Mina sedang berdiri di depan cermin di kamarnya, memasang peniti di kerudungnya yang berwarna krem. Pagi itu terasa biasa saja. Matahari pagi yang hangat masuk melalui celah jendela, memberikan suasana yang sejuk. Namun, suasana hening pagi mendadak pecah oleh suara berisik dari luar.
Ada suara langkah kaki yang tergesa-gesa di lorong, diselingi gumaman panik beberapa orang. Mina, yang awalnya hanya melirik ke arah pintu, mulai merasa penasaran. Ia merapikan kerudungnya dengan cepat, lalu membuka pintu kamarnya.
Di luar, ia melihat sekumpulan orang berdiri di depan kamarnya. Beberapa perempuan yang sepertinya penghuni kost terlihat berbicara satu sama lain dengan wajah khawatir. Di tengah kerumunan, ada tiga lelaki yang tampak sibuk membopong tubuh Bu Diah.
Mina mengerutkan kening, bingung. “Ada apa ini?” tanyanya sambil melangkah keluar.
Seorang perempuan berkacamata dengan rambut sebahu menoleh ke arah Mina. “Bu Diah pingsan. Kami nemuin dia pagi-pagi begini di depan kamar kamu.”
“Pingsan?” Mina menatap tubuh Bu Diah yang tampak lemas. Wanita paruh baya itu terlihat dengan wajahnya yang pucat seperti tidak ada darah yang mengalir. “Kok bisa? Kemarin dia kelihatan baik-baik saja, deh.”
“Mana kami tahu, Mbak,” jawab perempuan lain dengan nada cemas. “Pas aku keluar mau ke dapur tadi, udah lihat beliau tergeletak.”
Lelaki bertubuh tegap yang memegang bahu Bu Diah menoleh ke Mina. “Mbak, ini kamar kamu, kan? Semalam nggak dengar apa-apa? Nggak ada suara minta tolong atau gimana gitu?”
Mina menggeleng, bingung. “Enggak, kok. Saya tidur nyenyak. Kalau ada apa-apa, pasti saya dengar.”
Salah satu penghuni lain, perempuan muda dengan piyama panjangnya yang tidak lain adalah Tara, menyela sambil melirik ke arah kamar Mina . “Kamar ini... emang aneh, ya. Kayaknya ada sesuatu yang nggak beres.”
Ucapan itu langsung membuat suasana menjadi hening. Beberapa penghuni kost saling pandang, tapi tidak ada yang berani berbicara.
Mina, yang tidak peka dengan perubahan atmosfer, justru bertanya polos, “Aneh kenapa? Saya di sini nggak merasa ada apa-apa.”
“Ya mungkin Mbak-nya nggak ngerasa,” perempuan berkacamata tadi menjawab, dia adalah Iren, mahasiswa semester 6 yang juga salah satu penghuni kostan ini. Suaranya lebih pelan, seperti takut didengar sesuatu. “Tapi anak-anak kost yang lama, katanya... kamar ini tuh....”
Ucapan itu langsung disusul dengan gumaman kecil dari yang lain. Beberapa terlihat melirik ke arah pintu kamar Mina dengan wajah tegang.
"Mau di bawa kemana ini, Mbak?" tanya salah seorang pria.
"Oh, iya, ke kamarnya saja, disana" jawab Tara sambil menunjukan arah.
Mina tetap berdiri di ambang pintu kamarnya. Ia memperhatikan bagaimana ketiga pria itu dengan hati-hati mengangkat tubuh Bu Diah dan mulai berjalan menyusuri lorong menuju kamar pemilik kosan di kamar nomor 1. Para penghuni wanita berjalan di belakang mereka, sesekali berbisik cemas.
“Aduh, kasihan banget Bu Diah,” bisik salah satu dari mereka. “Semalam kayaknya beliau nggak kelihatan sehat.”
“Iya, mungkin kecapekan,” sahut yang lain.
Mina hanya menghela napas kecil. Baginya, situasi ini seperti pemandangan dari kejauhan—sesuatu yang tidak menyentuhnya secara langsung. Ia merasa tidak ada yang bisa dia lakukan, apalagi mereka sudah menangani semuanya dengan baik.
