Mina duduk bersandar di sofa ruang tamu, menatap ponsel di tangannya dengan ekspresi kosong. Udara siang itu panas, membuat kipas angin tua yang terus berputar di sudut ruangan terdengar seperti mesin lelah. Dari dapur, terdengar suara panci dan sendok yang beradu, pertanda ibunya sedang sibuk menyiapkan makan siang.
Di meja belajar kecil di pojok ruangan, Miranti, adiknya yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA, sibuk mengerjakan tugas sekolah. Suaranya memecah keheningan. “Mbak, lamaran kerja hari ini gimana? Ada yang respons?”
Mina mendesah, jarinya mengusap layar ponsel untuk kesekian kalinya. “Belum ada. Email kosong, notifikasi pun nihil. Sepertinya HRD di luar sana udah muak lihat namaku.”
Miranti tertawa kecil. “Coba kasih nama baru. Mungkin kalau namanya keren kayak artis Korea, mereka langsung manggil.”
Mina mendelik, tapi sudut bibirnya tersenyum tipis. Candaan Miranti selalu berhasil membuatnya merasa lebih ringan. Hidup mereka sekeluarga memang sederhana, tapi bukan berarti mereka miskin kebahagiaan. Ayah dan ibu Mina selalu memastikan tidak ada satu pun anggota keluarga mereka yang merasa kekurangan, meskipun saldo rekening tak pernah tebal.
Namun, lima tahun setelah lulus kuliah, Mina mulai merasa seperti beban. Dia pernah bekerja serabutan sebagai admin toko online, guru les privat, bahkan sempat jadi sales asuransi. Tapi pekerjaan-pekerjaan itu hanya bertahan sebentar, seperti mimpi yang terputus di tengah malam. Terakhir dia bekerja sebagai customer service di sebuah klinik kencantikan, namun karena dia memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya, iapun pulang kampung.
Enam bulan sudah Mina menganggur, dirinya merasa menyesali keputusannya yang telah memilih untuk tidak melanjutkan kontraknya di perusahaan sebelumnya. Kedua orang tuanya memang tidak mempermasalahkan keadaan Mina sekarang, namun Mina merasa tahu diri saja, terlebih dia juga masih muda dan masih banyak keinginan dan cita-cita di benaknya yang ingin ia raih. Tabungan sudah mulai menipis dan ia harus segera mendapatkan pekerjaan jika tidak ingin jatuh miskin.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi email masuk. Mina membukanya dengan cepat, dan matanya membulat membaca judulnya: "Selamat, Anda diterima di PT Tidur Enak Indonesia."
“Miranti! Lihat ini!” serunya, sambil berdiri dengan penuh semangat.
Miranti menghampiri dengan rasa penasaran, lalu membaca email itu dari balik bahu Mina. “Serius, Mbak? Akhirnya! Tapi, di mana kantornya?”
“Di Kota Bandung.” Suara Mina terdengar pelan saat ia melanjutkan. “Jadi, aku harus ngekos, soalnya ini lumayan jauh juga mana aku gak punya motor lagi”
Wajah Miranti mendadak berubah, begitu juga suasana di ruang tamu. Dari dapur, ibunya muncul sambil membawa sepiring tempe goreng. “Mina? Kamu di terima kerja Nak?” tanyanya dengan raut bangga bercampur cemas.
“Iya, Bu. Kayaknya ini kesempatan yang nggak boleh aku sia-siakan,” jawab Mina sambil berusaha tersenyum.
“Ya sudah, di ambil saja, jangan sampai kamu melewatkan kesempatan ini”
“Iya, Bu”
Keputusan untuk pindah dari rumah keluarga sederhana mereka adalah langkah besar. Mina tahu bahwa dengan pekerjaan ini, selain ia bisa kembali membantu kedua orang tuanya. Ia juga dapat menyambung kembali keuangannya yang sudah mulai menipis.
***
Setelah resmi menerima pekerjaan barunya, Mina sibuk mencari tempat kost melalui aplikasi pencari kost dan grup media sosial. Waktunya terbatas, dan ia ingin segera pindah agar tidak perlu bolak-balik rumah-kantor yang jaraknya cukup jauh. Di E-mail tertera bahwa ia bisa mulai bekerja pada hari senin besok, berarti tersisa 2 hari lagi saja waktunya untuk mencari tempat tinggal.
