Home / Horor / Gadis Tanpa Mata Batin / 6. Kepulangan Pika

Share

6. Kepulangan Pika

Author: Sofia Saarah
last update Last Updated: 2024-12-04 21:29:28

Saat Mina tiba di depan pintu gerbang kosan, ia terkejut melihat Kinan sudah berdiri di sana, bersandar santai sambil mengetik sesuatu di ponselnya.

“Kinan? Kok udah sampai duluan?” tanya Mina sambil tersenyum sembari menghampiri Kinan.

Kinan mendongak dan tersenyum balik. “Eh Mina, iya nih, tadi aku buru-buru pulang, soalnya capek banget. Eh, kebetulan kita ketemu di sini.”

Mina membuka gerbang kosan, mengisyaratkan Kinan untuk masuk bersamanya. “Ayo, masuk. Hari ini seru banget di kantor!” katanya dengan nada penuh semangat.

“Oh ya? Gimana hari pertamamu?” tanya Kinan sambil mengikuti Mina masuk ke lorong kosan yang mulai gelap karena matahari hampir terbenam.

Mina bercerita panjang lebar, menjelaskan bagaimana ia diperkenalkan oleh leader timnya, Raka, dan bagaimana ia bertemu dengan rekan-rekan kerja lainnya. Ia berbicara dengan antusias, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena merasa diterima dengan baik di tempat kerjanya.

Kinan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk atau melempar komentar singkat. Meski begitu, tatapannya terus mengamati sekitar, terutama lorong kosan yang terasa dingin.

“Baguslah kalau kamu betah di kantor,” kata Kinan saat mereka mendekati ruang tamu. “Kesan pertama itu penting banget buat ningkatin kepercayaan diri.”

Ketika mereka hampir sampai di kamar masing-masing, suara langkah lain terdengar dari arah gerbang. Mina dan Kinan sama-sama menoleh, melihat seorang perempuan muda dengan koper besar masuk. Wajahnya ceria, dengan rambut panjang tergerai, dan ia langsung melambaikan tangan ke arah mereka.

“Hai! Wah, rame banget, kayaknya kosan ini tambah hidup ya,” sapa perempuan itu dengan suara riang.

Mina tersenyum sopan, sementara Kinan menyahut lebih dulu. “Oh, Pika. Kamu baru balik? Lama juga nggak kelihatan.”

Pika tersenyum lebar. “Iya, aku baru pulang dari Surabaya. Dua minggu lebih di sana, urusan kerjaan juga. Wah, seru banget ketemu kalian.”

Mina menyadari bahwa ini pertama kalinya ia bertemu Pika. Ia melirik Kinan dengan sedikit bingung, lalu memperkenalkan diri. “Hai, aku Mina. Baru kemarin ngekos di sini.”

“Oh! Kamu penghuni baru ya? Senang kenalan sama kamu,” jawab Pika ramah sambil menjabat tangan Mina. “Aku anaknya Bu Diah, ibu kos di sini. Kalau ada apa-apa, jangan ragu bilang ke aku juga, ya.”

Mina mengangguk sambil tersenyum. “Oh, terima kasih, Pika.”

Setelah mengobrol sebentar, Pika pamit menuju kamarnya di lantai atas. Mina dan Kinan melanjutkan langkah mereka menuju kamar masing-masing.

Saat Mina membuka pintu kamarnya, Kinan sempat menoleh sekali lagi. “Mina, kalau ada apa-apa, kabarin aja ya. Kamarmu kan tidak jauh dari kamarku.”

Mina tertawa kecil. “Santai aja, Kin. Aku baik-baik aja kok.”

Kinan tersenyum tipis, tapi dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Terutama setelah pertemuan singkat dengan Pika, yang entah kenapa, memberikan perasaan aneh pada suasana kosan malam itu.

***

Pika melangkah masuk ke kamar ibunya dengan langkah cepat, wajahnya tegang. Bu Diah sedang duduk di kursi, menyeruput teh hangat ketika melihat anaknya datang dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Bu,” Pika langsung membuka pembicaraan tanpa basa-basi. “Aku baru tahu dari Ratna, katanya penghuni baru yang bernama Mina itu tinggal di kamar nomor lima?”