Setelah beberapa saat memandangi mereka yang menghilang di ujung lorong, Mina menutup pintu kamar dan kembali ke dalam. Ia mencoba melanjutkan aktivitas paginya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.
Udara di kamarnya terasa sedikit lebih dingin. Hening yang sebelumnya biasa-biasa saja kini terasa berat, seperti ada yang menggantung di udara. Sesaat, Mina merasa ingin membuka pintu lagi untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Namun, ia mengabaikan perasaan itu dan memilih untuk melanjutkan bersiap-siap bekerja.
Saat mencapai pintu gerbang kosan, Mina mendapati seseorang tengah berdiri sambil merapikan rambutnya.
“Kinan?” Mina menyapa dengan nada setengah terkejut.
Perempuan itu menoleh dan tersenyum. “Eh, Mina! Kamu juga baru mau berangkat?”
“Iya,” jawab Mina singkat sambil melirik jam tangannya. “Jamnya pas banget. Kalau nggak jalan sekarang, bisa terlambat.”
Kinan tertawa kecil. “Kita jalan bareng, yuk? Lumayan, kantor kan deket.”
Tanpa banyak pikir, Mina mengangguk. Memang hanya perlu sekitar 15 menit untuk sampai ke kantor mereka, dan berjalan kaki bersama tentu terasa lebih menyenangkan daripada sendirian.
Mereka pun mulai melangkah keluar gerbang kosan. Udara pagi terasa segar, meskipun di beberapa sudut jalan masih tampak embun yang menempel di dedaunan. Kinan, seperti biasanya, memulai percakapan lebih dulu.
“Tadi pagi rame di lorong, ya? Aku dengar Bu Diah pingsan?” tanya Kinan sambil melirik Mina.
“Iya,” jawab Mina datar. “Bu Diah jatuh pas di depan pintu kamarku. Tapi sudah dibawa ke kamarnya sama yang lain.”
Kinan mengangguk pelan. “Aku sempat dengar cerita kalau Bu Diah sering kurang istirahat. Mungkin kecapean. Untung masih ada orang-orang di kosan yang bisa nolong.”
Mina hanya mengangguk tanpa menambahkan komentar. Dia tidak terlalu tertarik membahas hal itu lebih jauh. Namun, perasaan dingin dan ganjil yang ia rasakan pagi tadi membuatnya sedikit tidak nyaman.
“Aku harap Bu Diah cepat pulih,” lanjut Kinan sambil tersenyum. “Kalau nggak ada beliau, kosan ini kayaknya bakal berantakan.”
“Hmm, iya,” jawab Mina singkat.
Kinan tiba-tiba melirik Mina dengan raut wajah yang tampak sedikit ragu. Langkahnya melambat sejenak sebelum akhirnya dia bersuara.
“Mina, aku boleh tanya sesuatu nggak?” suara Kinan terdengar hati-hati.
Mina menoleh sekilas, sedikit bingung dengan nada temannya itu. “Tanya apa?”
Kinan tersenyum kecil, tetapi ada ketegangan di matanya. “Kamu… kamarmu nomor lima, kan?"
“Iya, memang kenapa?” Mina menjawab sambil mengerutkan kening.
Kinan menggigit bibir bawahnya, seperti sedang menimbang-nimbang bagaimana melanjutkan percakapan. “Kamu nyaman tinggal di situ? Maksudku… nggak ada yang aneh atau bikin kamu nggak betah?”
Mina mengangkat bahu, menanggapi dengan santai. “Nggak ada masalah, sih. Kenapa? Kamarku biasa aja kok, ya kayak kamar kosan pada umumnya.”
“Serius? Kamu nggak pernah merasa… ada yang aneh?” Kinan menatap Mina lebih serius kali ini.
Mina menghentikan langkahnya sejenak, kemudian menatap Kinan dengan alis terangkat. “Kinan, maksud kamu apa sih? Kalau mau ngomong, ngomong aja langsung.”
Kinan menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara lebih pelan, hampir seperti berbisik. “Kamar nomor lima itu katanya… ada sejarahnya. Beberapa penghuni sebelumnya bilang mereka sering dengar suara-suara aneh, bahkan sampai lihat penampakan hantu perempuan. Itu kenapa kamar itu lebih murah di bandingkan kamar yang lainnya”
Mina hanya menatap Kinan tanpa ekspresi. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana.
