Setelah Kinan meninggalkan dapur, Mina duduk kembali di kursinya, menyeruput kuah mie perlahan. Suasana di dapur mulai berubah. Lampu dapur berkedip pelan sekali, hampir tidak kentara. Angin dingin perlahan masuk dari jendela yang entah sejak kapan sedikit terbuka. Tapi Mina, yang asyik menikmati mie hangatnya, sama sekali tidak menyadarinya.
Saat Mina kembali ke meja, ia tidak melihat sosok itu sama sekali. Hantu itu bergerak lebih dekat, rambutnya perlahan menjuntai hampir menyentuh bahu Mina. Tapi Mina hanya duduk kembali dan menyeruput kuah mie lagi. “Ah, ini baru pas. Sempurna,” katanya puas.
Hantu itu mengerang pelan, mencoba menarik perhatian Mina. Suara seperti desiran angin terdengar di telinga, tapi Mina hanya mengusap telinganya. “Aduh, dingin banget anginnya sampai masuk ke telinga"
Ketika Mina selesai makan dan membawa gelas mie-nya ke tempat cuci piring, hantu itu memutuskan untuk mencoba cara lain. Gelas piring di rak perlahan-lahan bergeser sendiri, mengeluarkan suara krak…. Mina berhenti sejenak, menoleh. "Eh? Apa itu? " Ia memeriksa rak sebentar, lalu kembali melanjutkan cuci piring dengan santai.
Sementara itu, hantu itu tampak semakin penasaran. Ia kini melayang, muncul di cermin kecil yang tergantung di dinding dapur. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan suara lirih. Mina, tanpa sengaja, menatap ke arah cermin ketika ia mengeringkan tangannya. Tapi bukannya ketakutan, Mina malah mengerutkan alis. "Wah, kok cerminnya kayak kotor banget, ya? Siapa sih yang ngelap cermin pakai tangan basah? Nanti aku bersihin deh."
Mina mengambil kain lap dari rak, mengusap cermin itu sambil mengomel kecil. Hantu itu tampak bingung ketika wajahnya di cermin perlahan memudar karena dilap oleh Mina.
Setelah selesai, Mina menutup kembali keran dan melangkah keluar dari dapur. Tapi tiba-tiba, lampu dapur padam. Gelap menyelimuti ruangan, hanya ada sedikit cahaya dari lorong. Mina berhenti sejenak di ambang pintu dapur, melirik ke belakang. "Ah, lampunya mati? Kalau di lihat-lihat serem juga ya" ujarnya dengan nada bercanda "Kalau tiba-tiba ada hantu disana bagaimana ya? Hahaha" ucapnya dengan nada mengejek lalu kembali berjalan menuju kamarnya.
"Aku memang ada disini, perempuan bodoh!" ucap hantu itu kesal, kini ia melayang di belakang Mina, mencoba terakhir kalinya untuk menerornya. Ia mendekat pelan-pelan, jarak mereka hanya tinggal beberapa sentimeter. Ia berbisik tepat di telinga Mina dengan suara serak: “Peeeeerrrgggiiii….”
Mina menoleh sedikit, tapi bukannya ketakutan, ia malah mengernyit. "Eh, suara apaan barusan, ya?" Ia kemudian berjalan ke kamarnya tanpa menoleh lagi, meninggalkan hantu yang kini terduduk lesu di lantai dapur.
“APA SIH MASALAHNYA MANUSIA INI?! KENAPA NGGAK TAKUT SAMA SEKALI?!” jerit si hantu dengan suara yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Mina keluar dari kamar mandi. Ia mengelap wajahnya dengan handuk kecil, lalu meletakkannya di gantungan. Udara kamar yang terasa gerah membuatnya segera menghidupkan kipas angin, mengarahkannya ke tempat tidur.
“Hah, lega. Besok pagi harus bangun lebih awal” gumamnya sambil mematikan lampu kamar, menyisakan cahaya redup dari lampu tidur di meja kecil di sebelah ranjang. Mina berbaring, menarik selimut hingga sebatas dada. Ia memejamkan mata, mencoba memaksa tubuhnya untuk rileks.