Di sela-sela pencariannya, Mina menghubungi sejumlah pemilik kost. Sebagian menawarkan harga yang membuatnya hampir menyerah. "Semua serba mahal," pikirnya sambil menatap layar ponsel.
Namun, di tengah guliran layar aplikasi, sebuah iklan dengan judul besar mencuri perhatiannya:
"Kost Putri. Fasilitas lengkap. Kamar mandi dalam. Harga terjangkau: Rp400.000 per bulan!"Mina tidak bisa menahan rasa penasaran. Ia segera menghubungi nomor yang tertera. Pemilik kost, seorang wanita bernama Bu Diah, menjawab telepon dengan suara ramah.
"Iya, Nak Mina. Kamarnya masih ada. Fasilitasnya lengkap, sudah ada tempat tidur, lemari, kipas angin. Kamu tinggal bawa barang saja," kata Bu Diah dengan nada tenang.
"Kalau boleh tahu, kok harganya murah sekali, Bu? Biasanya kost dengan fasilitas begini bisa sampai sejuta," tanya Mina, sedikit ragu.
Bu Diah tertawa kecil, suara tawanya terdengar seperti bergema melalui telepon. "Ah, ini karena saya hanya tinggal sendiri dengan rumah yang cukup luas, supaya ramai terus aja kostannya, Nak, kalau mahal-mahal nanti gak ada yang mau kost lagi. Rumah ini juga bukan di jalan besar, jadi saya sesuaikan harganya. Kalau kamu tertarik, kamu bisa langsung datang untuk lihat-lihat."
Tanpa pikir panjang, Mina setuju. “Baik Bu, besok saya lihat tempatnya ya. Sebenarnya sekalian mau langsung pindah aja Bu, soalnya lusa saya mulai masuk kerja”
“Iya boleh Nak, langsung datang saja ya, nanti Ibu sharelocation di Whats Apps”
“Baik Bu, terimakasih”
***
Keesokan harinya, suasana terasa sedikit mendung, seolah cuaca merasakan keheningan yang meliputi hati para penghuni warga di sekitar sana. Mina turun dari mobil sedan tua bersama kedua orang tuanya dan Miranti, membawa koper besar yang penuh dengan barang-barang keperluannya selama tinggal di kostan. Namun, ketenangan yang mereka rasakan seketika berubah menjadi kecanggungan saat sebuah rombongan pengantar jenazah melewati mereka. Beberapa orang terlihat membawa keranda, berjalan dengan langkah perlahan, sementara anggota keluarga jenazah menahan tangis.
Pak Nurdin menghentikan langkahnya, mengamati rombongan tersebut dengan alis berkerut. "Kenapa bisa ada rombongan jenazah lewat sini?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Perasaan ganjil muncul di hatinya, membuatnya merasa tidak nyaman.
“Yah, kayanya kita sepemikiran deh. Coba Ayah tanya dulu sama salah satu dari mereka” bujuk Bu Nita sambil melirik Pak Nurdin.
“Iya, Bu” jawab Pak Nurdin sambil berjalan mendekati salah satu pria tua yang ada di rombongan tersebut.
"Permisi, Pak," sapa Pak Nurdin sopan. "Kalau boleh tahu, jenazah ini akan dimakamkan di mana ya? Saya lihat rombongan masuk gang di samping kostan itu."
Pria tua tersebut menghentikan langkahnya, menatap Pak Nurdin dengan pandangan sabar. “Oh, pemakaman umum daerah ini memang ada di belakang kostan itu, Pak,” jawabnya singkat sebelum bergegas kembali mengikuti rombongan.
Pak Nurdin tertegun. Ia menoleh ke arah Bu Nita dan Miranti, mencoba menilai reaksi mereka. Bu Nita tampak cemas, sementara Miranti hanya diam sambil melirik ke arah Mina, yang terlihat bingung.
"Belakang kostan ini ada kuburan, Yah? Yang mau di tempati Mina" tanya Bu Nita lirih, nadanya penuh kekhawatiran.
Pak Nurdin mengangguk kecil. "Iya, sepertinya begitu. Tapi... kuburan kan nggak selalu masalah. Lagipula, kalau Mina nggak merasa terganggu, ya mungkin nggak apa-apa." Namun suaranya terdengar kurang yakin, seolah dirinya sendiri belum sepenuhnya menerima fakta itu.