Bu Diah menatapnya dengan tenang. “Iya, memang kenapa?”

“Kenapa Ibu kasih dia kamar itu?” nada suara Pika meninggi. “Masih ada kamar lain yang kosong, kan? Ibu tahu kamar itu…” Pika menggantungkan kalimatnya, tetapi jelas apa yang ia maksud.

Bu Diah meletakkan cangkirnya ke meja dengan pelan. “Kamar lain nggak cocok, Pika. Mina butuh kamar yang tenang, dan nomor lima itu kosong. Sudah lama nggak ada yang pakai.”

“Justru karena sudah lama nggak ada yang pakai, Bu!” Pika berseru, suaranya mulai gemetar. “Ibu lupa apa yang terjadi terakhir kali? Indah kabur cuma dalam semalam, Bu. Dia bilang dia dengar suara-suara aneh. Dan sebelum itu…” Pika menarik napas dalam, berusaha mengontrol emosinya. “Bu, kita tahu tragedi enam tahun lalu nggak bisa dihapus begitu aja.”

Bu Diah menatap anaknya dengan pandangan lembut tetapi tegas. “Pika, berapa kali ibu harus bilang? Kita nggak bisa terus terjebak di masa lalu. Apa yang terjadi waktu itu adalah tragedi, tapi kita harus melanjutkan hidup.”

“Menerima penghuni baru di kamar itu sama aja kayak mengundang masalah,” Pika memotong dengan nada kesal. “Ibu tahu, kamar itu nggak pernah benar-benar tenang sejak…”

“Cukup, Pika!” Bu Diah membentak, nadanya lebih tajam dari biasanya. “Ibu sudah memutuskan. Mina anak yang baik. Dia nggak mudah takut, dan sejauh ini dia nyaman tinggal di sana.”

“Tapi kalau sampai ada apa-apa?” Pika menatap ibunya penuh amarah yang bercampur cemas. “Ibu mau bilang apa ke Mina? Atau ke keluarganya nanti?”

Bu Diah terdiam sejenak, tetapi wajahnya tetap tenang. “Kalau kita berdoa dan menjaga niat baik, tidak akan ada yang buruk terjadi. Ibu yakin. Dan kamu juga harus percaya itu.”

Pika menggelengkan kepala dengan frustrasi. “Ibu terlalu keras kepala. Aku cuma nggak mau kejadian itu terulang. Kalau sampai Mina mengalami hal yang sama, Pika nggak tahu apa yang harus dilakukan.”

“Cukup, Pika,” suara Bu Diah kembali melembut, meski tegas. “Ibu tahu kamu peduli, tapi percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Kamu nggak usah terlalu khawatir.”

Pika hanya bisa menatap ibunya dengan ekspresi penuh emosi, sebelum akhirnya berbalik keluar dari kamar tanpa berkata apa-apa lagi.

Bu Diah menatap pintu yang tertutup perlahan, menarik napas panjang. Dalam hatinya, ia tahu kekhawatiran Pika bukan tanpa alasan, tetapi ia juga tahu bahwa kamar nomor lima adalah kunci untuk mempertahankan semuanya.

Related chapters

  • Gadis Tanpa Mata Batin   7. Cahaya itu ?

    Setelah Pika meninggalkan kamarnya dengan amarah tertahan, Bu Diah terdiam, menatap cangkir teh di depannya. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba mengangkatnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya, seperti film yang diputar ulang berulang kali.Bu Diah duduk di sudut tempat tidurnya, kedua tangannya memegang kepala. Hatinya terasa berat, dan pikirannya berputar-putar, kembali ke kejadian tadi malam. Ia menggigil saat mengingat sosok itu, tentunya ia mengetahui siapa sosok hantu perempuan yang bertubuh kurus dengan rambut panjang menjuntai, wajah rusak seperti tanah kering yang retak-retak, dan cairan hitam yang menetes dari mulutnya yang terus menganga.Kenapa? Dia selama ini tidak pernah keluar dari kamar nomor lima. Enam tahun berlalu, keberadaannya selalu seperti rahasia yang terkunci rapat di dalam kamar itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia keluar.“Mina…” bisik Bu Diah dengan suara serak.Di mana Mina saat itu? Apakah dia di d

