Mina menutup pintu kamarnya dengan perlahan, bersiap menuju pintu depan untuk mengambil makanan yang dipesannya secara online. Malam itu terasa berbeda, jauh lebih sunyi dari biasanya. Udara di lorong lantai satu terasa dingin dan sedikit lembap, tetapi Mina tetap melangkah santai, meski perasaannya sedikit terusik oleh keheningan yang tidak wajar.Saat berjalan melewati deretan kamar, Mina melihat pintu kamar Tara di nomor tiga terbuka sedikit. Dari dalam, Tara muncul dengan cepat, membawa bantal dan selimut di tangannya. Wajahnya terlihat panik, tetapi ketika ia melihat Mina di ujung lorong, ekspresinya berubah sejenak, seolah merasa lega.“Eh, Tara, mau ke mana malam-malam bawa bantal segala?” tanya Mina, menghentikan langkahnya.Tara tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. “Oh, Min… Kamu bikin aku kaget.” Ia tertawa kecil, tetapi ada nada gugup di suaranya.Mina menyipitkan mata, merasa ada yang aneh. “Kamu mau nginep di mana? Kenapa bawa-bawa bantal segala?”Tara menarik na
Hari ini kantor PT. Tidur Enak Indonesia dipenuhi oleh kesibukan yang luar biasa. Tim customer service, termasuk Mina, terus berpacu dengan waktu melayani klien dan pelanggan yang tak henti-hentinya menghubungi mereka sejak pagi. Peluncuran produk kasur terbaru membawa banyak permintaan yang harus ditangani, dari permintaan pemesanan hingga follow-up data.Saat matahari mulai tenggelam, ruangan kantor perlahan-lahan menjadi lebih hening. Beberapa meja sudah mulai kosong setelah tim lain pulang, tetapi Mina dan rekan-rekannya, Raka, Novi, Ilham, dan Aisya tetap bertahan, fokus menyelesaikan pekerjaan mereka.Jarum jam menunjukkan hampir pukul 10 malam. Suasana kantor semakin sepi. Lampu-lampu di luar ruangan sudah mulai dimatikan oleh satpam, menyisakan penerangan temaram dari ruangan mereka. Mina duduk di mejanya, mengetik cepat sambil sesekali mengusap wajahnya yang mulai lelah.Namun tiba-tiba, kring... kring… kring...Suara telepon di meja tengah berdering keras, memecah kesunyian.
Mina tiba di depan kosan dengan langkah yang mulai melambat. Malam itu terasa berbeda, udara dingin bercampur dengan keheningan yang tidak biasa. Ia memeluk tubuhnya sendiri untuk melawan hawa dingin sambil melangkah masuk ke lorong gelap yang menuju kamarnya.Saat melewati arah menuju dapur yang terletak di dekat lorong, ia melihat Tara, salah satu penghuni kosan, berjalan keluar dengan cangkir di tangannya. Tara tersenyum ramah ketika melihat Mina."Mina! Baru pulang? Lembur, ya?" sapanya dengan suara hangat.Mina membalas senyum Tara dengan lembut. "Iya, Tara. Banyak pekerjaan hari ini. Kamu belum tidur?" tanyanya, sedikit heran melihat Tara masih terjaga.Tara mengangguk kecil. "Iya, lagi bikin teh. Lumayan buat temenin malam. Kamu sendiri, pasti capek kerja seharian?"Mina menggeleng sambil tersenyum. "Alhamdulillah, nggak terlalu. Cuma butuh istirahat sebentar."Namun, saat Mina melangkah melewati Tara, senyuman di wajah Tara mendadak memudar. Mata Tara terbelalak, dan cangkir d
Di balik kamar nomor satu, tersembunyi sebuah ruang rahasia yang tidak diketahui oleh penghuni kosan lainnya. Pintu masuk ke ruang itu tersembunyi di balik lemari tua yang tampak biasa saja, tetapi jika lemari itu digeser, sebuah pintu kayu kecil dengan ukiran kuno terlihat jelas.Malam itu, dengan tangan gemetar, Bu Diah membuka pintu kayu itu menggunakan kunci yang hanya ia miliki. Ketika pintu terbuka, bau anyir dan lembap segera menyeruak, memenuhi udara di sekitar.Ruang sesembahan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya dari lilin-lilin hitam yang diletakkan di setiap sudut ruangan. Di tengah ruang itu, terdapat sebuah altar batu yang dipenuhi dengan simbol-simbol aneh, dihiasi kain merah tua yang sudah memudar seperti bekas darah. Di atas altar, terdapat patung kecil berbentuk makhluk bertanduk dengan wajah menyeramkan. Di sekeliling altar, terlihat cawan-cawan perak berisi cairan kental berwarna merah kehitaman, dan di dindingnya terukir tulisan-tulisan kuno yang memancarkan au
