Raya menegakkan tubuhnya kembali setelah diam-diam membungkuk untuk menunjukkan rasa hormatnya yang besar pada Alex. Saat Alex sudah menghilang dari pandangannya, Raya bergegas keluar mencari taksi untuk kembali ke kantornya. Ia mengecek jam tangannya. Masih ada waktu setengah jam lagi seperti yang ia janjikan pada Nino. Itu waktu yang cukup untuk perjalanan kembali ke kantor jika ia menemukan taksi sekarang.
Ia mengecek ponsel yang sedari tadi ia bisukan, berniat menghubungi Nino untuk memberitahunya. Tapi ternyata ada sebuah pesan masuk dari laki-laki itu sedari tadi.
Nino
Ray, Recruiting Director ingin bertemu denganmu. Katanya ia bahkan mencarimu sebelum makan siang selesai. Ia bilang kau harus langsung menemuinya begitu urusanmu selesai dan kembali ke kantor.
Dahi Raya mengernyit. Ada angin apa tiba-tiba Recruiting Director mencarinya? Tapi mengingat percakapannya dengan Nino sebelumnya, sepertinya ia bisa menduga hal apa yang ingin ketua divisi itu katakan. Raya dengan cepat mengetikkan balasannya untuk Nino.
Aku akan kembali dalam setengah jam. Aku sedang mencari taksi sekarang.
Raya buru-buru menyimpan ponselnya dan berjalan sedikit lebih cepat sembari mengedarkan matanya mencari taksi kosong. Lalu tiba-tiba…
BRUUKKK!!!
Raya meringis kesakitan. Ia memegang bagian belakang tubuhnya yang sakit karena menahan berat tubuhnya yang jatuh terjungkal. Ia melihat seorang laki-laki yang sepertinya seumuran dengannya dengan koper besar dan ransel di punggungnya juga mengaduh kesakitan seperti yang ia lakukan. Sepertinya tanpa sengaja ia menabrak laki-laki itu karena terlalu fokus mencari taksi dan tidak mengindahkan sekitarnya. Atau sebenarnya ia yang ditabrak tadi? Oh entahlah. Itu tidak penting sekarang. Yang terpenting saat ini adalah menyelesaikan masalah ini secepatnya dan kembali ke kantor segera.
“Ah, maafkan aku,” kata Raya mendahului meminta maaf dengan sopan. “Apa kau baik-baik saja?”
Raya menghampiri laki-laki itu dan mengulurkan tangannya bermaksud membantu sebelum laki-laki itu menepis tangannya dan berdiri sendiri.
“Kenapa kau sangat ceroboh sekali?!” kata laki-laki itu kesal. Ia menepuk-nepuk pakaiannya yang sedikit berdebu tanpa melihat Raya sama sekali.
Ah, jadi benar Raya yang menabraknya. Raya sedikit menyesali kecerobohannya.
“Maafkan aku. Aku sedikit terburu-buru tadi. Tapi apa kau tidak apa-apa?” kata Raya masih merasa tidak enak pada laki-laki jutek di depannya itu.
“Apanya yang tidak apa-apa? Lihat ini-” kata-kata laki-laki itu terputus saat ia mendongak dan menatap Raya. Entah bagaimana Raya merasa laki-laki itu tertegun begitu melihatnya. Laki-laki itu terpaku sejenak. Kemudian menggelengkan kepalanya sedikit seperti berusaha menyadarkan dirinya. Raya melihatnya dengan heran.
“Aku tidak apa-apa,” kata laki-laki itu dengan cepat bercampur nada jutek. “Kau bilang kau terburu-buru. Pergi sana.”
Raya meringis tidak enak. Sepertinya tadi laki-laki itu bukan ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja sebelum melihatnya, tapi ya sudahlah Raya tidak ingin memikirkannya lagi. Toh sekarang laki-laki itu malah mengusirnya secara terang-terangan.
“Baiklah kalau begitu. Sekali lagi maafkan aku,” kata Raya seraya menundukkan sedikit badannya kemudian berlalu menjauh mencari taksi. Meninggalkan laki-laki itu yang masih mengamati punggungnya dari jauh.