    Last Updated : 2024-12-07
  • Gadis Tanpa Mata Batin   8. Rahasia

    Bu Diah semakin bingung. “Cahaya? Cahaya apa?”Hantu itu mendongak, memperlihatkan wajah rusaknya yang penuh retakan. “Cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang membakar. Bahkan aku tidak bisa mendekat. Mereka tidak menginginkan aku di sana.”“Mereka?” tanya Bu Diah dengan suara lirih. “Siapa mereka? Apa yang kau lihat?”Sosok itu tertawa lagi, lebih keras kali ini, tetapi tawa itu segera berubah menjadi suara isak yang mengerikan. “Mereka… mereka yang melindunginya. Mereka yang membuatku pergi!!!!!”“Apa yang Mina lakukan?” desak Bu Diah, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. “Kenapa dia baik-baik saja? Tidak mungkin ada yang tinggal di kamar itu tanpa merasakan apa-apa!”Sosok itu menatap Bu Diah dengan pandangan kosong yang tiba-tiba terlihat seperti penuh kebencian. “Dia… dilindungi!!!”“Dilindungi oleh siapa?”“Sesuatu yang lebih kuat dariku. Lebih kuat dari apa pun di tempat ini. Lebih kuat… bahkan daripada kegelapan yang kau coba sembunyikan selama ini!!”Bu Diah terdiam, tubuhnya

    Last Updated : 2024-12-08
  • Gadis Tanpa Mata Batin   9. Kekuatan dari Keyakinan

    Malam itu, saat dimana Bu Diah di datangi sosok hantu di kamarnya yang merupakan salah satu penghuni kamar Mina.Mina memutuskan untuk tidur lebih awal, namun sebelum tidur tentunya ia menuntaskan terlebih dahulu kegiatan rutinnya. Setelah membersihkan diri dan selesai melaksanakan sholat isya, ia mengambil Al-Qur'an kecil dari meja samping tempat tidur dan duduk bersila di atas sajadahnya. Kamar nomor lima tampak sunyi, hanya diterangi lampu kuning redup yang menciptakan suasana hangat.Mina membuka halaman Al-Qur'an dan mulai mengulang hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci dengan lembut. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir seperti air, memenuhi ruangan dengan getaran yang terasa menenangkan. Ia tenggelam dalam kekhusyukan, memejamkan mata untuk merenungi makna setiap ayat yang ia baca.Namun, sesuatu di kamar itu berubah. Udara yang sebelumnya hangat mulai terasa dingin, seperti angin dingin yang menyelinap dari celah jendela. Tetapi Mina tidak menyadarinya. Ia terus membaca, tida

    Last Updated : 2024-12-10
  • Gadis Tanpa Mata Batin   10. Kesurupan

    Malam itu, kosan yang biasanya sunyi mendadak berubah menjadi lautan kekacauan. Jeritan dari lantai atas menggema, memecah keheningan malam. Penghuni kosan satu per satu keluar dari kamar mereka, berlari ke arah sumber suara.Di lantai atas, Yuna dan Saras, penghuni kamar bersebelahan, terlihat dalam keadaan yang tidak biasa. Saras tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar hebat, sementara Yuna berdiri di sampingnya dengan mata melotot, napasnya tersengal. Tubuh Yuna bergerak liar, seolah sedang berusaha menahan sesuatu yang ingin keluar.Pak Yanto, pria paruh baya yang selalu membantu menjaga kosan, sudah ada di tempat, membaca doa-doa dengan suara lantang. Tangannya terangkat, memegang bahu Saras yang tubuhnya dingin seperti es.“Bismillahirrahmanirrahim…” Pak Yanto mengulang-ulang doa dengan khusyuk, wajahnya berpeluh karena usaha yang berat.Saras perlahan tenang, meski wajahnya masih pucat. Ketika tubuhnya akhirnya lemas, penghuni lain segera membantu mengangkatnya dan membawanya ke

