bu Diah semakin bingung. “Cahaya? Cahaya apa?”Hantu itu mendongak, memperlihatkan wajah rusaknya yang penuh retakan. “Cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang membakar. Bahkan aku tidak bisa mendekat. Mereka tidak menginginkan aku di sana.”“Mereka?” tanya Bu Diah dengan suara lirih. “Siapa mereka? Apa yang kau lihat?”Sosok itu tertawa lagi, lebih keras kali ini, tetapi tawa itu segera berubah menjadi suara isak yang mengerikan. “Mereka… mereka yang melindunginya. Mereka yang membuatku pergi!!!!!”“Apa yang Mina lakukan?” desak Bu Diah, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. “Kenapa dia baik-baik saja? Tidak mungkin ada yang tinggal di kamar itu tanpa merasakan apa-apa!”Sosok itu menatap Bu Diah dengan pandangan kosong yang tiba-tiba terlihat seperti penuh kebencian. “Dia… dilindungi!!!”“Dilindungi oleh siapa?”“Sesuatu yang lebih kuat dariku. Lebih kuat dari apa pun di tempat ini. Lebih kuat… bahkan daripada kegelapan yang kau coba sembunyikan selama ini!!”Bu Diah terdiam, tubuhnya
Malam itu, saat dimana Bu Diah di datangi sosok hantu di kamarnya yang merupakan salah satu penghuni kamar Mina.Mina memutuskan untuk tidur lebih awal, namun sebelum tidur tentunya ia menuntaskan terlebih dahulu kegiatan rutinnya. Setelah membersihkan diri dan selesai melaksanakan sholat isya, ia mengambil Al-Qur'an kecil dari meja samping tempat tidur dan duduk bersila di atas sajadahnya. Kamar nomor lima tampak sunyi, hanya diterangi lampu kuning redup yang menciptakan suasana hangat.Mina membuka halaman Al-Qur'an dan mulai mengulang hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci dengan lembut. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir seperti air, memenuhi ruangan dengan getaran yang terasa menenangkan. Ia tenggelam dalam kekhusyukan, memejamkan mata untuk merenungi makna setiap ayat yang ia baca.Namun, sesuatu di kamar itu berubah. Udara yang sebelumnya hangat mulai terasa dingin, seperti angin dingin yang menyelinap dari celah jendela. Tetapi Mina tidak menyadarinya. Ia terus membaca, tida
Malam itu, kosan yang biasanya sunyi mendadak berubah menjadi lautan kekacauan. Jeritan dari lantai atas menggema, memecah keheningan malam. Penghuni kosan satu per satu keluar dari kamar mereka, berlari ke arah sumber suara.Di lantai atas, Yuna dan Saras, penghuni kamar bersebelahan, terlihat dalam keadaan yang tidak biasa. Saras tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar hebat, sementara Yuna berdiri di sampingnya dengan mata melotot, napasnya tersengal. Tubuh Yuna bergerak liar, seolah sedang berusaha menahan sesuatu yang ingin keluar.Pak Yanto, pria paruh baya yang selalu membantu menjaga kosan, sudah ada di tempat, membaca doa-doa dengan suara lantang. Tangannya terangkat, memegang bahu Saras yang tubuhnya dingin seperti es.“Bismillahirrahmanirrahim…” Pak Yanto mengulang-ulang doa dengan khusyuk, wajahnya berpeluh karena usaha yang berat.Saras perlahan tenang, meski wajahnya masih pucat. Ketika tubuhnya akhirnya lemas, penghuni lain segera membantu mengangkatnya dan membawanya ke