*****
Raya mengetuk pintu sekali lagi. Mulai sedikit tidak yakin orang yang dicarinya berada di dalam ruang kerjanya.
“Masuk!”
Raya membuka pintu pelan dan masuk.
“Selamat siang, Pak Adi. Anda mencari saya?” sapa Raya begitu menghadap Pak Adi, Recruiting Director yang merupakan pemimpin senior untuk perekrutan, tengah duduk di kursinya.
“Ya. Silakan duduk, Bu Raya,” kata Pak Adi mempersilahkan. Ia menyodorkan sebuah map file berwarna biru pada Raya. “Saya akan langsung saja. Anda akan menerima pegawai magang di tim yang anda bawahi.”
“Pegawai magang? Di tim saya?”
“Ya. Hanya 6 bulan.”
“Tapi kenapa?” tanya Raya tidak mengerti.”Kami tim yang dibawahi langsung oleh Vice Director. Tidak ada sejarahnya ada pegawai magang ditempatkan di tim kami. Bukankah biasanya pegawai magang banyak ditempatkan di bagian pemasaran ataupun lapangan? Saya bahkan tidak berpikir ada lowongan pekerjaan di tim kami.”
Raya sudah menduga hal ini saat Nino memberitahunya bahwa Recruiting Director mencarinya. Tapi tidak pernah benar-benar bisa percaya kalau itu sedang terjadi saat ini.
“Aku tahu.” Pak Adi menanggapi dengan tenang. “Tapi mungkin kau belum tahu hal ini. Dia sama sepertimu. Dia juga menandatangani kontrak beasiswa dengan perusahaan kita, jadi dia berkewajiban untuk bekerja disini setelah menyelesaikan studinya.”
Raya mengernyit tidak mengerti. Ia merasakan ada yang kejanggalan dengan penjelasan laki-laki itu. “Benarkah?” Raya membuka map file yang ia terima tadi dan mengecek isinya. “Tapi disini tertulis jika dia seumuran dengan saya. Ia juga lulus SMA di tahun yang sama dengan saya. Itu artinya harusnya dia juga mengikuti program beasiswa itu di tahun yang sama dengan saya, bukan? Tapi saya bahkan tidak tahu ada program beasiswa yang membiayai hingga S3 begini.”
Raya merasa orang di depannya itu tertegun sejenak sebelum membalas dengan kalimat yang tidak bisa Raya bantah. “Setiap orang punya kontrak yang berbeda, Ray. Dan semua itu adalah keputusan Vice Director yang notabene adalah atasanmu langsung. Jika kau merasa tidak dapat menerimanya, kau bisa langsung bertanya pada beliau. Aku hanya menjalankan tugasku disini.”
Raya menutup mulutnya, menahan perasaan meledak-ledak yang hampir bisa dipastikan berisi kutukan pada Vice Director-nya. Ia hanya bisa mengeluh dalam hati. Laki-laki itu! Belum cukup membuatnya begadang semalaman karena pemberitahuan mendadak soal keberangkatannya ke London tempo hari, sekarang dia bahkan memberikannya masalah baru? Geez, bagus sekali BAPAK VICE DIRECTOR YANG TERHORMAT!
“Profil lengkapnya ada di map yang sedang kau pegang. Ia akan mulai bekerja minggu depan.”
Raya menghela nafas berat. Jika Pak Adi sudah berkata begitu, berarti keputusan Vice Director-nya sudah tidak bisa diganggu gugat. Raya bahkan yakin laki-laki itu tidak akan mendengarkannya meskipun ia mengeluh secara langsung. Ia menggerutu pelan. Bagaimana bisa ia memiliki bos yang seenaknya saja begitu? Apa dia bahkan tidak memikirkan bawahannya sama sekali ketika memberikan keputusan mendadak seperti ini?
“Tenang saja. Aku yakin kau bisa mengatasinya, Raya,” kata Pak Adi memberikan semangat.
“Mau tidak mau saya memang harus bisa mengatasinya, Pak,”Raya mengangguk lemah. “Baiklah. Apa ada yang lain, Pak?”
“Tidak, itu saja.”
Raya mengangguk mengerti. Ia dengan segera berpamitan dan keluar ruangan menuju ruang divisinya.