“Tapi kamu sendiri nggak pernah ngerasain apa-apa, kan?” Kinan buru-buru menambahkan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Mina menghela napas, merasa pertanyaan itu berlebihan. “Nggak ada apa-apa, Kinan. Aku nggak pernah dengar suara aneh atau merasa diganggu. Lagipula, aku nggak terlalu percaya sama hal-hal kayak gitu.”
Kinan masih terlihat ragu, tapi akhirnya tersenyum tipis. “Mungkin cuma cerita lama aja, ya. Kalau kamu nggak ngerasain apa-apa, berarti aman. Cuma tadi pas Bu Diah pingsan di depan kamarmu, aku jadi keinget cerita-cerita itu.”
"Tentang kamar itu. Memangnya cerita seperti apa?" Mina kembali bertanya.
"Tentang seorang perempuan yang pernah tinggal disana"
Langkah kaki Mina dan Kinan semakin mendekati gedung kantor yang berdiri megah di ujung jalan. Sepanjang perjalanan, Kinan terus mencari-cari kesempatan untuk melanjutkan pembicaraan tentang kamar yang di tempati Mina. Namun, tiap kali ia mencoba membuka mulut, Mina tampak tidak terlalu tertarik."Tentang kamar itu, memangnya cerita seperti apa?" Mina kembali bertanya."Tentang seorang perempuan yang pernah tinggal disana"Akhirnya, Kinan mencoba lagi dengan suara yang lebih tenang. “Sebenarnya Mina, soal kamar kamu itu…”Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, gedung kantor sudah terlihat jelas di depan mereka. Beberapa rekan kerja mereka tampak sibuk masuk dan keluar melalui pintu utama, membuat suasana pagi di depan kantor cukup ramai.“Oh, sudah sampai,” Mina memotong, dengan nada yang terdengar sedikit lega. Ia menoleh ke arah Kinan dan tersenyum kecil. “Aku duluan, ya. Ini hari pertamaku bekerja, semoga akan menjadi awal yang baik hari ini.”Kinan menelan kembali kata-kata yang sud
Saat Mina tiba di depan pintu gerbang kosan, ia terkejut melihat Kinan sudah berdiri di sana, bersandar santai sambil mengetik sesuatu di ponselnya.“Kinan? Kok udah sampai duluan?” tanya Mina sambil tersenyum sembari menghampiri Kinan.Kinan mendongak dan tersenyum balik. “Eh Mina, iya nih, tadi aku buru-buru pulang, soalnya capek banget. Eh, kebetulan kita ketemu di sini.”Mina membuka gerbang kosan, mengisyaratkan Kinan untuk masuk bersamanya. “Ayo, masuk. Hari ini seru banget di kantor!” katanya dengan nada penuh semangat.“Oh ya? Gimana hari pertamamu?” tanya Kinan sambil mengikuti Mina masuk ke lorong kosan yang mulai gelap karena matahari hampir terbenam.Mina bercerita panjang lebar, menjelaskan bagaimana ia diperkenalkan oleh leader timnya, Raka, dan bagaimana ia bertemu dengan rekan-rekan kerja lainnya. Ia berbicara dengan antusias, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena merasa diterima dengan baik di tempat kerjanya.Kinan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekal
Setelah Pika meninggalkan kamarnya dengan amarah tertahan, Bu Diah terdiam, menatap cangkir teh di depannya. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba mengangkatnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya, seperti film yang diputar ulang berulang kali.Bu Diah duduk di sudut tempat tidurnya, kedua tangannya memegang kepala. Hatinya terasa berat, dan pikirannya berputar-putar, kembali ke kejadian tadi malam. Ia menggigil saat mengingat sosok itu, tentunya ia mengetahui siapa sosok hantu perempuan yang bertubuh kurus dengan rambut panjang menjuntai, wajah rusak seperti tanah kering yang retak-retak, dan cairan hitam yang menetes dari mulutnya yang terus menganga.Kenapa? Dia selama ini tidak pernah keluar dari kamar nomor lima. Enam tahun berlalu, keberadaannya selalu seperti rahasia yang terkunci rapat di dalam kamar itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia keluar.“Mina…” bisik Bu Diah dengan suara serak.Di mana Mina saat itu? Apakah dia di d