Mina mendekati mereka dengan raut wajah datar. “Ada apa, Ayah, Ibu? Memangnya kenapa kalau ada kuburan di belakang kostan? Aku nggak masalah, kok,” katanya mencoba menguatkan kedua orang tuanya, meskipun sebenarnya ada sedikit rasa takut yang menyelinap di hatinya.
Namun, saat mereka hendak masuk ke dalam kostan untuk menemui pemiliknya, Bu Diah, Miranti tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Mbak, tunggu," katanya dengan nada serius. "Tadi aku lihat ada sesuatu di ujung gang itu..."
Semua mata menatap Miranti dengan bingung. "Apa maksudmu, Ran?" tanya Mina.
Miranti menelan ludah, lalu berbisik, “Ada seseorang... atau sesuatu. Aku nggak yakin. Tapi dia berdiri diam di sana, dan sekarang nggak ada lagi.”
Pak Nurdin langsung menoleh ke arah gang, tapi yang terlihat hanya jalan sempit dengan tembok-tembok rumah tua. Tak ada siapa pun.
"Ah, mungkin cuma perasaanmu saja, Ran," kata Pak Nurdin mencoba menenangkan. Tapi di dalam hati, ia mulai bertanya-tanya, apakah mereka telah membuat keputusan yang tepat dengan membiarkan Mina tinggal di tempat ini.
Bu Diah terlihat sumringah menyambut kedatangan Mina dan keluarganya. Wanita paruh baya itu terlihat lebih segar dan rapi dengan rambut yang disanggul. Ini tidak seperti bayangan Mina, ia membayangkan bahwa pemilik kostan ini adalah nenek-nenek tua. Ia menyambut mereka dengan senyum ramah, membukakan pintu dan mempersilakan masuk ke area kost yang terlihat terawat dengan baik.“Selamat datang, Bu, Pak, Mbak Mina yang mana ya?” sapanya halus sambil melirik ke arah Mina dan Miranti.“Saya Mina yang mau kost disini, kalau ini adik saya, namanya Miranti” ucap Mina sambil menengok ke arah Miranti.Miranti membalas dengan anggukan kecil, ekspresinya tetap serius, sementara Mina tersenyum lebar, antusias melihat kost barunya.“Silakan masuk. Saya sudah siapkan kamarnya,” lanjut Bu Diah sambil mempersilakan mereka melangkah ke dalam.Mina dan kedua orang tuanya terlihat nyaman dengan keramahan Bu Diah, tetapi Miranti sedikit menahan diri. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di atmosfer temp
Setelah Kinan meninggalkan dapur, Mina duduk kembali di kursinya, menyeruput kuah mie perlahan. Suasana di dapur mulai berubah. Lampu dapur berkedip pelan sekali, hampir tidak kentara. Angin dingin perlahan masuk dari jendela yang entah sejak kapan sedikit terbuka. Tapi Mina, yang asyik menikmati mie hangatnya, sama sekali tidak menyadarinya.Saat Mina kembali ke meja, ia tidak melihat sosok itu sama sekali. Hantu itu bergerak lebih dekat, rambutnya perlahan menjuntai hampir menyentuh bahu Mina. Tapi Mina hanya duduk kembali dan menyeruput kuah mie lagi. “Ah, ini baru pas. Sempurna,” katanya puas.Hantu itu mengerang pelan, mencoba menarik perhatian Mina. Suara seperti desiran angin terdengar di telinga, tapi Mina hanya mengusap telinganya. “Aduh, dingin banget anginnya sampai masuk ke telinga"Ketika Mina selesai makan dan membawa gelas mie-nya ke tempat cuci piring, hantu itu memutuskan untuk mencoba cara lain. Gelas piring di rak perlahan-lahan bergeser sendiri, mengeluarkan suara