Mina terbangun pukul tiga dini hari, tubuhnya terasa sedikit berat, dan ada nyeri menusuk di perutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memahami apa yang membuatnya terjaga. Ketika rasa nyeri itu semakin jelas, ia tersadar.“Ah, sepertinya aku datang bulan,” gumamnya pelan.Dengan langkah pelan, ia berjalan ke kamar mandi di sudut kamarnya. Cahaya remang dari lampu kamar mandi menerangi wajah Mina yang sedikit pucat. Setelah memastikan semuanya bersih dan rapi, ia kembali ke kamarnya, mengganti pakaian, dan mengenakan pembalut.Ketika selesai, ia melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul empat pagi. Biasanya pada waktu seperti ini, ia bersiap untuk sholat Subuh. Namun, malam ini berbeda.Mina duduk di kasurnya, matanya memandang Al-Qur'an kecil yang tersimpan di meja samping. Dengan hati yang lapang, ia membatin, “Aku tetap bisa berdzikir dan berdoa.”Namun, ia tidak tahu, sesuatu di kamarnya sudah mulai bergerak.Mina duduk bersila di atas kasurnya, tubuhnya masih terasa
Mina terbangun dengan kepala yang sedikit berat. Cahaya matahari sudah masuk melalui celah tirai kamar, membuatnya sadar bahwa pagi sudah jauh berjalan. Ketika ia melirik ke jam dinding, jarumnya menunjuk pukul tujuh lebih beberapa menit.Dengan langkah pelan, ia beranjak dari tempat tidur, tetapi rasa sakit di perutnya membuatnya terhenti sejenak. Mina memegangi perutnya, wajahnya meringis karena kram datang bulan yang belum juga mereda.“Aku butuh makan,” gumamnya, berusaha mengumpulkan tenaga.Setelah merapikan diri seadanya, ia berjalan keluar dari kamar menuju dapur di ujung lorong. Langkahnya lambat, sesekali ia berhenti untuk menahan nyeri di perutnya.Ketika tiba di dapur, ia mendapati Zuen, Tara, Iren, Mika, dan Kinan sudah berkumpul di sana. Mereka duduk di kursi meja makan yang ada di dapur, masing-masing memegang secangkir kopi atau teh, sambil menyantap lontong dan gorengan yang terhidang di meja yang seperti baru dia angkat dari wajan. Suara mereka rendah, tetapi jelas t
Setelah menghabiskan semangkuk mie instan, Mina merasa jauh lebih baik. Perutnya yang semula melilit karena lapar kini tenang, meski rasa kram akibat datang bulan masih menyisakan nyeri di perut bawahnya. Ia kembali ke kamar dan duduk di atas kasur, bersandar pada dinding dengan pandangan menerawang.Pikirannya melayang ke kejadian subuh tadi. Udara kamar yang terasa sesak, hawa panas yang tidak wajar, dan perasaan seperti ada banyak "kehadiran" di sekitarnya. Tidak ada hal aneh yang benar-benar ia lihat, tetapi semuanya terasa... salah.Mina menghela napas panjang, lalu memandang keluar jendela. Tidak ada pemandangan disana, hanya lahan kosong yang tidak begitu luas, taman kecil yang ia tahu bahwa di balik sana adalah tempat peristirahatan terakhir bagi orang-orang yang telah wafat. Pemandangan itu terasa begitu biasa, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa gelisah.Di tengah lamunannya, ponselnya yang tergeletak di meja samping bergetar. Nada deringnya memenuhi ruangan. Mina melirik lay
Setelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam
Dini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn
Iren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah
Yang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu
Hujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang
Di dalam tenda, suasana menjadi semakin mencekam. Semua orang berkumpul dalam satu tenda untuk saling menjaga, wajah-wajah mereka dipenuhi ketegangan.Kinan memeluk lututnya sendiri, matanya terus melirik ke arah pintu tenda. "Kenapa ini bisa terjadi? Kita cuma mau mendaki gunung, tapi… kenapa jadi kayak gini?"Ratna mencoba menenangkan dirinya dengan meminum air dari botol kecil. "Tara nggak mungkin hilang gitu aja. Dia pasti masih di sekitar sini, kan?"Zuen, yang duduk di dekat pintu, menatap mereka dengan raut serius. "Kita harus percaya sama Pak Rahman. Dia pasti bakal nemuin Tara."Namun, Pika tetap diam, pandangannya tidak lepas dari Mina yang duduk di sudut tenda. Akhirnya, ia membuka mulut dengan nada tajam."Mina, kenapa kamu nggak hilang? Kenapa harus Tara? Kamu berdua kan sama-sama di sana."Semua orang terdiam, menatap Pika dengan ekspresi kaget. Mina menundukkan kepalanya, tidak tahu harus menjawab apa."Pika, jangan begitu," ujar Nadin, mencoba menenangkan suasana."Tap