Bu Diah semakin bingung. “Cahaya? Cahaya apa?”Hantu itu mendongak, memperlihatkan wajah rusaknya yang penuh retakan. “Cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang membakar. Bahkan aku tidak bisa mendekat. Mereka tidak menginginkan aku di sana.”“Mereka?” tanya Bu Diah dengan suara lirih. “Siapa mereka? Apa yang kau lihat?”Sosok itu tertawa lagi, lebih keras kali ini, tetapi tawa itu segera berubah menjadi suara isak yang mengerikan. “Mereka… mereka yang melindunginya. Mereka yang membuatku pergi!!!!!”“Apa yang Mina lakukan?” desak Bu Diah, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. “Kenapa dia baik-baik saja? Tidak mungkin ada yang tinggal di kamar itu tanpa merasakan apa-apa!”Sosok itu menatap Bu Diah dengan pandangan kosong yang tiba-tiba terlihat seperti penuh kebencian. “Dia… dilindungi!!!”“Dilindungi oleh siapa?”“Sesuatu yang lebih kuat dariku. Lebih kuat dari apa pun di tempat ini. Lebih kuat… bahkan daripada kegelapan yang kau coba sembunyikan selama ini!!”Bu Diah terdiam, tubuhnya
Malam itu, saat dimana Bu Diah di datangi sosok hantu di kamarnya yang merupakan salah satu penghuni kamar Mina.Mina memutuskan untuk tidur lebih awal, namun sebelum tidur tentunya ia menuntaskan terlebih dahulu kegiatan rutinnya. Setelah membersihkan diri dan selesai melaksanakan sholat isya, ia mengambil Al-Qur'an kecil dari meja samping tempat tidur dan duduk bersila di atas sajadahnya. Kamar nomor lima tampak sunyi, hanya diterangi lampu kuning redup yang menciptakan suasana hangat.Mina membuka halaman Al-Qur'an dan mulai mengulang hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci dengan lembut. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir seperti air, memenuhi ruangan dengan getaran yang terasa menenangkan. Ia tenggelam dalam kekhusyukan, memejamkan mata untuk merenungi makna setiap ayat yang ia baca.Namun, sesuatu di kamar itu berubah. Udara yang sebelumnya hangat mulai terasa dingin, seperti angin dingin yang menyelinap dari celah jendela. Tetapi Mina tidak menyadarinya. Ia terus membaca, tida
Malam itu, kosan yang biasanya sunyi mendadak berubah menjadi lautan kekacauan. Jeritan dari lantai atas menggema, memecah keheningan malam. Penghuni kosan satu per satu keluar dari kamar mereka, berlari ke arah sumber suara.Di lantai atas, Yuna dan Saras, penghuni kamar bersebelahan, terlihat dalam keadaan yang tidak biasa. Saras tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar hebat, sementara Yuna berdiri di sampingnya dengan mata melotot, napasnya tersengal. Tubuh Yuna bergerak liar, seolah sedang berusaha menahan sesuatu yang ingin keluar.Pak Yanto, pria paruh baya yang selalu membantu menjaga kosan, sudah ada di tempat, membaca doa-doa dengan suara lantang. Tangannya terangkat, memegang bahu Saras yang tubuhnya dingin seperti es.“Bismillahirrahmanirrahim…” Pak Yanto mengulang-ulang doa dengan khusyuk, wajahnya berpeluh karena usaha yang berat.Saras perlahan tenang, meski wajahnya masih pucat. Ketika tubuhnya akhirnya lemas, penghuni lain segera membantu mengangkatnya dan membawanya ke