Mina sedang berdiri di depan cermin di kamarnya, memasang peniti di kerudungnya yang berwarna krem. Pagi itu terasa biasa saja. Matahari pagi yang hangat masuk melalui celah jendela, memberikan suasana yang sejuk. Namun, suasana hening pagi mendadak pecah oleh suara berisik dari luar.Ada suara langkah kaki yang tergesa-gesa di lorong, diselingi gumaman panik beberapa orang. Mina, yang awalnya hanya melirik ke arah pintu, mulai merasa penasaran. Ia merapikan kerudungnya dengan cepat, lalu membuka pintu kamarnya.Di luar, ia melihat sekumpulan orang berdiri di depan kamarnya. Beberapa perempuan yang sepertinya penghuni kost terlihat berbicara satu sama lain dengan wajah khawatir. Di tengah kerumunan, ada tiga lelaki yang tampak sibuk membopong tubuh Bu Diah.Mina mengerutkan kening, bingung. “Ada apa ini?” tanyanya sambil melangkah keluar.Seorang perempuan berkacamata dengan rambut sebahu menoleh ke arah Mina. “Bu Diah pingsan. Kami nemuin dia pagi-pagi begini di depan kamar kamu.”“P
Langkah kaki Mina dan Kinan semakin mendekati gedung kantor yang berdiri megah di ujung jalan. Sepanjang perjalanan, Kinan terus mencari-cari kesempatan untuk melanjutkan pembicaraan tentang kamar yang di tempati Mina. Namun, tiap kali ia mencoba membuka mulut, Mina tampak tidak terlalu tertarik."Tentang kamar itu, memangnya cerita seperti apa?" Mina kembali bertanya."Tentang seorang perempuan yang pernah tinggal disana"Akhirnya, Kinan mencoba lagi dengan suara yang lebih tenang. “Sebenarnya Mina, soal kamar kamu itu…”Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, gedung kantor sudah terlihat jelas di depan mereka. Beberapa rekan kerja mereka tampak sibuk masuk dan keluar melalui pintu utama, membuat suasana pagi di depan kantor cukup ramai.“Oh, sudah sampai,” Mina memotong, dengan nada yang terdengar sedikit lega. Ia menoleh ke arah Kinan dan tersenyum kecil. “Aku duluan, ya. Ini hari pertamaku bekerja, semoga akan menjadi awal yang baik hari ini.”Kinan menelan kembali kata-kata yang sud
Saat Mina tiba di depan pintu gerbang kosan, ia terkejut melihat Kinan sudah berdiri di sana, bersandar santai sambil mengetik sesuatu di ponselnya.“Kinan? Kok udah sampai duluan?” tanya Mina sambil tersenyum sembari menghampiri Kinan.Kinan mendongak dan tersenyum balik. “Eh Mina, iya nih, tadi aku buru-buru pulang, soalnya capek banget. Eh, kebetulan kita ketemu di sini.”Mina membuka gerbang kosan, mengisyaratkan Kinan untuk masuk bersamanya. “Ayo, masuk. Hari ini seru banget di kantor!” katanya dengan nada penuh semangat.“Oh ya? Gimana hari pertamamu?” tanya Kinan sambil mengikuti Mina masuk ke lorong kosan yang mulai gelap karena matahari hampir terbenam.Mina bercerita panjang lebar, menjelaskan bagaimana ia diperkenalkan oleh leader timnya, Raka, dan bagaimana ia bertemu dengan rekan-rekan kerja lainnya. Ia berbicara dengan antusias, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena merasa diterima dengan baik di tempat kerjanya.Kinan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekal
Setelah Pika meninggalkan kamarnya dengan amarah tertahan, Bu Diah terdiam, menatap cangkir teh di depannya. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba mengangkatnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya, seperti film yang diputar ulang berulang kali.Bu Diah duduk di sudut tempat tidurnya, kedua tangannya memegang kepala. Hatinya terasa berat, dan pikirannya berputar-putar, kembali ke kejadian tadi malam. Ia menggigil saat mengingat sosok itu, tentunya ia mengetahui siapa sosok hantu perempuan yang bertubuh kurus dengan rambut panjang menjuntai, wajah rusak seperti tanah kering yang retak-retak, dan cairan hitam yang menetes dari mulutnya yang terus menganga.Kenapa? Dia selama ini tidak pernah keluar dari kamar nomor lima. Enam tahun berlalu, keberadaannya selalu seperti rahasia yang terkunci rapat di dalam kamar itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia keluar.“Mina…” bisik Bu Diah dengan suara serak.Di mana Mina saat itu? Apakah dia di d