    Last Updated : 2024-12-11
  • Gadis Tanpa Mata Batin   11. Misteri Bu Diah

    Mina terbangun pukul tiga dini hari, tubuhnya terasa sedikit berat, dan ada nyeri menusuk di perutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memahami apa yang membuatnya terjaga. Ketika rasa nyeri itu semakin jelas, ia tersadar.“Ah, sepertinya aku datang bulan,” gumamnya pelan.Dengan langkah pelan, ia berjalan ke kamar mandi di sudut kamarnya. Cahaya remang dari lampu kamar mandi menerangi wajah Mina yang sedikit pucat. Setelah memastikan semuanya bersih dan rapi, ia kembali ke kamarnya, mengganti pakaian, dan mengenakan pembalut.Ketika selesai, ia melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul empat pagi. Biasanya pada waktu seperti ini, ia bersiap untuk sholat Subuh. Namun, malam ini berbeda.Mina duduk di kasurnya, matanya memandang Al-Qur'an kecil yang tersimpan di meja samping. Dengan hati yang lapang, ia membatin, “Aku tetap bisa berdzikir dan berdoa.”Namun, ia tidak tahu, sesuatu di kamarnya sudah mulai bergerak.Mina duduk bersila di atas kasurnya, tubuhnya masih terasa

    Last Updated : 2024-12-12
  • Gadis Tanpa Mata Batin   12. Begosip di Dapur

    Mina terbangun dengan kepala yang sedikit berat. Cahaya matahari sudah masuk melalui celah tirai kamar, membuatnya sadar bahwa pagi sudah jauh berjalan. Ketika ia melirik ke jam dinding, jarumnya menunjuk pukul tujuh lebih beberapa menit.Dengan langkah pelan, ia beranjak dari tempat tidur, tetapi rasa sakit di perutnya membuatnya terhenti sejenak. Mina memegangi perutnya, wajahnya meringis karena kram datang bulan yang belum juga mereda.“Aku butuh makan,” gumamnya, berusaha mengumpulkan tenaga.Setelah merapikan diri seadanya, ia berjalan keluar dari kamar menuju dapur di ujung lorong. Langkahnya lambat, sesekali ia berhenti untuk menahan nyeri di perutnya.Ketika tiba di dapur, ia mendapati Zuen, Tara, Iren, Mika, dan Kinan sudah berkumpul di sana. Mereka duduk di kursi meja makan yang ada di dapur, masing-masing memegang secangkir kopi atau teh, sambil menyantap lontong dan gorengan yang terhidang di meja yang seperti baru dia angkat dari wajan. Suara mereka rendah, tetapi jelas t

    Last Updated : 2024-12-13
  • Gadis Tanpa Mata Batin   13. Miranti yang Sok Indigo

    Setelah menghabiskan semangkuk mie instan, Mina merasa jauh lebih baik. Perutnya yang semula melilit karena lapar kini tenang, meski rasa kram akibat datang bulan masih menyisakan nyeri di perut bawahnya. Ia kembali ke kamar dan duduk di atas kasur, bersandar pada dinding dengan pandangan menerawang.Pikirannya melayang ke kejadian subuh tadi. Udara kamar yang terasa sesak, hawa panas yang tidak wajar, dan perasaan seperti ada banyak "kehadiran" di sekitarnya. Tidak ada hal aneh yang benar-benar ia lihat, tetapi semuanya terasa... salah.Mina menghela napas panjang, lalu memandang keluar jendela. Tidak ada pemandangan disana, hanya lahan kosong yang tidak begitu luas, taman kecil yang ia tahu bahwa di balik sana adalah tempat peristirahatan terakhir bagi orang-orang yang telah wafat. Pemandangan itu terasa begitu biasa, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa gelisah.Di tengah lamunannya, ponselnya yang tergeletak di meja samping bergetar. Nada deringnya memenuhi ruangan. Mina melirik lay