Mina terbangun pukul tiga dini hari, tubuhnya terasa sedikit berat, dan ada nyeri menusuk di perutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memahami apa yang membuatnya terjaga. Ketika rasa nyeri itu semakin jelas, ia tersadar.“Ah, sepertinya aku datang bulan,” gumamnya pelan.Dengan langkah pelan, ia berjalan ke kamar mandi di sudut kamarnya. Cahaya remang dari lampu kamar mandi menerangi wajah Mina yang sedikit pucat. Setelah memastikan semuanya bersih dan rapi, ia kembali ke kamarnya, mengganti pakaian, dan mengenakan pembalut.Ketika selesai, ia melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul empat pagi. Biasanya pada waktu seperti ini, ia bersiap untuk sholat Subuh. Namun, malam ini berbeda.Mina duduk di kasurnya, matanya memandang Al-Qur'an kecil yang tersimpan di meja samping. Dengan hati yang lapang, ia membatin, “Aku tetap bisa berdzikir dan berdoa.”Namun, ia tidak tahu, sesuatu di kamarnya sudah mulai bergerak.Mina duduk bersila di atas kasurnya, tubuhnya masih terasa
Mina terbangun dengan kepala yang sedikit berat. Cahaya matahari sudah masuk melalui celah tirai kamar, membuatnya sadar bahwa pagi sudah jauh berjalan. Ketika ia melirik ke jam dinding, jarumnya menunjuk pukul tujuh lebih beberapa menit.Dengan langkah pelan, ia beranjak dari tempat tidur, tetapi rasa sakit di perutnya membuatnya terhenti sejenak. Mina memegangi perutnya, wajahnya meringis karena kram datang bulan yang belum juga mereda.“Aku butuh makan,” gumamnya, berusaha mengumpulkan tenaga.Setelah merapikan diri seadanya, ia berjalan keluar dari kamar menuju dapur di ujung lorong. Langkahnya lambat, sesekali ia berhenti untuk menahan nyeri di perutnya.Ketika tiba di dapur, ia mendapati Zuen, Tara, Iren, Mika, dan Kinan sudah berkumpul di sana. Mereka duduk di kursi meja makan yang ada di dapur, masing-masing memegang secangkir kopi atau teh, sambil menyantap lontong dan gorengan yang terhidang di meja yang seperti baru dia angkat dari wajan. Suara mereka rendah, tetapi jelas t
Hari ini kantor PT. Tidur Enak Indonesia dipenuhi oleh kesibukan yang luar biasa. Tim customer service, termasuk Mina, terus berpacu dengan waktu melayani klien dan pelanggan yang tak henti-hentinya menghubungi mereka sejak pagi. Peluncuran produk kasur terbaru membawa banyak permintaan yang harus ditangani, dari permintaan pemesanan hingga follow-up data.Saat matahari mulai tenggelam, ruangan kantor perlahan-lahan menjadi lebih hening. Beberapa meja sudah mulai kosong setelah tim lain pulang, tetapi Mina dan rekan-rekannya, Raka, Novi, Ilham, dan Aisya tetap bertahan, fokus menyelesaikan pekerjaan mereka.Jarum jam menunjukkan hampir pukul 10 malam. Suasana kantor semakin sepi. Lampu-lampu di luar ruangan sudah mulai dimatikan oleh satpam, menyisakan penerangan temaram dari ruangan mereka. Mina duduk di mejanya, mengetik cepat sambil sesekali mengusap wajahnya yang mulai lelah.Namun tiba-tiba, kring... kring… kring...Suara telepon di meja tengah berdering keras, memecah kesunyian.