Bu Diah semakin bingung. “Cahaya? Cahaya apa?”Hantu itu mendongak, memperlihatkan wajah rusaknya yang penuh retakan. “Cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang membakar. Bahkan aku tidak bisa mendekat. Mereka tidak menginginkan aku di sana.”“Mereka?” tanya Bu Diah dengan suara lirih. “Siapa mereka? Apa yang kau lihat?”Sosok itu tertawa lagi, lebih keras kali ini, tetapi tawa itu segera berubah menjadi suara isak yang mengerikan. “Mereka… mereka yang melindunginya. Mereka yang membuatku pergi!!!!!”“Apa yang Mina lakukan?” desak Bu Diah, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. “Kenapa dia baik-baik saja? Tidak mungkin ada yang tinggal di kamar itu tanpa merasakan apa-apa!”Sosok itu menatap Bu Diah dengan pandangan kosong yang tiba-tiba terlihat seperti penuh kebencian. “Dia… dilindungi!!!”“Dilindungi oleh siapa?”“Sesuatu yang lebih kuat dariku. Lebih kuat dari apa pun di tempat ini. Lebih kuat… bahkan daripada kegelapan yang kau coba sembunyikan selama ini!!”Bu Diah terdiam, tubuhnya
Malam itu, saat dimana Bu Diah di datangi sosok hantu di kamarnya yang merupakan salah satu penghuni kamar Mina.Mina memutuskan untuk tidur lebih awal, namun sebelum tidur tentunya ia menuntaskan terlebih dahulu kegiatan rutinnya. Setelah membersihkan diri dan selesai melaksanakan sholat isya, ia mengambil Al-Qur'an kecil dari meja samping tempat tidur dan duduk bersila di atas sajadahnya. Kamar nomor lima tampak sunyi, hanya diterangi lampu kuning redup yang menciptakan suasana hangat.Mina membuka halaman Al-Qur'an dan mulai mengulang hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci dengan lembut. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir seperti air, memenuhi ruangan dengan getaran yang terasa menenangkan. Ia tenggelam dalam kekhusyukan, memejamkan mata untuk merenungi makna setiap ayat yang ia baca.Namun, sesuatu di kamar itu berubah. Udara yang sebelumnya hangat mulai terasa dingin, seperti angin dingin yang menyelinap dari celah jendela. Tetapi Mina tidak menyadarinya. Ia terus membaca, tida
Hari ini kantor PT. Tidur Enak Indonesia dipenuhi oleh kesibukan yang luar biasa. Tim customer service, termasuk Mina, terus berpacu dengan waktu melayani klien dan pelanggan yang tak henti-hentinya menghubungi mereka sejak pagi. Peluncuran produk kasur terbaru membawa banyak permintaan yang harus ditangani, dari permintaan pemesanan hingga follow-up data.Saat matahari mulai tenggelam, ruangan kantor perlahan-lahan menjadi lebih hening. Beberapa meja sudah mulai kosong setelah tim lain pulang, tetapi Mina dan rekan-rekannya, Raka, Novi, Ilham, dan Aisya tetap bertahan, fokus menyelesaikan pekerjaan mereka.Jarum jam menunjukkan hampir pukul 10 malam. Suasana kantor semakin sepi. Lampu-lampu di luar ruangan sudah mulai dimatikan oleh satpam, menyisakan penerangan temaram dari ruangan mereka. Mina duduk di mejanya, mengetik cepat sambil sesekali mengusap wajahnya yang mulai lelah.Namun tiba-tiba, kring... kring… kring...Suara telepon di meja tengah berdering keras, memecah kesunyian.