Mereka melangkah keluar dari tenda, dihantam oleh udara dingin yang terasa menusuk kulit. Hujan masih turun deras, membuat kepala mereka basah meski sudah mengenakan hood jaket. Dengan langkah hati-hati, mereka berjalan ke belakang tenda, tempat yang agak tersembunyi di antara semak-semak besar."Cepetan, Tara. Aku nunggu di sini," ujar Mina sambil berdiri dengan tangan melipat di dada.Tara mengangguk sambil mencari tempat yang agak nyaman untuk buang air. Setelah beberapa saat, ia kembali ke Mina dengan wajah lega."Udah, sekarang giliran kamu," katanya sambil berdiri di tempatnya.Mina mengangguk dan berjalan ke arah semak-semak. Sebelum ia jongkok, ia merapatkan jaketnya dan berbisik pelan, melafalkan doa perlindungan seperti yang biasa diajarkan oleh ibunya."Ya Allah, lindungi aku dari apa pun yang ada di sini. Jangan biarkan ada yang mengganggu," doanya dengan khusyuk.Setelah selesai, ia cepat-cepat membersihkan diri dengan air dari botol kecil yang ia bawa. Hujan yang deras m
Jam menunjukkan pukul 15:19 saat rombongan pendakian Mina akhirnya tiba di Pos Empat. Udara terasa jauh lebih dingin dibandingkan sebelumnya, dan aroma khas tanah basah mulai menyeruak. Kabut tebal turun perlahan, menyelimuti area sekitar. Di kejauhan, suara gemericik air dari aliran sungai kecil menambah suasana yang tenang namun dingin.Mina menatap jam digital di pergelangan tangannya yang kembali berbunyi, mengingatkan waktu sholat ashar telah tiba. Ia merasa bersyukur sudah melaksanakan sholat zuhur tepat waktu tadi, karena kondisi sekarang tampaknya tidak memungkinkan untuk melaksanakan sholat di tempat yang nyaman.Pak Rahman berhenti dan menoleh ke rombongan dengan ekspresi serius. "Kita istirahat di sini. Jalur ke depan terlalu licin dengan kabut setebal ini. Terlalu berbahaya kalau kita lanjut sekarang."Semua orang mengangguk, meski sebagian terlihat lelah dan basah kuyup oleh hujan yang mulai turun dengan deras. Mereka bergerak perlahan menuju area datar yang cukup luas, d
Pak Rahman, yang memimpin rombongan, sesekali berhenti untuk memberi instruksi atau memastikan semua anggota kelompok tetap berada dalam formasi yang rapat."Ingat," kata Pak Rahman sambil menoleh ke belakang, wajahnya serius. "Kita tidak boleh berpisah dari rombongan. Jalur ini terlihat mudah, tapi bisa menyesatkan jika kalian tidak hati-hati. Tetap ikuti langkah saya."Semua orang mengangguk, menerima instruksi itu tanpa banyak pertanyaan. Mina, yang berjalan di tengah rombongan bersama Iren dan Tara, merasa sedikit gugup. Namun, ia mencoba menyembunyikan perasaannya dengan tersenyum dan bercanda bersama teman-temannya."Pak Rahman serius banget, ya," bisik Mina kepada Iren.Iren tertawa kecil. "Namanya juga guide. Dia tanggung jawab sama keselamatan kita. Lagipula, gunung ini memang terkenal agak tricky.""Tricky gimana?" tanya Mina dengan alis terangkat."Jalurnya bisa bikin bingung kalau kamu nggak tahu arahnya. Makanya kita harus bener-bener patuh sama arahan Pak Rahman," jawab