Mina duduk bersandar di sofa ruang tamu, menatap ponsel di tangannya dengan ekspresi kosong. Udara siang itu panas, membuat kipas angin tua yang terus berputar di sudut ruangan terdengar seperti mesin lelah. Dari dapur, terdengar suara panci dan sendok yang beradu, pertanda ibunya sedang sibuk menyiapkan makan siang.
Di meja belajar kecil di pojok ruangan, Miranti, adiknya yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA, sibuk mengerjakan tugas sekolah. Suaranya memecah keheningan. “Mbak, lamaran kerja hari ini gimana? Ada yang respons?”
Mina mendesah, jarinya mengusap layar ponsel untuk kesekian kalinya. “Belum ada. Email kosong, notifikasi pun nihil. Sepertinya HRD di luar sana udah muak lihat namaku.”
Miranti tertawa kecil. “Coba kasih nama baru. Mungkin kalau namanya keren kayak artis Korea, mereka langsung manggil.”
Mina mendelik, tapi sudut bibirnya tersenyum tipis. Candaan Miranti selalu berhasil membuatnya merasa lebih ringan. Hidup mereka sekeluarga memang sederhana, tapi bukan berarti mereka miskin kebahagiaan. Ayah dan ibu Mina selalu memastikan tidak ada satu pun anggota keluarga mereka yang merasa kekurangan, meskipun saldo rekening tak pernah tebal.
Namun, lima tahun setelah lulus kuliah, Mina mulai merasa seperti beban. Dia pernah bekerja serabutan sebagai admin toko online, guru les privat, bahkan sempat jadi sales asuransi. Tapi pekerjaan-pekerjaan itu hanya bertahan sebentar, seperti mimpi yang terputus di tengah malam. Terakhir dia bekerja sebagai customer service di sebuah klinik kencantikan, namun karena dia memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya, iapun pulang kampung.
Enam bulan sudah Mina menganggur, dirinya merasa menyesali keputusannya yang telah memilih untuk tidak melanjutkan kontraknya di perusahaan sebelumnya. Kedua orang tuanya memang tidak mempermasalahkan keadaan Mina sekarang, namun Mina merasa tahu diri saja, terlebih dia juga masih muda dan masih banyak keinginan dan cita-cita di benaknya yang ingin ia raih. Tabungan sudah mulai menipis dan ia harus segera mendapatkan pekerjaan jika tidak ingin jatuh miskin.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi email masuk. Mina membukanya dengan cepat, dan matanya membulat membaca judulnya: "Selamat, Anda diterima di PT Tidur Enak Indonesia."
“Miranti! Lihat ini!” serunya, sambil berdiri dengan penuh semangat.
Miranti menghampiri dengan rasa penasaran, lalu membaca email itu dari balik bahu Mina. “Serius, Mbak? Akhirnya! Tapi, di mana kantornya?”
“Di Kota Bandung.” Suara Mina terdengar pelan saat ia melanjutkan. “Jadi, aku harus ngekos, soalnya ini lumayan jauh juga mana aku gak punya motor lagi”
Wajah Miranti mendadak berubah, begitu juga suasana di ruang tamu. Dari dapur, ibunya muncul sambil membawa sepiring tempe goreng. “Mina? Kamu di terima kerja Nak?” tanyanya dengan raut bangga bercampur cemas.
“Iya, Bu. Kayaknya ini kesempatan yang nggak boleh aku sia-siakan,” jawab Mina sambil berusaha tersenyum.
“Ya sudah, di ambil saja, jangan sampai kamu melewatkan kesempatan ini”
“Iya, Bu”
Keputusan untuk pindah dari rumah keluarga sederhana mereka adalah langkah besar. Mina tahu bahwa dengan pekerjaan ini, selain ia bisa kembali membantu kedua orang tuanya. Ia juga dapat menyambung kembali keuangannya yang sudah mulai menipis.
