Home / Horor / Gadis Tanpa Mata Batin / 4. Misteri Kamar No 5

Share

4. Misteri Kamar No 5

Author: Sofia Saarah
last update Last Updated: 2024-12-02 16:14:55

Mina sedang berdiri di depan cermin di kamarnya, memasang peniti di kerudungnya yang berwarna krem. Pagi itu terasa biasa saja. Matahari pagi yang hangat masuk melalui celah jendela, memberikan suasana yang sejuk. Namun, suasana hening pagi mendadak pecah oleh suara berisik dari luar.

Ada suara langkah kaki yang tergesa-gesa di lorong, diselingi gumaman panik beberapa orang. Mina, yang awalnya hanya melirik ke arah pintu, mulai merasa penasaran. Ia merapikan kerudungnya dengan cepat, lalu membuka pintu kamarnya.

Di luar, ia melihat sekumpulan orang berdiri di depan kamarnya. Beberapa perempuan yang sepertinya penghuni kost terlihat berbicara satu sama lain dengan wajah khawatir. Di tengah kerumunan, ada tiga lelaki yang tampak sibuk membopong tubuh Bu Diah.

Mina mengerutkan kening, bingung. “Ada apa ini?” tanyanya sambil melangkah keluar.

Seorang perempuan berkacamata dengan rambut sebahu menoleh ke arah Mina. “Bu Diah pingsan. Kami nemuin dia pagi-pagi begini di depan kamar kamu.”

“Pingsan?” Mina menatap tubuh Bu Diah yang tampak lemas. Wanita paruh baya itu terlihat dengan wajahnya yang pucat seperti tidak ada darah yang mengalir. “Kok bisa? Kemarin dia kelihatan baik-baik saja, deh.”

“Mana kami tahu, Mbak,” jawab perempuan lain dengan nada cemas. “Pas aku keluar mau ke dapur tadi, udah lihat beliau tergeletak.”

Lelaki bertubuh tegap yang memegang bahu Bu Diah menoleh ke Mina. “Mbak, ini kamar kamu, kan? Semalam nggak dengar apa-apa? Nggak ada suara minta tolong atau gimana gitu?”

Mina menggeleng, bingung. “Enggak, kok. Saya tidur nyenyak. Kalau ada apa-apa, pasti saya dengar.”

Salah satu penghuni lain, perempuan muda dengan piyama panjangnya yang tidak lain adalah Tara, menyela sambil melirik ke arah kamar Mina . “Kamar ini... emang aneh, ya. Kayaknya ada sesuatu yang nggak beres.”

Ucapan itu langsung membuat suasana menjadi hening. Beberapa penghuni kost saling pandang, tapi tidak ada yang berani berbicara.

Mina, yang tidak peka dengan perubahan atmosfer, justru bertanya polos, “Aneh kenapa? Saya di sini nggak merasa ada apa-apa.”

“Ya mungkin Mbak-nya nggak ngerasa,” perempuan berkacamata tadi menjawab, dia adalah Iren, mahasiswa semester 6 yang juga salah satu penghuni kostan ini. Suaranya lebih pelan, seperti takut didengar sesuatu. “Tapi anak-anak kost yang lama, katanya... kamar ini tuh....”

Ucapan itu langsung disusul dengan gumaman kecil dari yang lain. Beberapa terlihat melirik ke arah pintu kamar Mina dengan wajah tegang.

"Mau di bawa kemana ini, Mbak?" tanya salah seorang pria.

"Oh, iya, ke kamarnya saja, disana" jawab Tara sambil menunjukan arah.

Mina tetap berdiri di ambang pintu kamarnya. Ia memperhatikan bagaimana ketiga pria itu dengan hati-hati mengangkat tubuh Bu Diah dan mulai berjalan menyusuri lorong menuju kamar pemilik kosan di kamar nomor 1. Para penghuni wanita berjalan di belakang mereka, sesekali berbisik cemas.

“Aduh, kasihan banget Bu Diah,” bisik salah satu dari mereka. “Semalam kayaknya beliau nggak kelihatan sehat.”

“Iya, mungkin kecapekan,” sahut yang lain.

Mina hanya menghela napas kecil. Baginya, situasi ini seperti pemandangan dari kejauhan—sesuatu yang tidak menyentuhnya secara langsung. Ia merasa tidak ada yang bisa dia lakukan, apalagi mereka sudah menangani semuanya dengan baik.