Namun, suasana kamar mulai terasa berbeda. Dari sudut langit-langit, muncul sosok perempuan buruk rupa dengan tubuh kurus kering. Rambutnya panjang menjuntai, wajahnya dipenuhi luka, dan matanya melotot tajam. Sosok itu menggantung perlahan, semakin mendekat ke atas tempat tidur Mina.
Wanita itu berbisik lirih, “Peeeeerrggiiii…”
Mina menggeliat kecil di bawah selimut. Ia membuka matanya sejenak, lalu mendesah. "Aduh, kenapa jadi dingin banget ya? Kegedean volume kipasnya, ya?" Ia bangkit sebentar, mengurangi kecepatan kipas angin, lalu kembali berbaring tanpa melihat ke atas.
Sosok itu tampak terkejut dengan reaksi Mina, tapi tidak menyerah. Ia menurunkan tubuhnya lebih rendah, tepat di atas Mina. Rambut panjangnya menjuntai ke wajah Mina, mencoba memancing perhatian. Tapi Mina, bukannya takut, malah mengibas-ngibaskan tangannya sambil mengerutkan hidung. "Ih, kok ada bau aneh? Jangan-jangan ada tikus mati di plafon."
Sosok wanita itu kini tampak frustrasi. Ia bergeser ke sisi tempat tidur, duduk di lantai sambil menatap Mina yang sudah kembali terlelap.
***
Jam di kamar Bu Diah menunjukkan tepat pukul 12 malam. Biasanya, setiap malam, suara-suara aneh dari lorong kost akan terdengar. Namun, malam ini berbeda. Tidak ada suara ketukan, langkah kaki, atau benda jatuh. Sunyi. Bu Diah merasa resah. “Tenang seperti ini malah nggak enak,” pikirnya sambil menggigit bibir bawah.Bu Diah memutuskan untuk keluar mengecek keadaan di luar, memastikan bahwa malam ini aman. Ia keluar dan kamarnya dan berjalan perlahan menuju lorong, derit kecil dari sandal rumahnya menggema di lantai ubin. Lampu kuning temaram menggantung di langit-langit, menciptakan bayangan aneh di sepanjang lorong.
Saat ia sampai di depan kamar nomor 5, hawa dingin menyergapnya. Udara yang sebelumnya hangat berubah seketika, seperti ada sesuatu yang mengisap seluruh kehangatan di sekitarnya. Jantung Bu Diah berdebar lebih cepat. Ia memegang gagang pintu dengan ragu, tapi tidak membukanya.
“Hening sekali,” gumamnya pelan. Tapi saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, suara dari balik pintu terdengar. Bukan suara Mina yang tengah tidur, melainkan suara pelan—seperti seseorang yang sedang merintih.
"Uuuuhhh..."
Bu Diah mundur satu langkah. Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, lampu lorong berkedip perlahan, cahayanya mulai memudar. Seketika, ia merasakan kehadiran di belakangnya.
Perlahan, ia menoleh. Dan di sana, di ujung lorong, sesosok perempuan berdiri. Tubuhnya kurus, rambut panjang terurai acak menutupi sebagian wajahnya, hanya menyisakan satu mata hitam yang berkilauan di bawah cahaya temaram.
Bu Diah membeku. Sosok itu tidak bergerak, tapi atmosfernya seperti menekan tubuhnya. Perlahan, perempuan itu mulai melangkah, suaranya seperti gemerisik kain yang diseret di atas lantai.
Bu Diah mencoba mengumpulkan keberanian. “Siapa ya?” tanyanya dengan suara rendah tapi tegas.
Sosok itu tidak menjawab. Ia terus mendekat, matanya tidak berkedip, menatap Bu Diah dengan intensitas yang menusuk. Lampu di atas kepala Bu Diah berkedip lagi, dan ketika cahayanya stabil, perempuan itu sudah berada lebih dekat.
Bu Diah masih berdiri mematung di depan pintu kamar Mina, tubuhnya tegang. Tiba-tiba hawa dingin yang keluar dari celah pintu mengalir seperti angin malam, tetapi ini berbeda—dinginnya menusuk tulang, membuat napas terasa berat. Saat ia menoleh ke depan sosok yang tadi hampir mendekat itu sudah hilang di hadapannya.