***
Setelah resmi menerima pekerjaan barunya, Mina sibuk mencari tempat kost melalui aplikasi pencari kost dan grup media sosial. Waktunya terbatas, dan ia ingin segera pindah agar tidak perlu bolak-balik rumah-kantor yang jaraknya cukup jauh. Di E-mail tertera bahwa ia bisa mulai bekerja pada hari senin besok, berarti tersisa 2 hari lagi saja waktunya untuk mencari tempat tinggal.
Di sela-sela pencariannya, Mina menghubungi sejumlah pemilik kost. Sebagian menawarkan harga yang membuatnya hampir menyerah. "Semua serba mahal," pikirnya sambil menatap layar ponsel.
Namun, di tengah guliran layar aplikasi, sebuah iklan dengan judul besar mencuri perhatiannya:
"Kost Putri. Fasilitas lengkap. Kamar mandi dalam. Harga terjangkau: Rp400.000 per bulan!"Mina tidak bisa menahan rasa penasaran. Ia segera menghubungi nomor yang tertera. Pemilik kost, seorang wanita bernama Bu Diah, menjawab telepon dengan suara ramah.
"Iya, Nak Mina. Kamarnya masih ada. Fasilitasnya lengkap, sudah ada tempat tidur, lemari, kipas angin. Kamu tinggal bawa barang saja," kata Bu Diah dengan nada tenang.
"Kalau boleh tahu, kok harganya murah sekali, Bu? Biasanya kost dengan fasilitas begini bisa sampai sejuta," tanya Mina, sedikit ragu.
Bu Diah tertawa kecil, suara tawanya terdengar seperti bergema melalui telepon. "Ah, ini karena saya hanya tinggal sendiri dengan rumah yang cukup luas, supaya ramai terus aja kostannya, Nak, kalau mahal-mahal nanti gak ada yang mau kost lagi. Rumah ini juga bukan di jalan besar, jadi saya sesuaikan harganya. Kalau kamu tertarik, kamu bisa langsung datang untuk lihat-lihat."
Tanpa pikir panjang, Mina setuju. “Baik Bu, besok saya lihat tempatnya ya. Sebenarnya sekalian mau langsung pindah aja Bu, soalnya lusa saya mulai masuk kerja”
“Iya boleh Nak, langsung datang saja ya, nanti Ibu sharelocation di Whats Apps”
“Baik Bu, terimakasih”
***
Keesokan harinya, suasana terasa sedikit mendung, seolah cuaca merasakan keheningan yang meliputi hati para penghuni warga di sekitar sana. Mina turun dari mobil sedan tua bersama kedua orang tuanya dan Miranti, membawa koper besar yang penuh dengan barang-barang keperluannya selama tinggal di kostan. Namun, ketenangan yang mereka rasakan seketika berubah menjadi kecanggungan saat sebuah rombongan pengantar jenazah melewati mereka. Beberapa orang terlihat membawa keranda, berjalan dengan langkah perlahan, sementara anggota keluarga jenazah menahan tangis.
Pak Nurdin menghentikan langkahnya, mengamati rombongan tersebut dengan alis berkerut. "Kenapa bisa ada rombongan jenazah lewat sini?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Perasaan ganjil muncul di hatinya, membuatnya merasa tidak nyaman.
“Yah, kayanya kita sepemikiran deh. Coba Ayah tanya dulu sama salah satu dari mereka” bujuk Bu Nita sambil melirik Pak Nurdin.
“Iya, Bu” jawab Pak Nurdin sambil berjalan mendekati salah satu pria tua yang ada di rombongan tersebut.
"Permisi, Pak," sapa Pak Nurdin sopan. "Kalau boleh tahu, jenazah ini akan dimakamkan di mana ya? Saya lihat rombongan masuk gang di samping kostan itu."
Pria tua tersebut menghentikan langkahnya, menatap Pak Nurdin dengan pandangan sabar. “Oh, pemakaman umum daerah ini memang ada di belakang kostan itu, Pak,” jawabnya singkat sebelum bergegas kembali mengikuti rombongan.
Pak Nurdin tertegun. Ia menoleh ke arah Bu Nita dan Miranti, mencoba menilai reaksi mereka. Bu Nita tampak cemas, sementara Miranti hanya diam sambil melirik ke arah Mina, yang terlihat bingung.