Setelah beberapa saat memandangi mereka yang menghilang di ujung lorong, Mina menutup pintu kamar dan kembali ke dalam. Ia mencoba melanjutkan aktivitas paginya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.

Udara di kamarnya terasa sedikit lebih dingin. Hening yang sebelumnya biasa-biasa saja kini terasa berat, seperti ada yang menggantung di udara. Sesaat, Mina merasa ingin membuka pintu lagi untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Namun, ia mengabaikan perasaan itu dan memilih untuk melanjutkan bersiap-siap bekerja.

Saat mencapai pintu gerbang kosan, Mina mendapati seseorang tengah berdiri sambil merapikan rambutnya.

“Kinan?” Mina menyapa dengan nada setengah terkejut.

Perempuan itu menoleh dan tersenyum. “Eh, Mina! Kamu juga baru mau berangkat?”

“Iya,” jawab Mina singkat sambil melirik jam tangannya. “Jamnya pas banget. Kalau nggak jalan sekarang, bisa terlambat.”

Kinan tertawa kecil. “Kita jalan bareng, yuk? Lumayan, kantor kan deket.”

Tanpa banyak pikir, Mina mengangguk. Memang hanya perlu sekitar 15 menit untuk sampai ke kantor mereka, dan berjalan kaki bersama tentu terasa lebih menyenangkan daripada sendirian.

Mereka pun mulai melangkah keluar gerbang kosan. Udara pagi terasa segar, meskipun di beberapa sudut jalan masih tampak embun yang menempel di dedaunan. Kinan, seperti biasanya, memulai percakapan lebih dulu.

“Tadi pagi rame di lorong, ya? Aku dengar Bu Diah pingsan?” tanya Kinan sambil melirik Mina.

“Iya,” jawab Mina datar. “Bu Diah jatuh pas di depan pintu kamarku. Tapi sudah dibawa ke kamarnya sama yang lain.”

Kinan mengangguk pelan. “Aku sempat dengar cerita kalau Bu Diah sering kurang istirahat. Mungkin kecapean. Untung masih ada orang-orang di kosan yang bisa nolong.”

Mina hanya mengangguk tanpa menambahkan komentar. Dia tidak terlalu tertarik membahas hal itu lebih jauh. Namun, perasaan dingin dan ganjil yang ia rasakan pagi tadi membuatnya sedikit tidak nyaman.

“Aku harap Bu Diah cepat pulih,” lanjut Kinan sambil tersenyum. “Kalau nggak ada beliau, kosan ini kayaknya bakal berantakan.”

“Hmm, iya,” jawab Mina singkat.

Kinan tiba-tiba melirik Mina dengan raut wajah yang tampak sedikit ragu. Langkahnya melambat sejenak sebelum akhirnya dia bersuara.

“Mina, aku boleh tanya sesuatu nggak?” suara Kinan terdengar hati-hati.

Mina menoleh sekilas, sedikit bingung dengan nada temannya itu. “Tanya apa?”

Kinan tersenyum kecil, tetapi ada ketegangan di matanya. “Kamu… kamarmu nomor lima, kan?"

“Iya, memang kenapa?” Mina menjawab sambil mengerutkan kening.

Kinan menggigit bibir bawahnya, seperti sedang menimbang-nimbang bagaimana melanjutkan percakapan. “Kamu nyaman tinggal di situ? Maksudku… nggak ada yang aneh atau bikin kamu nggak betah?”

Mina mengangkat bahu, menanggapi dengan santai. “Nggak ada masalah, sih. Kenapa? Kamarku biasa aja kok, ya kayak kamar kosan pada umumnya.”

“Serius? Kamu nggak pernah merasa… ada yang aneh?” Kinan menatap Mina lebih serius kali ini.

Mina menghentikan langkahnya sejenak, kemudian menatap Kinan dengan alis terangkat. “Kinan, maksud kamu apa sih? Kalau mau ngomong, ngomong aja langsung.”