“Ada apa?” tanya Nino cemas melihat Raya berjalan masuk dengan muka kesal yang terlihat jelas menuju ke mejanya.
Raya tidak menjelaskan apapun. Ia hanya mengangsurkan map yang ia bawa pada Nino.
“Apa ini?” tanya Nino tidak mengerti tapi dengan segera membukanya.
“Profil pegawai magang baru yang akan masuk ke tim kita,” jawab Raya singkat dengan nada ketus yang terdengar tidak menyenangkan.
“Hah?!” kata Nino terkejut. Dengan segera ia mulai membaca file yang dipegangnya.
Suara terkejut Nino ternyata cukup keras hingga beberapa orang di dekat mereka yang juga merupakan tim satu divisi dengan Raya, mulai berdiri dan berkerumun di sekitar Nino. Ikut penasaran dengan isi map yang tengah dibuka laki-laki itu.
“Wow, dia tampan,” komentar Asti.
“Ya. Dan dia lulusan S3 luar negeri kampus ternama,” celoteh Mala, menambahkan.
“Dan dia seumuran dengan Bu Raya,” kata Heru, yang tumben-tumbennya ikutan berkomentar.
Raya yang sudah kesal, jadi bertambah kesal mendengarnya. “Hei! Jangan panggil aku ibu! Aku bukan ibumu!” sungutnya.
Mengabaikan orang-orang yang mengerumuninya, Nino menoleh pada Raya.
“Tapi bagaimana bisa seorang pegawai magang ditempatkan di tim kita?” tanyanya heran. “Saat aku bertanya padamu tadi, kupikir itu cuma rumor kosong.”
Tiga orang yang berkerumun di sekitar Nino ikut menoleh pada Raya, penasaran dengan jawabannya.
Raya berdecak. “Jangan tanya padaku. Ini semua karena Vice Director tercinta kita,” Raya menekan kata-katanya. “Entah bagaimana, tiba-tiba muncul seseorang yang juga mendapat beasiswa sepertiku.”
“Hah? Beasiswa?” ulang empat orang tadi tidak mengerti.
“Ya. Beasiswa,” ulang Raya dengan lebih jelas. “Begitu yang Recruiting Director katakan padaku.”
“Tapi ini aneh sekali,” respon Nino. “Melihat dia yang tahun lulusnya sama denganmu, juga tahun masuk ke universitasnya, bukankah itu berarti dia satu angkatan denganmu? Tapi berita yang kudengar, kau adalah satu-satunya orang yang berhasil mendapatkan beasiswa di tahun itu. Jadi bagaimana bisa…”
“Itu juga yang kukatakan pada Recruiting Director, sepertinya beliau tidak tahu. Pemberian beasiswa kan memang dibawah wewenang Vice Director.”
“Wah… Apa jangan-jangan orang ini masih punya hubungan dengan Vice Director?” ujar Mala menceritakan kecurigaannya.
Asti mengangguk setuju. “Ya. Ini sangat aneh. Tidak mudah mendapat beasiswa dari perusahaan terkenal seperti perusahaan ini, jadi pastinya tidak mengherankan jika nama orang yang mendapat beasiswa harusnya terdengar familiar. Aku tidak mengingat namanya sama sekali diantara orang yang mendapat beasiswa.”
Semua orang terdiam mencerna perkataan Asti yang masuk akal. Raya pun merasakan itu. Bahkan sebelum ia mulai bekerja dulu, banyak orang yang sudah familiar dengan namanya dan bahkan penasaran dengannya yang bisa menembus beasiswa perusahaan terkenal dengan mudah. Yah, harusnya tidak mudah. Ia bahkan mati-matian belajar untuk itu.
Raya menghela nafas kasar dan mengerang dengan keras.
“Aaargggh… Benar-benar merepotkan! Kenapa kita harus mengurusi pegawai magang ketika kita hampir setiap hari lembur karena pekerjaan? Ini benar-benar menyebalkan. Kepalaku jadi pusing.”
Semua anggota timnya menatap Raya dengan prihatin.
Asti berjalan mendekat dan menepuk pundak Raya, menghiburnya. “Tenang saja! Aku yakin dia tidak akan begitu merepotkanmu.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
Asti dan Mala berpandangan sejenak sebelum menjawab, “tentu saja karena dia tampan!” Keduanya tertawa melihat muka jengkel Raya yang mendengarnya.