"Belakang kostan ini ada kuburan, Yah? Yang mau di tempati Mina" tanya Bu Nita lirih, nadanya penuh kekhawatiran.
Pak Nurdin mengangguk kecil. "Iya, sepertinya begitu. Tapi... kuburan kan nggak selalu masalah. Lagipula, kalau Mina nggak merasa terganggu, ya mungkin nggak apa-apa." Namun suaranya terdengar kurang yakin, seolah dirinya sendiri belum sepenuhnya menerima fakta itu.
Mina mendekati mereka dengan raut wajah datar. “Ada apa, Ayah, Ibu? Memangnya kenapa kalau ada kuburan di belakang kostan? Aku nggak masalah, kok,” katanya mencoba menguatkan kedua orang tuanya, meskipun sebenarnya ada sedikit rasa takut yang menyelinap di hatinya.
Namun, saat mereka hendak masuk ke dalam kostan untuk menemui pemiliknya, Bu Diah, Miranti tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Mbak, tunggu," katanya dengan nada serius. "Tadi aku lihat ada sesuatu di ujung gang itu..."
Semua mata menatap Miranti dengan bingung. "Apa maksudmu, Ran?" tanya Mina.
Miranti menelan ludah, lalu berbisik, “Ada seseorang... atau sesuatu. Aku nggak yakin. Tapi dia berdiri diam di sana, dan sekarang nggak ada lagi.”
Pak Nurdin langsung menoleh ke arah gang, tapi yang terlihat hanya jalan sempit dengan tembok-tembok rumah tua. Tak ada siapa pun.
"Ah, mungkin cuma perasaanmu saja, Ran," kata Pak Nurdin mencoba menenangkan. Tapi di dalam hati, ia mulai bertanya-tanya, apakah mereka telah membuat keputusan yang tepat dengan membiarkan Mina tinggal di tempat ini.
Bu Diah terlihat sumringah menyambut kedatangan Mina dan keluarganya. Wanita paruh baya itu terlihat lebih segar dan rapi dengan rambut yang disanggul. Ini tidak seperti bayangan Mina, ia membayangkan bahwa pemilik kostan ini adalah nenek-nenek tua. Ia menyambut mereka dengan senyum ramah, membukakan pintu dan mempersilakan masuk ke area kost yang terlihat terawat dengan baik.“Selamat datang, Bu, Pak, Mbak Mina yang mana ya?” sapanya halus sambil melirik ke arah Mina dan Miranti.“Saya Mina yang mau kost disini, kalau ini adik saya, namanya Miranti” ucap Mina sambil menengok ke arah Miranti.Miranti membalas dengan anggukan kecil, ekspresinya tetap serius, sementara Mina tersenyum lebar, antusias melihat kost barunya.“Silakan masuk. Saya sudah siapkan kamarnya,” lanjut Bu Diah sambil mempersilakan mereka melangkah ke dalam.Mina dan kedua orang tuanya terlihat nyaman dengan keramahan Bu Diah, tetapi Miranti sedikit menahan diri. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di atmosfer temp
Setelah Kinan meninggalkan dapur, Mina duduk kembali di kursinya, menyeruput kuah mie perlahan. Suasana di dapur mulai berubah. Lampu dapur berkedip pelan sekali, hampir tidak kentara. Angin dingin perlahan masuk dari jendela yang entah sejak kapan sedikit terbuka. Tapi Mina, yang asyik menikmati mie hangatnya, sama sekali tidak menyadarinya.Saat Mina kembali ke meja, ia tidak melihat sosok itu sama sekali. Hantu itu bergerak lebih dekat, rambutnya perlahan menjuntai hampir menyentuh bahu Mina. Tapi Mina hanya duduk kembali dan menyeruput kuah mie lagi. “Ah, ini baru pas. Sempurna,” katanya puas.Hantu itu mengerang pelan, mencoba menarik perhatian Mina. Suara seperti desiran angin terdengar di telinga, tapi Mina hanya mengusap telinganya. “Aduh, dingin banget anginnya sampai masuk ke telinga"Ketika Mina selesai makan dan membawa gelas mie-nya ke tempat cuci piring, hantu itu memutuskan untuk mencoba cara lain. Gelas piring di rak perlahan-lahan bergeser sendiri, mengeluarkan suara