Tubuhnya kini dapat bergerak, ia berusaha untuk pergi dari tempat itu. Namun, tiba-tiba ada suara samar dari dalam kamar Mina, seperti bisikan dan langkah kaki yang berputar di tempat.
“Mina?” panggilnya dengan suara pelan. Tidak ada jawaban.
Ruangan di sekitarnya begitu sunyi hingga ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Namun, di balik keheningan itu, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang bergerak, merambat, dan mengawasinya dari balik pintu. Perasaan itu begitu nyata hingga bulu kuduknya berdiri, membuatnya perlahan mundur satu langkah.Ketika Bu Diah berbalik untuk pergi, pintu kamar Mina tiba-tiba terbuka dengan suara kriiiiet panjang yang memekik. Angin dingin keluar dari dalam kamar, membawa bau busuk yang menyengat, seperti daging membusuk yang bercampur tanah basah.
Tubuh Bu Diah kaku seketika. Matanya terpaku pada kegelapan yang mengisi kamar. Tidak ada apa-apa di dalam, hanya kehampaan yang pekat. Namun, di tengah kegelapan itu, ia mulai melihat sesuatu—dua titik cahaya redup, seperti mata, perlahan menyala dan bergerak mendekat.
Langkah-langkah pelan terdengar dari dalam kamar. Tok... tok... tok. Suara itu mendekat, semakin keras, hingga akhirnya sosok perempuan muncul dari kegelapan.
Hantu itu berjalan perlahan, tubuh kurusnya terbungkuk. Rambut panjangnya yang kusut menutupi sebagian besar wajahnya, tetapi bagian yang terlihat cukup untuk membuat darah Bu Diah membeku: kulit wajahnya retak seperti tanah kering, mulutnya terbuka lebar hingga ke telinga, dan dari rahangnya yang menganga, cairan hitam menetes perlahan ke lantai.
“Kamu...????”
Mina sedang berdiri di depan cermin di kamarnya, memasang peniti di kerudungnya yang berwarna krem. Pagi itu terasa biasa saja. Matahari pagi yang hangat masuk melalui celah jendela, memberikan suasana yang sejuk. Namun, suasana hening pagi mendadak pecah oleh suara berisik dari luar.Ada suara langkah kaki yang tergesa-gesa di lorong, diselingi gumaman panik beberapa orang. Mina, yang awalnya hanya melirik ke arah pintu, mulai merasa penasaran. Ia merapikan kerudungnya dengan cepat, lalu membuka pintu kamarnya.Di luar, ia melihat sekumpulan orang berdiri di depan kamarnya. Beberapa perempuan yang sepertinya penghuni kost terlihat berbicara satu sama lain dengan wajah khawatir. Di tengah kerumunan, ada tiga lelaki yang tampak sibuk membopong tubuh Bu Diah.Mina mengerutkan kening, bingung. “Ada apa ini?” tanyanya sambil melangkah keluar.Seorang perempuan berkacamata dengan rambut sebahu menoleh ke arah Mina. “Bu Diah pingsan. Kami nemuin dia pagi-pagi begini di depan kamar kamu.”“P
Langkah kaki Mina dan Kinan semakin mendekati gedung kantor yang berdiri megah di ujung jalan. Sepanjang perjalanan, Kinan terus mencari-cari kesempatan untuk melanjutkan pembicaraan tentang kamar yang di tempati Mina. Namun, tiap kali ia mencoba membuka mulut, Mina tampak tidak terlalu tertarik."Tentang kamar itu, memangnya cerita seperti apa?" Mina kembali bertanya."Tentang seorang perempuan yang pernah tinggal disana"Akhirnya, Kinan mencoba lagi dengan suara yang lebih tenang. “Sebenarnya Mina, soal kamar kamu itu…”Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, gedung kantor sudah terlihat jelas di depan mereka. Beberapa rekan kerja mereka tampak sibuk masuk dan keluar melalui pintu utama, membuat suasana pagi di depan kantor cukup ramai.“Oh, sudah sampai,” Mina memotong, dengan nada yang terdengar sedikit lega. Ia menoleh ke arah Kinan dan tersenyum kecil. “Aku duluan, ya. Ini hari pertamaku bekerja, semoga akan menjadi awal yang baik hari ini.”Kinan menelan kembali kata-kata yang sud