    Last Updated : 2024-12-15
  • Gadis Tanpa Mata Batin   14. Orang-orang Aneh

    Mina menutup pintu kamarnya dengan perlahan, bersiap menuju pintu depan untuk mengambil makanan yang dipesannya secara online. Malam itu terasa berbeda, jauh lebih sunyi dari biasanya. Udara di lorong lantai satu terasa dingin dan sedikit lembap, tetapi Mina tetap melangkah santai, meski perasaannya sedikit terusik oleh keheningan yang tidak wajar.Saat berjalan melewati deretan kamar, Mina melihat pintu kamar Tara di nomor tiga terbuka sedikit. Dari dalam, Tara muncul dengan cepat, membawa bantal dan selimut di tangannya. Wajahnya terlihat panik, tetapi ketika ia melihat Mina di ujung lorong, ekspresinya berubah sejenak, seolah merasa lega.“Eh, Tara, mau ke mana malam-malam bawa bantal segala?” tanya Mina, menghentikan langkahnya.Tara tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. “Oh, Min… Kamu bikin aku kaget.” Ia tertawa kecil, tetapi ada nada gugup di suaranya.Mina menyipitkan mata, merasa ada yang aneh. “Kamu mau nginep di mana? Kenapa bawa-bawa bantal segala?”Tara menarik na

    Last Updated : 2024-12-16

Latest chapter

  • Gadis Tanpa Mata Batin   15. Kau Bisa Melihatku Sekarang

    Hari ini kantor PT. Tidur Enak Indonesia dipenuhi oleh kesibukan yang luar biasa. Tim customer service, termasuk Mina, terus berpacu dengan waktu melayani klien dan pelanggan yang tak henti-hentinya menghubungi mereka sejak pagi. Peluncuran produk kasur terbaru membawa banyak permintaan yang harus ditangani, dari permintaan pemesanan hingga follow-up data.Saat matahari mulai tenggelam, ruangan kantor perlahan-lahan menjadi lebih hening. Beberapa meja sudah mulai kosong setelah tim lain pulang, tetapi Mina dan rekan-rekannya, Raka, Novi, Ilham, dan Aisya tetap bertahan, fokus menyelesaikan pekerjaan mereka.Jarum jam menunjukkan hampir pukul 10 malam. Suasana kantor semakin sepi. Lampu-lampu di luar ruangan sudah mulai dimatikan oleh satpam, menyisakan penerangan temaram dari ruangan mereka. Mina duduk di mejanya, mengetik cepat sambil sesekali mengusap wajahnya yang mulai lelah.Namun tiba-tiba, kring... kring… kring...Suara telepon di meja tengah berdering keras, memecah kesunyian.

  • Gadis Tanpa Mata Batin   14. Orang-orang Aneh

    Mina menutup pintu kamarnya dengan perlahan, bersiap menuju pintu depan untuk mengambil makanan yang dipesannya secara online. Malam itu terasa berbeda, jauh lebih sunyi dari biasanya. Udara di lorong lantai satu terasa dingin dan sedikit lembap, tetapi Mina tetap melangkah santai, meski perasaannya sedikit terusik oleh keheningan yang tidak wajar.Saat berjalan melewati deretan kamar, Mina melihat pintu kamar Tara di nomor tiga terbuka sedikit. Dari dalam, Tara muncul dengan cepat, membawa bantal dan selimut di tangannya. Wajahnya terlihat panik, tetapi ketika ia melihat Mina di ujung lorong, ekspresinya berubah sejenak, seolah merasa lega.“Eh, Tara, mau ke mana malam-malam bawa bantal segala?” tanya Mina, menghentikan langkahnya.Tara tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. “Oh, Min… Kamu bikin aku kaget.” Ia tertawa kecil, tetapi ada nada gugup di suaranya.Mina menyipitkan mata, merasa ada yang aneh. “Kamu mau nginep di mana? Kenapa bawa-bawa bantal segala?”Tara menarik na