Mina sedang berdiri di depan cermin di kamarnya, memasang peniti di kerudungnya yang berwarna krem. Pagi itu terasa biasa saja. Matahari pagi yang hangat masuk melalui celah jendela, memberikan suasana yang sejuk. Namun, suasana hening pagi mendadak pecah oleh suara berisik dari luar.Ada suara langkah kaki yang tergesa-gesa di lorong, diselingi gumaman panik beberapa orang. Mina, yang awalnya hanya melirik ke arah pintu, mulai merasa penasaran. Ia merapikan kerudungnya dengan cepat, lalu membuka pintu kamarnya.Di luar, ia melihat sekumpulan orang berdiri di depan kamarnya. Beberapa perempuan yang sepertinya penghuni kost terlihat berbicara satu sama lain dengan wajah khawatir. Di tengah kerumunan, ada tiga lelaki yang tampak sibuk membopong tubuh Bu Diah.Mina mengerutkan kening, bingung. “Ada apa ini?” tanyanya sambil melangkah keluar.Seorang perempuan berkacamata dengan rambut sebahu menoleh ke arah Mina. “Bu Diah pingsan. Kami nemuin dia pagi-pagi begini di depan kamar kamu.”“P
Langkah kaki Mina dan Kinan semakin mendekati gedung kantor yang berdiri megah di ujung jalan. Sepanjang perjalanan, Kinan terus mencari-cari kesempatan untuk melanjutkan pembicaraan tentang kamar yang di tempati Mina. Namun, tiap kali ia mencoba membuka mulut, Mina tampak tidak terlalu tertarik."Tentang kamar itu, memangnya cerita seperti apa?" Mina kembali bertanya."Tentang seorang perempuan yang pernah tinggal disana"Akhirnya, Kinan mencoba lagi dengan suara yang lebih tenang. “Sebenarnya Mina, soal kamar kamu itu…”Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, gedung kantor sudah terlihat jelas di depan mereka. Beberapa rekan kerja mereka tampak sibuk masuk dan keluar melalui pintu utama, membuat suasana pagi di depan kantor cukup ramai.“Oh, sudah sampai,” Mina memotong, dengan nada yang terdengar sedikit lega. Ia menoleh ke arah Kinan dan tersenyum kecil. “Aku duluan, ya. Ini hari pertamaku bekerja, semoga akan menjadi awal yang baik hari ini.”Kinan menelan kembali kata-kata yang sud
Saat Mina tiba di depan pintu gerbang kosan, ia terkejut melihat Kinan sudah berdiri di sana, bersandar santai sambil mengetik sesuatu di ponselnya.“Kinan? Kok udah sampai duluan?” tanya Mina sambil tersenyum sembari menghampiri Kinan.Kinan mendongak dan tersenyum balik. “Eh Mina, iya nih, tadi aku buru-buru pulang, soalnya capek banget. Eh, kebetulan kita ketemu di sini.”Mina membuka gerbang kosan, mengisyaratkan Kinan untuk masuk bersamanya. “Ayo, masuk. Hari ini seru banget di kantor!” katanya dengan nada penuh semangat.“Oh ya? Gimana hari pertamamu?” tanya Kinan sambil mengikuti Mina masuk ke lorong kosan yang mulai gelap karena matahari hampir terbenam.Mina bercerita panjang lebar, menjelaskan bagaimana ia diperkenalkan oleh leader timnya, Raka, dan bagaimana ia bertemu dengan rekan-rekan kerja lainnya. Ia berbicara dengan antusias, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena merasa diterima dengan baik di tempat kerjanya.Kinan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekal
Setelah Pika meninggalkan kamarnya dengan amarah tertahan, Bu Diah terdiam, menatap cangkir teh di depannya. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba mengangkatnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya, seperti film yang diputar ulang berulang kali.Bu Diah duduk di sudut tempat tidurnya, kedua tangannya memegang kepala. Hatinya terasa berat, dan pikirannya berputar-putar, kembali ke kejadian tadi malam. Ia menggigil saat mengingat sosok itu, tentunya ia mengetahui siapa sosok hantu perempuan yang bertubuh kurus dengan rambut panjang menjuntai, wajah rusak seperti tanah kering yang retak-retak, dan cairan hitam yang menetes dari mulutnya yang terus menganga.Kenapa? Dia selama ini tidak pernah keluar dari kamar nomor lima. Enam tahun berlalu, keberadaannya selalu seperti rahasia yang terkunci rapat di dalam kamar itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia keluar.“Mina…” bisik Bu Diah dengan suara serak.Di mana Mina saat itu? Apakah dia di d
Bu Diah semakin bingung. “Cahaya? Cahaya apa?”Hantu itu mendongak, memperlihatkan wajah rusaknya yang penuh retakan. “Cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang membakar. Bahkan aku tidak bisa mendekat. Mereka tidak menginginkan aku di sana.”“Mereka?” tanya Bu Diah dengan suara lirih. “Siapa mereka? Apa yang kau lihat?”Sosok itu tertawa lagi, lebih keras kali ini, tetapi tawa itu segera berubah menjadi suara isak yang mengerikan. “Mereka… mereka yang melindunginya. Mereka yang membuatku pergi!!!!!”“Apa yang Mina lakukan?” desak Bu Diah, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. “Kenapa dia baik-baik saja? Tidak mungkin ada yang tinggal di kamar itu tanpa merasakan apa-apa!”Sosok itu menatap Bu Diah dengan pandangan kosong yang tiba-tiba terlihat seperti penuh kebencian. “Dia… dilindungi!!!”“Dilindungi oleh siapa?”“Sesuatu yang lebih kuat dariku. Lebih kuat dari apa pun di tempat ini. Lebih kuat… bahkan daripada kegelapan yang kau coba sembunyikan selama ini!!”Bu Diah terdiam, tubuhnya
Malam itu, saat dimana Bu Diah di datangi sosok hantu di kamarnya yang merupakan salah satu penghuni kamar Mina.Mina memutuskan untuk tidur lebih awal, namun sebelum tidur tentunya ia menuntaskan terlebih dahulu kegiatan rutinnya. Setelah membersihkan diri dan selesai melaksanakan sholat isya, ia mengambil Al-Qur'an kecil dari meja samping tempat tidur dan duduk bersila di atas sajadahnya. Kamar nomor lima tampak sunyi, hanya diterangi lampu kuning redup yang menciptakan suasana hangat.Mina membuka halaman Al-Qur'an dan mulai mengulang hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci dengan lembut. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir seperti air, memenuhi ruangan dengan getaran yang terasa menenangkan. Ia tenggelam dalam kekhusyukan, memejamkan mata untuk merenungi makna setiap ayat yang ia baca.Namun, sesuatu di kamar itu berubah. Udara yang sebelumnya hangat mulai terasa dingin, seperti angin dingin yang menyelinap dari celah jendela. Tetapi Mina tidak menyadarinya. Ia terus membaca, tida
Setelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam
Dini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn
Iren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah
Yang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu
Hujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang
Di dalam tenda, suasana menjadi semakin mencekam. Semua orang berkumpul dalam satu tenda untuk saling menjaga, wajah-wajah mereka dipenuhi ketegangan.Kinan memeluk lututnya sendiri, matanya terus melirik ke arah pintu tenda. "Kenapa ini bisa terjadi? Kita cuma mau mendaki gunung, tapi… kenapa jadi kayak gini?"Ratna mencoba menenangkan dirinya dengan meminum air dari botol kecil. "Tara nggak mungkin hilang gitu aja. Dia pasti masih di sekitar sini, kan?"Zuen, yang duduk di dekat pintu, menatap mereka dengan raut serius. "Kita harus percaya sama Pak Rahman. Dia pasti bakal nemuin Tara."Namun, Pika tetap diam, pandangannya tidak lepas dari Mina yang duduk di sudut tenda. Akhirnya, ia membuka mulut dengan nada tajam."Mina, kenapa kamu nggak hilang? Kenapa harus Tara? Kamu berdua kan sama-sama di sana."Semua orang terdiam, menatap Pika dengan ekspresi kaget. Mina menundukkan kepalanya, tidak tahu harus menjawab apa."Pika, jangan begitu," ujar Nadin, mencoba menenangkan suasana."Tap