Mina menutup pintu kamarnya dengan perlahan, bersiap menuju pintu depan untuk mengambil makanan yang dipesannya secara online. Malam itu terasa berbeda, jauh lebih sunyi dari biasanya. Udara di lorong lantai satu terasa dingin dan sedikit lembap, tetapi Mina tetap melangkah santai, meski perasaannya sedikit terusik oleh keheningan yang tidak wajar.Saat berjalan melewati deretan kamar, Mina melihat pintu kamar Tara di nomor tiga terbuka sedikit. Dari dalam, Tara muncul dengan cepat, membawa bantal dan selimut di tangannya. Wajahnya terlihat panik, tetapi ketika ia melihat Mina di ujung lorong, ekspresinya berubah sejenak, seolah merasa lega.“Eh, Tara, mau ke mana malam-malam bawa bantal segala?” tanya Mina, menghentikan langkahnya.Tara tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. “Oh, Min… Kamu bikin aku kaget.” Ia tertawa kecil, tetapi ada nada gugup di suaranya.Mina menyipitkan mata, merasa ada yang aneh. “Kamu mau nginep di mana? Kenapa bawa-bawa bantal segala?”Tara menarik na
Setelah menghabiskan semangkuk mie instan, Mina merasa jauh lebih baik. Perutnya yang semula melilit karena lapar kini tenang, meski rasa kram akibat datang bulan masih menyisakan nyeri di perut bawahnya. Ia kembali ke kamar dan duduk di atas kasur, bersandar pada dinding dengan pandangan menerawang.Pikirannya melayang ke kejadian subuh tadi. Udara kamar yang terasa sesak, hawa panas yang tidak wajar, dan perasaan seperti ada banyak "kehadiran" di sekitarnya. Tidak ada hal aneh yang benar-benar ia lihat, tetapi semuanya terasa... salah.Mina menghela napas panjang, lalu memandang keluar jendela. Tidak ada pemandangan disana, hanya lahan kosong yang tidak begitu luas, taman kecil yang ia tahu bahwa di balik sana adalah tempat peristirahatan terakhir bagi orang-orang yang telah wafat. Pemandangan itu terasa begitu biasa, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa gelisah.Di tengah lamunannya, ponselnya yang tergeletak di meja samping bergetar. Nada deringnya memenuhi ruangan. Mina melirik lay
Mina terbangun dengan kepala yang sedikit berat. Cahaya matahari sudah masuk melalui celah tirai kamar, membuatnya sadar bahwa pagi sudah jauh berjalan. Ketika ia melirik ke jam dinding, jarumnya menunjuk pukul tujuh lebih beberapa menit.Dengan langkah pelan, ia beranjak dari tempat tidur, tetapi rasa sakit di perutnya membuatnya terhenti sejenak. Mina memegangi perutnya, wajahnya meringis karena kram datang bulan yang belum juga mereda.“Aku butuh makan,” gumamnya, berusaha mengumpulkan tenaga.Setelah merapikan diri seadanya, ia berjalan keluar dari kamar menuju dapur di ujung lorong. Langkahnya lambat, sesekali ia berhenti untuk menahan nyeri di perutnya.Ketika tiba di dapur, ia mendapati Zuen, Tara, Iren, Mika, dan Kinan sudah berkumpul di sana. Mereka duduk di kursi meja makan yang ada di dapur, masing-masing memegang secangkir kopi atau teh, sambil menyantap lontong dan gorengan yang terhidang di meja yang seperti baru dia angkat dari wajan. Suara mereka rendah, tetapi jelas t
Mina terbangun pukul tiga dini hari, tubuhnya terasa sedikit berat, dan ada nyeri menusuk di perutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memahami apa yang membuatnya terjaga. Ketika rasa nyeri itu semakin jelas, ia tersadar.“Ah, sepertinya aku datang bulan,” gumamnya pelan.Dengan langkah pelan, ia berjalan ke kamar mandi di sudut kamarnya. Cahaya remang dari lampu kamar mandi menerangi wajah Mina yang sedikit pucat. Setelah memastikan semuanya bersih dan rapi, ia kembali ke kamarnya, mengganti pakaian, dan mengenakan pembalut.Ketika selesai, ia melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul empat pagi. Biasanya pada waktu seperti ini, ia bersiap untuk sholat Subuh. Namun, malam ini berbeda.Mina duduk di kasurnya, matanya memandang Al-Qur'an kecil yang tersimpan di meja samping. Dengan hati yang lapang, ia membatin, “Aku tetap bisa berdzikir dan berdoa.”Namun, ia tidak tahu, sesuatu di kamarnya sudah mulai bergerak.Mina duduk bersila di atas kasurnya, tubuhnya masih terasa