Kinan menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara lebih pelan, hampir seperti berbisik. “Kamar nomor lima itu katanya… ada sejarahnya. Beberapa penghuni sebelumnya bilang mereka sering dengar suara-suara aneh, bahkan sampai lihat penampakan hantu perempuan. Itu kenapa kamar itu lebih murah di bandingkan kamar yang lainnya”

Mina hanya menatap Kinan tanpa ekspresi. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana.

“Tapi kamu sendiri nggak pernah ngerasain apa-apa, kan?” Kinan buru-buru menambahkan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Mina menghela napas, merasa pertanyaan itu berlebihan. “Nggak ada apa-apa, Kinan. Aku nggak pernah dengar suara aneh atau merasa diganggu. Lagipula, aku nggak terlalu percaya sama hal-hal kayak gitu.”

Kinan masih terlihat ragu, tapi akhirnya tersenyum tipis. “Mungkin cuma cerita lama aja, ya. Kalau kamu nggak ngerasain apa-apa, berarti aman. Cuma tadi pas Bu Diah pingsan di depan kamarmu, aku jadi keinget cerita-cerita itu.”

"Tentang kamar itu. Memangnya cerita seperti apa?" Mina kembali bertanya.

"Tentang seorang perempuan yang pernah tinggal disana"

Related chapters

  • Gadis Tanpa Mata Batin   5. Hari Pertama Bekerja

    Langkah kaki Mina dan Kinan semakin mendekati gedung kantor yang berdiri megah di ujung jalan. Sepanjang perjalanan, Kinan terus mencari-cari kesempatan untuk melanjutkan pembicaraan tentang kamar yang di tempati Mina. Namun, tiap kali ia mencoba membuka mulut, Mina tampak tidak terlalu tertarik."Tentang kamar itu, memangnya cerita seperti apa?" Mina kembali bertanya."Tentang seorang perempuan yang pernah tinggal disana"Akhirnya, Kinan mencoba lagi dengan suara yang lebih tenang. “Sebenarnya Mina, soal kamar kamu itu…”Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, gedung kantor sudah terlihat jelas di depan mereka. Beberapa rekan kerja mereka tampak sibuk masuk dan keluar melalui pintu utama, membuat suasana pagi di depan kantor cukup ramai.“Oh, sudah sampai,” Mina memotong, dengan nada yang terdengar sedikit lega. Ia menoleh ke arah Kinan dan tersenyum kecil. “Aku duluan, ya. Ini hari pertamaku bekerja, semoga akan menjadi awal yang baik hari ini.”Kinan menelan kembali kata-kata yang sud

    Last Updated : 2024-12-03
  • Gadis Tanpa Mata Batin   6. Kepulangan Pika

    Saat Mina tiba di depan pintu gerbang kosan, ia terkejut melihat Kinan sudah berdiri di sana, bersandar santai sambil mengetik sesuatu di ponselnya.“Kinan? Kok udah sampai duluan?” tanya Mina sambil tersenyum sembari menghampiri Kinan.Kinan mendongak dan tersenyum balik. “Eh Mina, iya nih, tadi aku buru-buru pulang, soalnya capek banget. Eh, kebetulan kita ketemu di sini.”Mina membuka gerbang kosan, mengisyaratkan Kinan untuk masuk bersamanya. “Ayo, masuk. Hari ini seru banget di kantor!” katanya dengan nada penuh semangat.“Oh ya? Gimana hari pertamamu?” tanya Kinan sambil mengikuti Mina masuk ke lorong kosan yang mulai gelap karena matahari hampir terbenam.Mina bercerita panjang lebar, menjelaskan bagaimana ia diperkenalkan oleh leader timnya, Raka, dan bagaimana ia bertemu dengan rekan-rekan kerja lainnya. Ia berbicara dengan antusias, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena merasa diterima dengan baik di tempat kerjanya.Kinan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekal

    Last Updated : 2024-12-04
  • Gadis Tanpa Mata Batin   7. Cahaya itu ?

