Di dalam tenda, suasana menjadi semakin mencekam. Semua orang berkumpul dalam satu tenda untuk saling menjaga, wajah-wajah mereka dipenuhi ketegangan.Kinan memeluk lututnya sendiri, matanya terus melirik ke arah pintu tenda. "Kenapa ini bisa terjadi? Kita cuma mau mendaki gunung, tapi… kenapa jadi kayak gini?"Ratna mencoba menenangkan dirinya dengan meminum air dari botol kecil. "Tara nggak mungkin hilang gitu aja. Dia pasti masih di sekitar sini, kan?"Zuen, yang duduk di dekat pintu, menatap mereka dengan raut serius. "Kita harus percaya sama Pak Rahman. Dia pasti bakal nemuin Tara."Namun, Pika tetap diam, pandangannya tidak lepas dari Mina yang duduk di sudut tenda. Akhirnya, ia membuka mulut dengan nada tajam."Mina, kenapa kamu nggak hilang? Kenapa harus Tara? Kamu berdua kan sama-sama di sana."Semua orang terdiam, menatap Pika dengan ekspresi kaget. Mina menundukkan kepalanya, tidak tahu harus menjawab apa."Pika, jangan begitu," ujar Nadin, mencoba menenangkan suasana."Tap
Hujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang
Yang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu
Iren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah
Dini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn
Setelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam
Mina duduk bersandar di sofa ruang tamu, menatap ponsel di tangannya dengan ekspresi kosong. Udara siang itu panas, membuat kipas angin tua yang terus berputar di sudut ruangan terdengar seperti mesin lelah. Dari dapur, terdengar suara panci dan sendok yang beradu, pertanda ibunya sedang sibuk menyiapkan makan siang.Di meja belajar kecil di pojok ruangan, Miranti, adiknya yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA, sibuk mengerjakan tugas sekolah. Suaranya memecah keheningan. “Mbak, lamaran kerja hari ini gimana? Ada yang respons?”Mina mendesah, jarinya mengusap layar ponsel untuk kesekian kalinya. “Belum ada. Email kosong, notifikasi pun nihil. Sepertinya HRD di luar sana udah muak lihat namaku.”Miranti tertawa kecil. “Coba kasih nama baru. Mungkin kalau namanya keren kayak artis Korea, mereka langsung manggil.”Mina mendelik, tapi sudut bibirnya tersenyum tipis. Candaan Miranti selalu berhasil membuatnya merasa lebih ringan. Hidup mereka sekeluarga memang sederhana, tapi bukan berart
Bu Diah terlihat sumringah menyambut kedatangan Mina dan keluarganya. Wanita paruh baya itu terlihat lebih segar dan rapi dengan rambut yang disanggul. Ini tidak seperti bayangan Mina, ia membayangkan bahwa pemilik kostan ini adalah nenek-nenek tua. Ia menyambut mereka dengan senyum ramah, membukakan pintu dan mempersilakan masuk ke area kost yang terlihat terawat dengan baik.“Selamat datang, Bu, Pak, Mbak Mina yang mana ya?” sapanya halus sambil melirik ke arah Mina dan Miranti.“Saya Mina yang mau kost disini, kalau ini adik saya, namanya Miranti” ucap Mina sambil menengok ke arah Miranti.Miranti membalas dengan anggukan kecil, ekspresinya tetap serius, sementara Mina tersenyum lebar, antusias melihat kost barunya.“Silakan masuk. Saya sudah siapkan kamarnya,” lanjut Bu Diah sambil mempersilakan mereka melangkah ke dalam.Mina dan kedua orang tuanya terlihat nyaman dengan keramahan Bu Diah, tetapi Miranti sedikit menahan diri. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di atmosfer temp
Setelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam
Dini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn
Iren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah
Yang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu
Hujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang
Di dalam tenda, suasana menjadi semakin mencekam. Semua orang berkumpul dalam satu tenda untuk saling menjaga, wajah-wajah mereka dipenuhi ketegangan.Kinan memeluk lututnya sendiri, matanya terus melirik ke arah pintu tenda. "Kenapa ini bisa terjadi? Kita cuma mau mendaki gunung, tapi… kenapa jadi kayak gini?"Ratna mencoba menenangkan dirinya dengan meminum air dari botol kecil. "Tara nggak mungkin hilang gitu aja. Dia pasti masih di sekitar sini, kan?"Zuen, yang duduk di dekat pintu, menatap mereka dengan raut serius. "Kita harus percaya sama Pak Rahman. Dia pasti bakal nemuin Tara."Namun, Pika tetap diam, pandangannya tidak lepas dari Mina yang duduk di sudut tenda. Akhirnya, ia membuka mulut dengan nada tajam."Mina, kenapa kamu nggak hilang? Kenapa harus Tara? Kamu berdua kan sama-sama di sana."Semua orang terdiam, menatap Pika dengan ekspresi kaget. Mina menundukkan kepalanya, tidak tahu harus menjawab apa."Pika, jangan begitu," ujar Nadin, mencoba menenangkan suasana."Tap
Mereka melangkah keluar dari tenda, dihantam oleh udara dingin yang terasa menusuk kulit. Hujan masih turun deras, membuat kepala mereka basah meski sudah mengenakan hood jaket. Dengan langkah hati-hati, mereka berjalan ke belakang tenda, tempat yang agak tersembunyi di antara semak-semak besar."Cepetan, Tara. Aku nunggu di sini," ujar Mina sambil berdiri dengan tangan melipat di dada.Tara mengangguk sambil mencari tempat yang agak nyaman untuk buang air. Setelah beberapa saat, ia kembali ke Mina dengan wajah lega."Udah, sekarang giliran kamu," katanya sambil berdiri di tempatnya.Mina mengangguk dan berjalan ke arah semak-semak. Sebelum ia jongkok, ia merapatkan jaketnya dan berbisik pelan, melafalkan doa perlindungan seperti yang biasa diajarkan oleh ibunya."Ya Allah, lindungi aku dari apa pun yang ada di sini. Jangan biarkan ada yang mengganggu," doanya dengan khusyuk.Setelah selesai, ia cepat-cepat membersihkan diri dengan air dari botol kecil yang ia bawa. Hujan yang deras m
Jam menunjukkan pukul 15:19 saat rombongan pendakian Mina akhirnya tiba di Pos Empat. Udara terasa jauh lebih dingin dibandingkan sebelumnya, dan aroma khas tanah basah mulai menyeruak. Kabut tebal turun perlahan, menyelimuti area sekitar. Di kejauhan, suara gemericik air dari aliran sungai kecil menambah suasana yang tenang namun dingin.Mina menatap jam digital di pergelangan tangannya yang kembali berbunyi, mengingatkan waktu sholat ashar telah tiba. Ia merasa bersyukur sudah melaksanakan sholat zuhur tepat waktu tadi, karena kondisi sekarang tampaknya tidak memungkinkan untuk melaksanakan sholat di tempat yang nyaman.Pak Rahman berhenti dan menoleh ke rombongan dengan ekspresi serius. "Kita istirahat di sini. Jalur ke depan terlalu licin dengan kabut setebal ini. Terlalu berbahaya kalau kita lanjut sekarang."Semua orang mengangguk, meski sebagian terlihat lelah dan basah kuyup oleh hujan yang mulai turun dengan deras. Mereka bergerak perlahan menuju area datar yang cukup luas, d
Pak Rahman, yang memimpin rombongan, sesekali berhenti untuk memberi instruksi atau memastikan semua anggota kelompok tetap berada dalam formasi yang rapat."Ingat," kata Pak Rahman sambil menoleh ke belakang, wajahnya serius. "Kita tidak boleh berpisah dari rombongan. Jalur ini terlihat mudah, tapi bisa menyesatkan jika kalian tidak hati-hati. Tetap ikuti langkah saya."Semua orang mengangguk, menerima instruksi itu tanpa banyak pertanyaan. Mina, yang berjalan di tengah rombongan bersama Iren dan Tara, merasa sedikit gugup. Namun, ia mencoba menyembunyikan perasaannya dengan tersenyum dan bercanda bersama teman-temannya."Pak Rahman serius banget, ya," bisik Mina kepada Iren.Iren tertawa kecil. "Namanya juga guide. Dia tanggung jawab sama keselamatan kita. Lagipula, gunung ini memang terkenal agak tricky.""Tricky gimana?" tanya Mina dengan alis terangkat."Jalurnya bisa bikin bingung kalau kamu nggak tahu arahnya. Makanya kita harus bener-bener patuh sama arahan Pak Rahman," jawab