Mina terbangun perlahan saat suara adzan subuh berkumandang dari masjid terdekat. Jam di ponselnya menunjukkan pukul 04:31 pagi. Ruangan kamarnya terasa tenang, hanya dihiasi sinar redup yang masuk melalui celah tirai. Namun, kepalanya sedikit pusing, seolah ada beban aneh yang ia bawa sejak semalam.Sambil duduk di atas tempat tidur, Mina mencoba mengingat kejadian malam sebelumnya. “Aku ketemu Tara yang baru datang dari dapur... lalu...” pikirnya sambil memegang keningnya. Tapi setelah itu, ingatannya mendadak terhenti.“Kenapa aku nggak ingat apa-apa lagi? Aku cuma ingat kembali ke kamar, lalu tidur. Tidak ada yang lain...” Mina mencoba mengorek lebih dalam, tapi semua terasa kabur, seperti potongan mimpi yang hampir terlupakan.Kepalanya terasa sedikit berat, tapi ia mengabaikan rasa itu. Mina menarik napas panjang dan bangkit dari tempat tidur. Ia tahu dirinya masih berhalangan, jadi ia belum bisa melaksanakan sholat subuh.“Setidaknya aku bersihkan diri dulu,” gumamnya sambil me
Udara pagi terasa dingin, tetapi matahari sudah mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur. Mina berjalan cepat keluar dari gerbang kosan, langkahnya sedikit tergesa. Ia memeluk tasnya erat sambil menunduk, masih memikirkan kejadian pagi tadi di dapur.Di luar, Mina berpapasan dengan Kinan yang baru saja keluar dari pintu gerbang. Dengan langkah santai, Kinan menyapa Mina sambil tersenyum."Mina! Eh, kita berangkat bareng aja, ya?" katanya, menyesuaikan langkahnya dengan Mina.Mina menoleh dan tersenyum kecil. "Oh, boleh. Sudah lama gak bareng ke kantor."Keduanya mulai berjalan berdampingan di trotoar. Setelah beberapa saat, Kinan membuka percakapan."Kamu kelihatan buru-buru banget tadi. Ada apa? Nggak biasanya kamu terlihat sepanik itu pagi-pagi."Mina tertawa kecil, meski terlihat canggung. "Iya, pagi ini agak kacau. Aku nggak sengaja bikin Bu Diah kesal di dapur. Jadi rasanya nggak enak banget."Kinan mengerutkan dahi. "Kenapa? Apa yang terjadi?"Mina menjelaskan sambil menunduk. "T
Motor Ilham berhenti di depan gerbang kosan Mina. Malam itu terasa hening, hanya suara jangkrik yang terdengar dari kejauhan. Lampu di depan kosan menyala remang, menciptakan bayangan panjang dari pagar besi. Mina turun dari motor dengan hati-hati, memegangi tasnya yang tergantung di bahu."Terima kasih, Ham, sudah antar," ucap Mina sambil tersenyum kecil.Ilham mematikan mesin motornya, tapi tidak langsung beranjak. Ia melirik ke arah kosan, tatapannya sedikit ragu. Setelah beberapa detik, ia menoleh ke Mina. "Mina, kamu beneran baik-baik aja tinggal di sini?" tanyanya dengan nada serius.Mina terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia memandang Ilham dengan alis terangkat. "Kenapa, Ham? Aku baik-baik aja kok. Memang ada apa?"Ilham menggaruk tengkuknya, terlihat bingung mencari kata-kata yang tepat. "Entahlah, Min. Aku pernah beberapa kali lewat sini dan setiap aku lewat sini, aku merasa ada sesuatu yang… aneh. Bukan cuma hawa dingin, tapi lebih kayak..." Ilham terdiam, matanya menatap k
~ Di malam kejadian saat Mina pingsan ~Malam itu, suara angin yang menderu di luar kosan terasa seperti bisikan halus yang mengintai. Di dalam kamar Bu Diah, suasana terasa lebih berat dari biasanya. Udara di ruangan itu panas dan lembap, meskipun jendela kamar sedikit terbuka. Cahaya remang lilin-lilin yang diletakkan di sudut ruangan menciptakan bayangan bergerak di dinding, seolah-olah ada sosok-sosok yang bersembunyi di kegelapan.Ruang rahasia di dalam kamar Bu Diah menjadi tempat ritual yang sudah berulang kali ia lakukan. Ruangan itu tersembunyi di balik lemari pakaian besar yang harus digeser dengan susah payah. Di dalamnya, lantai penuh dengan simbol-simbol yang digoreskan menggunakan kapur merah. Sebuah patung kecil berbentuk makhluk dengan tanduk melengkung berdiri di tengah-tengah ruangan, dikelilingi oleh mangkuk-mangkuk berisi cairan hitam pekat.Bu Diah duduk bersila di depan patung tersebut. Di tangannya ada sebuah buku tua dengan halaman yang sudah menguning. Buku it
Setelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam
Dini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn
Iren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah
Yang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu
Hujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang
Di dalam tenda, suasana menjadi semakin mencekam. Semua orang berkumpul dalam satu tenda untuk saling menjaga, wajah-wajah mereka dipenuhi ketegangan.Kinan memeluk lututnya sendiri, matanya terus melirik ke arah pintu tenda. "Kenapa ini bisa terjadi? Kita cuma mau mendaki gunung, tapi… kenapa jadi kayak gini?"Ratna mencoba menenangkan dirinya dengan meminum air dari botol kecil. "Tara nggak mungkin hilang gitu aja. Dia pasti masih di sekitar sini, kan?"Zuen, yang duduk di dekat pintu, menatap mereka dengan raut serius. "Kita harus percaya sama Pak Rahman. Dia pasti bakal nemuin Tara."Namun, Pika tetap diam, pandangannya tidak lepas dari Mina yang duduk di sudut tenda. Akhirnya, ia membuka mulut dengan nada tajam."Mina, kenapa kamu nggak hilang? Kenapa harus Tara? Kamu berdua kan sama-sama di sana."Semua orang terdiam, menatap Pika dengan ekspresi kaget. Mina menundukkan kepalanya, tidak tahu harus menjawab apa."Pika, jangan begitu," ujar Nadin, mencoba menenangkan suasana."Tap
Mereka melangkah keluar dari tenda, dihantam oleh udara dingin yang terasa menusuk kulit. Hujan masih turun deras, membuat kepala mereka basah meski sudah mengenakan hood jaket. Dengan langkah hati-hati, mereka berjalan ke belakang tenda, tempat yang agak tersembunyi di antara semak-semak besar."Cepetan, Tara. Aku nunggu di sini," ujar Mina sambil berdiri dengan tangan melipat di dada.Tara mengangguk sambil mencari tempat yang agak nyaman untuk buang air. Setelah beberapa saat, ia kembali ke Mina dengan wajah lega."Udah, sekarang giliran kamu," katanya sambil berdiri di tempatnya.Mina mengangguk dan berjalan ke arah semak-semak. Sebelum ia jongkok, ia merapatkan jaketnya dan berbisik pelan, melafalkan doa perlindungan seperti yang biasa diajarkan oleh ibunya."Ya Allah, lindungi aku dari apa pun yang ada di sini. Jangan biarkan ada yang mengganggu," doanya dengan khusyuk.Setelah selesai, ia cepat-cepat membersihkan diri dengan air dari botol kecil yang ia bawa. Hujan yang deras m
Jam menunjukkan pukul 15:19 saat rombongan pendakian Mina akhirnya tiba di Pos Empat. Udara terasa jauh lebih dingin dibandingkan sebelumnya, dan aroma khas tanah basah mulai menyeruak. Kabut tebal turun perlahan, menyelimuti area sekitar. Di kejauhan, suara gemericik air dari aliran sungai kecil menambah suasana yang tenang namun dingin.Mina menatap jam digital di pergelangan tangannya yang kembali berbunyi, mengingatkan waktu sholat ashar telah tiba. Ia merasa bersyukur sudah melaksanakan sholat zuhur tepat waktu tadi, karena kondisi sekarang tampaknya tidak memungkinkan untuk melaksanakan sholat di tempat yang nyaman.Pak Rahman berhenti dan menoleh ke rombongan dengan ekspresi serius. "Kita istirahat di sini. Jalur ke depan terlalu licin dengan kabut setebal ini. Terlalu berbahaya kalau kita lanjut sekarang."Semua orang mengangguk, meski sebagian terlihat lelah dan basah kuyup oleh hujan yang mulai turun dengan deras. Mereka bergerak perlahan menuju area datar yang cukup luas, d
Pak Rahman, yang memimpin rombongan, sesekali berhenti untuk memberi instruksi atau memastikan semua anggota kelompok tetap berada dalam formasi yang rapat."Ingat," kata Pak Rahman sambil menoleh ke belakang, wajahnya serius. "Kita tidak boleh berpisah dari rombongan. Jalur ini terlihat mudah, tapi bisa menyesatkan jika kalian tidak hati-hati. Tetap ikuti langkah saya."Semua orang mengangguk, menerima instruksi itu tanpa banyak pertanyaan. Mina, yang berjalan di tengah rombongan bersama Iren dan Tara, merasa sedikit gugup. Namun, ia mencoba menyembunyikan perasaannya dengan tersenyum dan bercanda bersama teman-temannya."Pak Rahman serius banget, ya," bisik Mina kepada Iren.Iren tertawa kecil. "Namanya juga guide. Dia tanggung jawab sama keselamatan kita. Lagipula, gunung ini memang terkenal agak tricky.""Tricky gimana?" tanya Mina dengan alis terangkat."Jalurnya bisa bikin bingung kalau kamu nggak tahu arahnya. Makanya kita harus bener-bener patuh sama arahan Pak Rahman," jawab