    Setelah Pika meninggalkan kamarnya dengan amarah tertahan, Bu Diah terdiam, menatap cangkir teh di depannya. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba mengangkatnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya, seperti film yang diputar ulang berulang kali.Bu Diah duduk di sudut tempat tidurnya, kedua tangannya memegang kepala. Hatinya terasa berat, dan pikirannya berputar-putar, kembali ke kejadian tadi malam. Ia menggigil saat mengingat sosok itu, tentunya ia mengetahui siapa sosok hantu perempuan yang bertubuh kurus dengan rambut panjang menjuntai, wajah rusak seperti tanah kering yang retak-retak, dan cairan hitam yang menetes dari mulutnya yang terus menganga.Kenapa? Dia selama ini tidak pernah keluar dari kamar nomor lima. Enam tahun berlalu, keberadaannya selalu seperti rahasia yang terkunci rapat di dalam kamar itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia keluar.“Mina…” bisik Bu Diah dengan suara serak.Di mana Mina saat itu? Apakah dia di d

    Last Updated : 2024-12-07
  • Gadis Tanpa Mata Batin   8. Rahasia

    Bu Diah semakin bingung. “Cahaya? Cahaya apa?”Hantu itu mendongak, memperlihatkan wajah rusaknya yang penuh retakan. “Cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang membakar. Bahkan aku tidak bisa mendekat. Mereka tidak menginginkan aku di sana.”“Mereka?” tanya Bu Diah dengan suara lirih. “Siapa mereka? Apa yang kau lihat?”Sosok itu tertawa lagi, lebih keras kali ini, tetapi tawa itu segera berubah menjadi suara isak yang mengerikan. “Mereka… mereka yang melindunginya. Mereka yang membuatku pergi!!!!!”“Apa yang Mina lakukan?” desak Bu Diah, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. “Kenapa dia baik-baik saja? Tidak mungkin ada yang tinggal di kamar itu tanpa merasakan apa-apa!”Sosok itu menatap Bu Diah dengan pandangan kosong yang tiba-tiba terlihat seperti penuh kebencian. “Dia… dilindungi!!!”“Dilindungi oleh siapa?”“Sesuatu yang lebih kuat dariku. Lebih kuat dari apa pun di tempat ini. Lebih kuat… bahkan daripada kegelapan yang kau coba sembunyikan selama ini!!”Bu Diah terdiam, tubuhnya

    Last Updated : 2024-12-08
  • Gadis Tanpa Mata Batin   9. Kekuatan dari Keyakinan

    Malam itu, saat dimana Bu Diah di datangi sosok hantu di kamarnya yang merupakan salah satu penghuni kamar Mina.Mina memutuskan untuk tidur lebih awal, namun sebelum tidur tentunya ia menuntaskan terlebih dahulu kegiatan rutinnya. Setelah membersihkan diri dan selesai melaksanakan sholat isya, ia mengambil Al-Qur'an kecil dari meja samping tempat tidur dan duduk bersila di atas sajadahnya. Kamar nomor lima tampak sunyi, hanya diterangi lampu kuning redup yang menciptakan suasana hangat.Mina membuka halaman Al-Qur'an dan mulai mengulang hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci dengan lembut. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir seperti air, memenuhi ruangan dengan getaran yang terasa menenangkan. Ia tenggelam dalam kekhusyukan, memejamkan mata untuk merenungi makna setiap ayat yang ia baca.Namun, sesuatu di kamar itu berubah. Udara yang sebelumnya hangat mulai terasa dingin, seperti angin dingin yang menyelinap dari celah jendela. Tetapi Mina tidak menyadarinya. Ia terus membaca, tida

    Last Updated : 2024-12-10
  • Gadis Tanpa Mata Batin   10. Kesurupan

    Malam itu, kosan yang biasanya sunyi mendadak berubah menjadi lautan kekacauan. Jeritan dari lantai atas menggema, memecah keheningan malam. Penghuni kosan satu per satu keluar dari kamar mereka, berlari ke arah sumber suara.Di lantai atas, Yuna dan Saras, penghuni kamar bersebelahan, terlihat dalam keadaan yang tidak biasa. Saras tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar hebat, sementara Yuna berdiri di sampingnya dengan mata melotot, napasnya tersengal. Tubuh Yuna bergerak liar, seolah sedang berusaha menahan sesuatu yang ingin keluar.Pak Yanto, pria paruh baya yang selalu membantu menjaga kosan, sudah ada di tempat, membaca doa-doa dengan suara lantang. Tangannya terangkat, memegang bahu Saras yang tubuhnya dingin seperti es.“Bismillahirrahmanirrahim…” Pak Yanto mengulang-ulang doa dengan khusyuk, wajahnya berpeluh karena usaha yang berat.Saras perlahan tenang, meski wajahnya masih pucat. Ketika tubuhnya akhirnya lemas, penghuni lain segera membantu mengangkatnya dan membawanya ke