Saat Mina tiba di depan pintu gerbang kosan, ia terkejut melihat Kinan sudah berdiri di sana, bersandar santai sambil mengetik sesuatu di ponselnya.“Kinan? Kok udah sampai duluan?” tanya Mina sambil tersenyum sembari menghampiri Kinan.Kinan mendongak dan tersenyum balik. “Eh Mina, iya nih, tadi aku buru-buru pulang, soalnya capek banget. Eh, kebetulan kita ketemu di sini.”Mina membuka gerbang kosan, mengisyaratkan Kinan untuk masuk bersamanya. “Ayo, masuk. Hari ini seru banget di kantor!” katanya dengan nada penuh semangat.“Oh ya? Gimana hari pertamamu?” tanya Kinan sambil mengikuti Mina masuk ke lorong kosan yang mulai gelap karena matahari hampir terbenam.Mina bercerita panjang lebar, menjelaskan bagaimana ia diperkenalkan oleh leader timnya, Raka, dan bagaimana ia bertemu dengan rekan-rekan kerja lainnya. Ia berbicara dengan antusias, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena merasa diterima dengan baik di tempat kerjanya.Kinan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekal
Setelah Pika meninggalkan kamarnya dengan amarah tertahan, Bu Diah terdiam, menatap cangkir teh di depannya. Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba mengangkatnya, tetapi pikirannya melayang jauh. Kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya, seperti film yang diputar ulang berulang kali.Bu Diah duduk di sudut tempat tidurnya, kedua tangannya memegang kepala. Hatinya terasa berat, dan pikirannya berputar-putar, kembali ke kejadian tadi malam. Ia menggigil saat mengingat sosok itu, tentunya ia mengetahui siapa sosok hantu perempuan yang bertubuh kurus dengan rambut panjang menjuntai, wajah rusak seperti tanah kering yang retak-retak, dan cairan hitam yang menetes dari mulutnya yang terus menganga.Kenapa? Dia selama ini tidak pernah keluar dari kamar nomor lima. Enam tahun berlalu, keberadaannya selalu seperti rahasia yang terkunci rapat di dalam kamar itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia keluar.“Mina…” bisik Bu Diah dengan suara serak.Di mana Mina saat itu? Apakah dia di d
Bu Diah semakin bingung. “Cahaya? Cahaya apa?”Hantu itu mendongak, memperlihatkan wajah rusaknya yang penuh retakan. “Cahaya yang menyilaukan. Cahaya yang membakar. Bahkan aku tidak bisa mendekat. Mereka tidak menginginkan aku di sana.”“Mereka?” tanya Bu Diah dengan suara lirih. “Siapa mereka? Apa yang kau lihat?”Sosok itu tertawa lagi, lebih keras kali ini, tetapi tawa itu segera berubah menjadi suara isak yang mengerikan. “Mereka… mereka yang melindunginya. Mereka yang membuatku pergi!!!!!”“Apa yang Mina lakukan?” desak Bu Diah, suaranya semakin penuh rasa ingin tahu. “Kenapa dia baik-baik saja? Tidak mungkin ada yang tinggal di kamar itu tanpa merasakan apa-apa!”Sosok itu menatap Bu Diah dengan pandangan kosong yang tiba-tiba terlihat seperti penuh kebencian. “Dia… dilindungi!!!”“Dilindungi oleh siapa?”“Sesuatu yang lebih kuat dariku. Lebih kuat dari apa pun di tempat ini. Lebih kuat… bahkan daripada kegelapan yang kau coba sembunyikan selama ini!!”Bu Diah terdiam, tubuhnya