Nino tertawa kecil melihat tingkah polah anggota timnya yang suka sekali menggoda Raya.
“Tenang saja, Ray,” Nino berusaha menenangkan. “Disini tertulis dia lulusan S3 luar negeri universitas ternama. Ditambah kenyataan dia juga mendapat beasiswa, setidaknya kita tahu dia bukan orang bodoh yang akan merepotkan kita.”
“Kuharap begitu,” jawab Raya singkat.
“Lalu kapan dia mulai bekerja?” tanya Mala.
“Iya. Kapan si ganteng mulai bekerja? Aku harus mempersiapkan penampilan terbaikku untuk menyambutnya dong,” tambah Ati.
“Hei. Hei. Hei. Sudah ada aku disini. Kenapa kau malah sudah berusaha menggoda orang yang belum kau ketahui wujudnya itu? Aku juga tampan tahu!” sela Heru.
Raya mengabaikan pertengkaran kecil mereka dan mendengus pelan mendengar timnya yang memang selalu berisik. Nino tertawa kecil melihatnya.
*****
Rama menyeret kopernya dari pintu kedatangan luar negeri. Ia mengaktifkan ponselnya yang ia matikan sejak berangkat dari London. Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi bersamaan dengan beberapa pesan masuk dari kakaknya. Rangga Kapan kau pulang? Rangga Kau mulai masuk kerja minggu depan. Cepat kembali! Rangga Aku tidak akan memaafkanmu jika kau mengingkari yang satu ini. Rangga Aku memasukkanmu di tim yang dibawahi langsung olehku. Rangga Oi adik durhaka! Kau menghilang kemana? Balas pesanku!
Hujan tiba-tiba turun dengan deras lagi. Tapi kali ini Rama sama sekali tidak mengeluh. Ia bahkan terlihat senang karena itu. Sejak kejadian ia melihat seorang gadis meninggalkan payungnya demi kucing-kucing yang tengah kehujanan kala itu–meskipun keesokan harinya kucing-kucing itu sudah menghilang bersama payung si gadis–ia dengan anehnya selalu melihat gadis itu hanya saat hujan turun. Dan entah bagaimana, ia tidak pernah sekalipun melihat gadis itu lewat di depan sekolahnya ketika cuaca terlihat bagus dengan matahari bersinar hangat. Karena itu tanpa sadar Rama selalu menanti kemunculan gadis itu saat hujan turun. Dari lantai 2 depan kelasnya, Rama bisa melihat beberapa temannya pulang menerobos hujan seperti biasanya. Tapi ia sama sekali belum ingin beranjak. Roy, sahabatnya, melihat Rama dengan heran. Ia tidak pernah sekalipun melihat laki-laki itu tersenyum saat hujan turun. Rama bahkan
Rama menghentikan laju sepedanya. Hari ini sekolahnya pulang lebih awal. Sejak Roy mengatakan dimana si gadis hujan–itu julukan yang Rama beri padanya karena sampai sekarang ia belum tahu nama gadis itu ditambah dengan ia yang selalu melihat gadis itu saat hujan–bersekolah, ia sudah sangat ingin datang sendiri untuk melihat apakah informasi yang Roy katakan saat itu benar atau tidak.Tidak. Bukan itu. Sebenarnya ia hanya ingin melihat gadis itu lagi saat ia punya kesempatan.Sekolah SMA K tampak lengang. Sepertinya jam pelajaran masih berlangsung. Rama melirik jam tangannya. Masih ada waktu satu jam lagi sampai waktunya pulang sekolah. Ia memutuskan untuk memarkir sepedanya di dekat sekolah di tempat yang tidak terlalu mencolok untuk mengamati gadis itu.Ia hanya akan
Dan sekali lagi, Rama mengunjungi sekolah si gadis hujan. Kali ini dengan memastikan bahwa Roy tidak akan menyusulnya seperti kali terakhir. Ia tidak bisa membiarkan temannya yang playboy itu mengambil kesempatan untuk mendekati gadis itu. Apalagi sepertinya Roy benar-benar tertarik dengan gadis itu mengingat akhir-akhir ini dia terus-terusan merecoki Rama dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gadis itu. Membuat Rama sempat beberapa kali benar-benar jengkel padanya. Tapi sayang sekali, saat ia sampai disana, halaman sekolah SMA K sudah terlihat kosong. Hanya tinggal beberapa anak yang tinggal dan mondar-mandir di sekitar tempat itu. Rama turun dari sepedanya. Menuntunnya perlahan melewati gerbang sekolah itu dan melihat keadaan sembari berharap ia akan bertemu dengan si gadis hujan. Namun tidak ada tanda-tanda ga