Mereka melangkah keluar dari tenda, dihantam oleh udara dingin yang terasa menusuk kulit. Hujan masih turun deras, membuat kepala mereka basah meski sudah mengenakan hood jaket. Dengan langkah hati-hati, mereka berjalan ke belakang tenda, tempat yang agak tersembunyi di antara semak-semak besar."Cepetan, Tara. Aku nunggu di sini," ujar Mina sambil berdiri dengan tangan melipat di dada.Tara mengangguk sambil mencari tempat yang agak nyaman untuk buang air. Setelah beberapa saat, ia kembali ke Mina dengan wajah lega."Udah, sekarang giliran kamu," katanya sambil berdiri di tempatnya.Mina mengangguk dan berjalan ke arah semak-semak. Sebelum ia jongkok, ia merapatkan jaketnya dan berbisik pelan, melafalkan doa perlindungan seperti yang biasa diajarkan oleh ibunya."Ya Allah, lindungi aku dari apa pun yang ada di sini. Jangan biarkan ada yang mengganggu," doanya dengan khusyuk.Setelah selesai, ia cepat-cepat membersihkan diri dengan air dari botol kecil yang ia bawa. Hujan yang deras m
Jam menunjukkan pukul 15:19 saat rombongan pendakian Mina akhirnya tiba di Pos Empat. Udara terasa jauh lebih dingin dibandingkan sebelumnya, dan aroma khas tanah basah mulai menyeruak. Kabut tebal turun perlahan, menyelimuti area sekitar. Di kejauhan, suara gemericik air dari aliran sungai kecil menambah suasana yang tenang namun dingin.Mina menatap jam digital di pergelangan tangannya yang kembali berbunyi, mengingatkan waktu sholat ashar telah tiba. Ia merasa bersyukur sudah melaksanakan sholat zuhur tepat waktu tadi, karena kondisi sekarang tampaknya tidak memungkinkan untuk melaksanakan sholat di tempat yang nyaman.Pak Rahman berhenti dan menoleh ke rombongan dengan ekspresi serius. "Kita istirahat di sini. Jalur ke depan terlalu licin dengan kabut setebal ini. Terlalu berbahaya kalau kita lanjut sekarang."Semua orang mengangguk, meski sebagian terlihat lelah dan basah kuyup oleh hujan yang mulai turun dengan deras. Mereka bergerak perlahan menuju area datar yang cukup luas, d
Pak Rahman, yang memimpin rombongan, sesekali berhenti untuk memberi instruksi atau memastikan semua anggota kelompok tetap berada dalam formasi yang rapat."Ingat," kata Pak Rahman sambil menoleh ke belakang, wajahnya serius. "Kita tidak boleh berpisah dari rombongan. Jalur ini terlihat mudah, tapi bisa menyesatkan jika kalian tidak hati-hati. Tetap ikuti langkah saya."Semua orang mengangguk, menerima instruksi itu tanpa banyak pertanyaan. Mina, yang berjalan di tengah rombongan bersama Iren dan Tara, merasa sedikit gugup. Namun, ia mencoba menyembunyikan perasaannya dengan tersenyum dan bercanda bersama teman-temannya."Pak Rahman serius banget, ya," bisik Mina kepada Iren.Iren tertawa kecil. "Namanya juga guide. Dia tanggung jawab sama keselamatan kita. Lagipula, gunung ini memang terkenal agak tricky.""Tricky gimana?" tanya Mina dengan alis terangkat."Jalurnya bisa bikin bingung kalau kamu nggak tahu arahnya. Makanya kita harus bener-bener patuh sama arahan Pak Rahman," jawab