    Last Updated : 2024-12-11
  • Gadis Tanpa Mata Batin   11. Misteri Bu Diah

    Mina terbangun pukul tiga dini hari, tubuhnya terasa sedikit berat, dan ada nyeri menusuk di perutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memahami apa yang membuatnya terjaga. Ketika rasa nyeri itu semakin jelas, ia tersadar.“Ah, sepertinya aku datang bulan,” gumamnya pelan.Dengan langkah pelan, ia berjalan ke kamar mandi di sudut kamarnya. Cahaya remang dari lampu kamar mandi menerangi wajah Mina yang sedikit pucat. Setelah memastikan semuanya bersih dan rapi, ia kembali ke kamarnya, mengganti pakaian, dan mengenakan pembalut.Ketika selesai, ia melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul empat pagi. Biasanya pada waktu seperti ini, ia bersiap untuk sholat Subuh. Namun, malam ini berbeda.Mina duduk di kasurnya, matanya memandang Al-Qur'an kecil yang tersimpan di meja samping. Dengan hati yang lapang, ia membatin, “Aku tetap bisa berdzikir dan berdoa.”Namun, ia tidak tahu, sesuatu di kamarnya sudah mulai bergerak.Mina duduk bersila di atas kasurnya, tubuhnya masih terasa

    Last Updated : 2024-12-12
  • Gadis Tanpa Mata Batin   12. Begosip di Dapur

    Mina terbangun dengan kepala yang sedikit berat. Cahaya matahari sudah masuk melalui celah tirai kamar, membuatnya sadar bahwa pagi sudah jauh berjalan. Ketika ia melirik ke jam dinding, jarumnya menunjuk pukul tujuh lebih beberapa menit.Dengan langkah pelan, ia beranjak dari tempat tidur, tetapi rasa sakit di perutnya membuatnya terhenti sejenak. Mina memegangi perutnya, wajahnya meringis karena kram datang bulan yang belum juga mereda.“Aku butuh makan,” gumamnya, berusaha mengumpulkan tenaga.Setelah merapikan diri seadanya, ia berjalan keluar dari kamar menuju dapur di ujung lorong. Langkahnya lambat, sesekali ia berhenti untuk menahan nyeri di perutnya.Ketika tiba di dapur, ia mendapati Zuen, Tara, Iren, Mika, dan Kinan sudah berkumpul di sana. Mereka duduk di kursi meja makan yang ada di dapur, masing-masing memegang secangkir kopi atau teh, sambil menyantap lontong dan gorengan yang terhidang di meja yang seperti baru dia angkat dari wajan. Suara mereka rendah, tetapi jelas t

    Last Updated : 2024-12-13

Latest chapter

  • Gadis Tanpa Mata Batin   32. Gangguan Berlanjut

    Setelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam

  • Gadis Tanpa Mata Batin   31. Keputusan Pendakian

    Dini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn

  • Gadis Tanpa Mata Batin   31. Mencekam

    Iren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah

  • Gadis Tanpa Mata Batin   30. Kembali

    Yang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu

  • Gadis Tanpa Mata Batin   29. Pencarian

    Hujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang

  • Gadis Tanpa Mata Batin   28. Di Tengah Kabut

    Di dalam tenda, suasana menjadi semakin mencekam. Semua orang berkumpul dalam satu tenda untuk saling menjaga, wajah-wajah mereka dipenuhi ketegangan.Kinan memeluk lututnya sendiri, matanya terus melirik ke arah pintu tenda. "Kenapa ini bisa terjadi? Kita cuma mau mendaki gunung, tapi… kenapa jadi kayak gini?"Ratna mencoba menenangkan dirinya dengan meminum air dari botol kecil. "Tara nggak mungkin hilang gitu aja. Dia pasti masih di sekitar sini, kan?"Zuen, yang duduk di dekat pintu, menatap mereka dengan raut serius. "Kita harus percaya sama Pak Rahman. Dia pasti bakal nemuin Tara."Namun, Pika tetap diam, pandangannya tidak lepas dari Mina yang duduk di sudut tenda. Akhirnya, ia membuka mulut dengan nada tajam."Mina, kenapa kamu nggak hilang? Kenapa harus Tara? Kamu berdua kan sama-sama di sana."Semua orang terdiam, menatap Pika dengan ekspresi kaget. Mina menundukkan kepalanya, tidak tahu harus menjawab apa."Pika, jangan begitu," ujar Nadin, mencoba menenangkan suasana."Tap