Mina menutup pintu kamarnya dengan perlahan, bersiap menuju pintu depan untuk mengambil makanan yang dipesannya secara online. Malam itu terasa berbeda, jauh lebih sunyi dari biasanya. Udara di lorong lantai satu terasa dingin dan sedikit lembap, tetapi Mina tetap melangkah santai, meski perasaannya sedikit terusik oleh keheningan yang tidak wajar.Saat berjalan melewati deretan kamar, Mina melihat pintu kamar Tara di nomor tiga terbuka sedikit. Dari dalam, Tara muncul dengan cepat, membawa bantal dan selimut di tangannya. Wajahnya terlihat panik, tetapi ketika ia melihat Mina di ujung lorong, ekspresinya berubah sejenak, seolah merasa lega.“Eh, Tara, mau ke mana malam-malam bawa bantal segala?” tanya Mina, menghentikan langkahnya.Tara tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. “Oh, Min… Kamu bikin aku kaget.” Ia tertawa kecil, tetapi ada nada gugup di suaranya.Mina menyipitkan mata, merasa ada yang aneh. “Kamu mau nginep di mana? Kenapa bawa-bawa bantal segala?”Tara menarik na
Setelah menghabiskan semangkuk mie instan, Mina merasa jauh lebih baik. Perutnya yang semula melilit karena lapar kini tenang, meski rasa kram akibat datang bulan masih menyisakan nyeri di perut bawahnya. Ia kembali ke kamar dan duduk di atas kasur, bersandar pada dinding dengan pandangan menerawang.Pikirannya melayang ke kejadian subuh tadi. Udara kamar yang terasa sesak, hawa panas yang tidak wajar, dan perasaan seperti ada banyak "kehadiran" di sekitarnya. Tidak ada hal aneh yang benar-benar ia lihat, tetapi semuanya terasa... salah.Mina menghela napas panjang, lalu memandang keluar jendela. Tidak ada pemandangan disana, hanya lahan kosong yang tidak begitu luas, taman kecil yang ia tahu bahwa di balik sana adalah tempat peristirahatan terakhir bagi orang-orang yang telah wafat. Pemandangan itu terasa begitu biasa, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa gelisah.Di tengah lamunannya, ponselnya yang tergeletak di meja samping bergetar. Nada deringnya memenuhi ruangan. Mina melirik lay
Mina terbangun dengan kepala yang sedikit berat. Cahaya matahari sudah masuk melalui celah tirai kamar, membuatnya sadar bahwa pagi sudah jauh berjalan. Ketika ia melirik ke jam dinding, jarumnya menunjuk pukul tujuh lebih beberapa menit.Dengan langkah pelan, ia beranjak dari tempat tidur, tetapi rasa sakit di perutnya membuatnya terhenti sejenak. Mina memegangi perutnya, wajahnya meringis karena kram datang bulan yang belum juga mereda.“Aku butuh makan,” gumamnya, berusaha mengumpulkan tenaga.Setelah merapikan diri seadanya, ia berjalan keluar dari kamar menuju dapur di ujung lorong. Langkahnya lambat, sesekali ia berhenti untuk menahan nyeri di perutnya.Ketika tiba di dapur, ia mendapati Zuen, Tara, Iren, Mika, dan Kinan sudah berkumpul di sana. Mereka duduk di kursi meja makan yang ada di dapur, masing-masing memegang secangkir kopi atau teh, sambil menyantap lontong dan gorengan yang terhidang di meja yang seperti baru dia angkat dari wajan. Suara mereka rendah, tetapi jelas t
Mina terbangun pukul tiga dini hari, tubuhnya terasa sedikit berat, dan ada nyeri menusuk di perutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memahami apa yang membuatnya terjaga. Ketika rasa nyeri itu semakin jelas, ia tersadar.“Ah, sepertinya aku datang bulan,” gumamnya pelan.Dengan langkah pelan, ia berjalan ke kamar mandi di sudut kamarnya. Cahaya remang dari lampu kamar mandi menerangi wajah Mina yang sedikit pucat. Setelah memastikan semuanya bersih dan rapi, ia kembali ke kamarnya, mengganti pakaian, dan mengenakan pembalut.Ketika selesai, ia melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul empat pagi. Biasanya pada waktu seperti ini, ia bersiap untuk sholat Subuh. Namun, malam ini berbeda.Mina duduk di kasurnya, matanya memandang Al-Qur'an kecil yang tersimpan di meja samping. Dengan hati yang lapang, ia membatin, “Aku tetap bisa berdzikir dan berdoa.”Namun, ia tidak tahu, sesuatu di kamarnya sudah mulai bergerak.Mina duduk bersila di atas kasurnya, tubuhnya masih terasa