Malam itu, kosan yang biasanya sunyi mendadak berubah menjadi lautan kekacauan. Jeritan dari lantai atas menggema, memecah keheningan malam. Penghuni kosan satu per satu keluar dari kamar mereka, berlari ke arah sumber suara.Di lantai atas, Yuna dan Saras, penghuni kamar bersebelahan, terlihat dalam keadaan yang tidak biasa. Saras tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar hebat, sementara Yuna berdiri di sampingnya dengan mata melotot, napasnya tersengal. Tubuh Yuna bergerak liar, seolah sedang berusaha menahan sesuatu yang ingin keluar.Pak Yanto, pria paruh baya yang selalu membantu menjaga kosan, sudah ada di tempat, membaca doa-doa dengan suara lantang. Tangannya terangkat, memegang bahu Saras yang tubuhnya dingin seperti es.“Bismillahirrahmanirrahim…” Pak Yanto mengulang-ulang doa dengan khusyuk, wajahnya berpeluh karena usaha yang berat.Saras perlahan tenang, meski wajahnya masih pucat. Ketika tubuhnya akhirnya lemas, penghuni lain segera membantu mengangkatnya dan membawanya ke
Malam itu, saat dimana Bu Diah di datangi sosok hantu di kamarnya yang merupakan salah satu penghuni kamar Mina.Mina memutuskan untuk tidur lebih awal, namun sebelum tidur tentunya ia menuntaskan terlebih dahulu kegiatan rutinnya. Setelah membersihkan diri dan selesai melaksanakan sholat isya, ia mengambil Al-Qur'an kecil dari meja samping tempat tidur dan duduk bersila di atas sajadahnya. Kamar nomor lima tampak sunyi, hanya diterangi lampu kuning redup yang menciptakan suasana hangat.Mina membuka halaman Al-Qur'an dan mulai mengulang hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci dengan lembut. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir seperti air, memenuhi ruangan dengan getaran yang terasa menenangkan. Ia tenggelam dalam kekhusyukan, memejamkan mata untuk merenungi makna setiap ayat yang ia baca.Namun, sesuatu di kamar itu berubah. Udara yang sebelumnya hangat mulai terasa dingin, seperti angin dingin yang menyelinap dari celah jendela. Tetapi Mina tidak menyadarinya. Ia terus membaca, tida
Bu Diah semakin bingung. “Cahaya? Cahaya apa?”Hantu itu mendongak, memperlihatkan wajah rusaknya yang penuh retakan. “Cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang membakar. Bahkan aku tidak bisa mendekat. Mereka tidak menginginkan aku di sana.”“Mereka?” tanya Bu Diah dengan suara lirih. “Siapa mereka? Apa yang kau lihat?”Sosok itu tertawa lagi, lebih keras kali ini, tetapi tawa itu segera berubah menjadi suara isak yang mengerikan. “Mereka… mereka yang melindunginya. Mereka yang membuatku pergi!!!!!”“Apa yang Mina lakukan?” desak Bu Diah, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. “Kenapa dia baik-baik saja? Tidak mungkin ada yang tinggal di kamar itu tanpa merasakan apa-apa!”Sosok itu menatap Bu Diah dengan pandangan kosong yang tiba-tiba terlihat seperti penuh kebencian. “Dia… dilindungi!!!”“Dilindungi oleh siapa?”“Sesuatu yang lebih kuat dariku. Lebih kuat dari apa pun di tempat ini. Lebih kuat… bahkan daripada kegelapan yang kau coba sembunyikan selama ini!!”Bu Diah terdiam, tubuhnya
Setelah Pika meninggalkan kamarnya dengan amarah tertahan, Bu Diah terdiam, menatap cangkir teh di depannya. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba mengangkatnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya, seperti film yang diputar ulang berulang kali.Bu Diah duduk di sudut tempat tidurnya, kedua tangannya memegang kepala. Hatinya terasa berat, dan pikirannya berputar-putar, kembali ke kejadian tadi malam. Ia menggigil saat mengingat sosok itu, tentunya ia mengetahui siapa sosok hantu perempuan yang bertubuh kurus dengan rambut panjang menjuntai, wajah rusak seperti tanah kering yang retak-retak, dan cairan hitam yang menetes dari mulutnya yang terus menganga.Kenapa? Dia selama ini tidak pernah keluar dari kamar nomor lima. Enam tahun berlalu, keberadaannya selalu seperti rahasia yang terkunci rapat di dalam kamar itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia keluar.“Mina…” bisik Bu Diah dengan suara serak.Di mana Mina saat itu? Apakah dia di d