Hai... terima kasih sudah membaca tulisanku. Karena beberapa hal, aku memutuskan merevisi naskah ini agar bisa lebih enak dibaca. Jadi jika kalian sudah pernah membaca bab-bab yang pernah kupublish sebelum di revisi, kuharap kalian tidak keberatan membaca ulang hehe.Jadi untuk menghabiskan waktu selagi aku merevisi naskah ini, kalian bisa membaca tulisanku yang lain yang berjudul "Tantangan untuk Si Pelakor".Ada Vanessa dengan hobi yang suka merusak hubungan orang dan Viktor yang mencoba membuatnya berubah. Cus kunjungi aja... Aku yakin ceritanya tidak kalah menarik dengan yang lain.Jadi sampai ketemu beberapa hari lagi dengan Versi Gadis Setengah Buta yang lebih baik!See you...
Raya mendengarkan musik melalui earphone-nya yang tersambung dengan ponselnya. Masih 10 menit lagi sampai MRT yang biasa ia tumpangi datang. Ia mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan mulai membaca.Seseorang duduk disampingnya. Raya menoleh sedikit. Seorang laki-laki berambut panjang sebahu, memakai hoodie hitam dengan tudungnya menutupi kepala dan memakai celana jeans biru. Laki-laki itu juga menoleh padanya. Dengan cepat Raya memalingkan muka dan meneruskan kegiatannya membaca buku.Merasa diperhatikan, Raya menoleh ke arah laki-laki tadi. Laki-laki itu masih menatap ke arahnya.“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya Raya.Laki-laki itu tidak menjawab. Raya menunggu. Tapi laki-laki itu hanya menatap Raya dan tak lama kemudian mengalihkan pandangannya ke d
Seorang wanita paruh baya tersenyum mengetahui siapa tamu yang tengah datang berkunjung dan menunggunya di ruang tamu.“Raya!”Raya mendongak, tersenyum melihat orang yang ia tunggu. Ia bergegas berdiri dari tempat duduknya dan memeluk wanita paruh baya itu.“Bagaimana kabar ibu? Ibu sehat?” tanya Raya sembari melepas pelukannya.“Ibu baik dan sehat. Bagaimana kabarmu?” tanya Bu Ranti balik.Bu Ranti adalah pengasuh sekaligus kepala panti asuhan tempat Raya dulu tinggal. Ia juga yang mendirikan panti asuhan itu di tanah yang ia warisi dari orang tuanya. Bagi Raya, Bu Ranti adalah sosok pengganti ibu yang tidak pernah ia miliki. Jadi bahkan setelah ia keluar dari panti dan mendapat pek
Raya menghela nafasnya pelan. Pekerjaannya hari ini benar-benar melelahkan. Jika ia tidak menyelesaikannya sedikit lebih cepat, ia mungkin sudah kehilangan kereta terakhir. Untung saja ia masih sempat menaiki kereta tersebut sebelum benar-benar berangkat. “Si bos tidak berperasaan itu benar-benar keterlaluan. Apa ia sengaja membuatku sangat sibuk hingga membuatku ingin resign setiap hari?” gerutu Raya. Raya menutup matanya sejenak, berusaha mengusir rasa kantuk dan lelahnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya agar tetap terbuka. Tapi sepertinya ia terlalu lelah hari ini. Ia melirik jam tangannya. Masih ada 15 menit sampai kereta berhenti di stasiun yang ia tuju. Mungkin tidur sebentar tidak akan apa-apa. Rasanya baru saja ia memejamkan mata, Raya tersentak bangun. Seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya berdiri t