  • Gadis Tanpa Mata Batin   13. Miranti yang Sok Indigo

    Setelah menghabiskan semangkuk mie instan, Mina merasa jauh lebih baik. Perutnya yang semula melilit karena lapar kini tenang, meski rasa kram akibat datang bulan masih menyisakan nyeri di perut bawahnya. Ia kembali ke kamar dan duduk di atas kasur, bersandar pada dinding dengan pandangan menerawang.Pikirannya melayang ke kejadian subuh tadi. Udara kamar yang terasa sesak, hawa panas yang tidak wajar, dan perasaan seperti ada banyak "kehadiran" di sekitarnya. Tidak ada hal aneh yang benar-benar ia lihat, tetapi semuanya terasa... salah.Mina menghela napas panjang, lalu memandang keluar jendela. Tidak ada pemandangan disana, hanya lahan kosong yang tidak begitu luas, taman kecil yang ia tahu bahwa di balik sana adalah tempat peristirahatan terakhir bagi orang-orang yang telah wafat. Pemandangan itu terasa begitu biasa, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa gelisah.Di tengah lamunannya, ponselnya yang tergeletak di meja samping bergetar. Nada deringnya memenuhi ruangan. Mina melirik lay

  • Gadis Tanpa Mata Batin   12. Begosip di Dapur

    Mina terbangun dengan kepala yang sedikit berat. Cahaya matahari sudah masuk melalui celah tirai kamar, membuatnya sadar bahwa pagi sudah jauh berjalan. Ketika ia melirik ke jam dinding, jarumnya menunjuk pukul tujuh lebih beberapa menit.Dengan langkah pelan, ia beranjak dari tempat tidur, tetapi rasa sakit di perutnya membuatnya terhenti sejenak. Mina memegangi perutnya, wajahnya meringis karena kram datang bulan yang belum juga mereda.“Aku butuh makan,” gumamnya, berusaha mengumpulkan tenaga.Setelah merapikan diri seadanya, ia berjalan keluar dari kamar menuju dapur di ujung lorong. Langkahnya lambat, sesekali ia berhenti untuk menahan nyeri di perutnya.Ketika tiba di dapur, ia mendapati Zuen, Tara, Iren, Mika, dan Kinan sudah berkumpul di sana. Mereka duduk di kursi meja makan yang ada di dapur, masing-masing memegang secangkir kopi atau teh, sambil menyantap lontong dan gorengan yang terhidang di meja yang seperti baru dia angkat dari wajan. Suara mereka rendah, tetapi jelas t

  • Gadis Tanpa Mata Batin   11. Misteri Bu Diah

    Mina terbangun pukul tiga dini hari, tubuhnya terasa sedikit berat, dan ada nyeri menusuk di perutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memahami apa yang membuatnya terjaga. Ketika rasa nyeri itu semakin jelas, ia tersadar.“Ah, sepertinya aku datang bulan,” gumamnya pelan.Dengan langkah pelan, ia berjalan ke kamar mandi di sudut kamarnya. Cahaya remang dari lampu kamar mandi menerangi wajah Mina yang sedikit pucat. Setelah memastikan semuanya bersih dan rapi, ia kembali ke kamarnya, mengganti pakaian, dan mengenakan pembalut.Ketika selesai, ia melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul empat pagi. Biasanya pada waktu seperti ini, ia bersiap untuk sholat Subuh. Namun, malam ini berbeda.Mina duduk di kasurnya, matanya memandang Al-Qur'an kecil yang tersimpan di meja samping. Dengan hati yang lapang, ia membatin, “Aku tetap bisa berdzikir dan berdoa.”Namun, ia tidak tahu, sesuatu di kamarnya sudah mulai bergerak.Mina duduk bersila di atas kasurnya, tubuhnya masih terasa

  • Gadis Tanpa Mata Batin   10. Kesurupan

    Malam itu, kosan yang biasanya sunyi mendadak berubah menjadi lautan kekacauan. Jeritan dari lantai atas menggema, memecah keheningan malam. Penghuni kosan satu per satu keluar dari kamar mereka, berlari ke arah sumber suara.Di lantai atas, Yuna dan Saras, penghuni kamar bersebelahan, terlihat dalam keadaan yang tidak biasa. Saras tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar hebat, sementara Yuna berdiri di sampingnya dengan mata melotot, napasnya tersengal. Tubuh Yuna bergerak liar, seolah sedang berusaha menahan sesuatu yang ingin keluar.Pak Yanto, pria paruh baya yang selalu membantu menjaga kosan, sudah ada di tempat, membaca doa-doa dengan suara lantang. Tangannya terangkat, memegang bahu Saras yang tubuhnya dingin seperti es.“Bismillahirrahmanirrahim…” Pak Yanto mengulang-ulang doa dengan khusyuk, wajahnya berpeluh karena usaha yang berat.Saras perlahan tenang, meski wajahnya masih pucat. Ketika tubuhnya akhirnya lemas, penghuni lain segera membantu mengangkatnya dan membawanya ke