Malam itu, kosan yang biasanya sunyi mendadak berubah menjadi lautan kekacauan. Jeritan dari lantai atas menggema, memecah keheningan malam. Penghuni kosan satu per satu keluar dari kamar mereka, berlari ke arah sumber suara.Di lantai atas, Yuna dan Saras, penghuni kamar bersebelahan, terlihat dalam keadaan yang tidak biasa. Saras tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar hebat, sementara Yuna berdiri di sampingnya dengan mata melotot, napasnya tersengal. Tubuh Yuna bergerak liar, seolah sedang berusaha menahan sesuatu yang ingin keluar.Pak Yanto, pria paruh baya yang selalu membantu menjaga kosan, sudah ada di tempat, membaca doa-doa dengan suara lantang. Tangannya terangkat, memegang bahu Saras yang tubuhnya dingin seperti es.“Bismillahirrahmanirrahim…” Pak Yanto mengulang-ulang doa dengan khusyuk, wajahnya berpeluh karena usaha yang berat.Saras perlahan tenang, meski wajahnya masih pucat. Ketika tubuhnya akhirnya lemas, penghuni lain segera membantu mengangkatnya dan membawanya ke
Malam itu, saat dimana Bu Diah di datangi sosok hantu di kamarnya yang merupakan salah satu penghuni kamar Mina.Mina memutuskan untuk tidur lebih awal, namun sebelum tidur tentunya ia menuntaskan terlebih dahulu kegiatan rutinnya. Setelah membersihkan diri dan selesai melaksanakan sholat isya, ia mengambil Al-Qur'an kecil dari meja samping tempat tidur dan duduk bersila di atas sajadahnya. Kamar nomor lima tampak sunyi, hanya diterangi lampu kuning redup yang menciptakan suasana hangat.Mina membuka halaman Al-Qur'an dan mulai mengulang hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci dengan lembut. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir seperti air, memenuhi ruangan dengan getaran yang terasa menenangkan. Ia tenggelam dalam kekhusyukan, memejamkan mata untuk merenungi makna setiap ayat yang ia baca.Namun, sesuatu di kamar itu berubah. Udara yang sebelumnya hangat mulai terasa dingin, seperti angin dingin yang menyelinap dari celah jendela. Tetapi Mina tidak menyadarinya. Ia terus membaca, tida
Bu Diah semakin bingung. “Cahaya? Cahaya apa?”Hantu itu mendongak, memperlihatkan wajah rusaknya yang penuh retakan. “Cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang membakar. Bahkan aku tidak bisa mendekat. Mereka tidak menginginkan aku di sana.”“Mereka?” tanya Bu Diah dengan suara lirih. “Siapa mereka? Apa yang kau lihat?”Sosok itu tertawa lagi, lebih keras kali ini, tetapi tawa itu segera berubah menjadi suara isak yang mengerikan. “Mereka… mereka yang melindunginya. Mereka yang membuatku pergi!!!!!”“Apa yang Mina lakukan?” desak Bu Diah, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. “Kenapa dia baik-baik saja? Tidak mungkin ada yang tinggal di kamar itu tanpa merasakan apa-apa!”Sosok itu menatap Bu Diah dengan pandangan kosong yang tiba-tiba terlihat seperti penuh kebencian. “Dia… dilindungi!!!”“Dilindungi oleh siapa?”“Sesuatu yang lebih kuat dariku. Lebih kuat dari apa pun di tempat ini. Lebih kuat… bahkan daripada kegelapan yang kau coba sembunyikan selama ini!!”Bu Diah terdiam, tubuhnya
Setelah Pika meninggalkan kamarnya dengan amarah tertahan, Bu Diah terdiam, menatap cangkir teh di depannya. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba mengangkatnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya, seperti film yang diputar ulang berulang kali.Bu Diah duduk di sudut tempat tidurnya, kedua tangannya memegang kepala. Hatinya terasa berat, dan pikirannya berputar-putar, kembali ke kejadian tadi malam. Ia menggigil saat mengingat sosok itu, tentunya ia mengetahui siapa sosok hantu perempuan yang bertubuh kurus dengan rambut panjang menjuntai, wajah rusak seperti tanah kering yang retak-retak, dan cairan hitam yang menetes dari mulutnya yang terus menganga.Kenapa? Dia selama ini tidak pernah keluar dari kamar nomor lima. Enam tahun berlalu, keberadaannya selalu seperti rahasia yang terkunci rapat di dalam kamar itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia keluar.“Mina…” bisik Bu Diah dengan suara serak.Di mana Mina saat itu? Apakah dia di d