Malam itu, saat dimana Bu Diah di datangi sosok hantu di kamarnya yang merupakan salah satu penghuni kamar Mina.Mina memutuskan untuk tidur lebih awal, namun sebelum tidur tentunya ia menuntaskan terlebih dahulu kegiatan rutinnya. Setelah membersihkan diri dan selesai melaksanakan sholat isya, ia mengambil Al-Qur'an kecil dari meja samping tempat tidur dan duduk bersila di atas sajadahnya. Kamar nomor lima tampak sunyi, hanya diterangi lampu kuning redup yang menciptakan suasana hangat.Mina membuka halaman Al-Qur'an dan mulai mengulang hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci dengan lembut. Setiap kata yang ia ucapkan mengalir seperti air, memenuhi ruangan dengan getaran yang terasa menenangkan. Ia tenggelam dalam kekhusyukan, memejamkan mata untuk merenungi makna setiap ayat yang ia baca.Namun, sesuatu di kamar itu berubah. Udara yang sebelumnya hangat mulai terasa dingin, seperti angin dingin yang menyelinap dari celah jendela. Tetapi Mina tidak menyadarinya. Ia terus membaca, tida
Malam itu, kosan yang biasanya sunyi mendadak berubah menjadi lautan kekacauan. Jeritan dari lantai atas menggema, memecah keheningan malam. Penghuni kosan satu per satu keluar dari kamar mereka, berlari ke arah sumber suara.Di lantai atas, Yuna dan Saras, penghuni kamar bersebelahan, terlihat dalam keadaan yang tidak biasa. Saras tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar hebat, sementara Yuna berdiri di sampingnya dengan mata melotot, napasnya tersengal. Tubuh Yuna bergerak liar, seolah sedang berusaha menahan sesuatu yang ingin keluar.Pak Yanto, pria paruh baya yang selalu membantu menjaga kosan, sudah ada di tempat, membaca doa-doa dengan suara lantang. Tangannya terangkat, memegang bahu Saras yang tubuhnya dingin seperti es.“Bismillahirrahmanirrahim…” Pak Yanto mengulang-ulang doa dengan khusyuk, wajahnya berpeluh karena usaha yang berat.Saras perlahan tenang, meski wajahnya masih pucat. Ketika tubuhnya akhirnya lemas, penghuni lain segera membantu mengangkatnya dan membawanya ke
Mina terbangun pukul tiga dini hari, tubuhnya terasa sedikit berat, dan ada nyeri menusuk di perutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memahami apa yang membuatnya terjaga. Ketika rasa nyeri itu semakin jelas, ia tersadar.“Ah, sepertinya aku datang bulan,” gumamnya pelan.Dengan langkah pelan, ia berjalan ke kamar mandi di sudut kamarnya. Cahaya remang dari lampu kamar mandi menerangi wajah Mina yang sedikit pucat. Setelah memastikan semuanya bersih dan rapi, ia kembali ke kamarnya, mengganti pakaian, dan mengenakan pembalut.Ketika selesai, ia melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul empat pagi. Biasanya pada waktu seperti ini, ia bersiap untuk sholat Subuh. Namun, malam ini berbeda.Mina duduk di kasurnya, matanya memandang Al-Qur'an kecil yang tersimpan di meja samping. Dengan hati yang lapang, ia membatin, “Aku tetap bisa berdzikir dan berdoa.”Namun, ia tidak tahu, sesuatu di kamarnya sudah mulai bergerak.Mina duduk bersila di atas kasurnya, tubuhnya masih terasa
Setelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam
Dini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn
Iren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah
Yang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu
Hujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang
Di dalam tenda, suasana menjadi semakin mencekam. Semua orang berkumpul dalam satu tenda untuk saling menjaga, wajah-wajah mereka dipenuhi ketegangan.Kinan memeluk lututnya sendiri, matanya terus melirik ke arah pintu tenda. "Kenapa ini bisa terjadi? Kita cuma mau mendaki gunung, tapi… kenapa jadi kayak gini?"Ratna mencoba menenangkan dirinya dengan meminum air dari botol kecil. "Tara nggak mungkin hilang gitu aja. Dia pasti masih di sekitar sini, kan?"Zuen, yang duduk di dekat pintu, menatap mereka dengan raut serius. "Kita harus percaya sama Pak Rahman. Dia pasti bakal nemuin Tara."Namun, Pika tetap diam, pandangannya tidak lepas dari Mina yang duduk di sudut tenda. Akhirnya, ia membuka mulut dengan nada tajam."Mina, kenapa kamu nggak hilang? Kenapa harus Tara? Kamu berdua kan sama-sama di sana."Semua orang terdiam, menatap Pika dengan ekspresi kaget. Mina menundukkan kepalanya, tidak tahu harus menjawab apa."Pika, jangan begitu," ujar Nadin, mencoba menenangkan suasana."Tap
Mereka melangkah keluar dari tenda, dihantam oleh udara dingin yang terasa menusuk kulit. Hujan masih turun deras, membuat kepala mereka basah meski sudah mengenakan hood jaket. Dengan langkah hati-hati, mereka berjalan ke belakang tenda, tempat yang agak tersembunyi di antara semak-semak besar."Cepetan, Tara. Aku nunggu di sini," ujar Mina sambil berdiri dengan tangan melipat di dada.Tara mengangguk sambil mencari tempat yang agak nyaman untuk buang air. Setelah beberapa saat, ia kembali ke Mina dengan wajah lega."Udah, sekarang giliran kamu," katanya sambil berdiri di tempatnya.Mina mengangguk dan berjalan ke arah semak-semak. Sebelum ia jongkok, ia merapatkan jaketnya dan berbisik pelan, melafalkan doa perlindungan seperti yang biasa diajarkan oleh ibunya."Ya Allah, lindungi aku dari apa pun yang ada di sini. Jangan biarkan ada yang mengganggu," doanya dengan khusyuk.Setelah selesai, ia cepat-cepat membersihkan diri dengan air dari botol kecil yang ia bawa. Hujan yang deras m
Jam menunjukkan pukul 15:19 saat rombongan pendakian Mina akhirnya tiba di Pos Empat. Udara terasa jauh lebih dingin dibandingkan sebelumnya, dan aroma khas tanah basah mulai menyeruak. Kabut tebal turun perlahan, menyelimuti area sekitar. Di kejauhan, suara gemericik air dari aliran sungai kecil menambah suasana yang tenang namun dingin.Mina menatap jam digital di pergelangan tangannya yang kembali berbunyi, mengingatkan waktu sholat ashar telah tiba. Ia merasa bersyukur sudah melaksanakan sholat zuhur tepat waktu tadi, karena kondisi sekarang tampaknya tidak memungkinkan untuk melaksanakan sholat di tempat yang nyaman.Pak Rahman berhenti dan menoleh ke rombongan dengan ekspresi serius. "Kita istirahat di sini. Jalur ke depan terlalu licin dengan kabut setebal ini. Terlalu berbahaya kalau kita lanjut sekarang."Semua orang mengangguk, meski sebagian terlihat lelah dan basah kuyup oleh hujan yang mulai turun dengan deras. Mereka bergerak perlahan menuju area datar yang cukup luas, d
Pak Rahman, yang memimpin rombongan, sesekali berhenti untuk memberi instruksi atau memastikan semua anggota kelompok tetap berada dalam formasi yang rapat."Ingat," kata Pak Rahman sambil menoleh ke belakang, wajahnya serius. "Kita tidak boleh berpisah dari rombongan. Jalur ini terlihat mudah, tapi bisa menyesatkan jika kalian tidak hati-hati. Tetap ikuti langkah saya."Semua orang mengangguk, menerima instruksi itu tanpa banyak pertanyaan. Mina, yang berjalan di tengah rombongan bersama Iren dan Tara, merasa sedikit gugup. Namun, ia mencoba menyembunyikan perasaannya dengan tersenyum dan bercanda bersama teman-temannya."Pak Rahman serius banget, ya," bisik Mina kepada Iren.Iren tertawa kecil. "Namanya juga guide. Dia tanggung jawab sama keselamatan kita. Lagipula, gunung ini memang terkenal agak tricky.""Tricky gimana?" tanya Mina dengan alis terangkat."Jalurnya bisa bikin bingung kalau kamu nggak tahu arahnya. Makanya kita harus bener-bener patuh sama arahan Pak Rahman," jawab