  • Gadis Tanpa Mata Batin   9. Kekuatan dari Keyakinan

    Malam itu, saat dimana Bu Diah di datangi sosok hantu di kamarnya yang merupakan salah satu penghuni kamar Mina.Mina memutuskan untuk tidur lebih awal, namun sebelum tidur tentunya ia menuntaskan terlebih dahulu kegiatan rutinnya. Setelah membersihkan diri dan selesai melaksanakan sholat isya, ia mengambil Al-Qur'an kecil dari meja samping tempat tidur dan duduk bersila di atas sajadahnya. Kamar nomor lima tampak sunyi, hanya diterangi lampu kuning redup yang menciptakan suasana hangat.Mina membuka halaman Al-Qur'an dan mulai mengulang hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci dengan lembut. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir seperti air, memenuhi ruangan dengan getaran yang terasa menenangkan. Ia tenggelam dalam kekhusyukan, memejamkan mata untuk merenungi makna setiap ayat yang ia baca.Namun, sesuatu di kamar itu berubah. Udara yang sebelumnya hangat mulai terasa dingin, seperti angin dingin yang menyelinap dari celah jendela. Tetapi Mina tidak menyadarinya. Ia terus membaca, tida

  • Gadis Tanpa Mata Batin   8. Rahasia

    Bu Diah semakin bingung. “Cahaya? Cahaya apa?”Hantu itu mendongak, memperlihatkan wajah rusaknya yang penuh retakan. “Cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang membakar. Bahkan aku tidak bisa mendekat. Mereka tidak menginginkan aku di sana.”“Mereka?” tanya Bu Diah dengan suara lirih. “Siapa mereka? Apa yang kau lihat?”Sosok itu tertawa lagi, lebih keras kali ini, tetapi tawa itu segera berubah menjadi suara isak yang mengerikan. “Mereka… mereka yang melindunginya. Mereka yang membuatku pergi!!!!!”“Apa yang Mina lakukan?” desak Bu Diah, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. “Kenapa dia baik-baik saja? Tidak mungkin ada yang tinggal di kamar itu tanpa merasakan apa-apa!”Sosok itu menatap Bu Diah dengan pandangan kosong yang tiba-tiba terlihat seperti penuh kebencian. “Dia… dilindungi!!!”“Dilindungi oleh siapa?”“Sesuatu yang lebih kuat dariku. Lebih kuat dari apa pun di tempat ini. Lebih kuat… bahkan daripada kegelapan yang kau coba sembunyikan selama ini!!”Bu Diah terdiam, tubuhnya

  • Gadis Tanpa Mata Batin   7. Cahaya itu ?

    Setelah Pika meninggalkan kamarnya dengan amarah tertahan, Bu Diah terdiam, menatap cangkir teh di depannya. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba mengangkatnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya, seperti film yang diputar ulang berulang kali.Bu Diah duduk di sudut tempat tidurnya, kedua tangannya memegang kepala. Hatinya terasa berat, dan pikirannya berputar-putar, kembali ke kejadian tadi malam. Ia menggigil saat mengingat sosok itu, tentunya ia mengetahui siapa sosok hantu perempuan yang bertubuh kurus dengan rambut panjang menjuntai, wajah rusak seperti tanah kering yang retak-retak, dan cairan hitam yang menetes dari mulutnya yang terus menganga.Kenapa? Dia selama ini tidak pernah keluar dari kamar nomor lima. Enam tahun berlalu, keberadaannya selalu seperti rahasia yang terkunci rapat di dalam kamar itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia keluar.“Mina…” bisik Bu Diah dengan suara serak.Di mana Mina saat itu? Apakah dia di d

DMCA.com Protection Status