  • Gadis Tanpa Mata Batin   27. Hilangnya Tara

    Mereka melangkah keluar dari tenda, dihantam oleh udara dingin yang terasa menusuk kulit. Hujan masih turun deras, membuat kepala mereka basah meski sudah mengenakan hood jaket. Dengan langkah hati-hati, mereka berjalan ke belakang tenda, tempat yang agak tersembunyi di antara semak-semak besar."Cepetan, Tara. Aku nunggu di sini," ujar Mina sambil berdiri dengan tangan melipat di dada.Tara mengangguk sambil mencari tempat yang agak nyaman untuk buang air. Setelah beberapa saat, ia kembali ke Mina dengan wajah lega."Udah, sekarang giliran kamu," katanya sambil berdiri di tempatnya.Mina mengangguk dan berjalan ke arah semak-semak. Sebelum ia jongkok, ia merapatkan jaketnya dan berbisik pelan, melafalkan doa perlindungan seperti yang biasa diajarkan oleh ibunya."Ya Allah, lindungi aku dari apa pun yang ada di sini. Jangan biarkan ada yang mengganggu," doanya dengan khusyuk.Setelah selesai, ia cepat-cepat membersihkan diri dengan air dari botol kecil yang ia bawa. Hujan yang deras m

  • Gadis Tanpa Mata Batin   26. Di Tengah Kabut dan Hujan

    Jam menunjukkan pukul 15:19 saat rombongan pendakian Mina akhirnya tiba di Pos Empat. Udara terasa jauh lebih dingin dibandingkan sebelumnya, dan aroma khas tanah basah mulai menyeruak. Kabut tebal turun perlahan, menyelimuti area sekitar. Di kejauhan, suara gemericik air dari aliran sungai kecil menambah suasana yang tenang namun dingin.Mina menatap jam digital di pergelangan tangannya yang kembali berbunyi, mengingatkan waktu sholat ashar telah tiba. Ia merasa bersyukur sudah melaksanakan sholat zuhur tepat waktu tadi, karena kondisi sekarang tampaknya tidak memungkinkan untuk melaksanakan sholat di tempat yang nyaman.Pak Rahman berhenti dan menoleh ke rombongan dengan ekspresi serius. "Kita istirahat di sini. Jalur ke depan terlalu licin dengan kabut setebal ini. Terlalu berbahaya kalau kita lanjut sekarang."Semua orang mengangguk, meski sebagian terlihat lelah dan basah kuyup oleh hujan yang mulai turun dengan deras. Mereka bergerak perlahan menuju area datar yang cukup luas, d

  • Gadis Tanpa Mata Batin   25. Ketegangan

    Pak Rahman, yang memimpin rombongan, sesekali berhenti untuk memberi instruksi atau memastikan semua anggota kelompok tetap berada dalam formasi yang rapat."Ingat," kata Pak Rahman sambil menoleh ke belakang, wajahnya serius. "Kita tidak boleh berpisah dari rombongan. Jalur ini terlihat mudah, tapi bisa menyesatkan jika kalian tidak hati-hati. Tetap ikuti langkah saya."Semua orang mengangguk, menerima instruksi itu tanpa banyak pertanyaan. Mina, yang berjalan di tengah rombongan bersama Iren dan Tara, merasa sedikit gugup. Namun, ia mencoba menyembunyikan perasaannya dengan tersenyum dan bercanda bersama teman-temannya."Pak Rahman serius banget, ya," bisik Mina kepada Iren.Iren tertawa kecil. "Namanya juga guide. Dia tanggung jawab sama keselamatan kita. Lagipula, gunung ini memang terkenal agak tricky.""Tricky gimana?" tanya Mina dengan alis terangkat."Jalurnya bisa bikin bingung kalau kamu nggak tahu arahnya. Makanya kita harus bener-bener patuh sama arahan Pak Rahman," jawab

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status